JANGKA IMAH – JANGKA BENAH – JANGKA GENAH MENATA KALIMANTAN TENGAN YANG SOLUTIF
Oleh : Ir. Petrus Gunarso, M.Sc Ph.D, IPU.
Pengamat Perhutanan Global – RJR
Sejarah Kalimantan Tengah bermula dan berulang dengan konflik mengenai alokasi sumberdaya alam, khususnya sumberdaya hutan. Di masa penjajahan, wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan adalah satu bentang alam dan menjadi satu provinsi dengan ibukota di Banjarmasin. Setelah kemerdekaan, dipisahkan antara Kalimantan Tengah yang sekarang ini dari Kalimantan Selatan pada tahun 1957. Gubernur pertama Kalimantan Tengah ditunjuk dari suku Dayak yaitu Tjilik Riwut. Kalimantan Tengah ketika itu itu masih hutan belantara dan kaya akan sumberdaya hutan.
Pada awal masa Orde Baru – seluruh Kalimantan Tengah diasumsikan sebagai Kawasan hutan. Bahkan sampai dengan tahun 1982, dalam Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), seluruh Kalimantan Tengah ditunjuk sebagai kawasan hutan. Oleh karena itu – di awal 90-an, sering terjadi anekdot yang menyatakan bahwa Palangkaraya – ibukota Kalimantan Tengah itu berada seluruhnya di kawasan hutan produksi.
Pada masa awal orde reformasi, telah terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam alokasi sumberdaya lahan bagi kegiatan non kehutanan. Proporsi antara Kawasan hutan dan non Kawasan hutan dalam Perda 8/2003 adalah 67% Kawasan hutan berbanding 33% Kawasan non hutan. Namun demikian Perda ini tidak diakui oleh Kehutanan dan terus diupayakan adanya padu serasi dengan TGHK, dengan target memperluas kawasan hutan.
Ketika perda tata ruang 8/2003 sudah dimanfaatkan oleh para bupati untuk mengeluarkan persetujuan lokasi pembangunan perkebunan, khususnya sawit, maka perkembangan sawit di Kalimantan Tengah berkembang cepat mulai tahun 2005 sampai dengan 2015. Pertumbuhan kebun sawit pada tahun 2015 tersebut telah mencapai 1.3 juta hektar[1]. Masa-masa dari jaman kemerdekaan sampai dengan tahun 2015 – alokasi sumberdaya alam di Kalimantan Tengah diwarnai dengan kepentingan sesaat dan untuk kepentingan penguasa saat itu – masa inilah yang dimaksud dengan jangka IMAH.
JANGKA IMAH
Apa itu jangka imah? Jangka imah atau kepentingan jangka pendek penguasaan kawasan hutan agar dapat mengeluarkan ijin yang sejak awal ditengarai terjadi ekonomi biaya tinggi. Biaya pelepasan Kawasan hutan – dalam bisnis lahan telah banyak diungkapkan[2]. Maka jangka imah ini telah menimbulkan ketidak adilan dan arogansi sektoral – karena dorongannya adalah menguasai seluas-luasnya kawasan hutan – untuk seluas-luasnya pula bisa melepaskannya. Dalam tata ruang 5/2015; hutan produksi konversi dialokasikan seluas 2.5 juta hektar dengan mempersempit ruang APL dari 27% menjadi “hanya” 17%. Tetapi selama periode 2008 sampai dengan 2014, terjadi pelepasan Kawasan hutan seluas hampir 300.000 ha[3].
Pelepasan yang berprinsip jangka imah ini terbukti bahwa selama ini di Kalimantan Tengah pelepasan Kawasan hutan terjadi paling banyak. Paling luas dan ternyata menghasilkan sawit yang paling produktif.
Pelepasan Kawasan hutan menjadi kacau karena Tata Ruang yang baru bukan memperluas APL, tetapi justru memperluas Kawasan hutan.
JANGKA BENAH
Putusan Mahkamah Konstitusi 2011 merupakan awal terjadinya jangka benah. Jangka dimana terjadi pembenahan alokasi Kawasan hutan baik untuk kepentingan perusahaan maupun untuk masyarakat hukum adat. Dua putusan Mahkamah Konstitusi mengenai kehutanan lahir dari Kalimantan Tengah.
Walaupun para Bupati dan Walikota telah memanfaatkan Perda Tata Ruang, Kehutanan tetap belum mau menerimanya sebagai Tata Guna lahan – dan terus melakukan klaim Kawasan hutan yang jauh lebih luas proporsinya dibanding Kawasan non Kehutanan. Pada waktu itu populasi penduduk Kalimantan Tengah memang masih relatif kecil – masih kurang dari 2 juta orang. Dengan luas propinsi (15,3 jt ha) atau lebih kurang 1.5 kali pulau Jawa, maka lahan di Kalimantan memang sangat luas. Kalimantan Tengah merupakan provinsi terluas ke 2 saat ini, setelah Papua.
Untuk kepentingan konservasi sumber daya alam ditunjuklah dua Taman Nasional yaitu TN Sebangau dan TN Tanjung Puting – dengan luas keduanya mencapai 1 juta hektar (10%) dari seluruh daratan Kalimantan Tengah. Belum lagi Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya yang berada di perbatasan dengan Kalimantan Barat. Walaupun sebagian besar wilayahnya di Kalimantan Tengah, tetapi kantor Balai Taman Nasionalnya berada di wilayah Kalimantan Barat. Dengan hutan lindung dan Cagar Alam serta Suaka Margasatwa yang ada – maka telah ditunjuk wilayah konservasi seluas lebih dari 10% dari total Kawasan Provinsi Kalimantan Tengah, melebihi target internasional untuk suatu bentang alam saat itu.
Pada saat itu luas Taman Nasional lebih luas dibanding dengan luas untuk pemukiman. ALokasi untuk orang utan dan sejenisnya jauh lebih luas dibanding alokasi untuk masyarakat yang tinggal di dalam provinsi tersebut.
Muncullah perlawanan dari para bupati melalui MK – bahwa kehutanan tidak boleh begitu saja menunjuk dan mengklaim Kawasan hutan. MK mengabulkan permohonan para Bupati dan menghilangkan kata atau dalam UU 41; dalam hal penataan Kawasan hutan. Jadi menurut MK, Kehutanan harus menetapkan Kawasan hutan setelah menunjuknya. Untuk itu langkah yang harus ditempuh oleh Kehutanan adalah, menunjuk, melakukan penataan batas, memetakan, dan menetapkan.
Putusan MK memang tidak berlaku surut; tetapi berlaku ke depan. Oleh karena itu muncullah pemahaman – apa yang pernah ditunjuk sebelum putusan MK tetaplah berlaku. Padahal secara common sense – ya misalkan penunjukan masih berlaku – tetapi Kehutanan harus segera melakukan penetapan! Sesuai arahan dari MK!
Yang justru menjadi konflik baru adalah munculnya Perda 5/2015 mengenai Tata Ruang Provinsi – yang membatalkan Perda sebelumnya. Padahal dalam perda yang baru ini, proporsi hutan dan non hutan kembali pada era penunjukan – yaitu 17% non hutan dan 83% Kawasan hutan. Bila dibayangkan perbedaan 33% menjadi 17% – ada perbedaan seluas 16% dari yang semula non hutan kembali menjadi Kawasan hutan. 16% dari 15 juta ha itu adalah seluas 0.16 x 15 juta ha = 2.4 juta ha. (Perda 5/2015 banyak mengadopsi SK Penunjukan Menhut 529/2012)
Angka tersebut tidak terlalu jauh dengan luasan kebun sawit di Kalimantan Tengah seluas 1.82 juta ha[4]. Prosesnya tentu bertentangan – antara Keputusan Bupati dengan Klaim Kehutanan. Bupati yang mendasarkan pada Perda No. 8 tahun 2003 – pasti akan menjadi bersalah karena mengeluarkan persetujuan lokasi tanpa pelepasan Kawasan hutan – karena Kawasan hutan bertambah 16% sejak Perda 2003.
Jika masalah tersebut di atas tidak segera diselesaikan – maka perebutan kewenangan yang bermula dari perebutan jangka imah diusulkan menjadi jangka benah oleh teman-teman kehutanan. Apa itu jangka benah?
Usulan pembenahan yang bersifat sepihak masih muncul sampai saat ini. Namun pembenahan seperti itu rasanya adalah utopia. Jangka benah merupakan usulan solusi di mana sawit yang terlanjur ditanam – dan berada di dalam Kawasan hutan akibat penunjukan yang semena-mena. Dikatakan semena-mena karena tidak jelas kriteria ilmiahnya. Memang dibentuk team terpadu – tetapi keputusan sepertinya tidak didasarkan pada kriteria evaluasi lahan yang scientific, tetapi lebih ke subyektivitas dari tim terpadu atau yang terkuat suaranya dalam Timdu dimaksud.
Jika usulannya adalah jangka benah – memberi waktu satu kali daur kemudian ditebang atau dicampur dengan tanaman hutan – pada saatnya tanaman sawit harus ditebang setelah mencapai usia daur 25 tahun. Ada juga rencana penyelesaian melalui konsep Perhutanan Sosial.
JANGKA GENAH
Perlu penataan ruang yang disepakati para pihak. Tata Ruang Kesepakatan menjadi sebuah keniscayaan. Melihat Kalimantan Tengah yang rusak tata ruangnya dan belum adanya titik temu serta kesepakatan ruang, di sana muncul begitu banyak proyek strategis yang tumpang tindih dengan Kawasan hutan. Hal ini bermula dengan putusan MK yang relatif mendua; menyatakan penunjukan sebelum putusan MK dinyatakan masih berlaku. Itulah maka di tahun 2015 Tata Ruang Kalteng masih hampir sepenuhnya menggunakan panduan SK Menteri Kehutanan 529.
Usulan Kehati dan UGM untuk jangka benah – masih berpihak pada kepentingan kehutanan semata. Hasilnya ke depan pasti akan sulit.
Maka kini diusulkan jangka genah – dalam Bahasa Indonesia genah – sama dengan good governance. Jika kebun secara scientific ditetapkan, tata ruang secara scientific ditetapkan, maka hal itu jelas lebih genah – lebih baik lebih tertata.
Untuk bisa melakukan jangka genah maka perlu langkah. Langkah pertama inventarisasi/sensus ulang lahan seluruh provinsi. Ronanya dipetakan dan dikaji secara ilmiah – wilayah mana yang harus dipertahankan sebagai hutan, dan wilayah mana yang boleh terus berlanjut dengan kebun. Tidak semua harus kebun sawit, tetapi boleh kebun karet, kebun campuran, sawah, dan sebagainya perlu diakomodir bagi warga Kalteng.
Langkah kedua adalah mendapatkan support dari para pihak mengenai pembiayaan dan pelaksanaan sensus lahan dimaksud. Siapa para pihak yang berkepentingan?
Apakah mereka yang berkepentingan atas kepastian lahannya mau membiayai – jika langkah ini memberi kepastian kepada mereka?
Langkah ke tiga diadakan penyuluhan kepada semua pihak yang berkepentingan – untuk ikut dalam program ini. Bagi mereka yang tidak ikut program – maka mereka tidak akan mendapatkan keuntungan yaitu kepastian lahannya.
Langkah ke empat penetapan oleh pemerintah – sertifikat bagi pemilik; HGU bagi perusahaan, dan tata batas temu gelang bagi Kawasan hutan. Jika semua telah sepakat dan semua telah melakukan penataan batas – maka dalam dua tahun masalah ini akan selesai.
Langkah ke lima adalah menghitung keuntungan ekonomi bagi pemerintah dan bagi para pihak. Mendokumentasikannya dan menjadikannya sebagai sebuah SOP penyelesaian lahan di provinsi-provinsi lain – misalnya Riau, Sumut, Sumsel, Lampung dan provinsi-provinsi lain yang sarat dengan permasalahan tumpang tindih lahan.
Jakarta 18 Oktober 2020
Petrus Gunarso, PhD
[1] https://kalteng.bps.go.id/indicator/54/569/2/kelapa-sawit.html
[2] https://bangazul.com/permasalahan-hutan-di-indonesia/
[3] http://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2017/02/Data-Pelepasan-Kawasan-Hutan.pdf
[4] CIFOR Working Paper 247 di https://www.cifor.org/publications/pdf_files/WPapers/WP247Wibowo.pdf