Artikel Utama

PENATAAN KAWASAN HUTAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN PARTICIPATORY LAND USE PLANNING (PLUP)

Oleh: Dr. Ir. Endang Hernawan, MT., IPU

(Lektor Kepala pada Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati – ITB)

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini sedang diramaikan dengan isu sengketa kepemilikan pulau antar pemerintah daerah. Semula mencuat sengketa empat pulau antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara yakni Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Pulau Panjang, meskipun akhirnya Presiden menetapkan bahwa ke empat pulau tersebut masuk wilayah Provinsi Aceh. Setelah sengketa wilayah antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara selesai, kini muncul persoalan serupa antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dan Pemerintah Provinsi Bangka Belitung. Ditatanan antar kabupaten juga muncul sengketa 13 Pulau antara Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Tulungagung di Provinsi Jawa Timur. Sengketa ini terjadi karena belum ada kepastian hukum di mana batas administrasi hanya ada di atas peta dan belum dilakukan penandaan batas di lapangan. Seringkali penetapan batas tersebut juga dilakukan secara mandatori oleh pemerintah pusat dengan pelibatan pemerintah daerah yang terbatas. Biasanya sengketa batas antar wilayah administrasi ini akan mencuat, manakala diindikasikan areal yang disengketakan ini memiliki potensi sumber daya alam seperti barang tambang, dan atau minyak bumi yang memiliki konsekewensi pada besaran penerimaan keuangan daerah dari pembagian keuangan pusat dan daerah.

Berbagai kasus sengketa juga kerap terjadi dalam Kawasan hutan, baik konflik batas Kawasan hutan dengan Kawasan non-hutan, antar fungsi Kawasan hutan, maupun antar batas ijin pemanfaatan Kawasan hutan (PBPH) atau dengan ijin pinjam pakai Kawasan (IPPKH). Namun juga di beberapa provinsi seperti provinsi-provinsi yang ada di Pulau Papua, terjadi sengketa antara Kawasan hutan negara dengan hutan adat atau ulayat. Sengketa ini terjadi selain belum clear and clean dalam penetapan batas, serta belum dilakukan penataan batas di lapangan, tetapi kerap terjadi karena penetapan Kawasan hutan dilakukan juga secara mandatori oleh pemerintah pusat. Namun sebenarnya pengaturan untuk meminimalkan terjadi sengketa dalam batas Kawasan hutan ini sebenarnya sudah tersedia berbagai pengaturan sampai tingkat tapak melalui kegiatan penataan hutan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, penataan hutan terbagi dalam tiga bentuk penataan yakni Penataan Batas Kawasan Hutan, Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan dan Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pemanfaatan Kawasan Hutan. Adapun pengertian-pengertian tersebut adalah (1) Penataan Batas Kawasan Hutan adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, pemancangan patok batas, pengumuman, inventarisasi, dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga, pemasangan pal batas, pengukuran, dan pemetaan, serta pembuatan berita acara tata batas; (2) Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka menyelesaikan permasalahan Masyarakat di dalam Kawasan Hutan; dan (3) Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pemanfaatan Kawasan Hutan adalah kegiatan Tata Hutan yang antara lain meliputi pembagian Kawasan Hutan menjadi unit-unit manajemen Hutan terkecil (blok dan petak) berdasarkan satuan ekosistem, kesamaan umur tanaman, tipe, fungsi, dan rencana Pemanfaatan Hutan. Dalam pelaksanaan ketiga kegiataan penataan Kawasan hutan tersebut melibatkan para pihak, diantaranya adalah masyarakat sekitar Kawasan hutan. Namun pelibatan para pihak selama ini lebih bersifat normatif dan administratif, sehingga seringkali mekanisme konsultasi publik atau FGD hanya menjadi syarat administratif dalam penyelenggaraan penataan hutan.

Belajar dari berbagai kejadian dan penyebab kejadian terjadinya konflik tenurial dalam Kawasan hutan tersebut, diperlukan penguatan partisipasi masyarakat atau publik, salah satunya melalui pendekatan perencaan penggunaan lahan secara partisipatif atau dikenal participatory land use planning (PLUP). Tulisan ini akan membahas perlunya pelibatan para pihak yang lebih melalui PLUP dalam penataan hutan, untuk menghindari konflik tenurial dalam Kawasan hutan pada tatanan perencanaan hutan.

 

PENYELESAIAN KONFLIK TENURIAL DALAM KAWASAN HUTAN

Konflik Tenurial dalam kawasan hutan adalah berbagai bentuk perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan dan penggunaan Kawasan hutan. Konflik ini pada dasarnya merupakan konflik penggunaan lahan dalam Kawasan hutan yang dapat dibedakan atas konflik penggunaan lahan oleh masyarakat dan oleh korporasi melalui perijinan.

Penyelesaian konflik penggunaan lahan oleh penduduk sekitar Kawasan hutan

Konflik tenurial dalam penggunanaan lahan oleh penduduk di dalam dan sekitar Kawasan hutan yang telah diatasi oleh Kementerian Kehutanan adalah melalui pengembangan program perhutanan sosial (PS) dan melalui program tanah obyek reforma agraria (TORA). Adapun skema program perhutanan sosial ini dikenal dengan skema lima jari yakni hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat dan hutan kemitraan. Sengketa tenurial yang akan diselesaikan melalui program PS ini seluas 12,7 juta hektare dan sampai pertengahan tahun 2024 telah mencapai 8 juta hektare. Sementara penyelesaian sengketa tenurial melalui TORA yang berasal dari pelepasan Kawasan hutan, HPK tidak produktif, pencadangan hutan, program transmigrasi, rencana pencetakan sawah dan lainnya telah mencapai 4,853 juta hektare. Penyelesaian ini pada dasarnya dilakukan pada saat konflik tenurial telah terjadi yang dikenal dengan pendekatan “keterlanjuran”.  Melalui pendekatan keterlanjuran ini, banyak pihak yang mengkhawatirkan justru akan memicu peningkatan konflik tenurial di masa mendatang dengan menggunakan pola penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan atau penggunaan kawasan hutan secara ilegal, dengan harapan akan “diputihkan” melalui program PS maupun TORA. Agar tidak terjadi penyelesaian dengan prinsip keterlanjuran ini, maka diperlukan perencanaan penggunaan lahan di tingkat desa melalui pendekatan PLUP.

Penyelesaian konflik penggunaan lahan oleh Masyarakat Hukum Adat (MHA)

Mengacu pada PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI (NOMOR 35/PUU X/2012), Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat. Dalam menangani ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait dengan hutan adat ini diantaranya adalah (1) Permen LHK No 21/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/ 2019 Tentang  Hutan Adat dan Hutan Hak, (2) Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor SK 354 MenLHK Setjen/Kum.1/8/2018 Tentang Pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Penetapan Hutan Adat SK 347 MenLHK Setjen /Kum.1/ 5/ 2019 Tentang Perpanjangan Pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Penetapan Hutan Adat, dan (3) Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor SK 312 MenLHK Setjen/PSKL 1 4 2019 Tentang Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat. Maksud dari kebijkan tersebut adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi pemangku Hutan Adat dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan hutan lestari.

Tujuan dari kebijakan tersebut adalah agar pemangku hutan adat mendapat pengakuan perlindungan dan insentif dari Pemerintah dalam mengurus hutannya secara lestari menurut ruang dan waktu. Dalam Permen LHK No 21 /MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/ 2019 telah diatur Penetapan Hutan Adat melalui permohonan kepada Menteri oleh pemangku adat, dimana syarat permohonan (a) Sebagian atau seluruhnya berupa hutan, (b) Terdapat produk hukum daerah 1 Perda utk Hutan Adat dalam hutan negara 2 Perda Kep Kada di luar Kawasan hutan negara, (c) Peta wilayah adat lampiran perda kep Kada, dan (d) Surat pernyataan penegasan wilayah hutan adat pemohon persetujuan hutan adat dengan fungsi konservasi lindung dan produksi.

Salah satu provinsi yang memiliki klaim hutan adat yang luas adalah provinsi yang ada di Pulau Papua, termasuk Provinsi Papua (sebelum pemekaran). Mengacu pada data Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, konflik antara Kawasan hutan dengan klaim wilayah adat sebagaimana Tabel 1.

Tabel 1. Konflik Wilayah Adat Dengan Kawasan Hutan Negara di Provinsi Papua (Sebelum Pemekaran)

Sumber: Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Papua (2020)

Berdasarkan Tabel 1 tersebut, mengindikasikan bahwa Kawasan hutan yang diklaim oleh masyarakat adat, di luar Areal Penggunaan Lain (APL), mencapai 30,387,679.00 hektare, sedangkan luas Kawasan hutan berdasarkan Statistik Kehutanan Tahun 2019 seluas 30,387,499.00 hektare. Dengan kata lain bahwa seluruh hutan negara di Provinsi Papua diklaim sebagai hutan adat. Konflik ini sampai saat ini belum ada titik temu penyelesaian, Pemerintah Pusat seperti menafikkan adanya konflik tersebut, padahal di lapangan merupakan realitas yang harus diatasi. Meskipun isu ini merupakan issue sensitif, maka pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan perlu segera menyelesaikan konflik ini dengan lebih bijaksana dan mengajak masyarakat hukum adat Papua untuk menyelesaikan konflik ini dengan seadil-adilnya melalui dialog dan kesepakatan bersama. Karena apabila penyelesaiannya ditunda-tunda, akan menjadi bom waktu di kemudian hari seperti konflik Pulau-Pulau antar Pemerintah Daerah. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik ini menggunakan pendekatan PLUP.

Penyelesaian konflik penggunaan lahan karena perijinan

Dalam hal penyelesaian konflik penggunaan lahan karena perijinan, berikut disampaikan kasus konflik antara pemegang ijin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dengan pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPK) untuk produksi batubara dan sarana penunjangnya. Adapun penyelesaian konflik ini dilakukan dengan mengganti biaya investasi pengelolaan/pemanfaatan hutan kepada pengelola/pemegang izin usaha pemanfaaan hasil hutan kayu. Dalam kasus ini, meskipun proses ini diselesaikan dengan memberikan kompensasi terhadap biaya invenstasi, namun kondisi ini mengindikasikan ketidakpastian hukum bagi pemegang izin PBPH, sehingga harus mengubah Rencana Jangka Panjang maupun Rencana Tahunannya. Penyelesaian ini perlu diawali dengan penataan secara partisipatif melalui PLUP.

 

PENDEKATAN PLUP DALAM MENGATASI KONFLIK TATA GUNA LAHAN HUTAN DENGAN GUNA LAHAN PERDESAAN

Pada tulisan ini hanya akan diulas terkait dengan pendekatan PLUP dalam mengatasi konflik antara tata guna lahan hutan dengan guna lahan perdesaan. Pada dasarnya, penggunaan tanah di perdesaan diperuntukan bagi (1) penggunaan lahan perkampungan digunakan untuk kegiatan sosial, dan (2) penggunaan lahan pertanian digunakan untuk kegiatan ekonomi. Perkampungan/permukiman di perdesaan Indonesia biasanya merupakan pemukiman memusat (agglomerated rural settlement), berbeda dengan permukiman di Eropa atau USA berpola disseminated rural settlement, di mana permukiman terpencar sendiri-sendiri. Permukiman memusat di Indonesia ini dapat dibedakan atas dukuh atau dusun (hamlet). Dukuh atau dusun (hamlet) terdiri atas kurang dari 40 rumah, sedangkan kampung (villages) terdiri dari atas lebih dari 40 rumah sampai ratusan rumah. Di sekitar dusun atau kampung terdapat tanah untuk pertanian, perikanan, peternakan, pertambangan, kehutanan, tempat penduduk bekerja untuk mendapatkan nafkah sehari-hari.

Perkembangan penggunaan lahan di perdesaan umumnya berasal dari hutan. Pada kasus masyarakat Sunda, Provinsi Jawa Barat, pembentukan perkampungan diawali dengan penggunaan lahan agro ekosistem pertanian berupa agro ekosistem huma (perladangan berpindah), Berdasarkan perkembangan sistem sosial, pengaruh kebijakan pemerintah dan siklus ekologi, maka terjadi perubahan agro ekosistem huma menjadi agroekosistem lain dan akhirnya berkembangan menjadi permukiman, seperti terlihat pada gambar berikut yang menujukkan perkembangan permukiman masyarakat Sunda di Provinsi Jawa Barat.

Gambar 1. Perubahan Landskap Pertanian dari Ladang (Huma) Menjadi Landskap Lain di Masyarakat Sunda (diadaptasi dari Iskandar, Johan dan B.S. Iskandar, 2011)

Penggunaan lahan di perdesaan terus mengalami perkembangan, namun yang membedakan dengan perkembangan penggunaan lahan perkotaan adalah di perdesaan rasio antara penduduk dan lahan adalah masih besar, lapangan kerja adalah agraris, hubungan penduduk yang akrab, sifat yang cenderung mengikuti tradisi. Dari aspek sosial dan ekonomi, pembangunan perdesaan dihadapkan pada permasalahan yang cenderung menyebabkan ketertinggalan jauh dari pembangunan perkotaan. Beberapa permasalahan pembangunan perdesaan yang dihadapi diantaranya adalah (1) Orientasi pembangunan ekonomi Indonesia lebih mengarah pada pertumbuhan (growth), bukan pada pemerataan, (2) Desa menjual produk mentah dengan harga murah dan setelah melalui proses pengolahan, kota menjadikan desa pasar dengan margin harga jauh lebih besar, (3) Investasi ekonomi (infrastruktur dll.) mayoritas diarahkan untuk melayani daerah perkotaan. Begitu pula dengan kesempatan kredit atau pinjaman yang lebih sedikit, (4) Rendahnya nilai tukar (terms of trade) produk atau jasa masyarakat desa terhadap produk atau jasa perkotaan, dan (5) Pembangunan kota terlalu ‘modernisasi’ sehingga muncul citra desa sebagai ‘karakter yang terbelakang’ yang sebenarnya merupakan lebih kepada visi kota.

Kemudian bila mengacu pada teori von Thunen, perkembangan kota telah menyebabkan terjadinya pengusiran penggunaan lahan perdesaan (land use expulsion) oleh perkembangan kota terutama oleh lahan penggunaan lahan permukiman masyarakat kota atau industri dengan mengkonversi lahan pertanian. Di pedesaan sendiri terjadi alih fungsi lahan karena perkembangan penduduk untuk permukiman maupun perkembangan ekonomi non-agraris. Lahan yang memiliki nilai sewa (land rent) yang rendah diantara penggunaan lain adalah lahan hutan, sehingga pergeseran penggunaan lahan pertanian mengarah ke kawasan hutan. Karena di Indonesia Kawasan hutan adalah domain negara, maka penggunaan lahan hutan oleh masyarakat pedesaan dianggap sebagai perambahan (encroachment). Namun perkembangan penduduk dan ekonomi di pedesaan juga seharusnya perlu diantisipasi oleh negara melalui penataan hutan secara partisipatif. Demikian juga masyarakat perdesaan sekitar hutan juga perlu difasilitasi dalam merencanakan penggunaan lahan desanya juga secara partisipatif, untuk mempertemukan kebutuhan lahan akan kedua penggunaan lahan tersebut.

Participatory Land Use Planning/PLUP (Perencanaan Penggunaan Lahan Partisipatif) adalah suatu pendekatan perencanaan yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan pemangku kepentingan terkait dalam proses pengambilan keputusan mengenai penggunaan lahan. (MCA, 2017). Participatory rural appraisal (PRA) digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan penggunaan lahan dan opsi penggunaan lahan di masa depan (Nursafingi, 2021).  Dengan demikian, tujuan utama dari participatory land use planning adalah untuk menciptakan perencanaan yang lebih inklusif, demokratis, dan berkelanjutan. Dalam participatory land use planning, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya diajak untuk berpartisipasi dalam identifikasi masalah, penentuan tujuan, pemetaan sumber daya, analisis dampak, pemilihan alternatif penggunaan lahan, dan pengambilan keputusan terkait penggunaan lahan. Melalui partisipasi aktif masyarakat, kepentingan dan kebutuhan mereka dapat terakomodasi dalam perencanaan penggunaan lahan, sehingga lebih sesuai dengan konteks lokal dan mendorong adanya kepemilikan bersama dan tanggung jawab bersama terhadap pengelolaan lahan.

Partisipasi masyarakat dalam participatory land use planning dapat dilakukan melalui berbagai metode, seperti rapat partisipatif, dialog publik, forum diskusi, atau melibatkan kelompok-kelompok masyarakat terkait. Dalam proses ini, pemerintah atau lembaga terkait berperan sebagai fasilitator untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dan memastikan bahwa keputusan yang dihasilkan mencerminkan kepentingan dan aspirasi berbagai pihak. Dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan dalam perencanaan penggunaan lahan, participatory land use planning dapat menghasilkan kebijakan dan tindakan yang lebih berkelanjutan, meminimalkan konflik, meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan lahan, dan mencapai tujuan pembangunan yang lebih inklusif dan berkeadilan. Untuk menguatkan perencanaan yang disusun, hal tersebut harus dituangkan dalam bentuk aturan baku berupa peraturan desa tentang perencanaan tata guna lahan partisipatif.  Implementasi PLUP kedalam peraturan desa. Pada saat pengembangan guna lahan desa ke dalam Kawasan hutan, maka diperlukan mekanisme tersendiri, diantaranya mekanisme Transfer Development Right (TDR) atau pengalihan hak membangun.

Pengalihan hak membangun memberikan peluang bagi seseorang atau pemillik lahan untuk memindahkan atau menukarkan hak membangun yang dimilikinya dari satu lokasi ke lokasi lainnya (Mungkasa, 2022). Prinsip dari TDR adalah memungkinkan hak membangun yang tidak terpakai dari sebuah lokasi untuk dialihkan dari area yang tidak diinginkan oleh pemerintah untuk dikembangkan ke area yang diinginkan oleh pemerintah untuk dikembangkan (Jun Hou et.al, 2018). Di negara maju, prinsip TDR ini sudah lama diterapkan di berbagai kota besar dengan beragam tujuan mulai dari melindungi lahan pertanian maupun kawasan bersejarah, memelihara habitat margasatwa, dan mengendalikan desakan pembangunan pada kawasan tertentu. Termasuk penanganan kawasan kumuh, pencegahan urban sprawl, perlindungan cagar budaya, perlindungan kawasan hutan, penambahan ruang terbuka untuk publik, dan lain sebagainya yang ditentukan oleh pemerintah dan bekerja sama dengan pemangku kepentingan lainnya atau yang merupakan kesepakatan bersama antarpemangku kepentingan (Mungkasa, 2022). Namun sangat disayangkan, terlepas dari fungsi dan manfaatnya yang beragam dan nyata dalam meningkatkan efektifitas pembangunan kota, di Indonesia hanya tercatat kota Jakarta yang telah menerapkan prinsip TDR ini.

Bila mengacu pada penerapan TDR di Negara maju tersebut, TDR juga dapat digunakan dalam melindungi Kawasan hutan. Dengan demikian mekanisme TDR dapat digunakan dalam mengantisipasi konflik antara penggunaan lahan kawasan hutan dengan penggunaan lahan pertanian di perdesaan. Oleh karena itu, maka hasil perencanaan melalui pendekatan PLUP, perlu juga diberikan ruang dan atau dilengkapi dengan mekanisme TDR. Misalnya di dalam Kawasan hutan ada lahan memilki kelas kemampuan lahan untuk kegiatan pertanian atau perkebunan, dimungkinkan untuk dilakukan pertukaran dengan lahan milik (guna lahan perdesaan) yang tidak produktif atau guna lahan perdesaan yang kemampuan lahan hanya untuk konservasi. Karena tujuan TDR pada hakekatnya adalah (1) melindungi kawasan hutan/konservasi, pertanian, cagar budaya, (2) mengarahkan pertumbuhan ke area yang sesuai, dan (3) memberikan kompensasi ekonomi bagi pemilik lahan di area yang dibatasi pembangunannya.

IMPLIKASI PADA KEBIJAKAN PENATAAN KAWASAN HUTAN

Sampai saat ini kebijakan terkait penataan Kawasan hutan dalam berbagai bentuknya belum sepenuhnya dapat menyelesaikan konflik penggunaan lahan Kawasan hutan. Untuk membatasi konflik penggunaan lahan hutan dan lahan perdesaan atau hutan adat, sebaiknya Kementerian Kehutanan dapat memfasilitasi pelaksanaan penataan ruang di pedesaan secara partisipatif (PLUP), khususnya pada desa-desa atau wilayah adat yang berbatasan dengan atau dalam Kawasan hutan. Melalui PLUP kebutuhan akan lahan perdesaan ini dapat diketahui, baik kebutuhan akan lahan untuk permukiman perdesaan karena pertumbuhan penduduk maupun pertumbuhan ekonomi di masa mendatang. Melalui PLUP ini juga dapat diketahui kemungkinan rencana pengembangan penggunaan lahan perdesaan ke dalam Kawasan hutan. Oleh karena itu kebijakan penataan Kawasan hutan secara partisipatif juga perlu dilengkapi dengan kebijakan pemindahan hak membangun (TDR) antara lahan milik atau lahan adat di perdesaan dengan Kawasan hutan. Dengan demikian tujuan pembangunan kehutanan yakni untuk kesejahteraan sebesar-besarnya bagi masyarakat dapat terwujud, tidak hanya kebijakan untuk mengakomodasi penggunaan kawasan hutan untuk kaum pemodal dan masyaakat kota tetapi juga untuk mendukung perkembangan ekonomi di perdesaan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Anna Maria Colavitti, Sergio Serra. 2016. The transfer of development rights as a tool for the urban growth containment: A comparison between the United States and Italy. Papers in Regional Science, Volume 97 Number 4 November 2018.

Castella, J.C. 2014. Participatory land use planning (PLUP). AGRISUD International; IRD.

Direktorat Penanganan Konflik, Tenurial & Hutan Adat Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial & Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2021. Bahan Pembahasan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Pembangunan Food Estate Kabupaten Ketapang.

Iskandar, Johan dan B.S. Iskandar. 2011. Agroekosistem Orang Sunda. Penerbit Kiblat.

Jun Hou, Edwin H. W. Chan, L. H. Li. 2018. Transfer of development rights as an institutional innovation to address issues of property rights. J Hous and the Built Environ (2018) 33:465–479. https://doi.org/10.1007/s10901-018-9613-6.

Mungkasa, Oswar. 2022. Pengalihan Hak Membangun (Transfer of Development Rights) Pembelajaran Mancanegara sebagai Sumber Inspirasi Pembangunan Kota Indonesia. See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/360497506.

Nursafingi, A. 2021. Participatory land-use planning for strengthening the village land resources management: a case study of Gorontalo, Indonesia. OP Conf. Series: Earth and Environmental Science 917 (2021) 012007.

Wiradyo, Estiko Tri. 2020. Kebijakan dan Tantangan Pengakuan Hak Adat Dari Perspektif Kehutanan di Provinsi Papua. Disampaikan Dalam Webinar Seri Diskusi Masyarkat dan Wilayah Adat oleh WRI Indonesia.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *