Artikel Utama

PARADOKS KOMODITAS EMAS HIJAU: Ketika Buah yang Menghidupi Justru Menjadi Kambing Hitam

Oleh: Ir. Gilarsi Wahju Setijono, IPU

(Mantan Direktur Utama PT Pos Indonesia 2015-2020)

Panen Buah, Tuai Stigma: Ironi Petani Sawit di Tengah Hujatan Global

Coba, bayangkan sebentar: Anda seorang petani kelapa sawit di pedalaman Riau. Separuh hidup Anda tercurah untuk merawat tanaman yang memberikan nafkah bagi keluarga. Lalu suatu pagi, Anda terbangun dan mendapati dunia memandang Anda seperti seorang antagonis dalam sinetron murahan – penjahat lingkungan yang mengorbankan masa depan planet demi sebidang tanah dan setandan buah. Sementara di belahan bumi lain, perusahaan agro industri Perancis dengan tenang mengucurkan US$ 75 juta per tahun untuk mengampanyekan betapa “jahatnya” buah yang telah menjadi tulang punggung ekonomi Anda. Bukankah ini suatu bentuk kemunafikan global yang dibungkus rapi dengan kemasan “kepedulian lingkungan”?

Kisah kelapa sawit Indonesia adalah potret sempurna dari absurditas hubungan Utara-Selatan dalam tata niaga global.  Di satu sisi, kita memiliki komoditas emas hijau yang telah mengangkat jutaan orang dari jurang kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan menyumbang devisa negara.  Di sisi lain, kita dihadapkan pada kampanye hitam yang gigih dan sistematis—semacam “ghibah internasional” yang dilembagakan dengan dana fantastis. Bahkan bank-bank Eropa dan Amerika kini berjamaah menolak memberikan pinjaman bagi industri sawit, seolah-olah menanam kelapa sawit setara dengan meracuni sumur desa.

“Asu Gedhe Menang Kerahe”: Kemunafikan Negara Maju dalam Kritik Lingkungan

Ironinya, negara-negara yang paling vokal mengkritik industri sawit Indonesia adalah negara-negara yang dulu dengan bangga menghabiskan hutan mereka demi revolusi industri. Seperti kata pepatah Jawa, “asu gedhe menang kerahe”—anjing besar selalu menang dalam perkelahian. Negara-negara maju itu ibarat tetangga yang setelah membangun rumah mewah dua lantai, tiba-tiba protes ketika tetangga miskinnya mulai membangun pondasi. “Jangan bangun rumah! Itu merusak lingkungan!” teriaknya dari balkon rumah mewah yang dibangun dengan menebang pohon yang sama.

Kampanye anti-sawit ini memperlihatkan wajah asli kapitalisme global yang selektif dan hipokritis. Perancis, yang begitu lantang meneriakkan slogan liberté, égalité, fraternité, ternyata tidak segan mengucurkan dana US$ 75 juta untuk mengkampanyekan anti sawit.  Jumlah yang jika dikonversi ke rupiah, mungkin cukup untuk membiayai pendidikan dasar ribuan anak petani sawit selama bertahun-tahun. Jika dirunut lebih dalam, kampanye ini bukanlah semata-mata tentang kepedulian lingkungan, melainkan tentang persaingan bisnis. Minyak sawit, dengan produktivitasnya yang luar biasa (6-10 kali lebih produktif dibanding minyak nabati lain), adalah ancaman serius bagi industri minyak canola, bunga matahari, dan kedelai yang mayoritas dikuasai perusahaan-perusahaan Barat.

N250 dan Sawit: Saudara Sepenanggungan dalam Narasi Ketidakadilan Global

Cerita sawit Indonesia menggemakan tragedi N250 Gatotkaca – jejak lukanya masih membekas dalam ingatan kolektif bangsa ini. Bagaimana mungkin kita lupa ketika mimpi besar para insinyur Indonesia dibunuh dengan tidak adil oleh IMF? Pesawat N250, kebanggaan nasional yang dirancang oleh putra-putri terbaik bangsa di bawah komando BJ Habibie, dipaksa tamat riwayatnya sebelum benar-benar mengudara. IMF, dengan dalih “penyelamatan ekonomi” pasca krisis 1998, memberikan syarat yang terasa seperti hukuman mati bagi industri dirgantara nasional: hentikan semua subsidi untuk IPTN (kini PT DI) dan stop pengembangan N250.

Bedanya, jika N250 dibunuh dengan satu tusukan cepat, sawit Indonesia dihukum mati secara perlahan melalui pencekikan akses finansial dan penggiringan opini global yang sistematis. Keduanya adalah korban dari logika imperialisme ekonomi yang sama: negara berkembang tidak diizinkan memiliki industri strategis yang dapat mengancam dominasi pasar global oleh negara maju. N250 mengancam Boeing dan Airbus; sawit mengancam rapeseed dan kedelai. Solusinya sama: dibunuh, satu dengan pisau tajam bernama “persyaratan IMF”, satunya dengan racun perlahan bernama “kampanye lingkungan”.

Roller Coaster Harga: Drama Ekonomi di Tengah Pusaran Kampanye Hitam

Fluktuasi harga CPO dari US$1.276 per ton pada 2022 menjadi US$886 per ton pada 2023 – turun drastis 30,5% – adalah bukti betapa rentan petani sawit terhadap gejolak pasar global. Proyeksi Bank Dunia yang memperkirakan harga CPO akan sedikit membaik menjadi US$905 per ton pada 2024 sebelum kembali terjun menjadi US$825 per ton pada 2025 juga tidak memberikan banyak harapan. Bagaimana mungkin kita mengharapkan stabilitas ekonomi ketika pasar kita dikendalikan oleh narasi yang dikonstruksi oleh pesaing bisnis kita sendiri?

Di tengah kepungan kampanye negatif ini, Indonesia berusaha melawan dengan meluncurkan sistem sertifikasi ISPO yang bersifat mandatori bagi seluruh pelaku usaha. Hingga kini, luas kebun sawit tersertifikasi ISPO mencapai 3,65 juta hektar dengan 766 sertifikasi dan produksi 22 juta ton CPO. Namun, ini ibarat mengenakan jas hujan setelah badai datang—terlambat dan terlalu minimal. ISPO yang dikembangkan sebagai respons terhadap RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) masih dipandang sebelah mata oleh pasar internasional. Kita seperti murid rajin yang berusaha keras memenuhi standar, namun gurunya telah memutuskan untuk memberi nilai C bahkan sebelum melihat hasil ujiannya.

Dursasana di Panggung Global: Saat Ilmu Pengetahuan Kalah oleh Narasi

Dalam kultur global yang semakin “hijau”, minyak sawit Indonesia seolah menjadi “Dursasana” dalam kisah Mahabharata—tokoh antagonis yang harus dihabisi demi kebaikan dunia. Padahal jika dikaji lebih dalam, minyak sawit adalah salah satu minyak nabati paling efisien dari segi penggunaan lahan. Untuk menghasilkan jumlah minyak yang sama, kelapa sawit hanya membutuhkan sepersepuluh lahan dibandingkan kedelai atau bunga matahari. Namun fakta ilmiah ini tenggelam dalam riuhnya kampanye yang didanai petrodolar perusahaan pesaing.

Sertifikasi ISPO yang kita banggakan bagaikan berusaha meyakinkan penggemar K-Pop untuk mendengarkan dangdut koplo – sebuah upaya yang mulia namun menghadapi resistensi budaya yang dahsyat. Dalam konteks ini, Indonesia perlu lebih dari sekadar sertifikasi; kita membutuhkan narasi tandingan yang kuat dan strategi diplomasi ekonomi yang cerdas.

“Manusia Diciptakan, Cincin Diukirkan”: Ketika Peran Kita Telah Ditentukan Sebelum Permainan Dimulai

Bank-bank dunia yang menerapkan kebijakan baru menolak memberikan pinjaman bagi industri sawit adalah manifestasi dari kekuatan narasi dalam membentuk realitas ekonomi. Mereka tidak hanya menolak memberikan pinjaman, tetapi secara tidak langsung juga memvalidasi kampanye hitam yang dilancarkan terhadap industri sawit Indonesia. Seperti kata pepatah Minang, “manusia diciptakan, cincin diukirkan”—setiap orang memiliki peran yang telah ditentukan dalam tatanan global, dan peran Indonesia tampaknya telah diputuskan sebagai “perusak lingkungan” terlepas dari fakta dan upaya yang kita lakukan.

Fluktuasi harga CPO yang ekstrem adalah cerminan dari ketidakadilan struktural dalam perdagangan global. Ketika CPO mencapai rekor US$1.276 per ton pada 2022, tidak ada yang membicarakan “manfaat” sawit. Namun ketika harga anjlok 30,5% menjadi US$886 per ton pada 2023, kampanye anti sawit justru semakin intensif. Ini mengingatkan pada fenomena yang biasa terjadi di pasar tradisional: pedagang besar membanting harga ketika petani panen raya, lalu menaikkan harga ketika stok menipis. Bedanya, di level global, pembantingan harga ini didahului oleh kampanye sistematis yang menjustifikasi tindakan tersebut.

Dari N250 Hingga Sawit: Pelajaran tentang Kedaulatan Teknologi dan Ekonomi

Dua dekade lebih berlalu sejak N250 Gatotkaca dipaksa turun dari langit sebelum benar-benar terbang. Kini, kita menyaksikan skenario serupa dengan sawit—bedanya, eksekusinya lebih halus namun sama mematikannya. N250 adalah kisah tentang bagaimana kedaulatan teknologi kita dirampas; sawit adalah kisah tentang bagaimana kedaulatan ekonomi kita digerogoti. Keduanya memiliki benang merah yang sama: jika suatu negara berkembang berani mengembangkan industri strategis yang mengancam dominasi Barat, maka negara itu harus “ditertibkan”.

IMF, dengan uang pinjaman sebagai umpan dan persyaratan ketat sebagai kailnya, berhasil menarik N250 dari udara. Kini, lembaga keuangan global, dengan kampanye lingkungan sebagai tameng dan penolakan pembiayaan sebagai senjata, berusaha mencekik industri sawit kita. Lagu lama dengan aransemen baru—namun nadanya tetap sama: “Kami yang menentukan apa yang boleh kalian produksi dan ekspor”.

Jika ada pelajaran yang bisa kita petik dari tragedi N250, itu adalah: ketergantungan finansial pada lembaga global sama dengan menyerahkan kendali atas masa depan ekonomi kita. Sawit kita saat ini berada di persimpangan yang sama—apakah kita akan membiarkannya bernasib seperti N250, atau kita akan berjuang untuk menuliskan narasi yang berbeda?

Ekspor CPO, Impor Narasi: Menegaskan Kedaulatan Narasi Indonesia

Kita telah lama memilih untuk menjadi bangsa produsen komoditas, namun lemah dalam mengendalikan narasi global. Kita mengekspor CPO mentah, tetapi mengimpor narasi jadi. Seperti dalam lagu Ebiet G. Ade, “Berita Kepada Kawan”, kita menjadi saksi bisu atas bencana yang menimpa diri sendiri: “Mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan, bersahabat dengan kita”.

Pertanyaannya sekarang: mampukah kita mengubah narasi global tentang sawit Indonesia? Ataukah kita akan terus terjebak dalam lingkaran setan, di mana semakin keras kita berusaha membuktikan keberlanjutan industri sawit kita, semakin intens pula kampanye hitam yang menyerang kita? Mampukah kita melawan arus atau justru kita akan terus hanyut dalam pusaran “kebenaran” yang dikonstruksi oleh mereka yang memiliki kepentingan ekonomi untuk menjatuhkan industri sawit kita?

Bagaimanapun, kampanye anti-sawit dan fluktuasi harga global bukanlah sekadar tantangan ekonomi, melainkan ujian eksistensial bagi kedaulatan ekonomi Indonesia. Dalam kata-kata Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”.  Mungkin sudah saatnya kita tidak hanya menulis, tetapi juga menulis ulang narasi global tentang sawit Indonesia—dari sudut pandang kita sendiri, dengan pena kita sendiri, dan dengan tinta kebanggan nasional yang tidak mudah luntur oleh kampanye hitam dari belahan dunia manapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *