HARUM LAYAR REMPAH DI BUMI KELAPA: SERI WANGI DI KEPULAUAN SELAYAR
Oleh: Anting Retno Windhari Widodo, S.Sn. (Anting Lambangsih)
(Mahasiswa S-2 Universitas Negeri Yogyakarta)
Nusantara atau Indonesia menjadi bangsa besar yang kaya akan rempah-rempah. Sumber Daya Alam inilah yang menarik perhatian dunia dan mendorong penjelajahan dan perdagangan global dalam menggali dan mencari rempah rempah. Mengawali petualangan aroma dalam kegiatan Muhibah Budaya Jalur Rempah yang berfokus pada peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melestarikan, mengembangkan dan memanfaatkan warisan budaya Jalur Rempah. Perspektif ini berasal dari penelusuran jejak masa lalu yang saling terkoneksi dan membentuk ekosistem kebudayaan sebagai bentuk usaha dalam merekonstruksi dan merevitalisasi melalui jalur laut yang dianggap sebagai simbol kekayaan serta kesejahteraan. Muhibah Budaya Jalur Rempah berupaya untuk memupuk rasa bangga terhadap identitas berbagai wilayah di Indonesia serta menguatkan jaringan interaksi budaya melalui jalur bahari yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. Dalam paradigmanya, Jalur Rempah menjadi salah satu bentuk kontribusi untuk membuka pemahaman masyarakat baik dalam ataupun luar negeri terkait peran Indonesia sebagai poros maritim dunia dari masa lalu, saat ini maupun masa mendatang.
Program ini merupakan inisiatif utama yang diprakarsai oleh Kementerian Kebudayaan, Pendidikan, Riset dan Teknologi. Dalam implementasinya, program ini terlibat kolaborasi dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), pemerintah daerah setempat, serta berbagai komunitas budaya yang diharapkan agenda ini dapat menjadi bagian integral dari upaya revitalisasi rempah-rempah dimasing-masing wilayah sekaligus memperkuat keterhubungan dan interaksi budaya dikalangan generasi muda. Kegiatan ini telah dilaksanakan mulai tanggal 22 November hingga 1 Desember 2023, dengan menggunakan kapal bersejarah milik TNI AL yaitu KRI Dewaruci. Rute perjalanan laut dimulai dari Surabaya dan berakhir di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan.
Melaut di Pelukan Angin bersama KRI Dewaruci
Merupakan pagi yang dinantikan oleh saya dan seluruh pastisipan program Muhibah Budaya Jalur Rempah dimana perjalanan epik menuju Kepulauan Selayar akan dirajut di atas kemegahan kapal bersurai layar untuk menyusuri jejak-jejak sejarah perdagangan rempah yang ada di Nusantara. Peserta yang berpartisipasi dalam program ini melibatkan sejumlah pihak, termasuk influencer, peneliti, anggota Laskar Rempah yang lolos dalam seleksi, mitra media, dan juga beberapa staf Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi yang bertanggung jawab untuk memastikan kelancaran jalannya serangkaian kegiatan. Setiap harinya di gladak atas KRI Dewaruci disibukkan dengan berbagai aktivitas yang membangkitkan semangat seluruh partisipan. Serangkaian kegiatan yang konsisten dilaksanakan adalah sesi berbagi pengetahuan dengan para peneliti. Hal ini diharapkan dapat memberikan pengalaman holistik kepada seluruh peserta sehingga dapat menciptakan pemahaman dan pertumbuhan menyeluruh yang mencakup aspek-aspek seperti pendidikan, budaya, sosial, dan lingkungan yang bersatu dalam sebuah pengalaman yang mendalam dan berdampak. Selama perjalanan layar, saya bersama seluruh partisipan mengikuti kuliah singkat dan diskusi yang membahas mengenai sejarah perdagangan rempah. Merujuk pada rekam jejak perjalanan serta interaksi antar manusia dalam perdagangan rempah, jalur rempah dipandang sebagai jalur historis yang menjadi pondasi bagi hubungan antar pulau, suku, dan bangsa dengan serta membawa rempah sebagai nilai untuk membangun persahabatan yang membentuk asimilasi budaya dan diplomasi disetiap persinggahan jalur. Jalur inilah yang mengkonektivitaskan antara Nusantara dengan dunia. Kedatangan penutur bahasa Austronesia ke Nusantara sekitar 4.500 tahun yang lalu menggunakan perahu sebagai sarana transportasi menjadi awal mula pertukaran rempah dan komoditas lain di antara pulau-pulau dan wilayah Indonesia Timur. Interaksi budaya inilah yang menjadi cikal bakal budaya bahari yang melayarkan rempah dari Asia Tenggara hingga Afrika Timur. Perdagangan rempah-rempah di Nusantara tidak hanya menciptakan jaringan perdagangan, tetapi juga melahirkan dampak yang cukup melekat terhadap peradaban, meliputi situs sejarah, praktik ritual budaya, dan lahirnya ragam produk budaya yang terinspirasi oleh kekayaan alam Nusantara.
Sharing session bersama influencer Raymon .Y. Tungkadi
Performanced Peserta Laskar Rempah dan foto bersama Letkol Laut Sugeng.H.
Selain pengetahuan mengenai jalur perdagangan rempah, peserta juga diberikan kesempatan untuk meneguk ilmu-ilmu berkaitan dengan kemaritiman yang disampaikan oleh ABK KRI Dewaruci. Peserta juga diberi kesempatan untuk merasakan rutinitas sepanjang pelayaran diantaranya olahraga, ibadah, memasak dan aktivitas rutin lainnya dari seorang anggota TNI AL. Bedah KRI Dewaruci juga menjadi materi workshop yang disampaikan oleh Komandan Letkol Laut Sugeng Hariyanto, M.Tr.OPSLA. Dalam pemaparannya, Komandan Sugeng Hariyanto didampingi oleh beberapa Anggota Badan Kapal (ABK) KRI Dewaruci memperkenalkan konsep pengetahuan kebaharian dan maritim. Ruang tersebut menjadi ajang eksplorasi bagi peserta Laskar Rempah untuk mendalami lebih lanjut pengetahuan-pengetahuan lainnya meliputi jenis-jenis tiupan peringatan pada kapal, teknik mengepakkan dan menggulung layar, pengendalian kapal di area kemudi hingga simulasi penyelamatan ketika terjadi kebakaran di dalam kapal.
Perjalanan bersama KRI Dewaruci berlangsung selama 4 hari 3 malam, dengan penutupan perjalanan pada hari terakhir digelar acara yang dikemas menjadi dalam malam inaugurasi atau pesta kebudayaan. Malam tersebut menjadi malam bertabur bintang dan panggung bagi seni dan budaya, yang diisi oleh beragam pertunjukan dan melibatkan seluruh peserta Jalur Rempah. Masing-masing kelompok yang mewakili perbedaan etnis memberikan penampilan yang mencerminkan kekayaan kebudayaan mereka. Kolaborasi peserta yang berasal dari berbagai provinsi dilakukan utnuk memperkaya pengalaman bersama dan menyatukan seluruh awak kapal dalam keajaiban Indonesia yang beraneka ragam.
Jejak Langkah yang Menari di Daratan Kecil Tanah Selayar
Hari Selasa tanggal 28 November 2023 tepat pukul 09.00 pagi WITA kami beserta seluruh ABK berkumpul di Pelabuhan Benteng Dermaga 3. Kami sebagai peserta program Jalur Rempah disambut baik dengan upacara penyambutan yang khas bagi kepulauan Selayar. Penyambutan KRI Dewaruci beserta awak kapal dihiasi dengan berbagai kesenian tradisional khas dari kepulauan Selayar. Dibuka dengan tradisi Angngru yang menjadi Opening Art kedatangan para tamu KRI Dewaruci. Tradisi Angngaru ini menjadi tradisi turun menurun suku Bugis-Makassar yang dikenal sangat kental pada masanya. Angngaru merupakan budaya yang disajikan untuk menyambut tamu baik itu konteks pernikahan adat ataupun acara seremonial lainnya. “Angngaru” sendiri berasal dari kata “aru” yang artinya sumpah. Secara keseluruhan, Angngaru merupakan ikrar yang di ucapkan oleh orang-orang Gowa pada zaman dahulu. Berbagai rangkaian kegiatan penyambutan telah kami saksikan hingga sampai di penghujung acara pukul 12.00 siang WITA, seluruh peserta Jalur Rempah kemudian diarahkan menuju tempat penginapan. Penginapan yang disediakan bagi peserta Jalur Rempah terletak di Sunari Beach and Resort dengan jarak sekitar 13 Km yang dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 20 menit menggunakan armada Bus. Selama perjalanan menuju penginapan, pemandangan disepanjang jalannya didominasi oleh pohon Kelapa. Dalam benak saya, muncul pertanyaan mengenai apa yang akan diselidiki terkait rempah dikepulauan kecil ini. Pulau ini terpisah dari dataran Sulawesi, sehingga timbul berbagai pertanyaan diantaranya tentang faktor apakah yang menjadikan kepulauan ini tetap makmur dan sejahtera ? melihat banyaknya pohon kelapa yang tumbuh subur di sekitar, memunculkan dugaan apakah Kelapa ini yang menjadi komoditas utama masyarakat kepulauan Selayar? Berbagai pertanyaan mengemuka dipikiran saya sebelum proses eksplorasi kepulauan Selayar dimulai.
Setelah dua jam seluruh peserta diberikan waktu istirahat, tepat pukul 14.00 WITA, peserta dihimbau untuk berkumpul di gazebo resort guna persiapan keberangkatan menuju destinasi pertama yaitu Museum Nekara. Museum Nekara merupakan museum yang didedikasikan untuk menyediakan informasi mengenai kebudayaan masyarakat dan kegiatan perdagangan di Pulau Selayar. Penamaan Museum Nekara diambil dari nama artefak Cagar Budaya, yaitu Nekara perunggu yang ditemukan di zaman prasejarah. Koleksi museum ini sangat beragam termasuk, keramologika yang mencakup keramik hasil penggalian bawah air pada tahun 2009, sebanyak 557 item yang kemudian dikonservasikan pada tahun 2010-2011 dan disimpan di museum pada tahun 2011. Di dalam Museum Nekara, juga dipamerkan miniatur rumah adat dan Lambo, alat perunggu yang merupakan kebudayaan prasejarah yaitu kebudayaan Dongson dan diyakini berkembang di Cina Selatan dan Asia Tenggara, numismatik atau mata uang yang berhasil diangkat dari bawah air serta beberapa senjata seperti parang, pedang, keris dan senapan.
Selanjutnya, eksplorasi Pulau Selayar diteruskan dengan mengunjungi Desa Kaburu. Desa Kaburu terletak di kabupaten Bontomanai, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Kesan pertama saat tiba disana adalah keramahan masyarakat setempat. Mereka menyambut tamu dari Jalur Rempah dengan memberi kebebasan untuk menjelajahi sebanyak mungkin, bahkan masuk ke dalam rumah mereka. Sangat bangga karena hingga saat ini, masyarakat desa Kaburu masih mempertahankan rumah tradisional mereka yang dikenal sebagai Rumah Saporate. Rumah yang hampir mirip dengan rumah panggung ini memiliki ciri khas dengan kayu penyangga yang tidak tegak lurus. Meskipun kayu yang di gunakan terlihat bengkok, namun telah terbukti kokoh dan dapat digunakan selama lebih dari sepuluh tahun. Tinggi kayu yang digunakan berkisar tujuh hingga sepuluh meter. Kesederhanaan dan keramahan masyarakat desa kaburu memberikan kami kenyamanan karena setiap pertanyaan yang diajukan dijawab baik oleh warga setempat dan kepala desa yang mendampingi.
Rumah Saporate’ Kepulauan Selayar Foto: Anting Lambangsih
” …. kelapa memiliki akar yang dalam di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Fungsi kelapa tidak hanya sebagai penopang perekonomian, melainkan juga menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat dari kelahiran hinga kematian. Meski begitu, perlu dilakukan hilirisasi guna mengoptimalkan potensi besar kelapa agar tetap menyejahterakan” demikian disampaikan Kepala Desa setempat. Kehadiran kelapa (Cocos nucifera) dalam kehidupan masyarakat Pulau Selayar tak terlepas dari kejayaan komoditas ini pada masa lampau. Menjadi tulang punggung ekonomi melalui perdagangan kopra di Selayar pasca era kejayaan perdagangan rempah abad ke-16 dan ke-17. Menurut Abdul Rahman Hamid, seorang Dosen Sejarah Maritim UIN Raden Intan Lampung, pada abad ke-19, Selayar kembali berjaya melalui komoditas kopra. Pada periode tersebut budidaya kelapa masif dilakukan di wilayah-wilayah Indonesia Timur, mulai dari Manado, Ambon hingga Selayar. Abdul Rasyid Asba mengutip laporan pertanian Christiaan G Heersink yang menyebutkan bahwa pada tahun 1860, tanaman kelapa masih sangat langka di Sulawesi Selatan kecuali di Selayar. Selayar diperkirakan memiliki hampir 70 persen dari tanaman kelapa di Sulawesi Selatan pada saat itu. ” …. itulah sebabnya, sejak tahun 1855, Selayar menjadi pemasok bibit kelapa untuk daerah lain,” tulis Asba dalam buku Kopra Makassar, Perebutan Pusat dan Daerah: Kajian Sejarah Ekonomi Politik Regional di Indonesia (2007). Menurut tulisan Heersink (2009) berjudul Selayar and the Green Gold: The Development of the Coconut Trade on an Indonesian Island, menyebutkan, sekitar tahun 1880, kopra pertama kali dijadikan sebagai bahan baku margarin dan sabun yang dikirim dari Selayar ke Eropa via Makassar. Rahmat menyatakan, bahwa kejayaan komoditas kopra dapat dirasakan oleh penduduk Selayar pada pertengahan abad ke-20, kekayaan orang Selayar karena kopra, dibuktikan dari banyaknya warga yang menggunakan gigi emas. “Banyak Ibu-Ibu di Selayar yang tertawa menganga memperlihatkan gigi emasnya. Istilah dari emas hijau (green gold) Selayar bermula dari cerita tersebut.” ucap penulis buku Sejarah Maritim Indonesia (2013) dan Sejarah dan Budaya Maritim Indonesia (2020) ini.
Keajaiban yang Memeluk Pulau Selayar
Pohon Kelapa merupakan komoditi utama di wilayah Kepulauan Selayar yang dalam hal ini tumbuhan kelapa termasuk dalam famili palmae. Salah satu spesies tanaman kelapa yang paling penting dari genus cocos yaitu monotype yang hanya memiliki satu spesies yakni Cocos nucifera L. Pada umumnya, tanaman kelapa dibagi menjadi dua varietas utama, yakni kelapa dalam dan kelapa genjah. Kelapa dalam diperkirakan memiliki karakteristik batang yang besar, bisa tumbuh hingga delapan tahun, dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 30 meter, mulai berbuah diusia enam hingga delapan tahun, serta memiliki umur kurang lebih 100 tahun. Sementara itu, kelapa genjah (hibrida) memiliki ciri-ciri dengan batang yang lebih ramping, tinggi kurang lebih lima meter, serta umur hingga 30 tahun menurut Pratiwi, Farah Meita dan Pande Ketut Sutara. 2013 dalam Jurnal Simbiosis 1(2) “Etnobotani Kelapa (Cocos Nucifera L.) di Wilayah Denpasar dan Badung.”
Siswa SMP yang terjun ke lapangan untuk memperkenalkan salah satu produk kepulauan Selayar berbahan dasar kelapa yaitu minyak kelapa (Foto : Anting Lambangsih)
Bagi masyarakat wilayah kabupaten Selayar, kelapa memegang peranan yang sangat penting dimana kelapa dianggap sebagai mahar dalam upacara pernikahan (berbentuk mutlak). Pendapat umum di masyarakat Selayar adalah bahwa memiliki minimal 80 pohon kelapa sebagai mahar bagi golongan pattola (bangsawan) merupakan sebuah tanda kebangsawanan baik bagi pihak perempuan maupun pihak laki-laki dalam konteks perkawinan. Menurut keyakinan masyarakat ini, ketiadaan pohon kelapa yang diwariskan dari leluhur dapat menandakan bahwa seseorang bukanlah bagian dari golongan pattola (bangsawan), dan juga tidak dapat menjadi pemimpin, penguasa, atau pemerintah di dalam komunitas. Selain itu, kehidupan seluruh masyarakat di sana sangat bergantung pada kelapa karena hampir seluruh aspek ekonomi mereka ditentukan oleh kelapa, baik dari segi pertanian maupun perdagangan, menurut Kombo, Patta Sehu. 1979 dalam “Suatu Tinjauan Tentang Potensi Kelapa dalam Kehidupan Masyarakat di Kecamatan Bontomatene Kabupaten Selayar.” Universitas Hasannudin.
Selain mahar pernikahan, Kelapa juga dimanfaatkan sebagai peralatan rumah tangga sehari-hari, seperti lango-lango (pengalas panci) dan sapu. Proses pembuatan lango-lango melibatkan pemotongan dan penyiraman daun kelapa untuk membersihkan lidi, yang kemudian dianyam menjadi wadah serupa nampan atau piring dengan ukuran tertentu. Sedangkan pembuatan sapu lidi relatif mudah, hanya dengan membersihkan lidi dari daun dan mengikatnya. Kedua benda ini memiliki banyak kegunaan dan merupakan bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Kelapa juga memiliki potensi sebagai bahan pangan yang dapat diolah dengan beragam cara. Buah kelapa dapat digunakan atau dicampurkan dalam pembuatan kue, nasi santan, nasi kuning, dan minuman. Cara pengolahannya bervariasi tergantung pada kebutuhan, dapat berupa kelapa utuh, parutan daging kelapa, atau santan. Beberapa makanan yang sempat saya coba, dimana saat itu sedang ada acara tradisi Anjoro Taunni, yaitu Pallu Bandang. Kue jajanan yang menggunakan singkong sebagai bahan dasar sering dikenal dengan sebutan Kue Mata Roda dibeberapa tempat. Kue ini terdiri dari singkong parut yang diisi dengan potongan buah pisang, kemudian dibentuk secara estetis (biasanya berbentuk bulat) dan dikukus untuk matang. Saat disajikan, kue ini disertai dengan taburan parutan kelapa sebagai tambahan. Karakteristik kue ini adalah tekstur yang kenyal, cita rasa gurih dari kelapa, dan aroma khas yang berasal dari buah pisang.
Pallu Bandang makanan khas kepulauan Selayar (Foto: Anting Lambangsih)
Kelapa, sebagai tanaman yang memiliki kegunaan yang beragam, memberikan manfaat yang signifikan bagi kehidupan manusia, baik dari akarnya, batang, daun, lidi, bunga, daging buah, air kelapa, batok kelapa, bahkan sabut kelapa. Kelapa dianggap sebagai sumber keberlanjutan hidup masyarakat, terbukti dengan berbagai mata pencaharian yang berasal dari hasil pertanian kelapa karena kelapa adalah tanaman yang menghasilkan uang paling banyak. Selain itu, kelapa juga memiliki potensi kehidupan yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, dengan berbagai fungsi yang meliputi nilai-nilai budaya seperti nilai kepercayaan, moral, estetis, sakral, pendidikan, dan sebagainya. Nilai-nilai budaya ini telah memberikan warna dalam setiap aspek kehidupan masyarakat.
Kepercayaan terhadap roh-roh yang masih hidup di masyarakat tetap ada, dan upacara dilakukan untuk memohon kedatangan roh atau menghilangkan kemurkaan mereka, seringkali dengan menggunakan kelapa dalam pelaksanaannya. Selain itu, kelapa juga memiliki peran penting dalam menandai tingkat perkembangan hidup individu, terutama dalam konteks pesta perkawinan di mana kelapa sering menjadi komoditas yang menghasilkan uang paling banyak. Kelapa juga menjadi syarat utama dalam memberikan sumbangan, menunjukkan bahwa masyarakat Selayar memiliki kecenderungan materialistis dalam kehidupan sehari-hari.
Inilah sekelumit pengalaman saya mengikuti Muhibah Budaya Jalur Rempah 2023, semoga bermanfaat bagi generasi muda untuk Cinta Tanah Air, dan bisa membantu mengembangkan dan melestarikan budaya Nusantara.