Artikel Utama

KEBIJAKAN YANG BIJAK DALAM PEMBARUAN KEHUTANAN MASA DEPAN

Oleh: Adjat Sudradjat
Mantan Kepala Badan INTAG, Departemen Kehutanan

PENGANTAR

Pada suatu pagi tanggal 27 Februari 2020 saya terkejut muncul WA dari Mas Suhariyanto selaku Ketua Dewan Redaksi Majalah Rimba Indonesia (MRI). Ia meminta saya menulis naskah judul Kebijakan yang bajik dalam pembaruan kehutanan untuk Volume 65 MRI. Topik ini untuk saya terlalu berat? Pertama saya bukan pakar kebijakan. Kedua sudah 21 tahun meninggalkan perkembangan kebijakan kehutanan. Ketiga, ya ini melawan lupa sesuatu yang sangat berat.

Dilain pihak ini merupakan kehormatan bagi saya sebab yang minta adalah tokoh rimbawan yang handal dan Ketua Forum FKRI. Jadi saya coba menulis seperti “berjalan ditengah kegelapan”. Melawan lupa penyakit lumrah dan ini yang terberat. Untung Mas Suharyanto memberikan bocoran keinginannya dalam konsep Pengantar Redaksi untuk Volume 64. Dengan tema “Menapaki Jalan Terjal Kehutanan”. Inti pengantar adalah kerisauan dengan keadaan kehutanan yang dirasakan sudah tak menentu. Ia menyampaikan bahwa perubahan selalu terjadi. Termasuk kejayaan kehutanan di era “timber business” tahun 1970-1990. Sekarang mulai meredup.

KEBIJAKAN KEHUTANAN YANG PRO RAKYAT

Sejak 10 tahun terakhir, publik menilai bahwa kepercayaan kepada kehutanan sudah luntur dan meredup. Kehutanan dianggap penghalang sektor lain. Perizinan tetap sulit. Peran produsen SDM Kehutanan hampir tidak nampak. Rimbawan terlihat gamang. Kepercayaan diri terbonsai. Ujungnya Kementerian Kehutanan lenyap sejak 2014. Mereka tetap dimerger dengan Lingkungan Hidup, meski tidak sedikit yang bersuara kehutanan berdiri sendiri. Bukan main Dr. Siti Nurbaya sebagai Menteri LHK tugasnya amat berat (LH) dan K. Untungnya ia dibantu dengan stafnya yang handal dan berintegritas tinggi.

Lalu bagaimana rimbawan melihat panggung kehutanan yang carut-marut itu? Ada kelompok yang memotret senada warnanya, dengan anggapan kehutanan kurang berperan kepada kesejahteraan rakyat. Bahkan ada yang lebih keras, kehutanan tidak pro rakyat. Perizinan tetap berbelit-belit. Kita lihat Perhutani (penguasa hutan di P. Jawa) yang punya mitra kekal LMDH digerudug dengan kebijakan Perhutanan Sosial (PS). LMDH yang sudah puluhan tahun sebagai mitra sosialnya Perhutani terlihat “bengong” kebingungan.

Kebijakan PS yang dianggap sangat pro rakyat. Izinnya cepat. Pendampingan tersedia. Lembaga keuangan untuk permodalan usaha tersedia. Diversifikasi produk lebih bervariatif dan prosentase pendapatan lebih besar. Perizinan IPHPS sampai 35 tahun. Kebijakan PS dengan perizinan super cepat dianggap bagus saat ini. Namun namun belum tentu 10 tahun mendatang?

Ada yang berkilah, lain ceritanya. Perizinan mudah tidak linier. Petani hutan yang mengantongi izin PS biasanya bila butuh uang untuk hajatan (perkawinan, sunatan), menyekolahkan anak, gengsi punya sepeda motor dia bisa saja menjual atau menggadaikan izin PS-nya. Apalagi serangan para cukong yang bisa memborong lahannya dengan komuditas yang sah maka mereka kembali menjadi “buruh tani yang miskin”.

Gambar 1. Perhutanan sosial kebijakan andalan Kemen LHK

KEPANIKAN RIMBAWAN?

Secara politis, kehutanan sudah terpuruk. Posisinya terpinggirkan. Lalu terasa, muncul ada “kepanikan” profesi. Kepanikan itu ada yang tertutup ”bisik-bisik” namun ada juga yang semi terang-terangan terbuka. Gambaran kepanikan yang terbuka saya ikuti dari salah satu WAG yang diasuh oleh Dr. Transtoto Handadhari yang sekarang menjadi Ketua Umum Yayasan Peduli Hutan Indonesia (YPHI). Ia merasa terpukul dengan keterpurukan politisnya kehutanan. Ia tampil sebagai penggagas gerakan moral yang bersih dari politik dengan motto: ”hutan kita tak boleh hilang”.

Gerakan ini murni gerakan sosial, ujarnya. Dr. Transtoto H. yang aktifis sangat piawai memainkan advokasinya dengan runtut. Beberapa bulan kemudian akhirnya dengan tak kenal lelah ia menghimpun rimbawan dan non rimbawan menyatukan persepsi. Terbentuklah YPHI di Jakarta. Dalam pikirannya ”hutan Indonesia telah porak poranda”. Secara sportif ia mengakui, ini kesalahan rimbawan. Rimbawan harus mengakui, bila perlu mengadakan pertobatan nasional. Itu spontan dan terkesan emosional memancing publik (berangkali). Atau benar suasana hati lebih dominan. Namun kemudian, Ia mengakui keprihatinannya bernada lain yakni dengan statement ”tak ada gunanya saling menyalahkan” (Posting WAG 31 Maret 2020).

Dari pengalaman saya yang sempit, ada juga keberhasilan kehutanan yang nampak hutannya bagus (misalnya hutan Pinus dan hutan Bakau di Sulawesi Selatan). Ini diakui oleh Menhut Ir Djamaludin (1996). Hal lain kehutanan dan perkebunan pernah berjasa ”zaman krismon-1998” menggempur dollar turun dari Rp 17.500 menjadi Rp 6.800/USD. Saat itu sektor lain di Ekuin (pertanian, perdagangan, industri, pertambangan, keuangan) terjerembab tak berdaya. Muaranya menjadi krisis kepercayaan. Jadi tidak semuanya kehutanan “error”. Prestasi Menteri LHK sampai diberi kepercayaan dua kali menempati pimpinan kehutanan oleh Presiden Jokowi ini indikator keberhasilan Dr. Siti Nurbaya.

SEMANGAT PARA “BEGAWAN KEHUTANAN”

Dalam keprihatinan yang saya utarakan di atas, muncul pula sebuah yayasan kehutanan (YSWJ) yang aktif memberikan saran/pendapat solusi khususnya dalam wilayah kebijakan kehutanan. YSWJ membentuk pusat kajian bernama Pusat Kajian Strategis Kehutanan (Puskashut) dibawah koordinasi Dr. Harry Santoso. YSWJ mendapat dukungan dari berbagai organisasi dan asosiasi kehutanan dan LSM. Partisipannya banyak terlihat para “begawan kehutanan” yang handal, berpengalaman sudah dalam tahap kebajikan tinggi. Mereka merasa terpanggil untuk ikut membantu Pemerintah membangun citra kehutanan.

Dedikasi para “begawan kehutanan” ini luar biasa. RUU omnibus law Cipta Karya (kebijakan kehutanan ada disini) pasal demi pasal dipelototi. Konon kabarnya Naskah Akademik-nya saja lebih dari 2.000 halaman dan RUU nya dalam 1.000 halaman lebih. Orang awam mana akan sempat membacanya. Jangankan membaca, mendapatkannya pun tak mudah.

Dari beberapa kali pertemuan, Puskashut YSWJ telah berhasil merumuskan catatan khusus untuk mengkritisi RUU omnibus law Cipta Karya. Beberapa butir usulan yang sempat disampaikan Dr. Harry Santoso a.l: (1) batas minimal 30% luas kawasan hutan dari daerah aliran sungai, (2) perubahan peruntukan dan fungsi hutan dengan skala besar tidak melalui DPR, (3) Tim terpadu dengan otoritas ilmiah untuk perubahan fungsi hutan tidak diperlukan lagi, (4) penyelesaian tumpang tindih peruntukan ditetapkan dengan Perpres, (5) pemanfaatan Iptek untuk percepatan pengukuhan kawasan hutan dan kebijakan satu peta, (6) penyederhanaan perizinan tidak bisa ditawar lagi. Kelompok ini juga berhasil membina hubungan mesra dengan otoritas kehutanan negeri dan DPR Komisi IV. Dedikasi masyarakat kehutanan yang secara sukarela bergabung dengan YSWJ saya yakin mereka adalah insan-insan rimbawan yang bajik dalam menyusun kebijakan masa depan kehutanan. Para ”begawan kehutanan” turun gunung lagi. Mereka sedang meretas jalan yang terjal juga. Semoga berhasil.

”POLITIK” SEBAGAI KOMANDAN KEBIJAKAN?

Dilain pihak Redaksi MRI mensinyalir adanya “perubahan ilmu kehutanan yang masih memakai cara kuno”. Butuh ilmu baru, yang interdisipliner. Ini juga ada benarnya. Sebab hasil pembangunan dapat membuka melek mata para rimbawan Indonesia. Namun apakah benar-benar demikian? Sebab sebagai mana bagusnya kebijakan yang ada, keberhasilannya ditentukan juga faktor internal dan eksternal.

Faktor eksternal, politik misalnya, dia sedang menjadi “tuan besar komandan tertinggi” termasuk di hutan dan kehutanan. Dulu pernah mendengar para bupati seperti raja-raja kecil. Mereka seenaknya memberikan izin-izin tebang kayu 100 hektaran di hutan dengan serampangan (awal orde reformasi). Penempatan pejabat kehutanan sangat sembrono di kabupaten. Bayangkan tamatan sekolah agama, sekolah olah raga, sekolah guru jadi kepala kehutanan di kabupaten. Bahkan sampai saat sekarang di tingkat provinsi terjadi seperti dikabupaten/kota. Mereka sama sekali tak mengerti kaidah-kaidah kehutanan. Lalu di mana para rimbawan tiarap saat itu? Mereka hampir semuanya “dirumahkan” di ibukota provinsi (riset pribadi, 2002-2003).

Karena politik sedang menjadi panglima. Lalu apa yang terjadi? Demikian pula di level para pimpinan kehutanan tertinggi, dominant diserahkan kepada non forester. Mereka sebagai politisi murni suatu partai, namun ada juga non partai. Atau paling tidak, berafiliasi dengan partai politik.

Ini sebuah fakta, bahwa semua pimpinan kehutanan ada 12 orang (Dr. Soedjarwo, Ir. Hasjrul Harahap, Ir Djamaludin, Ir Sumohadi, MBA, Dr. Muslimin Nasution, Dr. Nur Mahmudi Ismail, Marzuki Usman, Dr. Mohamad Prakosa, MS. Kaban, Zulkifli Hasan, Chairul Tanjung dan Dr. Siti Nurbaya). Pertanyaannya adalah berapa orang yang benar-benar berlatar belakang kehutanan? Jawaban hanya empat orang. Pertanyaan lanjutannya, apakah karena ini maka kehutanan terpuruk? Saya pikir tidak semuanya benar. Sebab banyak juga menteri-menteri non kehutanan yang berhasil.

Gambaran di atas hanya ingin menunjukan bahwa keringnya rimbawan yang berpolitik. Dilain pihak warna kebijakan kehutanan juga diwarnai oleh kebijakan partai politiknya atau persidennya. Terkadang mereka sejalan dengan kebijakan yang tertuang dalam UU Kehutanan, namun terkadang ada penyesuaian dengan warna politiknya. Tapi itu pun tak salah karena situasi menuntut demikian. Salah benar sangat dipengaruhi persepsi dan kepentingannya masing-masing melihat fenomena issue. Inilah negeri full demokrasi . Sekarang bukan saatnya menuding itu yang salah dan ini yang benar. Sudah kita simpan saja saling menyalahkan. Mari kita kembali ke ”laptop” kata Tukul Arwana.

REFORMASI, RAKYAT MENUNTUT KEADILAN

Pembelajaran apa yang bisa di tarik dari hal diatas? Penyebab babak belurnya hutan dan kehutanan bukan sepenuhnya disebabkan oleh warna keilmuan semata. Tidak semuanya kesalahan kebijakan saat itu. Memotret rimbawan masa lalu di era Bonanza Timber Based-UU No. 5/1967 yang sukses besar dan masa transisi yang berani merubah kebijakan menjadi resources Based – UU No. 41/1999) dari kacamata tahun 2020 saya sangat setuju.

Disini rimbawan harus berhati-hati. Ada pemeo: sebaik-baiknya suatu kebijakan publik jikalau pelaksananya tidak bermartabat, jauh dari etika, miskin budaya malu, terlalu amat sangat materialitis apa hasilnya. Ya babak belur untuk SDA hutan kita. Kebanggaan ukurannya telah berubah. Atmosfeer politik bersinar memancarkan materialisme. Martabat dan harga diri sudah ditinggal jauh bahkan mau mati disudut yang sepi.

UU 41/99 lahir saat reformasi tgl 30 September 1999. Konon kabarnya ia lahir setelah melalui 12 konsep pembaruan kehutanan. Selama lebih dari tujuh tahun tidak pernah diperhatikan penguasa. Bila tak keliru tuntutan keras rakyat reformasi di segala aspek kehidupan di gaungkan sejak 1997. Rakyat ingin terlepas dari belenggu ketidakadilan penguasa Di sektor kehutanan (saat itu) secara spesifik ada gunjingan di pentas publik kehutanan dikuasai oleh beberapa orang konglomerat. Puluhan juta hektar hutan pemiliknya hanya hitungan jari saja. Tuntutan rakyat kepada akses manfaat hutan tertutup. Munculah tuntutan rakyat seperti dari masyarakat adat, tuntutan kelompok-kelompok tertentu minta keadilan. Partisipasi masyarakat terhadap kelola hutan terkunci rapat-rapat.

KONSEP MANA YANG TERBAIK?

Enam bulan sebelum lahir UU 41/99, masih segar dalam pikiran saya saat itu (sebagai pegawai Dephutbun) dipanggil oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Secara mendadak Menteri bertanya: ”saya bukan orang dengan disiplin ilmu kehutanan, coba mana yang lebih baik kebijakan kehutanan berdasarkan konsep sustainable development (Deklarasi Rio de Janeiro) atau ITTO (model Jepang) atau paham lainnya untuk keadilan dan kelestarian hutan?

Jujur saya terkejut, benar-benar terkejut. Kedua konsep pengurusan hutan itu pun tak siap saya jawab. Namun tiba-tiba ada ilham kecil masuk dipikiran saya. Kemudian saya menjawab: ”Itu semua yang buat manusia-manusia pintar Pak Menteri, tentu tak akan sebagus aturan yang dibuat oleh Tuhan YME. Aturan Tuhan YME pasti sangat sempurna.” Ia terus mengejar: ”Apa maksudnya itu?”. Saya menjawab: ”Tuhan YME telah menurunkan beberapa Kitab Suci yang mengatur tentang alam, juga saya yakin ada juga paham dari Agama Hindu dan Budha”. Maaf, itu hanya asal jawab saja. Lalu Menhutbun memerintahkan saya untuk menulis buku tentang pengurusan hutan (alam) berdasarkan Kitab Suci Al Quran dan Injil juga kalau bisa menurut paham Agama Hindu dan Budha. ”Baik saya minta waktu enam bulan”. Apa komentar Menhutbun: ” itu terlalu lama, saya beri waktu satu bulan saja”.

FALSAFAH UU 41/99

Singkat cerita untuk konsep pengurusan hutan berdasarkan Agama Islam saya minta bantuan ke Padepokan Gontor yang terkenal. Dan Gontor mengirimkan tiga Mahasiswa S3 IAIN yang mendalami Al Quran. Nah bagaimana untuk konsep Kitab Injil? Saya minta bantuan sahabat saya Dr. Dicky Simorangkir yang kemudian berkolaborasi dengan otoritas Dewan Gereja di Jakarta. Dalam waktu 40 hari selesailah buku tersebut.

Berdasarkan dua konsep pengurusan hutan yang senada itu maka dijadikan konsideran UU 41/99 yang penuh dengan nilai religius. Dalam batang tubuh UU 41/99 pelibatan dan akses masyarakat diberi porsi lengkap sebanyak 22 pasal (25%) dari 84 pasal yang terumuskan. Belenggu masyarakat dilepaskan oleh UU 41/99 mulai dari peningkatan kapasitas, hubungan hukumnya diatur, hak-hak masyarakat adat, perencanaan, perizinan, pemanfaatan, pengelolaan hutan, rehabilitasi sampai perlindungan hutan.

Gambar 2. Konsep Islam dalam pengurusan hutan (alam) Sumber: Buku Pembangunan Hutan Berkelanjutan Cerminan Iman dan Taqwa (1999, hal 31)

Saya meyakini bahwa Kebijakan Kehutanan yang diundangkan menjadi UU 41/99 sudah baik. Meski ”roh-nya” berdasarkan Kitab Suci, namun karena sebuah UU itu bikinan manusia, pasti terdapat kelemahan bila ”dipotret” 20 tahun kemudian. Saya setuju perlu perbaikan beberapa pasal yang sudah tidak sesuai. Sesuai dengan Pengantar Redaksi bahwa ”kebenaran masa lalu bisa jadi tidak benar masa kini” saya sependapat. Sehingga Puskashut YSWJ dan kelompoknya memberikan ”mutiara-mutiara pikirannya” ke Kementerian LHK dan Komisi IV DPR RI.

PENUTUP

Dari uraian di atas, saya ingin menutup buah pikiran ini. Kebijakan kehutanan ke depan untuk pembaruan kehutanan akan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor internal perlu perubahan mindset para rimbawan kehutanan. Persatuan dengan jiwa korsa rimbawan yang sering didengungkan para senior rimbawan masih layak dijadikan kekuatan politis. Saat ini rimbawan yang yang berbaju politik sangat langka (kasihan Mas Darori tak ada temannya).

Penyamaan persepsi yang digaungkan oleh Dr. Transtoto HD melalui YPHI saya setuju. Penyamaan persepsi bagaimana hutan lestari (hutanku tak boleh hilang) yang berkeadilan bukan saja dikalangan rimbawan tapi harus sampai ke elite Politik. Kesamaan persepsi harus dimulai dengan komitmen politis (Kepala Negara), komitmen institusional (lembaga pemerintahan), kelompok masyarakat akhirnya menjadi komitmen rakyat Indonesia. Itu konsep BKKBN zaman Orde Baru yang dinilai sukses. SDM khususnya rimbawan silahkan lebih merenung dengan hati yang bersih. Refleksi diri itu penting. Syair lagu wajib Mars Rimbawan (Perwira Rimba) yang legendaris agar diwujukan lebih membumi. Perubahan ”mindset” rimbawan ini menjadi wajib agar tertinggal oleh lajunya perubahan zaman milenial yang sangat cepat dan tak kenal ampun.

Ke depan Rimbawan harus lebih berani bermain politik, terjun sebagai politisi bermartabat demi ”merah putih” agar nyanyian rimbawan tetap merdu. Kebanggaan rimbawan harus diangkat misalnya (berani) memperjuangkan penamaan kawasan hutan dengan nama rimbawan yang dianggap layak dan berjasa. Saya tidak pernah dengar ada kawasan hutan diberi nama dengan tokoh rimbawan. Sah-sah saja kalau misalnya TN. Lorentz 2,4 juta ha (terbesar di Asia Tenggara) diganti nama dengan nama TN. Dr. SOEDJARWO. Nama Lorentz nama Belanda dengan nama lengkapnya Hendrikus Albertus Lorentz. Gegara dia berjasa melakukan ekspedisi di pegunungan itu pada tahun 1909. D r. Soedjarwo berapa tahun mengabdi untuk kemajuan hutan dan kehutanan Indonesia? Muaranya nama-nama rimbawan akan tertoreh di banyak kawasan hutan tersebar seantero Nusantara. Kebanggaan sebagai rimbawan yakin akan muncul kembali. Terakhir pesan kepada rimbawan muda ingat Mars Rimbawan yang lirik reff-nya: ”Jauhkanlah sikap kamu yang mementingkan diri, ingatlah Nusa dan Bangsa minta supaya dibela oleh kamu semua”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *