MODEL SWALAYAN HUTAN DALAM SKALA KECIL TATANAN BARU BISNIS KEHUTANAN UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT

Oleh: Dr. Ir. Endang Hernawan, M.T, M.Si, IPM

Lektor Kepala pada Program Studi Rekayasa Kehutanan-SITH Institut Teknologi Bandung (endang@sith.itb.ac.id)

PENDAHULUAN

Sebentar lagi para rimbawan sedunia akan menyelenggarakan Kongres Kehutanan Dunia Ke – 15 (World Forestry Congress XV ) di Ceox – Seoul Korea Selatan pada tanggal 24 – 28 Mei 2021. Tema yang diusung adalah “Building a Green, Healthy and Resilient Future With Forests”, dengan lima sub tema yaitu  (1) Turning the Tide: Reversing Deforestation and Forest Degradation, (2) Nature – Based Solutions for Climate – Change Adaptation and Mitigation and Biodiversity Conservation, (3) The Green Pathway to Growth and Sustainability, (4) Forest and Huma Health: Revisting the Connection, (5) Managing and Communication Forest Information and Knowledge, dan (6) Firest Without Boundaries: Enhanching Management and Cooperation. Tema yang sangat luas ini mencerminkan tuntutan terhadap peran hutan dan kehutanan yang semakin meluas dan mengglobal yang tidak hanya untuk manfaat ganda dari hutan (multiple use principle) pada Kongres Kehutanan ke V di Seattle – Amerika Serikat atau Forest for People pada Kongres Kehutanan VIII di Jakarta – Indonesia.

Tuntutan ini sejalan dengan munculnya “kekuatan”  yang menyebabkan perubahan – perubahan dunia saat ini dan ke depan. Dalam Bukunya “The World In 2050 Four Forces Shaping Civilization’s Northeren Future”, Laurence C. Smith (2011) menyatakan bahwa ada empat kekuatan global dan satu teknologi yang akan mengubah dunia pada tahun 2050.  Kekuatan global pertama adalah demografi, secara esensial naik, turun, dan pergerakan dari populasi manusia. Pada dua belas ribu tahun yang lalu masyarakat manusia sebagai pemburu dan peramu dimana manusia hidup dalam mobiitas kelompok yang kecil, bumi hanya di huni oleh satu juta orang. Kemudian setelah masyarakat manusia menetap dan berbudiaya pertanian pertumbuhan masyarakat manusia meningkat, dan secara signifikan meningkat tajam setelah terjadi revolusi industri dimana laju pertumbuhan penduduk dunia meningkat secara eksponensial. Laporan yang disusun oleh Departemen Populasi Divisi Urusan Sosial dan Ekonomi PBB pada Rabu, 21 Juni 2017, memperkirakan bahwa populasi dunia saat in mencapai hampir 7,6 miliar dan akan meningkat menjadi 8,6 miliar pada tahun 2030 sebesar 9,8 miliar pada tahun 2050 dan 11,2 miliar pada tahun 2100.

Kekuatan global kedua terkait dengan kekuatan global pertama yakni kekuatan permintaan akan sumber daya alam (natural resources), jasa alam (natural services) dan gene pool dari planet kita. Sumber daya alam berupa asset sumber daya alam terbatas seperti hydrocarbon, mineral, fossil, groundwater; dan  asset sumberdaya yang dapat pulih seperti photosintesis, penyerapan karbon dioksida oleh laut dan hutan, dan lebah pekerja untuk polinasi tanaman.  Gene pool mencakup keanekaragaman genetik, species, maupun ekosistem dari semua kehidupan organisme yang ada di permukaan bumi. Kekuatan global ketiga adalah globalisasi.  Globalisasi diartikan sebagai serangkaian proses ekonomi, sosial, dan teknologi yang membuat dunia lebih terhubungkan dan saling tergantung. Pada saat sekarang ini kita merasakan keadaan globalisasi bagaimana masalah covid yang semula hanya penyakit endemik di Wuhan China sekarang telah mengglobal menjadi pandemi di seluruh dunia, dan tidak ada satu negara pun yang tidak terdampak. Yang berbeda hanya tingkat skala keparahannya. Dan kekuatan global keempat adalah perubahan iklim. Secara sederhana bahwa aktivitas industri dari manusia telah mengubah komposisi kimia dari atmosfir yang secara keseluruhan menyebabkan meningkatnya temperatur, dan dunia menjadi lebih panas. Hal ini secara akumulatif menyebabakan perubahan iklim dunia.

Barangkali tema Kongres Kehutanan Duni ke XV ini ingin menjawab semua ini melalui atau bersama hutan. Bisakah kehutanan memenuhinya dan bagaimana caranya? Inilah tantangan bagi Rimbawan sekarang dan ke depan. Menurut Bettinger et.al (2009) dalam bukunya “Forest Managemet and Planning”, bahwa setidaknya ada delapan tantangan yang dihadapi manager hutan dewasa ini dan ke depan yakni (1) Tantangan  Ekonomi: tugas seorang manager hutan dalam usaha kehutanannya membuat profit, break even point, operasi dengan badget tertentu, menghasilkan income, atau usaha kehutanan memiliki persaingan tingkat pengembalian dengan investasi lain; (2) Tantangan  Lingkungan: manager hutan harus tetap berkomitmen dengan pemeliharaan  dan pembangunan habitat hidupan liar, kualitas air, kualitas tanah, kualitas udara, keanekaragaman hayati dan habitat ikan; (3) Tantangan Hukum dan Peraturan: manager hutan dalam menjalankan usahanya harus “comply” terhadap hukum dan peraturan yang tidak hanya masalah ketenaga-kerjaan, hak azasi manusia, tetapi masalah lingkungan; (4) Tantangan Sosial: terkait dengan dampak operasi manajemen hutan terhadap penduduk sekitar; (5) Tantangan Kepemilikan Lahan: kepemilikan lahan publik (negara) dan lahan milik akan mempengaruhi dalam memastikan manajemen lestari, mempengaruhi aksi manajemen; (6) Tantangan 6 teknologi: mempengaruhi proses perencanaan; (7) Tantangan 7 sistem silvikultur atau metode pemanenan: mempengaruhi cara pembangunan dan produksi hasil hutan; dan (8) Tantangan 8 Periode Waktu Produksi Yang Lama: mempengaruhi outcomes dan potensi resiko terhadap lingkungan dan manusia. Kedelapan tantangan akan mempengaruhi perencanaan hutan dalam menghadapi permasalahan yang tidak menentu ke depan, yang harus memperbanyak rencana aksi terkait cakupan areal yang luas dan periode waktu yang lama.

Berdasarkan perubahan tantangan yang dihadapi para Rimbawan sekarang dan kedepan tersebut, maka  kita memerlukan Rasionalisasi Pengelolaan Hutan Baru. Salah satu bentuk rasionalisasi pengelolaan hutan baru adalah merancang hutan sebagai penyedia berbagai barang dan jasa hutan atau sebagai swalayan hutan yakni kayu, hasil hutan bukan kayu, dan jasa ekosistem hutan lainnya.

MENGAPA HARUS MENJADI SWALAYAN HUTAN?

Indonesia mewarisi kebijakan pengelolaan hutan dari Pemerintah Hindia Belanda pada zaman Gubernur Jenderal Daendels yang memberlakukan bahwa hutan adalah “domain” negara, hutan harus dikuasasi negara, yang diawali dengan mengakuisi hutan yang dikuasai perusahan swasta VOC.  Meskipun kewenangan “menguasasi” bukan berarti memiliki, namun peran negara sangat dominan dalam menentukan arah perkembangan hutan dan kehutanan di Indonesia melalui rangkaian kebijakan. Namun kebijakan yang dibangun negara bukan berarti tidak menimbulkan paradoksi yang pada akhirnya memberikan feedback yang terus menekan sumberdaya hutan secara iterasi. Menurut Kartodihardjo (1999), setidaknya ada lima paradoksi kebijakan kehutanan sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, yakni (1) prakondisi versus tidak dipenuhinya asumsi dalam teori ekonomi, (2) hutan sebagai modal alam (natural capital) tidak dihargai versus keberadaan hutan diukur dari keberhasilan usaha hasil hutan, (3) modal sosial (sosial capital) tidak dihargai versus modal buatan (men-made capital) mendominasi, (4) kapabilitas organisasi usaha versus kebijakan pengusahaan yang buruk dan (5) kebijakan pelestarian hutan versus kepentingan riil. Apa dampak yang terjadi diantaranya adalah tidak terjaminnya kepastian usaha, terjadi over exploited, pergeseran sosial-capital masyarakat lokal digeser oleh men-made capital orang luar, kinerja pengusahaan hutan yang lemah, dan tidak terpenuhinya pasokan kayu.

Apakah dengan terbitnya UU No. 41 Tahun 1999 telah berhenti paradoksi kehutanan di Indonesia? Ternyata paradoksi kehutanan di Indonesia terus berkembang setidaknya menjadi 8 pradoksi yakni (1)  biodiversitas versus monokultur, (2) hutan public good versus hutan diberlakukan barang private;  (3) sejarah panjang pengelolaan hutan versus tidak ada praktek-praktek pengelolaan hutan terbaik, (4) hutan sebagai renewable resources pulih versus hutan sebagai un-renewable resources, (5) regulasi yang lengkap versus rendahnya efektivitas, (6) implementasi PHPL versus kolaps pengusahaan hutan alam, (7) proporsi sumberdaya hutan terbesar versus peranan kehutanan secara ekonomi tidak signifikan, (8) meningkatnya permintaan akan barang dan jasa hutan pada tingkat lokal, regional dan global meningkat versus deforestasi, illegal logging, rendahnya laju reforestasi dan terjadinya korupsi.

Dari perspekti paradoksi yang terus berkembang dalam kebijakan dan praktek riil tersebut, ternyata tidak terlalu signifikan dengan mereformasi UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan menjadi UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Mari kita lihat bagaimana kinerja pengelolaan hutan di Indonesia dewasa ini.

Gambar 1. Kinerja Pengelolaan Hutan Indonesia

Mari kita bandingkan dengan Finlandia dimana luas negaranya 30 juta ha dan luas hutannya hanya 22.2 juta ha dengan hutan produksi seluas 87% atau 19.38 juta ha, dimana seluas 60% atau 13,37 juta ha adalah hutan milik. Sebagaimana yang dilaporkan Alexander er.al (2016), produksi kayunya mencapai 68.035.000 m3 yang terdiri dari logs sebesar 24.873.000 m3, kayu pulp 33.976.000 m3 dan kayu energi 9.186.000 m3. Hal yang menakjubkan meskipun hanya memiliki 4 jenis kayu yang dominan adalah jenis spruce dan pinus yang riap nya rendah, pemilik hutan bersedia menggunakan rotasi tebangnya mencapai 70 – 100 tahun dan tidak tergoda untuk mengkonversi hutan dengan tanaman perkebunan atau lainnya. Sedangkan kebijakan Pemerintah cukup efektif dalam mengendalikan tingkat pemanenan dibawah growing-stock tanpa mengurangi peranan hutan dalam perekonomian negara dan kesejahteraan masyarakatnya. Produktivitas hutan tinggi dengan memberikan pendapatan sebesar USD14,145  per ha bagi pemilik lahan. Produk hutan merupakan salah satu komoditas ekspor di Filnadia dengan total mencapai €11.6 billion  (USD13.125) pada 2015. Industri kehutanan menyumbang 4 persen dari PDB dan 160.000 pekerjaan langsung dan tidak langsung di Finlandia.
Gambar 2. Pengendalian Pemanenan Selalu Berada Di bawah Growing Stock di Filandia

Apa yang salah dari pengelolaan hutan di Indonesia? Dari dari total luas hutan di Indonesia 120 juta dan di Finlandia hanya 22.2 juta ha, hutan produksi Indonesia mencapai 68.8 juta sedangkan di Finlandia hanya 19.38 juta, dan dari aspek properti seluruh kawasan hutan dimiliki negara sedangkan di Finlandia 60% merupakan hutan milik. Alih-alih bagaimana membenahi bentuk pengelolaan yang lebih efektif, seperti tidak percaya diri, sebagian para Rimbawan Indonesia, meng-klaim bahwa Kebun Sawit adalah produk hasil hutan; untuk itu kita perlu memastikannya dengan menelusuri “pathway” ilmu kehutanan.

Jadi apa yang harus kita lakukan dalam menghadapi paradoksi pengelolaan hutan di indonesia ini. Saya berpendapat bahwa sebagai seorang engineer, para Rimbawan harus tetap keyakinannya bahwa “core business” kita adalah hutan yang berbeda dari karakteristik jenis budidaya biologi lainnya. Kedua adalah kita harus memanfaatkan kemampuan keilmuan dan keprofesionalan insinyur melakukan rasionalisisasi pengelolaan hutan baru berbasis karakteristik hutan.

Ada beberapa karakteristik hutan (Chang, 2006) yang harus menjadi acuan dalam pengelolaan hutan, diantaranya adalah:

  1. Hutan pada dasarnya memiliki potensi sebagai sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources), namun dapat menjadi sumberdaya alam tidak dapat pulih (exhaustible). Dari perspektif manajemen sumberdaya hutan berkelanjutan, posisinya berada pada kategori exchaustible dan renewable, seperti tabel berikut:

           Sumber : Lynch, 2009

Dari tabel tersebut, kategori exhaustible digambarkan dalam jumlah S (stock) dari sumberdaya, sedangkan kategori renewable, rate of occureence Q adalah sangat penting. Sedangkan “sterile” mengindikasikan secara bio-kimia tidak aktif, sedangkan “living” mengisyaratkan reproduksi sendiri (Lynch, 2009). Berdasarkan posisi sumberdaya hutan seperti itu, maka apabila hutan digunakan secara wajar, hutan berperilaku sebagai sumberdaya renewable, seperti air dan energy matahari, tidak akan habis (cannot be exhausted). Namun, berbagai macam tipe penggunaan dapat menghancurkan lingkungan hutan asli dan menghabiskan hutan. Dalam kasus ini, hutan dapat punah atau menjadi non renewable resources. Tergantung kita, mau menempatkan hutan posisi exhaustible atau renewable.

  1. Hutan tidak hanya menghasilkan kayu, serat, makanan, bahan bakar, dan bahan obat-obatan, tetapi juga menyediakan lingkungan yang mempengaruhi tanah, hidupan liar, air, dan atmosfir. Oleh karena itu sumberdaya hutan tidak hanya dilihat dari sumberdaya kayu semata. Tanah, air, hidupan liar, ikan, hewan, dan sumberdaya rekreasi semua terkait dengan hutan. Tanpa hutan atau jika hutan digunakan tidak benar, akan menyebabkan sumberdaya akan terdegradasi, rusak dan hancur.
  2. Hutan merupakan “common property” dimana aktivitas di dalam hutan (in-sites) akan berdampak pada areal diluar hutan (off-site). Dengan kata lain, pengaruh aktivitas hutan meluas (site-scale) dari areal yang berdekatan (local-scale), areal yang jauh (regional scale), dan area remote (global-scale), tergantung pada cakupan dan intensitas dari aktvitas, kondisi iklim, dan sirkulasi general dari atmosfir. Di Indonesia, kebakaran hutan besar sejak tahun 1997 sampai sekarang mencakup lebih dari 1 juta ha, menyebabkan asap dan kabut di Singapur, Malaysia, dan Brunei, dan areal skitarnya beberap minggu. Sekitar 220 juta sampai 290 juta tons CO2 telah dilepaskan ke atmosfir, sekitar setengah emisi tahunan di UK.
  3. Sumberdaya adalah konsep yang dibuat manusia dimana nilainya tergantung pada manusia yang membutuhkannya.

Kelima karakteristik hutan tersebut hendaklah menjadi alasan kita melakukan rasionalisasi pengelolaan hutan baru, bukan dari perspektif lain, seperti “keterlanjuran” yang terkesan menyerah pada keadaan.  Dalam mengakomodasi karakteristik tersebut, rasionalisasi pengelolaan baru dapat berbentuk pengembangan multi usaha kehutanan dengan model “swalayan hutan”. Meminjam dari kata asalnya yakni Supermarket atau pasar swalayan yang diartikan sebuah toko yang menjual segala kebutuhan sehari-hari; maka pengelolaan hutan secara swalayan hutan memberlakukan hutan sebagai penyedia berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan oleh manusia untuk berbagai level baik di tingkat lokal, nasional, regional dan global.

KONSEP DAN DAMPAK MODEL SWALAYAN HUTAN UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT 

Analog dengan toko swalayan, maka swalayan hutan dapat dikategorisasi atas dasar luasan, untuk layanan apa yang dimungkinkan dalam pengembangannya. Beberapa multiusaha kehutanan menggunakan model swalayan berbasis skala usaha, adalah sebagai berikut:

  1. Multiusaha Kehutanan skala kecil (0.25 ha s/d 1000 ha): kayu, dan HHBK
  2. Multiusaha Kehutanan skala sedang (1000 ha s/d 5000 ha): kayu, HHBK, jasling simpanan karbon, penyediaan air, wisata alam
  3. Multiusaha Kehutanan skala besar (5000 ha sd 20000 ha): kayu, HHBK, semua jenis jasling
  4. Multiusaha Kehutanan skala sangat besar (20000 ha ke atas): kayu, HHBK, semua jenis jasling.

Dari kategorisasi skala usaha swalayan tesebut, maka dapat meningkatkan peran rakyat dalam pengelolaan hutan. Namun harus diingat bahwa dari berbagai skala usahanya, maka dalam pengembangan multiusaha kehutanan, harus tetap berbasis karakteristik hutan, dan dalam pengusahaan kawasan hutan produksi, “kayu” harus tetap menjadi core business nya. Bila belajar dari keberhasilan pengelolaahan hutan Finlandia berbasis hutan milik skala kecil, maka pengelolaan hutan oleh masyarakat yang tetap berbasis kayu, memberikan opportunities cost yang lebih baik dibanding usaha lain, sehingga pemilik hutan tidak berkeinginan untuk mengganti dengan budidaya tanaman lain.

DUKUNGAN KEBIJAKAN DAN PENGELOLAAN YANG LEBIH BAIK 

Indonesia memiliki sejarah panjang dalam pengelolaan hutan, dimulai dari pengelolaan hutan oleh perusahaan swasta Belanda VOC pada tahun 1609, zaman kolonial Belanda, zaman pra-kemerdekaan, zaman orde lama, zaman orde baru dan sekarang era reformasi. Dengan hutan sebagai “domain negara”, berbagai kebijakan pemerintah terus dilengkapi dan disesuaikan dengan perkembangan zaman (kadang peraturan opersionalnya disesuaikan tiap tahun), namun belum efektif meningkatkan peranan hutan untuk kesejahteraan rakyat dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap peranan hutan untuk kesejahteraannya yang cenderung menurun. Indikasinya dilihat dari semangat masyarakat sekitar hutan untuk mengkonversi hutan untuk menjadi lahan budidaya perkebunan dan pertanian; dan negara seolah tidak berdaya.

Hal ini sangat kontras dengan pengelolaan hutan di Finlandia. Sejarah pengelolaan lebih baru 2 abad yakni tahun 1886.  Undang-undang kehutanan yang tegas dan inovatif di Finlandia, dimulai pada tahun 1886, memiliki pengaruh yang besar pada sumber daya kehutanan negara itu, bekerja berdasarkan prinsip menggunakan “the carrot”, bukan “the stick”, untuk memotivasi orang untuk memenuhi. Konsisten dengan budaya mereka, undang -‐ undang kehutanan Finlandia bekerja berdasarkan filosofi kerjasama, konsensus dan insentif. Meskipun hutannya adalah hutan milik, pemerintah melakukan kegiatan invetarisasi secara serius, memastikan growing stock, dan menetapkan jatah tebangan yang ditaati pemilik hutan, sehingga pengelolaan hutan lestari dapat berjalan. Pemilik hutan rakyat bersedia mengelola hutan dengan rotasi tebang 70 – 100 tahun karena mekanisme insentif oleh negara konsisten dilajankan. Pengelolaan hutan berbasis hutan miliki skala kecil di Finlandia membentuk 60 persen dari basis lahan hutan dan menghasilkan 80 persen kayu yang digunakan oleh industri kehutanan. Pemilik hutan memainkan peran yang sangat aktif dalam memaksimalkan pertumbuhan dan hasil di kebun kayu mereka. Meskipun ada beberapa subsidi dan insentif pemerintah untuk silvikultur, pemilik lahan kayu dengan sukarela membayar sebagian dari biaya persiapan lokasi, penanaman dan penyiangan terkait dengan pembukaan hutan awal. Saling ketergantungan pemilik hutan dan ekonomi dipahami dengan baik di Finlandia di mana terdapat banyak kerjasama antara pemilik woodlot, pemerintah dan industri. Tidak saling menekan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi maupun politik.

PENUTUP

Pengelolaan hutan di Indonesia memiliki sejarah panjang, namun masih memerlukan waktu yang panjang untuk meningkatkan peranan hutan untuk kesejahteraan rakyat. Rasionalisasi pengelolaan hutan di Indonesia mutlak segera dilakukan karena kecenderungan pengelolaan sumberdaya dewasa ini bersifat exhaustible. Pengembangan multiusaha kehutanan dengan model swalayan hutan merupakan alternatif yang dapat digunakan dengan memberikan dukungan pada pengembangan pengusahaan hutan skala kecil serta penerapan mekanisme insentif yang konsisten.

 

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, H, M Hobbs P Eng Rpf, P Burchill Rpf, J Crooker, and J Macdougall Rpf. 2016. “Small Private Forestry in Finland 2016 Learning Tour Summary Report.”

Bettinger, Pete, Kevin Boston, Jacek P. Siry, and Donald L. Grebner. 2009. Forest Management and Planning. Elsevier Inc.

Chang, Mingtech. 2006. Forest Hydrology. An Introduction to Water and Forests. Second Edition. CRC. Taylir and Francis.

Kartodihardjo, Hariadi. 1999. Masalah kebijakan Pengelolaan Hutan Alam produksi. Pustaka latin.

Lynch, Daniel R. 2009. Sustainable Natural Resource Management. Cambridge University Press.

Shackleton, S., C. Shackleton; and P. Shanley. Editor. 2011. Non – Timber Forest Products in the Global Context. Springer.

Smith, L.C. The World in 2050. Four Forces Shaping Civilitation’s Northern Future. A Plume Book.

Wiborn, Peter. 2013. NATURE’S SERVICES A guide for primary school on ecosystem services