CATATAN TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERKAIT PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG P3H (TINJAUAN ASPEK PERANCANGAN PERUNDANG-UNDANGAN)

Oleh : Dr. Drs. Budi Riyanto, S.H., M.Si.

Purna Tugas Kementerian LHK sebagai Ahli Perancang Peraturan Perundang-undangan Utama

PENDAHULUAN

Lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja memberi nuansa dalam proses pembangunan hukum di Indonesia khususnya proses perancangan perundang-undangan.   Kebaharuan tersebut ditunjukan dengan proses perancangan dengan metode Omnibuslaw.   Omnibuslaw merupakan perancangan peraturan perundang-undangan dengan menyatukan beberapa peraturan perundang-undangan dalam satu produk perundang-undangan, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja untuk cluster Kehutanan ada beberapa catatan kecil terkait perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan khususnya ditinjau dari aspek perancangan perundang-undangan.

Hal yang menarik yang akan dikaji dalam tulisan ini menyangkut 4 (empat) hal yaitu:

  1. Dicabutnya ketentuan Pasal 18 ayat (2) yang menyangkut luas Kawasan Hutan yang harus dipertahankan minimal 30%;
  2. Pengawasan Kehutanan sebagaimana yang diatur dalam Bab VII Pasal 59 sampai Pasal 65 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan;
  3. Keberlakuan asas ultimum remedium dalam mengatasi keterlanjuran;
  4. Pentingnya evaluasi kebijakan yang tertuang dalam perundang-undangan.

Sedangkan kajian tentang pidana kehutanan akan disajikan dalam tulisan tersendiri agar lebih fokus.

HAPUSNYA KETENTUAN 30% DARI LUAS MINIMAL KAWASAN HUTAN YANG HARUS DIPERTAHANKAN

Dengan berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja maka ketentuan luasan minimal 30% untuk suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) dan atau pulau menjadi tidak berlaku.

Ketentuan 30% menurut sejarah peraturan perundang-undangan Kehutanan hadir sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan beserta penjelasannya. Dalam Pasal 7 ayat (2) menyatakan Penetapan kawasan hutan dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan rencana penggunaan tanah yang ditentukan oleh Pemerintah. Dalam penjelasan ayat (2): Untuk mencapai usaha-usaha pemanfaatan hutan seperti tercantum pada pasal 6 sub a s/d d, maka dalam pasal ini ditegaskan, bahwa Pemerintah perlu menetapkan adanya Kawasan Hutan yang luasnya cukup dengan penyebaran dan letak yang tepat, agar secara merata dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia akan hasil hutan dan manfaat-manfaat lainnya.

Berdasarkan kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia dan pertimbangan-pertimbangan mengenai keadaan fisik, iklim dan pengaturan tata-air maka luas minimum tanah yang harus dipertahankan sebagai Kawasan Hutan diperkirakan kurang lebih 30% dari luas daratan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 tersebut di atas, menunjukan bahwa suasana kebatinan pembentuk Undang-Undang pada saat itu (Tahun 1967) telah memikirkan betapa pentingnya luasan minimal satu pulau atau DAS, sehingga mampu memberikan keseimbangan ekosistem dalam suatu pulau tersebut.  Pemikiran dimaksud sangat luar biasa dan antisipatif walau luasan hutan saat itu masih relatif utuh dan belum banyak pemanfaatan maupun kegiatan ilegal di sektor kehutanan maupun pertambangan.

Kebijakan mempertahankan luasan 30% tersebut dilanjutkan dengan perubahan kebijakan Kehutanan yaitu lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan khususnya Pasal 18 beserta penjelasannya.

Ayat (1) Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial. dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.

Penjelasan;

Yang dimaksud dengan penutupan hutan (forest coverage) adalah penutupan lahan oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga dapat tercipta fungsi hutan antara lain iklim mikor, tata air, dan tempat hidup satwa sebagai satu ekosistem hutan. Yang dimaksud dengan optimalisasi manfaat adalah kesinambungan antara manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekosistem secara lestari.

Ayat (2) Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Penjelasan;

Dengan mempertimbangkan bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air, maka ditetapkan luas kawasan hutan dalam setiap DAS dan atau pulau, minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daratan. Selanjutnya Pemerintah menetapkan luas kawasan hutan untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan kondisi biofisik, iklim, penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya, di atas 30% (tiga puluh persen), tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutannya dari luas yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu luas minimal tidak boleh dijadikan dalih untuk mengkonservasi hutan yang ada, melainkan sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi kualitas hidup masyarakat. Sebaiknya, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh persen), perlu menambah luas hutannya.

Hal yang menarik dalam Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa mempertahankan luasan minimal 30% luas Kawasan Hutan tersebut tidak hanya masalah tutupan kawasan hutan tetapi berguna untuk manfaat sosial, manfaat ekonomi masyarakat setempat serta lingkungan.  Dengan demikian aspek sosial dan ekonomi masyarakat sekitar hutan menjadi hal pertimbangan yang tidak bisa dipandang sempit, karena ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan hingga saat ini masih sangat tinggi.  Dengan demikian maka secara sosiologis dan ekonomi masyarakat masih memerlukan kehadiran kawasan hutan sebagai tempat hidup dan bagian kehidupannya.

Dengan dicabutnya ketentuan Pasal 18 ayat (2) tersebut di atas maka ada aspek yang hilang dari materi muatan yang terkandung dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, yaitu manfaat sosial dan ekonomi dari kawasan hutan yang oleh pembentuk Undang-Undang lepas dari perhatian dan lebih menonjolkan dari pada tutupan hutan (lingkungan dalam arti sempit) apakah itu kawasan hutan maupun bukan kawasan hutan.  Tinjauan aspek perancangan perundang-undangan pencabutan Pasal 18 ayat (2) ini merupakan kemunduran di bidang pembangunan hukum kehutanan, karena ada rantai yang terputus dalam pengaturannya sejak tahun 1967 yaitu aspek sosiologis dalam proses perancangan peraturan perundang-undangan. Penghapusan ambang batas ini juga akan menyulitkan program-program kehutanan maupun reforma agraria khususnya pada wilayah pulau-pulau kecil. Untuk itu, kebijakan pencabutan ketentuan Pasal 18 ayat (2) perlu ditinjau kembali.

PENGAWASAN KEHUTANAN 

Ketentuan Pengawasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada Bab VII Pasal 59 sampai dengan Pasal 65 tidak dicabut dalam Undang-Undang Cipta Kerja.  Pasal 65 Undang-Undang 41 Tahun 1999 memerintahkan untuk dibuatkan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan tentang Pengawasan Kehutanan, namun hingga 22 tahun lahirnya Undang-Undang ini Peraturan Pemerintah belum terbit, hal ini dari aspek rancangan peraturan perundang-undangan Pemerintah indisipliner karena lalai melaksanakan perintah Undang-Undang yang merupakan representasi dari perintah dari seluruh rakyat Indonesia.

Pengawasan Kehutanan ini merupakan bagian dari Pengurusan Hutan yang antara lain terdiri dari perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, litbang diklatluh dan pengawasan itu sendiri.   Dengan demikian pengawasan merupakan unsur esensial dari pengurusan hutan, kerena tidak disusunnya Peraturan Pemerintah tentang Pengawasan Kehutanan.   Lemahnya pengawasan kehutanan sebagai salah satu penyebab tidak optimalnya pengurusan hutan dan berakibat pada pembiaran-pembiaran yang berujung pada perambahan dan perbuatan melawan hukum lainnya dan akhirnya adanya pemaaf.

Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Kehutanan, diatur tentang Pengawasan Kehutanan (sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020), diatur dalam Bab VIII Pasal 266 sampai dengan Pasal 272.   Memperhatikan materi muatan dalam Bab VIII tentang Pengawasan tersebut  dapat ditarik kesimpulan bahwa materi muatannya hanya mengatur materi muatan tentang pengawasan yang dilakukan oleh Menteri dan Gubernur terhadap kegiatan-kegiatan yang terkait dengan perizinan dan kegiatan-kegiatan yang menyangkut kegiatan pihak ketigak di Kawasan Hutan.

Padahal, menurut ketentuan Pasal 60 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Kehutanan, pengawasan yang harus diatur sebagai materi muatan di dalam Peraturan Pemerintah tentang Pengawasan meliputi pengawasan internal dan eksternal.   Dengan demikian seharusnya perlu diatur pengawasan terhadap aparatur di Kementerian LHK dan Gubernur di dalam penyelenggaraan kehutanan yang melibatkan masyarakat.

Menurut hemat kami materi muatan yang seharusnya dimuat di dalam Pengawasan Kehutanan harus mampu mnjawab:

  1. apa yang harus diawasi ?
  2. untuk apa pengawasan dilakukan ?
  3. siapa yang harus diawasi dan yang mengawasi?
  4. bagaimana cara pengawasannya?
  5. kapan pelaksanaan pengawasan ?
  6. bagaimana mekanisme evaluasi pengawasan kehutanan?

Apabila pertanyaan tersebut di atas dapat dijawab barulah dapat disusun materi muatan Peraturan Pemerintah tentang Pengawasan Kehutanan sehingga cita-cita hukum dalam Bab VII Pasal 59 sampai dengan Pasal 65 Undang-Undang Kehutanan dapat tercapai.

Mengingat pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkian penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai, melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncakaan secara efektif dan efisien.  Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan.  Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut.

Sementara itu, dari segi hukum administrasi negara, pengawasan dimaknai sebagai “proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakn, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan.

Hal Pengawasan ini harus dapat menunjukan sampai dimana terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan penyebab ketidakcocokan yang muncul.  Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan good governance (tata kelelola pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya.  Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama pentingnya dengan penerapan good governance itu sendiri. Oleh karena itu, perlu meninjau kembali kebijakan yang tertuang dalam Pasal 266 sampai dengan Pasal 272 PP Nomor 23 Tahun 2021, agar tujuan pengawasan kehutanan dapat tercapai. Hal tersebut mengingat keberhasilan pengawasan kehutanan merupakan salah satu kunci keberhasilan pengurusan hutan.

KEBERLAKUAN ASAS ULTIMUM REMEDIUM DALAM MENGATASI KETERLANJURAN

Menyangkut perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantansan Perusakan Hutan (P3H), khusus yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah keberlakuan Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang tentang Cipta Kerja, tepatnya Pasal 37 angka 20 Pasal 110A dan Pasal 110B, dengan keberlakuan asas ultimum remedium. Tindakan pemidanaan merupakan “ultimum remedium” artinya tindakan pemidanaan dilaksanakan sebagai upaya terakhir apabila pendekatan hukum lainnya tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memuat terobosan kebijakan baru dengan menerapkan prinsip ultimum remedium yaitu mengedepankan pengenaan Sanksi Administratif sebelum dikenai sanksi pidana terhadap pelanggaran yang bersifat administratif dan tidak menimbulkan dampak kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan (K2L). Pengaturan prinsip ultimum remedium tersebut tercermin dalam pengaturan norma Pasal 11OA dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2O13 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja khususnya:

  1. Pasal 110A yang pada prinsipnya mengatur bahwa kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun, memiliki Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang sesuai Rencana Tata Ruang tetapi belum mempunyai Perizinan di bidang kehutanan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, tidak dikenai sanksi pidana tetapi diberikan kesempatan untuk menyelesaikan pengurusan Perizinan di bidang kehutanan dengan membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) danDana Reboisasi (DR).
  2. Pasal 110B yang pada prinsipnya mengatur bahwa kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan kegiatan lain di dalam Kawasan Hutan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja dan belum mempunyai Perizinan di bidang kehutanan, tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai Sanksi Administratif berupa Penghentian Sementara Kegiatan Usaha, perintah pembayaran Denda Administratif, dan/atau paksaan pemerintah untuk selanjutnya diberikan persetujuan sebagai alas hak untuk melanjutkan kegiatan usahanya di dalam kawasan Hutan Produksi.

Dalam implementasinya perlu sikap kehati-hatian menyangkut areal tumpang tindih atau areal keterlanjuran, sehingga sejarah lahan atau kawasan harus menjadi acuan dalam penyelesaiannya agar rasa keadilan masyarakat dapat tercapai. Pendekatan sosiologis lebih dikedepankan dengan memperhatikan aspek kemanfaatan.

EVALUASI KEBIJAKAN

Pendekatan yang harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut pada angka 2, 3, dan 4 di atas perlu dilakukan evaluasi kebijakan.

Evaluasi suatu kebijakan secara umum terjadi di semua tahapan masalah kebijakan. Mulai dari informasi kebijakan sampai dengan selesainya pelaksanaan kebijakan.

Evaluasi kebijakan bermaksud untuk mengetahui empat aspek, yaitu (a) aspek pembuatan kebijakan, (b) proses implementasi kebijakan, (c) konsenkuensi kebijakan, dan (d) efektifitas dampak kebijakan.

Secara keseluruhan, evaluasi kebijakan memiliki empat fungsi berikut:

  1. Eksplanasi

Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan berbagai dimensi realitas yang diamatinya.

  1. Kepatuhan

Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lain, sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.  Contonya, apakah limbah yang dikeluarkan oleh industri di sepanjang Sungai Bengawan Solo tidak melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh peraturan tentang lingkungan hidup.

  1. Auditing

Melalui evaluasi dapat diketahui apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran maupun penerima lain (individu, keluarga, organisasi, birokrasi desa, dan lain-lain) yang dimaksudkan oleh pembuat kebijakan.  Tindak adakah peyimpangan dan kebocoran?

  1. Akunting

Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial-ekonomi dari kebijakan tersebut.  Misalnya, seberapa jauh program bantuan pembangunan kebupaten mampu menaikkan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan warga masyarakat di pedesaan? Apa dampak yang ditimbulkan oleh program pengentasan kemiskinan di suatu desa?

Berdasarkan pada uraian evaluasi tentang kebijakan tersebut maka perlu adanya langkah penyempurnaan kebijakan guna perbaikan-perbaikan dalam pelayanan publik, selain hal tersebut juga perlu strategi implementasi kebijakan yang adaptif sehingga memungkinkan partisipasi yang optimal bagi semua pihak (stakeholder), karena menyangkut proses penyesuaian kebijakan yang sudah ditetapkan dengan kondisi dan situasi di lapangan. Mengingat Undang-undang Cipta Kerja baru berlaku belum dua tahun dan peraturan pelaksanaannya baru diterbitkan maka proses evaluasi lebih pada aspek pembuatan kebijakan. Sedangkan, proses implementasi kebijakan belum dapat dievaluasi, demikian pula aspek konsekuensi kebijakan dan aspek efektivitas dampak kebijakan.

PENUTUP

Lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja beserta peraturan pelaksanaannya ditinjau dari aspek perancangan perundang-undangan yang menyangkut 3 (tiga) hal pokok tersebut di atas yaitu dicabutnya ketentuan kawasan hutan minimal 30%, pengawasan Kehutanan, mendesak untuk dilakukan evaluasi sehingga tidak terjadi rantai yang terputus dalam pengelolaan hutan lestari, sedangkan penyelesaian keterlanjuran melalui pendekatan ultimum remedium merupakan langkah yang tepat namun perlu sikap hati-hati sehingga tidak melanggar rasa keadilan di masyarakat serta tercapainya kepastian hukum dan kepastian berusaha.  Pada akhirnya perlu kami sampaikan bahwa hukum adalah rasional maka perlu dikembangkan secara sistematis dan memenuhi masyarakat serta dapat diimplementasikan, para pembentuk Undang-Undang hendaknya di dalam membuat proses kebijakan tidak meninggalkan sejarah hukum sebagai sumber hukum.

Dalam hukum dikenal adagium yang menyangkut hukum sebagai sistem, yaitu bahwa:

  1. Apabila dalam suatu kebijakan yang tertuang dalam perundang-undangan, di mana materi muatannya kurang baik namun dilaksanakan oleh struktur sistem hukum yang baik maka kebijakan tersebut dapat diselamatkan.
  2. Sebaliknya, suatu kebijakan yang substansi hukumnya baik namun dilaksanakan oleh struktur sistem hukum yang kurang baik maka kebijakan tersebut tidak bisa optimal.
  3. Yang terbaik adalah substansi sistem hukumnya baik dan struktur sistem hukumnya baik maka kebijakan tersebut akan berhasil dan optimal.

Semoga kondisi dan suasana kebatinan kita adalah pilihan yang terbaik, yaitu substansi sistem hukumnya baik dan struktur sistem hukumnya baik sehingga kebijakan kehutanan lestari akan terwujud. Semoga…..