Drs. ADJIS HERJAN, MANTAN KKPH DAN RIMBAWAN PEJUANG 1945
OLeh: Ir. Slamet Soedjono, MBA
Pengasuh MRI
Pada akhir Januari 2020 sebelum timbulnya pandemi covid 19 Rimbawan Indonesia kehilangan salah seorang anggauta seniornya bapak Drs. Adjis Herdjan, Rimbawan Nasionalis Pecinta Tanah Air yang telah mendharmabaktikan jiwa raganya demi tegak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan ikut berjuang dan berperang di medan tempur selama 4 tahun (1945-1949) yaitu sejak menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI melawan Jepang, bertempur mempertahankan Kemerdekaan RI melawan Belanda yang ingin menjajah kembali RI, hingga saat Negara dan Pemerintah RI mendapatkan kembali kedaulatannya berkat kegigihan dalam perjuangan secara fisik maupun politik internasional.
Meninggalnya almarhum bapak Drs. Adjis Herdjan pada tanggal 27 Januari 2020 di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta karena usia lanjut dan sakit “gagal ginjal” dengan menjalani cuci darah selama 2 bulan, dan meninggal dalam usia 94 tahun kurang 2 bulan, banyak rimbawan senior yang mengenalnya tidak mendengar beritanya sejak sakit hingga wafatnya (termasuk penulis sendiri) sehinga hampir semua rimbawan yang mengenalnya tidak sempat besuk ketika masih sakit maupun takziah ketika meninggalnya. Padahal sebelum dimakamkan di Bogor jenazah disemayamkan di rumah duka Jl. Sekolah Duta V No. 1 Pondok Indah Jakarta di rumah salah satu puterinya. Hanya beberapa orang pensiunan rimbawan KPH Bogor yang pernah menjadi anak buah pak Adjis Herdjan yang sempat takziah di pemakaman Dredet Bogor.
Untuk mengenang jasa-jasa almarhum marilah kita ingatkan riwayat hidup dan pengabdiannya untuk bangsa dan negara pada umumnya dan untuk Kehutanan pada khususnya.
Adjis Herdjan dilahirkan di Kuningan-Cirebon tanggal 11 Maret 1926 dari orang tua yang bekerja sebagai Pegawai Pemerintah Belanda (priyayi) sehingga dapat bersekolah di Sekolah Dasar Belanda yang memakai bahasa pengantar Belanda yaitu sekolah HIS (Holland Inlandsche School). Selepas dari HIS meneruskan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Bandung yang ketika Jepang berkuasa diubah menjadi SMP (Sekolah Menengah Pertama). Selama bersekolah di SMP Bandung ini secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi mendapat pendidikan semangat kebangsaan (nasionalisme) dari guru dan politisi penganut ajaran nasionalime Bung Karno yang di Bandung banyak pengikut/ pendukungnya. Seperti diketahui ajaran nasionalisme yang ditekuni Bung Karno sejak menjadi mahasiswa Techniche Hooge School atau THS (sekarang ITB) bahkan sejak masih menjadi siswa HBS di Surabaya dari ajaran KH Cokroaminoto dan Budi Utomo, berkembang pesat di Bandung. Ajaran nasionalisme dan hasrat memiliki Negara sendiri terlepas dari belenggu penjajahan sangat merasuk dalam hati para pemuda dan angkatan muda pada umumnya termasuk dalam diri pribadi pemuda Adjis Herdjan. Setelah lulus SMP Adjis Hedjan melanjutkan sekolah ke Sekolah Kehutanan Menengah Tinggi (SKMT) di Bogor sekolah calon Sinder Kehutanan yang berikatan dinas, di asrama, bebas biaya pendidikan dan setelah lulus langsung diangkat menjadi Pegawai Kehutanan tingkat Opseter Kehutanan.
Tak lama setelah bersekolah di SKMT Bogor terjadi perubahan situasi/ keadaan pemerintahan dimana bala tentara Jepang yang berkuasa banyak mengalami kekalahan perang melawan Sekutu dan penguasa pemerintahan mulai goyah dan mulai lunak seperti memberi harapan akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya oleh para pemimpin perjuangan dan pejuang Indonesia untuk semakin menegaskan, meyakinkan dan membulatkan tekad merebut dan meraih kemerdekaan.
Pada suatu malam hari 70 siswa SKMT berkumpul di Puncak di sekitar kebun teh untuk berikrar setuju tidaknya mendukung Indonesia “MERDEKA SEKARANG” atau menunggu nanti-nanti kalau kita sudah kuat dan siap diberi kemerdekaan oleh Jepang. MENDUKUNG berarti HARUS SIAP BERJUANG dan RELA BERKORBAN JIWA RAGA untuk memperoleh kemerdekaan. Ternyata dalam pemungutan suara hampir 70 % mendukung dengan semangat yang menggelora. Di sini Adjis Herdjan ikut berperan penting dalam menggelorakan semangat nasionalisme dan semangat perjuangan berkat hasil pendidikan politiknya semasa di Bandung.
Selanjutnya pernyataan yang ditandatangani oleh para siswa SKMT ini dilaporkan ke Kepala SKMT untuk selanjutnya disampaikan ke Pimpinan Perjuangan di Bogor.
Setelah didengar berita bahwa Jepang dalam 1 minggu 2 kali dibom atom oleh Amerika (di Nagasaki tanggal 6 Augstus 1945 dan di Hirosima tanggal 9 Agustus 1945) dengan korban ratusan ribu orang meninggal dan disusul pernyataan Jepang menyerah kalah kepada Sekutu, maka para pejuang dan pemuda termasuk siswa SKMT yang tidak sabaran segera menyerbu pos-pos penjagaan Jepang untuk meminta/merebut senjatanya dengan hanya berbekal golok, keris, potongan besi dan sebagainya. Ada yang berhasil dengan mudah tetapi tidak sedikit pula yang mendapat perlawanan hingga menewaskan perebutnya. Setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan (17-8-1945) semangat perjuangan pemuda dan pejuang semakin menggelora. Kedatangan pasukan Sekutu yang bertugas melucuti tentara Jepang dan diboncengi tentara Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia membikin para pejuang semakin marah dan melakukan perlawanan, tetapi karena kekuatan mereka jauh lebih kuat maka perlawanannya hanya dapat dilakukan secara bergerilya dengan serangan-serangan sporadis di malam hari tetapi tidak kunjung berhenti. Usaha mendapatkan senjata baik dengan cara perebutan, penyerbuan maupun pencurian terus dilakukan.
Dengan semakin banyaknya kedatangan pasukan Sekutu di Bogor yang dipelopori pasukan Inggris dengan pasukuan pendukung dari India (pasukan Ghurka) bersama tentara KNIL (Belanda) pasukan pejuang RI tak mampu membendungnya hingga kantor-kantor pemerintahan serta kantor instansi pemerintah lainnya diduduki pasukan Sekutu maka pasukan pejuang RI (TKR/TNI/TP/ Kelaskaran) mundur ke arah Cianjur, Sukabumi dan Jasinga untuk membangun basis pertahanan baru.
Dari basis pertahanan baru ini para pejuang (termasuk pasukan SKMT) melakukan penyerangan terhadap pos-pos penjagaan, markas maupun asrama tentara sekutu yang kemudian hanya tentara Belanda yang diperkuat untuk mempertahankan kota Bogor. Satu kesan yang tak terlupakan ialah ketika bertiga ia bersama 2 orang teman pejuang kehutanan mendapat tugas (kepercayaan) untuk mengawal Menteri Kemakmuran (Menteri Pertanian Pertama) Mr. Maria Ulfah Santoso untuk menghadap Presiden Soekarno di tempat kediamannya Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta sebelum hijrah ke Yogya, dan berhasil selamat pada hal keadaan keamanan di perjalanan maupun di Jakarta sangat rawan.
Pada tanggal 6 Januari 1946, Ibu kota Pemerintah RI, Para Pimpinan Nasional diikuti Instasi-Instasi Pemerintah Pusat berikut ASN nya hijrah ke Yogyakarta. Menyusul pula Instansi Kehutanan tingkat Pusat dan ASN nya yang ada di Bogor. Semuanya ini karena keadaan yang memaksa akibat tekanan keamanan dari pihak musuh (Belanda). Siswa SKMT klas III dipercepat kelulusannya (1945), siswa klas II hijrah ke Yogya (Kaliurang) bulan April 1946 dan siswa klas I hijrah ke Yogya awal Juni 1946 setelah hampir setahun di Bogor belajar dan sambil berjuang di medan tempur untuk kemerdekaan RI dimana siswa Adjis Herdjan terlibat langsung dalam perjuangan itu. Di Yogya pun sambil belajar di sekolah terus bergabung pada pasukan perjuangan tetapi sampai datangya agresi Belanda I Juli 1947 tidak terlalu sering mendapat tugas tempur di medan perang hanya sesekali mendapat tugas di front Utara (Semarang). Baru setelah pasukan Agresi I Belanda dalam penyerbuannya terhenti di Gombong dan dibuat garis batas demarkasi membujur Utara-Selatan di sebelah Timur kota Gombong tugas bertempur di daerah Gombong (yang dikenal sebagai medan perjuangan front Barat) ini sangat sering dan kadang berbulan-bulan. Di kala belajar di klas di samping kursi kanan terletak buku-buku pelajaran dan buku catatan di sebelah kiri tergantung senjata laras panjang atau pistol atau samurai, pakaiannya seragam sekolah tetapi kalau mau berangkat perang berganti pakaian dinas kesatuan perjuangan/ kemiliterannya.
Mendapat tugas tempur di suatu tempat tertentu disambutnya dengan gembira dan bersorak sorai sambil bernyanyi nyanyi penuh semangat sebelum keberangkatannya. Ceritera pertempuran berbulan-bulan di Gombong yang dijalani bolak-balik Gombong –Yogya untuk menyelesaikan pendidikannya di SKMT cukup panjang, tetapi yang paling mengesan dan mengharukan ialah ketika harus membakar/ membumihanguskan Rumah Dinas dan Kantor KBKPH Gombong Selatan di Jl. Raya Gombong yang begitu berwibawa dan membanggakan Pejabat Kehutanan supaya tidak dipakai Belanda. Kesan yang ketiga adalah ketika terjadi Agresi II (Desember 1948) berbagai pasukan perjuangan RI yang ada di Gombong tidak mampu membendung/menahan/melawan gemuruhnya berpuluh-puluh tank, panser dan truk-truk penuh militer Belanda yang bersenjata lengkap dan otomatis pimpinan Jendral Spoor Panglima Tertinggi Militer Belanda akan menyerbu Yogyakarta dari Barat. Ketika ada perintah supaya mundur kembali ke basis perjuangan di Yogya dengan kereta api yang sudah disiapkan di stasium kereta api Gombong ketika tiba di stasiun kereta api ternyata baru saja berangkat maka lemas dan bingung apa yang harus dilakukan. Akhirnya diputuskan kembali saja ke basis perlindungan gerilya di Desa Mangli-Kuwarasan 7 km arah selatan dari Gombong. Perjalanan dengan jalan kaki dengan menyelinap-menyelinap akhirnya sampai di tempat persembunyian yang dibantu oleh orang kampung setempat. Setelah 3 hari istirahat diputuskan akan kembali ke Yogya berjalan kaki berliku-liku melalui desa-desa sepanjang pantai selatan Gombong-Bantul. Perjalanan terputus-putus untuk keamanan, istirhat tidur dan makan dibantu penduduk setempat, akhirnya sampai pula di Yogyakarta memakan waktu hampir 4 minggu. Celakanya awal berjumpa dengan teman-teman seperjuangan sambutan mereka LOO KAMU MASIH HIDUP TO TAK KIRO WIS MATI DIBANTAI LONDO walau akhirnya setelah berceritera panjang lebar dipeluk dan diciuminya penuh haru atas keselamatan dan perjumpaan mereka. Waktu itu ibukota RI Yogya sudah dikuasai Belanda. Para pejuang sudah berjuang/bergerilya di luar kota.
Setelah beberapa hari di Yogya diberitahu bahwa siswa klas III SKMT yang belajar sambil berjuang sudah dinyatakan lulus semua dan sudah diangkat menjadi Pegawai Negeri tetapi belum diberi tugas tertentu yang masih ikut berjuang dipersilahkan melanjutkan perjuaannya termasuk pak Adjis Herdjan ini. Adjis Herdjan melanjutkan berjuang bergerilya dan bertempur dari luar kota sampai diraihnya kemenangan hingga Yogya kembali menjadi ibukota RI pada bulan Juli 1949.
Setelah situasi semakin membaik akhir Agustus 1949 pak Adjis minta pindah ke Bogor di Kantor Besar Kehutanan yang masih dikuasai pejabat2 Belanda. Setelah diterima ternyata gajinya dibedakan antara lulusan SKMT Yogya yang dalam belajarnya memakai Bahasa Indonesia dengan lulusan MBS Bogor buatan Belanda yang dalam studinya memakai bahasa Belanda. Bedanya cukup menyolok yang berijazah MBS Bogor digaji f 260 yang dari SKMT Yogya f 180 tentu saja menimbulkan protes wong pak Adjis dkk juga fasih berbahasa Belanda bahkan Inggris. Protes diterima akan disamakan gajinya tetapi harus melalui Kursus terentu selama 3 bulan.Ketentuan itu diterima dan dijalani kemudian gajinya disamakan. Tidak lama bekerja di Kantor Besar Kehutanan Bogor selanjutnya dipindahkan ke KPH Banten diangkat menjadi Pejabat KSKPH (waktu itu istilahnya Koordinator KBKPH) Banten Utara meliputi KBKPH Serang, Pandeglang, Rangkasbitung, dan Cibaliung Barat.
Dari Banten dipindahkan menjadi KSKPH Indramayu di Cirebon berkedudukan di Kadipaten. Selama bertugas di Indramayu wilayah kerjanya banyak yang menjadi sarang gerombolan DI/TII.Dari KSKPH Indramayu pindah ke Sumedang dari situ mendapat promosi menjadi KKPH Cianjur. Selama bertugas di Sumedang dan Cianjur sempat mengikuti kuliah di Universitas Pajajaran hingga meraih gelar Drs. dalam Ilmu Pemerintahan dan ketika menjadi KKPH Cianjur mendapat tugas belajar di SESKOAK Lembang dan mungkin hanya satu-satunya orang Kehutanan yang berijazah SESKOAK (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Kepolisian) kemudian menjadi SESKOPOL sehingga cukup disegani di kalangan Kepolisian di kala ada urusan dinas kehutanan dengan pihak Kepolisian.
Dari KKPH Cianjur dipindahtugaskan menjadi KKPH Sukabumi selanjutnya pindah menjadi KKPH Bogor hingga pensiun sebagai KKPH Bogor.
Setelah pensiun dari KKPH Bogor almarhum aktif bekerja di salah satu unit usaha Yayasan Sarana Wana Jaya PT Bina Lestari hingga beberapa tahun lamanya.
Almarhum meninggal dunia pada usia 94 tahun kurang 2 bulan, pencapaian usia yang sangat tinggi dengan meninggalkan 7 anak, 22 cucu dan 12 cicit. Jenazah almarhum dimakamkan di TPU Dredet Bogor meskipun almarhum memiliki tanda penghargaan” Bintang Gerilya” sebagai Pejuang 45 yang berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan dengan Upacara Militer. Almarhum lebih suka dimakamkan satu lahat dengan isteri tercintanya. Mari kita doakan semoga arwah almarhum diampuni dosa-dosanya diterima amal baiknya, diterima di sisi Nya dan keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran dan keikhlasan.