PERJALANAN SPIRITUAL DALAM BIDANG KEHUTANAN

Oleh: Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan, M.S.

(Rektor IKOPIN University Bandung)

ANAK GUNUNG

Saya anak gunung, tepatnya anak Gunung Tampomas.  Sebagai anak gunung sudah seyogyanya akrab dengan isi gunung dari sejak masa kanak-kanak. Kami bermain di bukit-bukit Gn. Tampomas mencari burung anis (Geokichla citrina), srigunting (Dicrurus macrocercus), kutilang (Pycnonotus aurigaster), kepodang (Oriolus chinensis) dan masih banyak lagi.  Di sekitar halaman rumah atau di kebun juga, kami biasa mencari kasir/ gangsir (Tarbinskiellus portentosus), jangkrik kalung (Gryllus bimaculatus), undur-undur (Myrmeleon formicarius), dan banyak jenis hewan lainnya.

Burung Anis,  Sumber https://id.wikipedia.org/wiki/Anis_gunung

Burung Srigunting, Sumber https://id.wikipedia.org/wiki/Srigunting_hitam

Burung Kutilang, Sumber: https://hewanbinatang.com/burung/kutilang

Burung Kepodang, Sumber https://bobo.grid.id/read/08677092/mengenal-burung-kepodang-emas-maskot-jawa-tengah

Jangkring kalung, Sumber https://id.wikipedia.org/wiki/Jangkrik

Undur-undur, Sumber https://alamendah.org/2011/02/04/hewan-undur-undur- ternyata-bisa-terbang/

 Gangsir, Sumberg https://id.wikipedia.org/wiki/Gangsir

Gangsir merupakan hewan golongan serangga istimewa, ia menggali lubang ke dalam tanah cukup dalam.  Kalau malam hari ia ke luar dan berbunyi keras.  Kami biasa menangkapnya dengan cara memasukkan air ke dalam lubang tempat tinggalnya.  Nanti gangsir keluar. Hasil tangkapan gangsir kami satai rame-rame bersama kawan-kawan.  Rasanya enak dan kandungan proteinnya tinggi.  Tidak heran kata Prof. F.G. Winarno bahwa yang menjelaskan mengapa Presiden Soeharto pintar, karena semasa kanak-kanaknya biasamengonsumsi serangga (lihat buku F.G. Winarno, Serangga Layak Santap, 2019).  Kalau jangkrik kalung menjadi favorit kami untuk adu jangkrik rame-rame.  Kegiatan di atas hampir dikerjakan setiap hari pada saat kami masih berada di sekolah dasar (sekolah rakyat). Kegiatan tersebut berlangsung sekitar 60 tahun yang lalu.

Sekarang kalau saya naik ke Gn. Tampomas bagian selatan, hanya tertinggal sisa-sisa muka bumi bekas penggalian pasir gunung berupa lubang-lubang yang luas dan dalam.  Dalam kawasan ini sudah dapat dipastikan kita akan sulit bertemu dengan hewan-hewan yang pernah menjadi teman sepermainan dulu.  Burung srigunting sudah tidak bisa kita temukan lagi. Burung anis juga demikian.  Kalau burung kutilang masih bisa kita jumpai tetapi tidak semudah 60 tahun yang lalu.  Demikian pun halnya dengan gangsir, jangkrik kalung sudah sulit ditemukan. Kalau undur-undur asal ada tempat teduh yang tanahnya kering seperti di dalam saung (semacam gubuk kecil untuk istirahat di kebun), masih mudah ditemukan.

Saya menyukai wayang golek. Di depan rumah, yang hanya dipisah oleh jalan raya Daendels hadir dalang wayang golek terkenal pada masanya, Apih Madhuri. Apih Madhuri juga melahirkan putranya menjadi dalang wayang golek ternama, mama Sudia. Mama Sudia juga melahirkan dalang wayang golek ternama satu generasi dengan saya, mama Uar.

Gunungan Wayang Golek

Apih Madhuri dan mama Sudia membuka sekolah mendalang dan menjadi sinden wayang golek juga.  Jadi, suasana di seberang rumah kami cukup ramai dengan suara gamelan, nyanyian merdu para sinden dan latihan para calon dalang wayang golek murid-murid Apih Madhuri dan mama Sudia.  Mungkin hampir setiap ada kesempatan saya menonton latihan para calon dalang dan calon pesinden tersebut.  Pada pertemuan terakhir dengan mama Uar saya sempat bertanya: Apa yang membuat sekarang jarang ada hiburan wayang golek di kampung-kampung? Jawaban mama Uar sangat mengejutkan saya: Tidak banyak lagi pekarangan/ halaman rumah yang cukup untuk menyelenggarakan pertunjukan wayang golek.  Rupanya ini menjadi bagian dampak negatif dari “bonus demografi” yang meningkatkan rasio populasi/unit lahan sehingga untuk pagelaran budaMungkin kedua hal tersebut telah membangun jiwa saya ingin menjadi sarjana kehutanan.ya semacam wayang golek ketersediaan lahan menjadi kurang tersedia.

Lurah Semar Kudapawana

Saya sampai sekarang tidak mengerti mengapa favorit saya dalam wayang ini adalah Gunungan dan Semar. Gunungan ditancapkan di sebelah luar dari posisi dalang duduk bersila. Di sebelah dalam Gunungan tersebut ditancapkan Semar.  Saya kagum dengan isi gunungan yang kelihatannya menggambarkan alam semesta.  Ada macam-macam hewan, ada sosok gendruwo, raksasa dan lain-lain.  Kemudian, alam semesta itu akan bergejolak ketika suatu lakon dimulai.  Di belakang gunungan tersebut tertancap wayang Semar.  Waktu saya menonton wayang, tergambarlah dalam imaginasi saya bahwa Semar Kudapawana, sosok yang sangat sederhana, lugu, yang selalu ditemani oleh tiga punakawannya: Cepot, Dawala, Gareng, merupakan sosok sakti mandraguna, menjaga alam semesta ini.  Jadilah Semar, bukan wayang lainnya, yang menjadi wayang favorit saya.  Gunung Tampomas menjadi tempat kehidupan riil saya hingga menamatkan sekolah SMA dan Gunungan Wayang Golek Apih Madhuri menjadi tempat kehidupan imaginasi saya.  Mungkin kedua hal tersebut telah membangun jiwa saya ingin menjadi sarjana kehutanan.

MASUK FAKULTAS KEHUTANAN IPB

Pada tahun 1974, pada saat terjadinya peristiwa Malari (Lima Belas Januari) terjadi di Jakarta, kami melaksakan test masuk SKALU (Sekretariat Kerjasama Lima Universitas: UI, IPB, ITB, UGM, dan UNAIR) dengan pilihan Fakultas Kehutanan IPB. Alhamdulillah, saya lulus.

Angkatan IPB tahun 1974 merupakan angkatan ke-3 Program Sarjana 4 tahun.  IPB merupakan pionirakan kelahiran program ini. Jadi, kuliah di IPB hanya membutuhkan waktu 4 tahun.  Kalaupun tinggal kelas/tidak naik tingkat masih diberi kesempatan untuk mengambil masa kuliah selama-lamanya 6 tahun dengan tanpa ada masa tinggal kelas berturut-turut dua kali.

Masuk ke Kampus IPB Baranangsiang sebagai mahasiswa baru yang datang dari sebuah desa di Kabupanen Sumedang pada tahun 1974, tentunya menghidupkan rasa bangga, haru dan sekaligus ketar-ketir juga.  Lulus ujian SKALU pada masa itu merupakan idaman para siswa SMA di Indonesia, termasuk saya sendiri. Ketika itu saya masuk ke kelas Kelompok III, dengan ruang kuliah utama di Ruang Fisika, Kampus Baranangsiang. Selama 3 semester pertama kami dikelompokkan ke dalam Kelompok Persiapan Bersama (KPB), diberikan mata kuliah yang sama.

Kampun IPB Baranangsiang, peletakan batu
pertama oleh Presiden Soekarno, 27 April 1952.

Rupanya kuliah di bidang pertanian tidak seperti yang saya bayangkan sewaktu di SMA. dalam tiga semester pertama, mahasiswa diberikan pelajaran ilmu-ilmu dasar seperti matematika modern, kalkulus, aljabar matrix, kimia analitik, kimia organik, biologi dasar, dan statistika.  Untuk mendapatkan nilai B saja dalam kelompok ilmu dasar ini rasanya sulit sekali.  Ada beberapa teman sampai stress menghadapi pelajaran ini.

Prof. Dr. Ir. A.M. Satari menjabat Rektor IPB pada saat kami diterima. Pak Satari merupakan rektor kebanggaan kami.  Orangnya sederhana, lembut tapi tegas dan pemberani.  Beliau sebagai pemberani dibuktikan ketika Kampus IPB diduduki tentara pada tahun 1978 karena mahasiswa mendemo Pemerintahan Orde Baru, Pak Satari dengan lantang membela mahasiswa.  Pak Satari menjadi kebanggaan kami karena Pak Satari juga alumnus Fakultas Kehutanan IPB semasa masih bergabung dengan Universitas Indonesia.  Beliau juga ternyata Alumnus Michigan State University (MSU), mendapatkan Ph.D dalam bidang soil science, universitas tempat saya mengambil Ph.D dalam bidang Agricultural Economics.  Tentunya, waktu beliau lulus dari MSU jauh lebih dahulu dari saya.

Prof. Dr. Ir. A.M. Satari (depan) foto saat ultah beliau ke 80 tahun.

Tujuan utama saya masuk Fakultas Kehutanan IPB pada waktu itu adalah memimpikan untuk menjadi “orang kaya” dengan bekerja di HPH di luar Pulau Jawa.  Pada waktu itu di Indonesia sedang booming eksploitasi hutan dan hutan dijuluki sebagai sumber emas hijau. Artinya, sumber devisa negara yang penting seperti halnya dengan minyak bumi.

Di Fakultas Kehutanan saya mengambil jurusan Manajemen Hutan. Saya masih ingat bagaimana Prof. Dr. Ir. Ishemat Soerianegara memberikan ilmu ekologi hutan, Prof. Dr. Ir. Zoefri Hamzah mengajarkan ilmu tanah hutan dan silvikultur pohon jati dan tanaman industri, Prof. Dr. Ir. Soetrisno Hadi mengajarkan ilmu penyakit hutan dan Prof. Dr. Ir. Gunarwan Soeratmo mengajarkan Perlindungan Hutan; dan masih banyak tokoh-tokoh ilmuwan kehutanan lainnya menggembleng kami semua dengan luar biasa.

Fakultas Kehutanan IPB

Ketika itu di Fakultas Kehutanan IPB ditawarkan dua program studi yaitu Teknologi Hasil Hutan dan Managemen Hutan. Selanjutnya, di antara ke dua program studi tersebut disediakan pilihan jurusan sains (science) dan teknologi. Saya dan dua orang teman yaitu Moira Moeliono dan Imam Santoso (alm.) memilih jurusan sains. Dalam jurusan sains ini kami diberikan bekal lebih mendalam tentang ilmu penyakit hutan oleh Prof. Dr. Ir. Soetrisno Hadi, dan ilmu hama hutan oleh Prof. Dr. Ir. Gunarwan Soeratmo. Di bawah bimbingan Bapak Endang Husaeni dan Ibu Rachmatsyah Abidin saya menyelesaikan skripsi hasil penelitian dalam bidang Entomologi Hutan: Perbedaan Pengaruh Kualitas Makanan Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Hypsipyla robusta. Hama Hypsipyla robusta merupakan hama yang menjadi musuh utama pohon atau tegakan mahoni. Pohon mahoni yang bercabang sejak pangkalnya merupakan pertanda pada waktu kecilnya diserang oleh Hypsipyla robusta.

Hypsipyla robusta: Larva, imago dan efek serangan terhadap tanaman mahoni pada khususnya
Sumber: Y. Nuraeni dan H.S. Nuroniah (2019).

Bekal ilmu entomologi hutan ini tidak saya sadari akan menjadi bekal utama saya menjalani hidup sejak 2010-sekarang.  Jadi, setelah mengendap selama 32 tahun ternyata saya kembali mendalami insekta yang penting untuk negara-negara tropis yang dicirikan oleh: panas, lembab, tersedia matahari setiap hari. Akhirnya, setelah bergaul dengan macam-macam jenis lalat, sejak 2012 saya jatuh cinta kepada Hermetiaillucens atau dikenal dengan nama populer Black Soldier Fly. Dengan BSF ini saya memperoleh penghargaan Wana Bhakti Utama dari Dekan Fahutan dan Alumni Fahutan IPB, 2016 serta SCTV Innovation Award (Finalist).  Hal ini saya pandang sebagai perjalanan spiritual pertama yang tidak pernah saya duga sebelumnya—kembali ke dunia entomologi.

Tradisi Praktik Umum kurang-lebih selama dua bulan di wilayah hutan jati dan hutan rimba di Perum Perhutani merupakan bekal penting bagi para mahasiswa Fakultas Kehutanan.  Kami melaksanakan Praktik Umum pada tahun 1976.  Kami merasakan banyak manfaat yang diperoleh dari kegiatan Praktik Umum ini. Kebetulan pada saat Praktik Umum ini saya diangkat teman-teman menjadi Ketua Rombongan Praktik Umum Jawa Timur dan Roland Alexander Barkey sebagai wakil ketuanya.  Kami melaksanakan Praktik Umum berpindah-pindah mulai dari KPH Parengan, KPH Tuban, KPH Ponorogo dan terakhir di KPH Saradan.  Setiap akhir pekan kami, sekitar 25 orang berkumpul dan mengadakan diskusi dengan mengambil tema berbagai isu mulai dari isu materi praktik, bimbingan dari Fakultas hingga isu-isu politik kemahasiswaan.  Mungkin peristiwa demonstrasi mahasiswa pada awal 1978, pada saat itu kami sebagai mahasiswa tingkat akhir, ada kaitannya juga dengan diskusidiskusi yang diselenggarakan selama Praktik Umum tersebut.  Tapi ada satu hal yang telah mengubah tujuan saya masuk Fakultas Kehutanan IPB ini, yaitu saya menjadi lebih tertarik kepada isu-isu sosial ekonomi di dalam dan di sekitar kawasan hutan.  Karena itu, setelah saya lulus dari Fahutan IPB, walaupun thesis saya merupakan studi dalam bidang entomologi hutan, dan saya tidak memiliki bekal ilmu ekonomi, kecuali satu semester Pengantar Ekonomi pada saat Tingkat I, bersama Erwidodo, saya melamar pekerjaan ke Pak Sjarifuddin Baharsjah selaku Kapus Agroekonomi (beliau nantinya menjadi Menteri Pertanian).  Kami diterima dengan satu persyaratan yaitu melanjutkan studi sampai S3 dengan mengambil bidang studi ekonomi.  Jadi, saya bekerja di Pusat Penelitian Agro-ekonomi, berada di bawah naungnn Badan Litbang Pertanian.  Selama 1978-2005, saya tidak pernah berpikir bahwa suatu hari nanti akan kembali menekuni pekerjaan berkaitan dengan kehutanan secara langsung.  Rupanya, Tuhan YME mentakdirkan saya diangkat menjabat Deputi Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan pada tahun 2005, 27 tahun setelah lulus dari Fakultas Kehutanan IPB. Hal ini saya pandang sebagai perjalanan spiritual saya yang kedua di bidang kehutanan – Kembali ke dunia birokrasi yang berkaitan dengan kehutanan yang tak pernah terpikirkan.

BEKERJA SEBAGAI DEPUTI MENTERI  BUMN

Setelah menjalani takdir perjalanan karir di Bappenas sekitar 5 tahun, kemudian sebentar mampir di Kementerian Riset dan Teknologi membantu Pak Rahardi Remelan dan Pak Zuhal, selanjutnya diangkat menjabat Direktur Jenderal Perkebunan pada 1998 dan mengundurkan diri dari Dirjen Perkebunan pada 2002, saya tidak pernah berpikir akan diangkat menjabat Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan.

Kantor Pusat Kementerian BUMN

Pekerjaan besar pertama sebagai Deputi Menteri BUMN di Bidang Kehutanan adalah menyelesaikan Laporan Tahunan untuk tahun buku 2000, 2001, 2002, 2003, dan 2004 yang hanya mendapatkan status “No Opinion” dari Auditor yang telah mengauditnya. Terus terang saya sering bertanya mengapa hal tersebut terjadi. Informasi yang saya dapat adalah hal tersebut terjadi akibat dari terjadinya ketidak-sepahaman antara Kementerian Teknis dalam hal ini adalah Kementerian Kehutanan dan Kementerian BUMN.

Tapi memang itulah fakta yang pernah terjadi.  Sebagai Deputi Menteri BUMN yang berlatar belakang kehutanan tentunya menaruh perhatian khusus terhadap kehutanan itu sendiri, khususnya ke permasalahan yang terdapat di sekitar Perum Perhutani. Suatu hari, saya mendapatkan daftar rencana penghapusan aset.  Di dalam daftar tersebut ada rencana penghapusan aset perumahan.  Saya teliti daftar tersebut dan saya menemukan rumah Asper Pumpungan, KPH Parengan, merupakan salah satu rumah dinas yang akan dihapus. Rumah tersebut adalah rumah tempat saya menginap ketika melaksanakan praktek umum dulu pada tahun 1976. Kebetulan saya mewarisi rumah dari kayu jati yang sudah berumur lebih dari 100 tahun. Jadi, saya penasaran mengapa rumah Asper Pumpungan harus dihapus dari aset padahal seingat saya dulu rumahnya bagus, terbuat dari kayu jati. Saking penasarannya maka saya berkunjung napak tilas ke rumah Asper Pumpungan di mana saya pernah tinggal di rumah tersebut. Ternyata rumah tersebut memang sudah tidak ada. Di dekat rumah tersebut dulu ada TPK (Tempat Penimbunan Kayu) jati.  Pada saat saya berkunjung napak tilas sekitar tahun 2006, TPK tersebut juga sudah tidak ada.

Tempat Penimbunan Kayu (TPK)

Tegakan jati

Kondisi aset hutan jati Perum Perhutani seperti tergambar dalam masa daur pohon jati yang sudah menurun dari 60 tahun menjadi 30 tahun, misalnya, mengingatkan saya terhadap tantangan kakek saya.  Tantangan dimaksud disampaikan beliau pada perjalanan pulang setelah wisuda saya sebagai  Sarjana Kehutanan.  Beliau menyampaikan bahwa kalau zaman saya memanen pohon jati dilakukan setelah ditanam 60 tahun, itu wajar karena pohon jatinya ditanam pada zaman saya.  Tantangan pada zaman kamu adalah bagaimana kalau kita menanam pohon jati sekarang, besok kita sudah bisa memanennya. Tantangan kakek saya itu mengiang-ngiang terus dalam kuping saya pada tahun 2005 atau 27 tahun setelah lulus Fakultas Kehutanan IPB.  Tantangan ini saya beri nama perjalanan spiritual saya yang ketiga terkait bidang kehutanan.

Mengapa disebut perjalanan spiritual?  Karena memang seperti saya sudah katakan bahwa menjadi Deputi Menteri BUMN ini adalah kejadian yang tidak saya cari, tetapi merupakan bagian yang saya terima dari “atas”.  Dalam menjalani takdir ini saya diingatkan oleh pernyataan sangat penting dari kakek saya. Saya tahu beliau hanyalah berimaginasi tetapi imaginasi beliau tersebut membuka pikiran saya yang juga tidak saya dapatkan ketika belajar di Fahutan dulu.

Tegakan jati setelah diteres, tampak usianya sekitar 30 tahun

Imaginasi kakek saya melahirkan gagasan bagaimanan memanen tegakan jati, misalnya tanpa harus menebangnya. Jadi, sekarang yang dipanen adalah riapnya. Kita transformasikanriap per pohon atau per hektar tegakan ini ke dalam bentuk uang melalui pembuatan surat berharga pohon jati. Inilah konsep stock secara riil dari tegakan hutan jati. Imaginasi kakek saya membuka gagasan untuk menciptakan bursa pohon atau tegakan jati.  Riap pohon, sejak pohon jati berusia 5 tahun, misalnya, sudah dipindah ke dalam catatan surat berharga pohon jati dengan nilai tertentu. Pohon sebagai stock terus bertumbuh setiap hari secara riil, tidak berfluktuatif seperti stock dalam bentuk saham.  Jadi, dengan adanya transaksi surat berharga pohon jati kita sudah bisa menciptakan nilai parsial stock akhir pohon jati ketika ditebang plus nilai riap pohon jati antar-waktu selama jati itu belum dipanen, misalnya 60 tahun. Model ini sangat kompatibel dengan perkembangan zaman yaitu lahirnya carbon trading sebagaimana banyak dibicarakan sekarang.

Tentu saja saya shock ketika gagasan di atas akan dikembangkan ternyata persyaratan pertama yang harus dibuat, sebelum banyak hal teknis lainnya, yaitu ternyata dalam PSAK atau sistem akuntansi Perum Perhutani ketika itu, pohon atau tegakan jati tidak dicatat sebagai aset. Akibatnya, kalau pohon jati dicuri orang kekayaan Perum Perhutani tidak berkurang.  Kalau kayu hasil curian tersebut ditemukan dan diambil kemudian disimpan di TPK, maka ia menjadi persediaan dan kemudian menjadi aset. Sistem akuntasi tersebut yang telah berlangsung puluhan tahun tentunya telah merugikan Perhutani mengingat luas areal yang dipangkunya sekitar 2 juta hektare – menyangkut kekayaan perusahaan yang sangat besar.  Kelemahan dalam pendidikan kehutanan kita, aspek akuntasi ini jarang atau belum intensif mendapatkan perhatian.

Balance of Payments: Total Net Current Account untuk Indonesia
Sumber: https://fred.stlouisfed.org/series/IDNBCABP6USD

GAGASAN HUTAN TABUNGAN NEGARA

Hutang Luar Negri (HLN) Indonesia pada 2020 sudah mencapai lebih dari US$ 417 milyar.  Dengan perkiraan bunga kurang-lebih 3 % per tahun, maka dengan menggunakan formula sederhana compounding interest rate dengan tingkat bunga tersebut HLN Indonesia akan mencapai sekitar US$ 840 milyar pada tahun 2045.  Perhitungan ini tentunya perhitungan kasar yang hanya ditujukan sebagai pemantik perhatian kita semua akan tantangan NKRI dalam menghadapi HLN ini.

Pertimbangan utama bahwa semua warga negara harus ikut berpartisipasi dalam mendalami aspek hutang luar negeri ini adalah HLN berkaitan langsung dengan kedaulatan Negara.
Kedaulatan suatu negara akan hilang oleh hanya dua hal saja yaitu ketika tidak mampu membayar HLN sebagaimana terjadi pada tahun 1998 dan ketika suatu negara kalah perang.
Kejadian pada 1998 ini bukan akibat Pemerintah tidak bisa membayar HLN tetapi akibat dari perusahaan besar swasta Indonesia yang tidak mampu mebayar hutang luar negerinya.
Jadi, tingkat bahaya HLN adalah setara dengan tingkat bahaya perang dengan negara lain, apabila kita tidak mempersiapkan pembayarannya dengan hati-hati dan serius.  Pengalaman tahun 1998 tidak boleh pernah terjadi lagi.

Setelah 25 tahun sejak 1998 Indonesia lalui apakah telah tampak kekuatan ekonomi internasional Indonesia sebagai sumber pendapatan negara?

Kalau data yang kita gunakan adalah data Balance of Payments Indonesia, khususnya total net current account (TNCA) sebagaimana disampaikan pada Gambar di atas, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa defisit Indonesia dalam perdagangan internasional meningkat sangat tajam yaitu dari sekitar – (minus) US$ 16 milyar pada tahun 2017 menjadi mendekati – (minus) US$ 40 milyar pada tahun 2024.  Artinya, peningkatan nilai defisit ini mencapai US$24 milyar selama 7 tahun perjalanan.  Kebocoran Indonesia pada TNCA pada intinya bersumber dari kebocoran dalam perdagangan jasa, khususnya jasa keuangan seperti membayar bunga dan pokok HLN, dividen dan lain-lain.

Pengalaman yang terjadi pada 1998, tentunya demi kedaulatan Indonesia, mewajibkan Negara sebagai bagian penerapan dari prinsip kehati-hatian, perlu menciptakan sumberdaya cadangan dengan nilai yang kiranya sama atau lebih tinggi dari nilai hutang luar negeri yang harus di bayar pada waktunya.  Di sinilah makna operasional dari Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sumber primer kemakmuran adalah kedaulatan Negara itu sendiri. Hutan dengan cara pandang sebagai Tabungan Negara bisa menjadi penyangga pembayaran HLN. Bahkan, kondisi lingkungan strategis dunia pada saatsekarang telah memposisikan hutan menjadi globally good commodity (GGC) untuk menyelamatkan dunia dari ancaman pemanasan global.

Tentu saja membentuk Hutan Jati Tabungan Negara bukan hal yang mudah dan sederhana. Akan tetapi apabila kita hitung-hitung potensi yang bisa dibangkitkannya, kerja keras untuk menciptakannya akan terbayar. Perlu kita ingat tidak ada yang lebih mahal bagi suatu negara yang lebih tinggi daripada nilai intrinsik kedaulatan, apalagi bagi Indonesia yang mendapatkan kemerdekaan dengan merebutnya dari penjajah.

Suatu hari saya mencoba membuat oretan berikut. Terima kasih saya ucapkan kepada Pak Haryono Kusumo, yang paham betul dengan situasi Perum Perhutani, yang telah membantu saya dalam mebuat oretan kasar berikut. Hal ini saya namakan perjalanan spiritual saya yang keempat terkait bidang kehutanan.

Estimasi kasar untuk membangun Hutan Jati Tabungan Negara sebagai cadangan membayar HLN 2045 sebagai berikut:

Perkiraan Nilai Hutan Jati Tabungan Negara

Perkiraan volume pohon jati pada usia 25 tahun:

  1. Jarak tanam awal 3mx3m dengan tanaman pengisi 20 %; jumlah pohon awal 880 pohon.
  2. Jumlah pohon jati setelah penjarangan = 220 pohon dengan diameter 50 cm dan bebas cabang sekitar 17 meter (tinggi pohon sekitar 31 meter.
  3. Volume per pohon = 1,827 m3
  4. Nilai per pohon (harga akhir 2023) = Rp20.918.000
  5. Nilai kayu rata-rata per m3 = Rp11.449.000
  6. Nilai kayu per hektar = Rp4,602 milyar
  7. Dengan nilai US$ 1.0 = Rp15.425 pada 26 Desember 2023, maka nilai kayu per hektar dengan menggunakan nilai sekarang (26 Desember 2023) = US$ 298.346/ha
  8. Asumsi nilai kayu meningkat 10%/tahun, maka:
    8.1. nilai kayu/ha pada tahun 2045 (22 tahun dari sekarang) menjadi: 8.140 x US$ 298.346/ha = US$ 2.428.536.440/ha
    8.2. nilai kayu/ha pada tahun 2048 (25 tahun dari sekarang) menjadi: 10.835 x US$ 298.346/ha = US$ 3.232.578.910/ha
    8.3. Tampak kisaran nilai kayu jati per hektar dengan asumsi harga kayu meningkat 10 % pertahun berada pada kisaran US$ 2,42 juta/ha sd. US$ 3,2 juta/ha
  9. Nilai Hutang Luar Negeri sebesar US$ 840 milyar (2045) setara dengan 262.500 ha sd. 347.107 hektare
  10. Asumsi untuk faktor pengaman luas luas hutan pada butir 9 digandakan dua kali-lipat menjadi (2×262.500 hektar) – (2x 347.107 ) hektar —> 525.000 hektare s/d 694.214
    hektare.
  11. Luas hutan yang dikuasakan kepada Perum Perhutani sekitar 2 juta hektare, karena itu feasible untuk mengalokasikan sekitar 521 ribu hektare atau lebih luas lagi dijadikan Hutan Jati Tabungan Negara.
  12. Selain permasalahan Hutang Luar Negeri diantisipasi melalui pemupukan tabungan melalui Hutan Jati Tabungan Negara, masalah lainnya akan teratasi secara simultan:
    12.1. Terbentuknya iklim mikro yang lebih baik
    12.2. Melahirkan kesempatan kerja dan pendapatan dari green economy seperti penjualan jasa hutan menyerap gas-gas rumah kaca
    12.3. Mengatasi erosi tanah akibat hujan, angin atau faktor lain
    12.4. Memperbaiki sistem hidroorologis Daerah Aliran Sungai sekaligus melindungi atau memperbaiki infrastruktur penting seperti bendung, waduk, irigasi, jalan, dan tempat
    permukiman dari bahaya banjir dan bahaya akibat kerusakan lingkungan lainnya
    12.5. Membangun kembali keindahan alam sebagai sumber kehidupan baru termasuk outdoor recreations.

Perhitungan di atas belum memasukan potensi perdagangan karbon dari sekitar 521 ribu hektar yang dijadikan Hutan Jati Tabungan Negara. Dengan memasukan potensi ini maka nilai ekonomi Hutan Tabungan Negara akan menjadi lebih tinggi lagi. Tambahan lain, dengan membangun Hutan Jati Tabungan Negara maka sekaligus juga kita memperbaiki ekosistem pulau Jawa yang sudah sangat padat dan memerlukan tambahan hutan relatif terhadap hutan yang masih ada sekarang.  Dengan cara pandang di atas, maka sumberdaya hutan sekarang secara eksplisit menunjukkan dirinya sebagai bagian bumi dan air yang menguasai hajat hidup orang banyak, termasuk menjaga NKRI agar tidak mengalami kehilangan kedaulatan yang kedua akibat tidak bisa membayar Hutang Luar Negeri.

PENUTUP : GUNUNGAN DAN SEMAR

Gunungan dan Semar mungkin sudah banyak dilupakan oleh generasi sekarang.  Demikian juga gangsir/kasir atau jangkrik. Kita sering tidak menyadari bahwa kita hidup di wilayah beriklim tropika di mana sampai sekarang belum ada satu negara di kawasan tropika yang bisa menjadi negara maju (Singapura kita keluarkan). Mungkin kalau kita tetap ingat akan Gunungan (simbol ekosistem) dan Semar (simbol keluhuran budaya) kita akan disadarkan oleh kenyataan bahwa lingkungan tropika menuntut kita menjadi orang tropika, beradaptasi dengan sifat-sifat intrinsik iklim tropika – sama seperti halnya bangsa yang hidup di iklimtemperate yang telah sukses beradaptasi terdahap iklim winter, berhasil  menjadi negara maju.  Pohon jati (Tectona grandis) dapat dijadikan salah satu simbol keunggulan tropika yang manasemakin kering tempat hidupnya, maka semakin tampak corak kayu dengan lingkaran tahunnya bersamaan dengan kekuatannya.  Demikian pun dengan serangga dan keanekaragaman hayati merupakan sumber keunggulan tropika, yang hanya akan tampak dengan jelas manfaatnya apabila kita tetap memahami makna Gunungan dan Semar. Hutan Jati Tabungan Negara merupakan wujud operasional bahwa hutan merupakan bagian bumi dan air dengan kekayaan di dalamnya yang harus dikuasai Negara demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagai wujud pertama kemakmuran rakyat ini adalah terlindunginya rakyat dari Negaranya akan kehilangan kedaulatannya apabila tidak bisa membayar HutangLuar Negeri.  Pengalaman pahit kehilangan kedaulatan pada tahun 1998 tidak boleh terulang lagi.

Selamat menempuh perjalanan spiritual untuk diri kita masing-masing.

 

Sumedang, 25 Desember 2023