Oleh : Dr. Ir. Wiratno, M.Sc., IPU1Tenaga Ahli Menteri LHK Bidang Restorasi dan Kemitraan Konservasi dan Ir. Suhariyanto, IPU., ASEAN Eng22 Pengasuh Majalah Rimba Indonesia
(1.Tenaga Ahli Menteri LHK Bidang Restorasi dan Kemitraan Konservasi, 2.Pengasuh Majalah Rimba Indonesia)
PENDAHULUAN
Pada suatu siang 27 Februari 2024 telah bertemu tokoh-tokoh rimbawan senior yang digagas oleh Pengasuh MRI. Pertemuan yang sangat penting karena mendiskusikan peranan hutan dan masa depan hutan dan kehutanan di Indonesia. Di antara tokoh tersebut adalah Wardono Saleh, Sutrisno, Haryadi Himawan, Slamet Sudjono, Darwin Andi Tjuke, Dodi Suprijadi, Aulia Aruan, Tony HW, Wiratno, Harry Santoso, Sudarto, Kusnoto, Sudjarwo, dengan dipandu oleh Suhariyanto. Saya (Wiratno) hadir sebagai perwakilan yang paling muda, walaupun juga sudah sama-sama purna tugas.
Diskusi ini baru tahap awal (pengantar) – belum sampai pada substansi pokok sebagaimana judul artikel ini. Tentu, akan dilanjutkan dengan seri-seri diskusi, sehingga Jalan Baru dimaksud nyata bisa ditemukan.
Uraian berikut ini merupakan rangkuman catatan diskusi tersebut, dengan harapan ada partisipasi dari para pembaca MRI untuk ikut sharing pemikiran.
FILSAFAT URUS HUTAN
Dalam kajian filsafat, maka pokok bahasan dimulai dari Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi rasanya upaya yang paling tepat untuk merangkum menemukenali benang merah diskusi 27 Februari 2024 tersebut. Jadi sebenarnya, apabila dimulai dari upaya membangun Petak 5 di Wanagama, Gunungkidul, sejak tahun 1963, yang dimotori oleh tokoh muda Fakultas Kehutanan UGM, maka pemikiran tentang membangun hutan itu menjadi fondasi atau pilar lahirnya kebijakan kehutanan di tingkat nasional. Walaupun tentu saja basisnya adalah Hutan di Pulau Jawa, yang didominasi oleh pengalaman pembuatan tanaman jati. Dengan demikian, membangun hutan oleh tokoh staf pengajar Fakultas Kehutanan UGM, berbekal scientific based yang dilakukan di lapangan, untuk mendapatkan evidence based and experience based, di wilayah Gunungkidul yang disebut sebagai kawasan batu bertanah, kawasan karst Gunung Sewu yang terangkat dari bawah laut. Membangun Petak 5 dimulai dari memulai interaksi dengan masyarakat desa di sekitarnya. Maka, bukan langsung menanam kayu-kayuan, tetapi dengan model kerjasama dengan masyarakat desa menanam murbai (Morus sp) seluas 10 hektar, untuk budidaya ulat sutera.
Dalam konsep Ontologi atau Ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkrit secara kritis, maka apa yang dilakukan tokoh-tokoh itu di kemudian hari dinyatakan oleh Prof San Afri Awang, sebagai ”konservasi yang humanis”. Membangun hutan dengan pendekatan kemanusiaan. Manusia bagian dari alam (ekosentrisme). Manusia bukan penguasa -penakluk alam (antroposentrisme). Memanusiakan manusia, yang hidupnya tergantung pada kawasan hutan atau tepatnya pada sumberdaya hutan itu dalam jangka panjang. Memanusiakan manusia berarti menempatkan masyarakat pinggir hutan atau bahkan yang hidup di dalam hutan sebagai subjek, artinya diajak bicara dan mendiskusikan berbagai hal untuk solusi mengurus hutan dan membangun hutan. Pendekatan bottom up, partisipatif, terbuka, yang saat ini seringkali disebut sebagai membangun tata kelola atau governance (keterbukaan, partisipasi, pertanggungjawaban publik, dan akuntabilitas publik). Keberhasilan pendekatan Wanagama telah meluas sebagaimana yang kita saksikan saat ini yaitu hutan rakyat di Pulau Jawa yang luasnya telah mencapai lebih dari 1 juta hektar.
Dalam konsep Epistemologi, yaitu pengetahuan (knowledge) atau kenyataan itu diperoleh melalui penelitian dengan menggunakan metode tertentu. Ilmu membangun hutan dan kehutanan secara umum, memerlukan beragam keilmuan (integrated,multi, inter diciplinary approach), mulai dari geologi, tanah hutan, ekologi hutan, silvikultur, taxonomi, genetika, mikrobiloogi, dan juga memerlukan ilmu-ilmu sosial homaniora, sosiologi, antropologi budaya, bahkan ilmu komunikasi dan pengembangan masyarakat. Saya menyebutnya sebagai hybrid approaches, karena modern sience harus didialektikakan dengan pengalaman lapangan (experience based dan evidence based) yang sangat beragam latar belakang masyarakat mulai dari pemburu-peramu-peladang berpindah (di Taman Nasional Bukit Duabelas, Taman Nasional Kayan Mentarang, Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Taman Nasional Lorentz). Saat ini berkembang apa yang disebut sebagai citizen science. Ilmu dan keilmuaan yang dikembangkan atas pengalaman masyarakat atau kelompok masyarakat sehubungan dengan kegiatannya dalam menjaga dan memantau kondisi alam, satwa liar dan habitatnya, seperti kelompok Raptor Indonesia yang memantau siklus hidup elang jawa; Swiss Winasis dengan Gerakan burungnesia yang mampu menghasilkan Atlas Burung Indonesia (2020); Gerakan menanam ficus untuk menghidupkan sumber-sumber air di Pulau Jawa, berbusa di Cagar Alam manggis Gadungan, Kabupaten Kediri sebagai Pusat Ficus Nasional (2019). Gerakan kolektif di akar rumput ini menjadi inspirasi dan sumber pengetahuan baru dan bahkan sangat mungkin menemukan ragam teori baru atau mengkoreksi teori lama.
Dalam konsep aksiologi atau kemanfaatan dari pengetahuan itu bagi keberlangsungan hidup yang berkualitas bagi umat manusia pasti sangat penting, namun hal itu akan menjadi tantangan yang terus menerus agar dapat dibuktikan peran ilmu dan teknologi yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Untuk membangun Indonesia dengan keragaman yang sangat tinggi dan unik di tingkat tapak mulai dari aspek sejarah geologi, sejarah interaksi manusia-hutan di tiap lokasi, sejarah kerusakan hutan, dinamika populasi dan pertumbuhan penduduk, dinamika pertumbuhan pusat-pusat pembangun yang dipicu oleh semakin terbukanya akses jaringan jalan, lahirnya provinsi dan kabupaten/kota baru yang bertebaran di seluruh Indonesia, belum lagi tumbuhnya isu tentang pemanasan global akibat perubahan iklim, sejak Paris Agreement 2015, agar kita menjaga suhu bumi tidak lebih dari 1,5ºC-2ºC.
Apabila kita ditanya-tunjukkan di mana kita sudah berhasil membangun hutan, maka kita dihadapkan pada kenyataan pahit karena akan sulit dapat menunjukkannya. Atau untuk menjawab pertanyaan kritis bahwa apakah sebenarnya kita sebagai nation, memang memerlukan hutan (baik berupa kawasan atau ekosistem hutan yang dikelola dengan profesional). Apakah kelestarian sumberdaya hutan itu memang diperlukan? Eropa telah kehilangan hutan alamnya, tetapi saat ini telah berhasil membangun hutan tanamannya. Demikian juga dengan China yang mampu melakukan rehabilitasi hutan berjuta hektar.
Contoh keberhasilan membangun hutan konservasi dapat disebutkan namun masih dalam skala kecil, seperti rehabilitasi di Suaka Margasatwa Paliyan (Gunungkidul), 300 hektar mengikuti model Wanagama, didukung oleh Sumitomo sejak 2005, juga mulai dari batu bertanah; GreenWall, rehabilitasi di Cihanyawar, Sukabumi, ex areal Perhutani yang masuk ke dalam perluasan TN Gunung Gede Pangrango (300 ha) sejak tahun 2008-2022 (14 tahun) di mana Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango didukung oleh Conservation International dan Daikin Corp; Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL).
Register 38 Gunung Balak Lampung melalui pendekatan yang bukan sekedar keproyekan, maka telah ditemukan ragam sistem agroforestry yang dimulai dengan penanaman alpukat sieger, kelengkeng dan beragam tanaman buah lainnya diinisiasi oleh Kepala BPDAS Way Seputih Way Sekampung (WSS). Kunci keberhasilannya adalah pendekatan yang humanis, ”tidak ada dusta di antara kita”, artinya tata kelola model swakelola yang transparan, terbuka telah mendorong tingkat kepercayaan (trust) kelompok tani dengan Balai DAS WSS. Percaya bahwa pemerintah benar-benar ingin membangun/merehabilitasi Gunung Balak, bersama-sama masyarakat, sekaligus masyarakat mendapatkan manfaat ekonomi berkelanjutan. Baju birokrasi telah dibuka, bersikap open mind terhadap beragam masukan, dan mulai bekerja bersama. Kuncinya juga pada perubahan sikap mental dan komitment leadership dari aparat pemerintah.
Keberhasilna penerapan silvikultur intensif oleh Prof. Sukotjo yang dilanjutkan oleh Prof. Naiem yang telah diterapkan dibanyak PBPH tentunya perlu terus diperluas dan dilakukan monitoring serta evaluasi menyeluruh, sehingga diperoleh pembelajaran yang terus menerus pada tahap Aksiologi yang kemudian akan memberikan kontribusinya dan masukan pada proses Epistemologi dan Ontologi. Silvikultur intensif adalah beragam teknis menumbuhkan pepohonan hutan dengan intervensi manusia (ilmu silvikultur, ilmu pemupukan, ilmu pemerliharaan) yang sangat intensif, dihasilkan dari ujicoba lapangan berpuluh tahun, sehingga menghasilkan optimisme peningkatan produktivitas kayu per unit luas. Era intensifikasi telah tiba : ruang semakin terbatas, manusia semakin bertambah.
Dalam hal menjaga hutan, banyak sekali contoh yang ternyata juga dikembangkan oleh kelompok masyarakat di akar rumput, seperti di Tangkahan-ekowisata berbasis masyarakat di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Leuser (sudah berhasil selama 23 tahun, sejak tahun 2000), Kalibiru Desa Wisata di Kabupaten Kulonprogo, yang awalnya mendapatkan izin Hutan Kemasyarakatan (sejak 1999 sudah dimulai inisiatifnya); Melalui Peraturan Desa tentang Pelestarian Lingkungan Hidup (2014) telah berhasil mengembalikan hutan rakyatnya menjadi habitat beragam satwa burung; kelompok pelestari mangrove di Suaka Margasatwa Langkat Timur Laut juga telah berhasil melakukan rehabilitasi mangrove.
Potensi lebih dari 5 juta hektar Perhutanan Sosial seharusnya menemukan momentumnya untuk berkontribusi membangun minimal sistem agroforestry dan sylvopastur yang berkontribusi besar dalam menjaga ekosistem alami dan merehabilitasi ekosistem yang terdegradasi, langsung digerakkan oleh kelompok-kelompok tani perhutanan sosial tersebut.
Prof. Suryo Wiyono dari Laboratorium Proteksi Tanaman IPB University telah beberapa tahun meneliti di Taman Nasional Gunung Ciremai, akhirnya ditemukan : (1) Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR)- Lysinibacillus fusiformis, mampu mengendalikan penyakit hawar daun yang disebabkan oleh Alternaria solani, (2) Lysinibacillus fusiformis C71 mampu mengurangi pupuk kimia sintetik 30-60% pada tanaman ubijalar, padi dan cabai dan (3) Isolat bakteri asal Paraserianthes montana meningkatkan ketahanan tanaman terhadap frost sedang (-7 C). Saat ini sedang dikembangkan riset di Taman Nasional Gunung Merapi zat antioxydan tinggi, Taxus sumarata di Taman Nasional Kerinci Seblat, dan jamur morel di Taman Nasional Gunung Rinjani.
KRISIS PANGAN
Dunia saat ini dan ke depan akan menghadapi krisis pangan, air, dan energi. Kondisi ini disebabkan antara lain oleh faktor El Nino (di Samudra Pasific) dan IOD positif (di Samudra Hindia) menyebabkan curah hujan berkurang drastis. El Nina (di Samudra Pasific) dan IOD negatif (di Samudra Hindia) menyebabkan curah hujan sangat ekstrem. Dengan perubahan iklim akan berdampak pada frekuensi dan intensitas El Nino dan El Nina berskala ekstrem. Dampaknya terutama pada keluarga miskin, yaitu meningkatnya pengeluaran untuk kebutuhan pangan, listrik, air bersih. Diprediksi pengeluaran warga miskin meningkat 82% (2030) dan 570% (2045) – (Harian Kompas, Kamis, 30 November 2023, Hlm. 1 dan 15).
Sumberdaya hutan Indonesia yang luasnya 60% dari daratan di tanah air semestinya dan diharapkan dapat menjawab ketiga persoalan tersebut. Sebanyak 25.863 desa dari 83.871 desa di seluruh Indonesia (BPS,2023) dengan 9.2 juta rumah tangga (Media Indonesia, 10/3/2019) atau 30,8 % berada di perbatasan dan sebagian berada di dalam kawasan hutan. Di kawasan konservasi, seluas 27,1 juta hektar dikelilingi 6,700 desa dengan penduduk 16 juta jiwa (data BPS, 2018). Mereka hidupnya bergantung langsung atas kelestarian sumberdaya hutan tersebut.
Situasi pangan dan ketahanan pangan Indonesia masih jauh dari kondisi kemandirian. Ketergantungan pada impor dapat disimak laporan BPS (November 2023) sebagaimana diuraikan dalam tabel berikut, yang memerlukan total dana sebesar USD 1.037,54 Milyar atau Rp.15,556 Trilyun.
Tabel 1. Impor komoditas pangan Indonesia
KELOLA HUTAN MULTIFUNGSI
Sumberdaya hutan dan kawasan hutan akan menjadi solusi krisis multidimensi tersebut. Masyarakat desa-desa di pinggir kawasan hutan akan semakin bergantung kehidupannya pada kawasan hutan, menggunakannya untuk pertanian tanaman pangan dalam arti luas. Solusinya melalui : (1) Program Tanaman Pangan ( Cetak sawah baru + lahan pertanian pangan sesuai agroklimat dan hilirisasi produk pangan, (2) Program Hutan dan Kehutanan (Hutan cadangan pangan, bangun dan kelola hutan sesuai sifat (nature) negara tropis kepulauan à spesies beragam (heterokultur-jangan monokultur) dengan memperhitungkan C, A, S, M (land capability, land availability, land suitability, land manageability). Teknik yang digunakan Silvikultur Intensif dipadu dengan: 1. Agroforest (budidaya hutan + budidaya pertanian pangan), 2. Silvopastur (budidaya hutan + budidaya ternak), 3. Silvofishery (budidaya hutan + budidaya perikanan). Untuk itu, diperlukan kolaborasi multidisipliner dan bahkan transdisipliner, sebagaimana disajikan dalam tabel 2 berikut.
Tabel 2. Kolaborasi Multidisipliner dan Transdisipliner
Kolaborasi tersebut sebaiknya dilaksanakan melalui lintas kementerian dan dikoordinasikan oleh seorang Menteri Koordinator Kemandirian Pangan, yang memiliki kewenangan yang cukup untuk melaksanakannya serta didukung oleh kapasitas leadership yang berintegritas. Sumberdaya hutan dan kawasan hutan Indonesia mampu menyediakan ruang, disinergikan dengan model pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) berskala landskap hulu-hilir.
AREAL HUTAN SOSIAL SEBAGAI MODAL AWAL
Apabila ditanyakan di mana areal untuk tanaman pangan itu berada. Kawasan Hutan yang telah ditetapkan dan mendapatkan izin selama 35 tahun oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah areal Perhutanan Sosial. Sampai dengan Desember 2023, telah ditetapkan seluas 6.148.513 Ha (9.096 Unit SK), yang dikelola oleh 1.276.806 KK di Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Sementara di Kawasan Konservasi di mana masyarakat desa/nelayan menggantungkan hidupnya, telah ditetapkan Kemitraan Konservasi seluas 297.774 Ha (607 Unit SK) yang dikelola oleh 20.555 Kepala Keluarga untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diperpanjang. Kemitraan Kehutanan di kawasan hutan di Jawa yang dikelola Perhutani atau disebut sebagai Perhutani Produktif (KKPP) seluas 815 Ha (16 unit) yang dikelola oleh 1.286 Kepala Keluarga. Dengan demikian secara keseluruhan telah ditetapkan kawasan hutan yang telah diberikan akses kelola untuk masyarakat desa hutan seluas 6,447,102 Ha (9,719 Unit SK) dan dikelola ± 1.298.747 Kepala Keluarga. Di dalamnya termasuk penetapan Hutan Adat seluas 250.971 Ha dan Indikatif Hutan Adat seluas 1.088.149 Ha.
Oleh karena itu, kawasan hutan sosial ini dapat dijadikan modal awal untuk membangun ketahanan dan kemandirian pangan yang berbasis pada keragaman pangan lokal Indonesia yang sangat kaya. Pembiayaan untuk impor pangan yang sangat besar tersebut tentu dapat secara bertahap dialihkan untuk meningkatkan produktivitas dan pendampingan hulu-hilir pada unit-unit usaha Perhutanan Sosial. Maka, kerjasama lintas Kementerian, antara lain yang super prioritas adalah Kementerian LHK dengan Kementerian Desa, Kementerian Pertanian perlu segera dilakukan. Yang sudah dilakukan saat ini bahwa Dana Desa dapat digunakan untuk mendukung 3 Kelola Hutan Sosial, yaitu Kelola Kelembagaan, Kelola Kawasan, dan Kelola Usaha, tergantung tingkat perkembangan unit-unit perhutanan sosial tersebut, termasuk dukungan perbankan nasional sebagai satu kesatuan sinergitas dari hulu sampai dengan hilir.
PENUTUP
Dengan cara berpikir (system thinking) secara falsafati, yaitu epistemologi, ontologi, axiologi yang kita alirkan dalam materialisme, dialektika, dan logika, maka kita punya kemandirian (kemerdekaan) dalam berpikir untuk mencari solusi berbasis realita (bukan ilusi, mitos, dll.). Dengan demikian, kita terhindar dari diskusi dan debat yang tidak jelas ujung pangkalnya, atau pembicaraan yang emosional – merampas rasionalitas kita.
Apabila kita sadari ada kesalahan atau kekeliruan di masa lampau, mari kita maafkan sejarah dan kita menatap ke depan untuk kepentingan dan tujuan kita bersama – Menemukan Jalan Baru Hutan dan Kehutanan Indonesia.