Dinamika Perubahan Lahan Desa Adat di Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat
Oleh: Dr. Ir. Edi Purwanto, IPU*) dan Gusti Suganda, S.T.**),
*) Direktur Tropenbos Indonesia **) Fasilitator Pemangku Kepentingan Kabupaten Ketapang
A. Pendahuluan
Pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto membawa arah kebijakan yang ambisius dalam menjawab krisis pangan, energi, dan air. Dalam dokumen visi misinya, Asta Cita, Presiden Prabowo menekankan bahwa ketahanan terhadap tiga sektor ini bukan sekadar kebutuhan jangka pendek, melainkan menjadi fondasi utama bagi kedaulatan dan masa depan bangsa. Untuk mendukung agenda besar ini, pemerintah menyiapkan lahan skala nasional hingga mencapai 20 juta hektare sebagai cadangan pembangunan pangan dan energi. Angka ini setara dengan dua kali luas Pulau Jawa, dan di dalamnya termasuk sekitar 1,1 juta hektare yang direncanakan untuk ditanami beras dan dikembangkan sebagai sumber bioenergi seperti bioetanol dari tanaman aren.
Langkah ini memang terlihat menjanjikan di atas kertas, namun juga memunculkan sejumlah pertanyaan mendasar. Di tengah semangat ekspansi lahan untuk kepentingan nasional, bagaimana posisi dan masa depan program-program berbasis masyarakat seperti Perhutanan Sosial, khususnya skema Hutan Desa (HD)? Padahal, selama ini skema HD terbukti menjadi salah satu instrumen paling efektif dalam menjaga kelestarian hutan dan menopang kesejahteraan masyarakat adat dan lokal yang menggantungkan hidupnya pada kawasan tersebut. Pengelolaan hutan berbasis komunitas bukan hanya soal akses terhadap sumber daya, tetapi juga menyangkut identitas, budaya, dan sistem pengetahuan lokal yang telah lama berakar dalam lanskap hutan.
Dalam hal ini, dinamika perubahan lahan di Kecamatan Simpang Dua, menjadi contoh nyata dari dilema tersebut. Kawasan ini memiliki posisi strategis secara ekologis karena mencakup bagian penting dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Pawan, serta memiliki tutupan hutan yang relatif masih baik, terutama di wilayah hulu yang masuk dalam zona Hutan Lindung (HL). Di sisi lain, kawasan ini juga merupakan ruang hidup bagi komunitas adat Dayak yang secara turun-temurun telah mengelola hutan melalui sistem tembawang, kebun karet, serta wilayah keramat dan sumber air tradisional. Desa-desa seperti Mekar Raya, Kamora, Batu Daya, Semandang kanan, Kampar Sebomban dan Gema tidak hanya menyimpan kekayaan alam, tetapi juga menjadi pusat dari pengetahuan lokal dalam menjaga ekosistem hutan.
Namun dalam dua dekade terakhir, lanskap ini mengalami tekanan luar biasa dari berbagai arah. Masuknya perusahaan sawit skala besar, pembukaan hutan oleh HTI, serta aktivitas tambang yang terus meluas telah mengubah wajah kawasan ini secara drastis. Wilayah-wilayah yang dulunya berhutan kini terbuka, akses jalan menembus ke dalam kawasan, dan pola pemanfaatan lahan masyarakat pun mulai terdesak. Belum lagi konflik batas, ketidakjelasan hak kelola, dan tumpang tindih izin, yang semakin mempersulit posisi masyarakat dalam mempertahankan wilayah hidupnya.
Di tengah situasi ini, muncul kekhawatiran bahwa agenda besar pembangunan nasional justru akan menyingkirkan inisiatif-inisiatif akar rumput yang selama ini terbukti menjaga keseimbangan antara ekologi dan ekonomi. Padahal, pengalaman di Kecamatan Simpang Dua menunjukkan bahwa pelestarian hutan bisa berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat—asal ada perlindungan hak dan ruang kelola yang adil. Oleh karena itu, narasi besar tentang pangan dan energi seharusnya tidak berdiri di atas pengabaian terhadap masyarakat penjaga hutan, melainkan merangkul mereka sebagai bagian dari solusi berkelanjutan.
B. Desa Adat di Kecamatan Simpang Dua
Kecamatan Simpang Dua mencakup wilayah seluas sekitar adalah 1.243 km², dan merupakan kawasan yang sangat penting secara ekologi, ekonomi dan sosial, karena kawasan hutan lindung di bagian hulu (Hutan Lindung Gunung Juring) merupakan wilayah DAS berhutan yang melindungi wilayah desa-desa di bawahnya.
Penyebutan “Desa Adat” bukan sekadar istilah administratif, melainkan pengakuan terhadap eksistensi sistem sosial, budaya, dan kelembagaan tradisional yang hidup dan mengakar. Masyarakat Dayak Simpang di desa-desa seperti Mekar Raya, Kamora, Gema, Semandang kanan dan Batu Daya memiliki sistem pengelolaan sumber daya alam berbasis nilai-nilai kekerabatan, spiritualitas, dan kearifan lokal. Praktik tembawang, hutan keramat, dan sistem larangan adalah bentuk ekspresi dari hukum adat yang masih dihormati hingga kini. Dalam perspektif ini, desa bukan hanya satuan geografis, tetapi juga komunitas budaya yang memiliki struktur kepemimpinan adat, sistem pengetahuan lingkungan, dan mekanisme penyelesaian konflik sendiri. Oleh karena itu, pengakuan sebagai “Desa Adat” menjadi penting dalam memperkuat posisi hukum dan politik masyarakat adat dalam tata kelola wilayahnya.
Di samping skema PS, terdapat pendekatan lain yang menekankan pada pengakuan wilayah adat secara utuh, melalui skema Kelola Konservasi Masyarakat Adat (Indigenous Community Conserved Area/ICCA) bertujuan: (a) Melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem penting; (b) Mengakui dan memperkuat hak serta peran komunitas dalam menjaga wilayahnya; (c) Mendorong pendekatan konservasi yang adil, partisipatif, dan berbasis pengetahuan lokal. Upaya registrasi nasional ICCA ini menjadi pintu masuk menuju pengakuan MHA dan penetapan Hutan Adat (HA) oleh negara.
C. Kronologi Perubahan Lahan di Kecamatan Simpang Dua (2000–2025)
Dalam dua dekade terakhir, Kecamantan Simpang Dua mengalami perubahan bentang alam yang sangat besar. Perubahan ini terjadi secara bertahap namun sistematis, didorong oleh masuknya berbagai jenis perizinan usaha berbasis lahan, seperti perkebunan sawit, hutan tanaman industri (HTI), dan pertambangan. Dampaknya bukan hanya pada lingkungan, tetapi juga pada ruang kelola masyarakat yang semakin menyempit dan kehilangan kepastian hukum.
Tabel: Kronologi Perubahan Tutupan Lahan di Lanskap Simpang Dua (2000–2025)
Tahun | Hutan Alam (HD+ICCA) | Sawit Korporasi | Sawit Rakyat | HTI | Tambang | APL Lain (Tembawang, Kebun Rakyat) |
---|---|---|---|---|---|---|
2000 | 90% | 3% | 2% | 0% | 0% | 5% |
2005 | 75% | 10% | 10% | 5% | 0% | 5% |
2010 | 60% | 20% | 10% | 8% | 2% | 5% |
2015 | 45% | 25% | 10% | 15% | 5% | 5% |
2020 | 30% | 30% | 10% | 20% | 10% | 5% |
2025 | 21% | 40% | 20% | 25% | 20% | 5% |
Grafik dan tabel ini menunjukkan konversi lahan dari hutan alam menuju penggunaan korporasi (sawit dan HTI) dan ekstraktif (tambang) yang semakin dominan. Pada 2025, tutupan hutan yang tersisa hanya 21%, sebagian besar merupakan hasil inisiatif masyarakat lewat skema HD dan ICCA. Di sisi lain, sawit rakyat tumbuh perlahan tapi konsisten, menunjukkan bahwa masyarakat pun beradaptasi dengan tekanan pasar, meski dalam skala terbatas dan dengan dukungan yang minim.
Kondisi ini memperjelas perlunya kebijakan pembangunan pangan dan energi yang menyertakan masyarakat sebagai subjek utama. Penguatan program berbasis komunitas serta perlindungan hukum terhadap ruang kelola rakyat menjadi kunci untuk menciptakan keseimbangan antara ambisi nasional dan keadilan ekologis di tingkat tapak.
Berikut adalah versi diagram balok:
D. Kompetisi Perizinan: Ketika HD dan ICCA Terkalahkan
Di tengah semangat pelestarian yang dibawa oleh skema Hutan Desa (HD) dan ICCA, kenyataan di lanskap ini menunjukkan bahwa kedua skema ini seringkali tidak mampu bersaing dengan derasnya arus investasi perizinan skala besar. Izin-izin perkebunan sawit, tambang, dan HTI dikeluarkan jauh lebih cepat dan masif dibandingkan proses pengakuan wilayah kelola masyarakat. Akibatnya, banyak wilayah yang diajukan sebagai HD atau ICCA justru telah lebih dulu dikapling untuk kepentingan industri. Dalam banyak kasus, proses pengajuan HD atau registrasi ICCA menjadi berlarut-larut dan perlu perjuangan panjang menuju Hutan Adat karena tumpang tindih dengan izin lain yang lebih kuat secara politik dan ekonomi. Hal ini menyebabkan masyarakat adat dan lokal kehilangan peluang untuk mendapatkan legitimasi hukum atas ruang hidupnya, meskipun mereka telah mengelola kawasan tersebut secara turun-temurun.
Kabupaten Ketapang merupakan salah satu wilayah yang progresif dalam membangun sistem hukum daerah yang mendukung pengakuan masyarakat adat. Hal ini tercermin melalui terbitnya Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat serta Peraturan Bupati (Perbub) sebagai pedoman teknis pelaksanaannya. Kebijakan ini membuka jalan bagi wilayah-wilayah yang telah diakui dalam skema konservasi komunitas seperti ICCA untuk bertransformasi menjadi Masyarakat Hukum Adat (MHA) dengan hak-hak yang lebih kuat, termasuk pengelolaan Hutan Adat dan pengakuan kelembagaan adatnya. Contohnya adalah ICCA Dayak Simpang di Desa Mekar Raya yang telah memperoleh pengakuan nasional melalui registrasi AKKM dan telah memperoleh SK Bupati Ketapang Nomor. 968//DISPMPD-B/2024 sebagai MHA berdasarkan Perda Kabupaten. Langkah ini menunjukkan bahwa dengan dukungan regulasi daerah, inisiatif lokal dapat berkembang menjadi solusi resmi dan sah dalam tata kelola sumber daya alam yang berkelanjutan.
E. Inisiatif Hutan Desa dan ICCA: Ruang Kelola Rakyat di Tengah Izin Konsesi
Keberadaan HD dan ICCA menjadi penting sebagai benteng terakhir pelestarian hutan dan identitas masyarakat adat. Kawasan ini menunjukkan bahwa pengelolaan hutan berbasis komunitas masih memungkinkan, jika diberikan ruang dan pengakuan yang adil.
Sayangnya, ruang hidup masyarakat tidak hanya terancam di kawasan hutan negara, tetapi juga semakin menyempit di Areal Penggunaan Lain (APL). Kawasan APL yang mencakup sekitar 55.000 hektare di lanskap ini semula menjadi tumpuan utama masyarakat untuk berkebun, bertani, dan bermukim. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fungsinya terus bergeser mengikuti tekanan investasi berbasis lahan.
Sekitar 60 persen dari APL, atau setara dengan ±33.000 hektare, telah berubah menjadi kebun sawit, baik yang dikelola oleh perusahaan besar maupun oleh masyarakat secara mandiri. Ekspansi ini tidak hanya mengubah bentang lahan, tetapi juga menciptakan ketimpangan akses dan ketegangan sosial, terutama di wilayah yang belum memiliki kepastian hak.
Selain itu, sekitar 20 persen APL atau ±11.000 hektare juga telah diberikan izin tambang, yang mempercepat degradasi lahan dan membuka akses baru ke dalam kawasan yang sebelumnya masih relatif terjaga.
Dengan perkembangan ini, APL yang benar-benar masih dapat dikelola langsung oleh masyarakat kini tinggal sekitar 11.000 hektare atau kurang dari 20 persen total APL. Ruang ini pun belum sepenuhnya terlindungi secara hukum dan sangat rentan terhadap alih fungsi lebih lanjut jika tidak segera diperkuat melalui pengakuan legal dan penataan tata ruang yang berpihak.
Di tengah terbatasnya ruang yang tersisa, sebagian masyarakat di lanskap ini terus menunjukkan daya tahan dan inisiatif kolektif untuk mempertahankan wilayah hidup mereka. Salah satu langkah penting yang ditempuh adalah melalui jalur legal berbasis masyarakat, yakni Hutan Desa (HD) dan wilayah konservasi masyarakat adat atau ICCA.
Hingga pertengahan tahun 2025, telah tercatat sekitar 9.300 hektare wilayah kelola masyarakat di kawasan ini yang diakui secara formal, baik dalam bentuk HD maupun ICCA. Wilayah ini tersebar di beberapa desa di Kecamatan Simpang Dua dan Sungai Laur, dan mencakup area yang sebelumnya merupakan bagian dari Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan APL.
Kawasan-kawasan tersebut kini dikelola langsung oleh masyarakat melalui kelembagaan lokal yang sah. Selain menjaga tutupan hutan dan fungsi ekologisnya, wilayah kelola ini juga menjadi sumber utama pangan, air, obat-obatan tradisional, serta ruang budaya dan spiritual. Pengakuan ini memberi dasar hukum yang kuat bagi masyarakat untuk mempertahankan wilayah adat mereka dari tekanan ekspansi industri.
Namun demikian, keberadaan HD dan ICCA ini belum sepenuhnya aman. Masih terdapat tumpang tindih antara wilayah kelola masyarakat dengan izin perusahaan sawit, tambang, dan HTI, yang mengancam kelestarian jangka panjang dan menimbulkan ketegangan sosial di tingkat lokal. Oleh karena itu, penguatan legalitas, tata ruang partisipatif, dan perlindungan terhadap wilayah-wilayah ini menjadi langkah mendesak agar masyarakat tidak hanya diakui di atas kertas, tetapi juga diberdayakan dalam praktik.
F. Langkah Strategis ke Depan
Untuk memastikan keberlanjutan sosial-ekologis di Simpang Dua dan kawasan sejenis, Pemerintah bersama Lembaga Adat, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), dan organisasi masyarakat sipil perlu membangun model penataan lahan berbasis komunitas yang inklusif dan adaptif terhadap kondisi lapangan. Beberapa langkah strategis yang bisa segera diambil antara lain: (a) Menerapkan moratorium pembukaan lahan baru, terutama di kawasan hutan alam dan areal bernilai konservasi tinggi (ABKT), guna menahan laju deforestasi dan menjaga ekosistem penting. (b) Menggunakan peta partisipatif desa-desa sebagai alat utama untuk memperjelas batas wilayah kelola masyarakat, termasuk zona perlindungan, kawasan budidaya, dan tapak penting budaya. Langkah ini penting untuk mengurangi tumpang tindih dan konflik lahan.(c) Melakukan revitalisasi kebun karet rakyat dengan pendekatan agroforestri, melalui pengayaan tanaman bernilai ekonomi dan ekologi, seperti aren, kemiri, sungkai, dan jelutung. Di lapisan bawah, kebun karet dapat diintegrasikan dengan tanaman semusim dan menahun seperti porang (Amorphophallus muelleri), jahe, kunyit, temulawak, kopi, pisang, talas, jagung dan keladi. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat konservasi dan ketahanan pangan, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat. Skema ini sangat relevan untuk mendukung implementasi Perhutanan Sosial, khususnya yang dikelola melalui Hutan Desa atau wilayah adat.; (d) Mengembangkan unit-unit usaha berbasis Hutan Desa (KUPS) yang dikelola oleh masyarakat secara mandiri maupun kolektif, untuk mendorong ekonomi lokal yang berkelanjutan, sambil menjaga kelestarian hutan. (e) Mendorong percepatan pengakuan wilayah adat secara penuh, serta memperluas registrasi wilayah kelola masyarakat dalam skema ICCA (Kawasan Konservasi yang Dikelola Komunitas) dan MHA (Masyarakat Hukum Adat) sebagai bagian dari solusi jangka panjang untuk keadilan tenurial dan konservasi berbasis kearifan lokal.
G. Kesimpulan
Dinamika perubahan lahan di Kecamatan Simpang Dua bisa menjadi model bagaimana ambisi nasional dapat bersanding dengan kelestarian dan keadilan sosial, jika pendekatan yang digunakan tepat. Menata lahan hutan bukan sekedar mengalokasikan penutupan hutan untuk kepentingan pangan. Melainkan merawat warisan alam sambil menumbuhkan harapan hidup yang lebih baik bagi generasi mendatang. Kebijakan 20 juta hektare hanya akan berarti jika diimplementasikan dengan melihat landscape sebagai ruang hidup, bukan sekadar ruang berproduksi.