Artikel Utama

MELIHAT KEMBALI POLITIK KEHUTANAN INDONESIA

Oleh:  Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc.

(Ketua Umum Yayasan Sarana Wana Jaya)

Dewan Perwakilan Rakyat RI pada tahun lalu (2024) telah menetapkan Progam Legislasi Nasional untuk tahun 2025, di antaranya akan melakukan peninjauan kembali Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.  Peninjauan kembali Undang-Undang tersebut tentunya juga akan mempertimbangkan kembali Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.  Dengan kata lain Parlemen dan semua pihak yang terkait perlu melihat kembali politik kehutanan Indonesia yang telah berjalan melalui semua peraturan tersebut, dan mencermati pengelolaan sumberdaya hutan yang selama ini berjalan.

Dalam konteks ini politik kehutanan Indonesia harus dilihat dari seluruh perangkat aturan dan kebijakan Pemerintah yang digunakan sebagai pedoman bersama seluruh pihak dalam mengelola sumber daya hutan (Worrell, 1970).  Yang utama dalam hal ini adalah perlunya melihat kembali visi serta filosofi pengelolaan hutan, serta peraturan-peraturan yang diberlakukan sejak diundangkannya UU Nomor 41 Tahun 1999 terutama dalam kaitannya dengan penetapan dan pemeliharaan eksistensi ekosistem kawasan hutan.  Lebih jauh lagi perlu untuk melihat kembali relevansi peraturan-peraturan tersebut dengan situasi negara di masa kini dan masa depan, yang mungkin sudah dan akan mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat cepat karena ada perkembangan teknologi dan perubahan geopolitik dunia.

Visi dan Filosofi Pengelolaan Hutan Indonesia

Bangsa Indonesia memandang hutan sebagai karunia sekaligus amanah dari Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu UU No. 41/1999 mewajibkan negara untuk mengelola hutan dengan akhlak mulia.  Dengan pandangan ini maka pengurusan dan pengelolaan hutan bukan hanya merujuk kepada urusan duniawi saja namun ada aspek-aspek etika, norma, dan kerohanian yang perlu diperhatikan; apalagi bila diingat bahwa manusia diciptakan Tuhan sebagai penguasa bumi beserta seluruh isinya.

Dengan kerangka pikir itu maka hutan harus dilihat sebagai ekosistem ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga untuk menyangga kehidupan bangsa dan negara, serta seluruh kehidupan ciptaanNya (life supporting system).  Hutan Indonesia harus dikelola secara optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan keberlangsungan bangsa.  Pelaksanaan amanah tersebut sudah barang tentu menuntut negara untuk pengelola hutan Indonesia secara profesional dan terbuka, berkeadilan dan bertanggung jawab. Oleh karena itu filosofi yang sudah tercantum dalam penjelasan UU 41/1999 harus dipertahankan.

Dengan filosofi tersebut maka politik kehutanan harus diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi ekosistem (Adam dkk., 2000) serta harus diarahkan untuk menguatkan fungsi hutan dalam menghasilkan berbagai kebutuhan hidup (provision function).  Sebagai ekosistem hutan harus dijaga agar fungsinya dalam mengatur keserasian alam berjalan dengan baik dan optimal (regulating function).   Selain itu, hutan juga harus dimanfaatkan dan dikelola untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan budaya (cultural function); dan hutan harus dijaga agar fungsinya dalam mendukung proses-proses alami di bumi dapat terus berlangsung (supporting function).  Dengan filosofi dan visi tersebut maka  secara eksplisit dalam UU yang baru hutan harus dinyatakan sebagai ekosistem yang seluruh fungsinya harus dipertahankan.  Hutan tidak boleh dipandang sebatas sebagai suatu bentang alam atau ruang yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan dan pemanfaaatan apa saja,

Dalam kaitan itu juga, keberadaan hutan dalam luasan dan sebaran yang tepat harus disepakati bersama oleh masyarakat dan seluruh komponen bangsa.  Dengan demikian sangatlah tepat bila keberadaan kawasan hutan di Indonesia harus diletakkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengatur fungsi-fungsi ruang yang harus ditaati seluruh pihak.  Politik ini merupakan kristalisasi dari penguasaan hutan oleh negara, tanpa mengurangi hak-hak atas tanah yang sah seperti hak masyarakat adat dan hak atas tanah lainnya yang diakui oleh peraturan yang berlaku. Oleh karena itu di dalam pembahasan suatu RTRW maka kawasan-kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau telah ditetapkan harus diletakkan terlebih dahulu di dalam Peta RTRW, di mana Hutan Lindung (HL), Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) diposisikan di dalam Kawasan Lindung, sedangkan Hutan Produksi (HP) diposisikan di dalam Kawasan Budidaya.  Konsekuensinya, Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2021 perlu dikoreksi sedemikian rupa sehingga dalam setiap perencanaan ruang dan revisinya maka posisi kawasan hutan harus ditentukan terlebih dahulu.

Urusan Kehutanan

Pada hakekatnya, urusan kehutanan menjadi kewenangan negara melalui Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.  Pemerintah berwenang  menetapkan kawasan hutan sesuai dengan fungsi pokoknya sebagai perlindungan alam, menjaga keserasian lingkungan, konservasi keragaman hayati dan suaka alam, atau sebagai penghasil berbagai kebutuuhan masyarakat. Penetapan Kawasan Hutan ini harus diartikan sebagai penetapan untuk Kawasan Hutan Negara yaitu hutan-hutan yang belum terbebani oleh hak-hak atas tanah; maupun Kawasan Hutan Hak yang berada pada tanah-tanah yang telah menjadi Hak Masyaraat Hutan Adat atau tanah-tanah yang telah dibenani Hak Milik oleh masyarakat.  

Luasan kawasan hutan yang akan ditetapkan harus menjamin terpeliharanya sistem tanah dan air bagi keamanan dan kebutuhan hidup semua mahluk hidup (Forman & Michele, 1986). Pada UU No.41/1999. Luas minimal ini ditetapkan 30% di tiap Daerah Aliran Sungai (DAS). Namun dengan terbitnya Undang Undang Cipta Kerja No. 11 tahun 2020 ketentuan ini dihapus, dan diarahkan agar luas kawasan hutan ditentukan oleh daya dukung kawasan. Sekilas politik kawasan ini terlihat bagus karena mensyaratkan pencermatan kepada perlindungan daya dukung wilayah.  Namun demikian kebijakan ini sangat mengkhawatirkan karena pada kenyataannya pencermatan daya dukung wilayah tersebut sangat jarang dilakukan oleh Pemerintah karena keterbatasan dana di Sektor Kehutanan. Oleh karena itu bila harus dilakukan  pengurangan luas Kawasan Hutan untuk pembangunan sektor lain, maka pencermatan daya dukung dan daya tampung tersebut harus didanai oleh sektor yang berkepentingan, dan pelaksanaannya dilakukan oleh otoritas saintifik (BRIN dan atau LITBANG) agar keputusan perubahan Kawsan Hutan betul-betul sesuai dengan pertimbangan lingkungan.

Urusan Kehutanan yang juga menjadi kewenangan Pemerintah adalah pengelolaan Kawasan Hutan Lindung (HL), Hutan Konservasi (KSA dan KPA), dan Hutan Produksi (HP).  Untuk itu Kewenangan ini mengharuskan Pemerintah secara keilmuan (scientific) untuk menetapkan kriteria dan indikator kelestarian hutan untuk kemudian diikuti dengan penetapan pedoman yang sesuai dengan dengan kekhasan biofisik, sosial ekonomi dan budaya di lokasi di mana hutan tersebut berada (site specific). Oleh karena itu peran Pemerintah dalam menetapkan kritera dan indikator kelestarian hutan tersebut harus benar-benar memperhatikan fungsi-fungsi penyangga kehidupan dari ekosistem hutan[1]. Yang terjadi selama diberlakukannya UU 41/1999 Pemerintah terlalu kaku (rigid) dan cenderung menyeragamkan pedoman-pedoman pelaksanaan dalam mengelola kawasan hutan, tanpa mempertimbangkan bahwa ekosistem hutan tidak sama di seluruh Indonesia. Dan yang lebih menyedihkan penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan secara spesifik di lapangan sering dianggap sebagai ’penyimpangan’ terhadap peraturan. Oleh karena itu hal yang paling penting serta mendesak dalam hal ini adalah monitoring kondisi kawasan hutan secara rutin dengan frekuensi yang cukup sering, disertai konsolidasi dan rekapitulasi data spasial secara berkala.  Hal itu sangat dimungkinkan untuk dilakukan Pemerintah dengan memanfaatkan teknik penginderaan jauh yang didukung oleh keberadaan citra satelit beresolusi tinggi, dan dengan disertasi validasi lapangan oleh Kesatuan-Kestauan Pemangkuan Hutan (KPH) dan/atau Unit-Unit Pelaksana Teknis (UPT) terkait pengelolaan, perlindungan, dan konservasi hutan, tanah dan air.[2]

Dalam kaitannya dengan pengelolaan Kawasan Hutan Pemerintah juga berwenang mengatur hubungan manusia dengan negara, dan hubungan antar manusia terkait dengan pemanfaatan, konservasi dan perlindungan hutan. Pengaturan hubungan ini sangat penting untuk menjamin manfaat yang optimal dari kawasan hutan.  Selain itu, pengaturan hubungan-hubungan ini juga sangat penting dalam mewujudkan keadilan sesama warga negara.

Perencanaan Kehutanan dan Kawasan Hutan

Perencanaan Kehutanan pada pokoknya meliputi kegiatan-kegitan yang berurutan secara logis.  Perencanaan Hutan diawali dengan kegiatan inventarisasi hutan baik di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota maupun DAS dan unit-unit pengelolaan.  Inventarisasi ini dimaksudkan untuk mengetahui secara lengkap kondisi dan situasi tegakan hutan, serta kondisi biofisik dan sosial ekonomi setempat.  Adapun tingkat ketelitian dan penggunaan datanya didasarkan pada skala inventarisasi, di mana data untuk wilayah Nasional bersifat sangat makro, kemudian disusul secara lebih detail di  tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, dan DAS atau di unit-unit pengelolaan. Pengetahuan mengenai kondisi hutan hasil invetarisasi tersebut selanjutnya dijadikan dasar dalam perencanaan Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan.  Dalam perencanaan tersebut Pemerintah akan menunjuk kawasan-kawasan hutan di suatu wilayah, untuk kemudian dilakukan penyusunan rencana arahan penggunaan masing-masing kelompok hutan melalui Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan (RPPKH).

Melalui RPPKH tersebut Pemerintah menunjuk Kawasan Hutan Negara, Hutan Hak dan Hutan Adat, beserta fungsi-fungsi pokok yang tidak boleh dilanggar[3], agar sistem penunjang kehidupan hutan tersebut tetap terjaga.  Pada tahun-tahun 1980-an, seluruh Pemerintah Provinsi mengkoordinasikan kesepakatan antar sektor pengguna lahan untuk menunjuk Kawasan Hutan dengan menggunakan data terbaik yang ada saat itu (best available data)[4].  Data yang digunakan adalah data lama dan bahkan sebagian besar data tersebut bukan dari hasil inventarisasi hutan.  Dapat dipastikan data tersebut bila dibandingkan dengan kondisi aktual saat ini telah jauh berbeda. Dengan kondisi data seperti ini maka TGHK dikatakan bersifat makro dan indikatif, dengan pengertian masih sangat kasar dan perlu pencermatan lapangan.

Pada tahun 1980-an total luas kawasan hutan berdasarkan TGHK yang dihasilkan dari  proses kesepakatan seluruh instansi di seluruh provinsi adalah sekitar 143. juta Ha atau sekitar 76,9% dari luas daratan Indonesia (Ross, M.S.,1984)[5]; namun kawasan-kawasan tersebut belum merinci keberadaan hutan-hutan hak dan hutan-hutan adat, sehingga Kawasan Hutan yang ditunjuk melalui TGHK tersebut sering digeneralisasikan sebagai Kawasan Hutan Negara.

Kini bila data ini dibandingkan dengan data dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) yang dituangkan dalam State of Indonesia Forest terlihat adanya perubahan luas yang sangat signifikan.  Pada tahun 2020 kawasan hutan yang semula sekitar 143 juta ha pada tahun 1980 telah menyusut menjadi 120,5 juta ha pada tahun 2020, dan pada tahun 2023 menyusut lagi menjadi 118,2 juta ha. Meskipun luas kawasan hutan masih berkisar 51,1% dari luas daratan dan melebihi kriteria minimal 30%, namun perubahan luas ini menunjukkan besarnya keperluan penggunaan lahan oleh sektor-sektor di luar Kehutanan, sehingga terjadi perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi peruntukan lain, terutama untuk pertanian/perkebunan, serta pemukiman dan infrastruktur.  Diharapkan di masa mendatang perubahan Kawasan Hutan menjadi bukan kawan hutan tersebut hanya terjadi pada Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang masih tersisa di RTRW; dan tidak terjadi pada Kawasan Hutan Lindung, Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.  Selain itu, perubahan kawasan hutan bila terpaksa bisa dilakukan pada Kawasan Hutan Produski yang secara ekonomis sangat tidak menguntungkan bagi perekonomian masyarakat dan wilayah.

Penggunaan Kawasan Hutan

Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan sektor lain yang diatur dalam UU No.41/1999 dan PP Nomor 23 Tahun 2021 melalui skema Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH) perlu dicermati kembali. Dalam hampir semua kasus, kegiatan PPKH telah menimbulkan deforestasi dan kerusakan ekosistem hutan yang sangat nyata dan parah; sementara reklamasi dan rehabilitasi pada areal PPKH dinilai masih kurang berhasil.

Di samping itu, PPKH yang secara khusus diterapkan untuk pembangunan jalan infrastruktur lainnya bersifat permanen, sehingga skema pinjam pakai tidak tepat; bahkan menjadi beban pendanaan bagi rehabilitasi dan hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa  pemantauan lingkungan atas kawasan oleh Kementerian Kehutanan masih sangat lemah, karena diasumsikan bahwa sektor yang memanfaatkan skema PPKH bertanggung jawab atas kerusakan ekosistem hutan.

Oleh karena itu untuk PPKH yang bersifat sangat destruktif perlu diperketat proses perizinannya, dengan mempertimbangkan manfaat nyata secara ekonomi, lingkungan dan sosial bagi wilayah sekitarnya.  Adapun PPKH yang bersifat permanen seperti untuk keperluan jalan dan pembukaan wilayah dan infrastruktur lainnya lebih tepat menggunakan skema perubahan status dan pelepasan kawasan hutan.  Yang tidak kalah penting, politik anggaran nasional harus memberikan perhatian khusus terhadap pendanaan yang cukup untuk monitoring, rehabilitas dan reklamasi areal PPKH.

Multi Usaha dan Perhutanan Sosial

Hutan merupakan ekosistem yang berfungsi sebagai penyedia kebutuhan bagi manusia dan semua mahluk hidup yang menempati bumi; dalam hal ini hutan tidak harus dimanfaatkan sebagai hutan tanaman yang monokultur.  Ekosistem ini perlu dikelola untuk menjadi penghasil berbagai kayu dan non-kayu serta jasa lingkungan yang secara aktual diperlukan manusia.  Tantangan bangsa Indonesia saat ini, dan pasti seterusnya, adalah menjadi bangsa yang mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan, energi dan air, selain juga jasa penyerapan dan penyimpanan karbon; yang kesemuanya ini dapat dilakukan melalui multi usaha di dalam kawasan hutan.

Multi usaha juga sangat membuka kemungkinan bagi masyarakat untuk berpartisipasi mengelola dan memanfaatkan ekosistem hutan, baik pada Hutan Negara maupun Hutan Hak, melalui skema agroforestry atau wanatani.  Sistem ini sebelumnya sudah diterapkan dengan menghutankan kebun-kebun atau lahan pertanian sehingga menjadi semacam hutan buatan (Foresta dkk, 2000).  Apapun bentuk dan sebutannya, kombinasi tanaman berkayu dengan tanaman penghasil pangan, maupun jasa lingkungan ini perlu mendapat perhatian dari program-program sektor kehutanan.

Rekomendasi

Dari uraian di atas, beberapa hal perlu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan dalam melihat kembali politik kehutanan, khususnya dalam merevisi Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang kehutanan, yaitu sebagai berikut:

  1. Filosofi dan visi pengelolaan hutan sebagai amanah dari Allah swt perlu dinyatakan secara eksplisit dalam UU Kehutanan yang baru. Selain itu, secara eksplisit pula hutan dinyatakan sebagai sistem penunjang kehidupan yang fungsi-fungsi lingkungannya harus dilestarikan. Dalam kaitan ini hutan tidak boleh dipandang sebatas sebagai suatu bentang alam atau ruang yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan dan pemanfaaatan apa saja,
  2. Keberadaan kawasan hutan di Indonesia perlu diletakkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), baik sebagai bagian dari Kawasan Lindung maupun Kawasan Budidaya sesuai dengan fungsi pokok kawasan hutan tersebut. Dengan demikian arahan ruang tiap kawasasn hutan harus ditaati seluruh pihak.
  3. Politik Kehutanan yang berpihak pada masyarakat perlu ditegaskan dalam undang-undang dengan memastikan adanya pasal-pasal yang mengatur operasionalisasi penunjukkan dan penetapan Hutan Hak dan Hutan Adat. Penetapan Kawasan Hutan ini harus diartikan sebagai penetapan untuk Kawasan Hutan Negara yaitu hutan-hutan yang belum terbebani oleh hak-hak atas tanah; maupun Kawasan Hutan Hak yang berada pada tanah-tanah yang telah menjadi Hak Masyaraat Hutan Adat atau tanah-tanah yang telah dibenani Hak Milik oleh masyarakat.
  4. Secara keilmuan (scientific) perlu segera dirumuskan kriteria dan indikator kelestarian hutan untuk dijadikan rujukan dalam penyusunan pedoman pengelolaan hutan yang sesuai dengan dengan kekhasan biofisik, sosial ekonomi dan budaya di lokasi di mana hutan tersebut berada (site specific).
  5. Pemerintah perlu meningkatan kegiatan monitoring kondisi kawasan hutan secara rutin dengan frekuensi yang cukup sering, dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis yang semakin berkembang;
  6. Sebaiknya penggunaan kawasan hutan secara permanen untuk keperluan jalan dan infrastruktur perlu diubah melalui skema perubahan status dan pelepasan kawasan hutan;
  7. Pemberian izin untuk PPKH yang bersifat destruktif perlu mempertimbangkan manfaat nyata secara ekonomi, lingkungan dan sosial bagi wilayah dan masyarakat di sekitarnya;
  8. Yang tidak kalah penting, politik anggaran nasional harus memberikan perhatian khusus terhadap pendanaan yang cukup untuk monitoring, rehabilitas dan reklamasi areal PPKH.

Rujukan

Adams, J.S., L.S. Kutner and B.A. Stein, ed. 2000. Precious Heritage. New York: Oxford University Press.

Anonim. 2024. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 64/DPR RI/I/ 2024-2025 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2025 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2025-2029. Chromeextension:// efaidnbmnnni bpcajp glclefind mkaj/https://legisteraktif.id/ wp-content/uploads/2025/01/Buku-RUU-Prioritas-2025-Prolegnas-2025-2029.pdf 1999.

…………  2025. Nature Scot What are Ecosystem Services. https://www.nature.scot/scotlands-biodiversity/scottish-biodiversity-strategy/ecosystem-approach/ecosystem-services-natures-benefits.

………… .2021. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.

………… 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

………… 1981. Surat Keputusan Menteri Pertanian No.680/Kpts/Um/8/1981 tanggal 8Agustus 1981 tentang Pedoman Penatagunaan Hutan Kesepakatan,

…………. 2024. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomo2 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,

………….1999.  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan,

Colfer, C.J.P and Doris C (eds) 2006. Politik Desentralisasi Hutan, Kekuasaan, dan Rakyat. Pengalaman di Berbagai Negara. CIFOR.

Foresta, H., A. Kusworo, G.Michon dan WA Djatmiko (eds). 2000. Ketika Kebun Menjadi Hutan: Agroforestry Khas Indonesia. CIFOR. Bogor.

Forman, R.T.T and Michele, G. 1986. Landscape Ecology. John Wiley and Sons. New York

Nurbaya, S., and Efransyah (eds). (2004). The State of Indonesia’s Forest 2024.  Towards Sustainability of Forest Ecosystem in Indonesia. The Ministry of Environment and Forestry. Indonesia.

Ross, M.S. 1984. Forestry in Landuse Policy for Indonesia. Thesis for the Degree of Doctor of Philosophy, GreenColledge, University of Oxford.

Sunderland, T.C.H., Jefrey S, and Hoang, MH. (eds). 2013. Evidence-based Conservation. Lessons from The Lower Mekong. Routledge. New York.

Susetyo, P.D. 2022. How Big is Indonesia’s Forest. Forest Digest. https://www.forestdigest.com/ detail/ 1905/luas-hutan-indonesia#google_vignette

Worel, A.C.  1970. Principles of Forest Policy. The American Forest Series. Mc.Graw Hill. Book Company. USA.

Young, A, D. Boshier, and T.Boyle (eds). 2000. Forest Conservation Genetics: Principles and Practices. CSIRO

[1] Pada hakekatnya semua hutan adalah sistem penunjang kehidupan; bukan hanya Hutan Lindung saja yang merupakan sistem penyangga kehidupan sebagaimanan dijelaskan dalam pasal 1 PP 23/2021.

[2] Konsultasi pribadi dengan Dr. Ruandha Agung Sugardiman dan Dr. Saparis Soedarjanto (2025)

[3] Sama halnya dengan tanah yang telah dibebani sertifikat Hak Milik (HM) yang berada di dalam kawasan, meskipun secara sah merupakan milik sesorang, namun karena berada di kawasan pemukiman maka tanah tersebut tidak boleh digunakan untuk pabrik

[4] berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor No.680/Kpts/Um/8/1981 tanggal 8 Agustus 1981 tentang Pedoman Penatagunaan Hutan Kesepakatan (TGHK),

[5] Instansi-instansi di Tingkat provinsi tersebut antara lain BPN/Agraria, Peratanian, Perkebunan, Transmigrasi dan lain-lain yang bergerak di penggunaan/pengelolaan tanah; dan hasil kesepakatannya dituangkan dalam Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK)

2 thoughts on “MELIHAT KEMBALI POLITIK KEHUTANAN INDONESIA

  • “Bangsa Indonesia memandang hutan sebagai karunia sekaligus amanah dari Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu UU No. 41/1999 mewajibkan negara untuk mengelola hutan dengan akhlak mulia.”
    Masih relevan? Perhutani sebagai pengelola terbesar hutan indonesia, dalam praktik pengelolaanya di level bawah masih banyak tidak rasionalnya, oknum dibawah menyewakan kepada pesanggem tanpa ada rasionalisasi pemanfaatan. Misal wilayah hutan dengan elevasi curam bebas ditanam rumput pakan ternak, bukan tegakan dan sebagainya .

    Ayo selamatkan hutan indonesia!

    Balas
    • Tanggapan penulis:”Bisa jadi akhlak yang buruk menjadi penyebab rusaknya kawasan hutan. Oleh karena itu akhlak yang mulia sangat perlu untuk diingat sehingga sangat penting untuk mencantumkan dalam UU tentang Kehutanan”.

      Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *