Oleh: Dr. Ir. Tjipta Purwita, MBA, IPU
Praktisi Kehutanan, Mantan Dirut PT. Inhutani II (Persero)
PENDAHULUAN
Salah satu nilai kebangsaan yang digali dari budaya luhur bangsa Indonesia sendiri adalah “Gotong-royong”. Nilai gotong royong digali dari sesanti Bhinneka Tunggal Ika (“berbeda-beda, tetapi tetap satu”) yang mencerminkan kondisi obyektif masyarakat Indonesia yang majemuk (plural-society).
Meskipun negara dan bangsa Indonesia terdiri atas berbagai unsur dan suku-suku yang berbeda, namun jiwa dan semangat bangsa Indonesia tetap menjunjung tinggi kesatuan dan persatuan. Salah satu cermin dari semangat kesatuan dan persatuan itu adalah penerapan nilai gotong-royong di desa-desa di seluruh Nusantara, termasuk desa-desa sekitar hutan.
Hampir seluruh masyarakat di ceruk-ceruk desa terpencil sekalipun, mengenal secara baik budaya gotong-royong, karena gotong royong adalah kegiatan yang bersifat turun-temurun dari nenek-moyang mereka. Tulisan ini membahas secara singkat mengenai nilai budaya gotong royong yang berkembang di desa-desa pedalaman sekitar hutan serta upaya pelestariannya.
SEKILAS BUDAYA GOTONG ROYONG PADA MASYARAKAT PEDALAMAN
Beberapa kali penulis berkenalan dengan desa-desa pedalaman di sekitar hutan, mulai dari Papua (Irian Jaya), Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Pulau Jawa hingga Pulau Sumatera, untuk bertemu dan berkenalan lebih mendalam dengan masyarakat pedalaman. Sungguh mengesankan karena kehidupan masyarakat pedalaman di sekitar hutan, ternyata masih sangat kuat memegang teguh budaya gotong-royong.
Di Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya misalnya, penulis berkesempatan mengenal budaya masyarakat Dani. Masyarakat Dani yang melahirkan seorang Kepala Suku Obahorok yang menikahi seorang antropolog Amerika itu, diajak berperan aktif dalam membangun hutan melalui program Hutan Kemasyarakatan Lembah Baliem yang digagas sendiri oleh Menteri Kehutanan Soedjarwo. Masyarakat Dani yang pada umumnya masih sangat tradisional, ternyata memiliki kebiasaan komunal untuk bergotong-royong dalam membangun pembibitan/persemaian, aktivitas penanaman, dan lain-lain. Ada pembagian tugas yang sangat baik di antara kepala keluarga, ibu rumah-tangga dan anak-anak mereka. Masyarakat bergotong-royong dalam membangun rumah “honai”, berburu binatang liar, menanam pohon dan tanaman semusim, memanen ubi jalar (“hipere”), memasak makanan dengan cara bakar-batu, bahkan sampai pula pada saat terjadi upacara kematian, semuanya dilakukan secara bersama-sama. Dilakukan dengan cara bergotong royong yang diliputi kesukarelaan.
Setelah selesai melakukan aktivitas komunal, masyarakat Dani kemudian melanjutkan dengan aktivitas pesta “bakar batu”, yaitu cara khas masyarakat Dani dalam memasak bahan makanan, baik berupa ubi, sayur maupun daging secara bergotong-royong. Pertama-tama ibu-ibu dan anak-anak suku Dani mengumpulkan batu-batu dan kayu untuk dibakar. Setelah api menyala, kumpulan batu-batu dibiarkan terbakar sampai panas. Sementara tak jauh dari lokasi pembakaran dibuat lobang dan diberi daun pisang sebagai tempat bahan makanan yang akan dimasak. Ubi jalar (hipere) dan sayur-sayuran dimasukkan ke dalam lobang tadi dan ditutup rapat dengan daun pisang. Sesaat kemudian, batu-batu yang telah panas terbakar dipindahkan kedalam lobang sedemikian rupa, sehingga panas yang dihantarkan oleh batu-batu itu dapat menyebar merata dan memanaskan makanan. Asap mengepul dan membumbung tinggi ke angkasa, sementara daun-daun pisang tadi menjadi layu, di bagian luarnya muncul titik-titik air dan mulailah tersebar bau makanan khas yang telah siap untuk disantap. Baik tua, muda, lelaki, perempuan, orang dewasa maupun anak-anak, larut dalam “pesta bakar batu” saling bahu-membahu memasak makanan dan menyantap makanan bersama, sambil sesekali bernyanyi dan menari-nari. Semua itu merupakan bukti, bahwa budaya gotong-royong tertanam kuat sekali pada masyarakat Dani yang masih sangat tradisonal. Mereka menghargai kebersamaan dan saling hormat-menghormati satu sama lain.
Dalam membangun rumah honai pun, kegotong-royongan masyarakat Dani ditunjukkan dengan nyata sekali. Mereka mengumpulkan kayu, bambu, dan rumput-rumputan (ilalang) untuk dijadikan rumah tinggal bersama (rumah komunal). Bagi orang awam, tentu rumah mereka dinilai begitu sederhana dan dianggap kurang higienis karena tertutup rapat (kurang ventilasi). Tetapi bagi masyarakat Dani, rumah honai adalah arsitektur rumah tinggal yang sangat adaptif dengan kondisi pegunungan yang sangat dingin. Yang menarik, para lelaki Dani bergotong-royong membangun rumah tanpa hitung-hitungan upah dan kompensasi tenaga. Mereka bekerja penuh dengan keikhlasan dan tanpa paksaan (sukarela).
Hal yang lebih-kurang sama dengan masyarakat Dani di Lembah Baliem, terjadi pula pada masyarakat pedalaman Dayak Kenyah di desa Long Pejeng, Long Lees, dan Long Nyelong di Kecamatan Muara Ancalong, Provinsi Kalimantan Timur. Mereka bergotong-royong melakukan pembukaan ladang dan penanaman padi gogo (padi tanah kering) dan kedelai.
Setelah beramai-ramai naik perahu beriring-iringan, mereka mulai melakukan upacara adat suku Dayak lalu bergotong-royong membuka ladang/huma dengan membabat semak-belukar secara bersama-sama. Baik orang dewasa maupun anak-anak semua terjun membabat semak-belukar, sementara ibu-ibu dan para gadis menanak nasi dan membuat lauk-pauk untuk makan siang bersama. Anak-anak sekolah diliburkan dan larut dalam “pesta” membuka ladang/huma. Mereka benar-benar memelihara dan menghormati budaya dan adat-istiadat bergotong-royong yang merupakan harta warisan para leluhur yang sangat tinggi (“adi-luhung”).
Usai membabat semak dan menanam padi gogo (padi lahan kering/padi gunung) maupun benih kedelai secara bergotong-royong, pada siang harinya mereka semua berhenti dan berkumpul di pinggir ladang untuk makan-siang bersama. Ibu-ibu hanya memasak nasi dengan lauk berupa sayur “jantung pohon pisang” yang dimasak dengan cabai yang sangat pedas. Itu saja lauk-pauknya. Betapa sederhananya makan siang mereka. Meskipun demikian, rasa kebersamaan dan senasib-sepenanggungan di antara mereka sangat membekas. Tak salah jika dikatakan, bahwa aktivitas pembukaan ladang dan penanaman tanaman pangan oleh masyarakat Dayak Kenyah berubah menjadi layaknya sebuah “pesta besar” yang diisi dengan gawai bersama dan bergotong-royong melestarikan budaya berhuma yang turun-temurun dari nenek-moyang mereka.
MELESTARIKAN NILAI-NILAI GOTONG ROYONG DI DESA
Seperti diilustrasikan pada praktek yang dilakukan oleh masyarakat pedalaman Lembah Baliem (masyarakat Dani) maupun pedalaman Kalimantan Timur (masyarakat Dayak Kenyah) di atas, maka makna gotong royong dapat diartikan sebagai “bekerja bersama-sama dalam menyelesaikan pekerjaan dan secara bersama-sama pula menikmati hasil pekerjaan tersebut secara adil”. Gotong royong merupakan satu sikap yang sangat terpuji untuk membantu pihak yang lemah agar sama-sama mencapai tujuan dan kenikmatan bersama (komunal).
Nilai-nilai gotong royong digali dari tradisi leluhur bangsa dan sesanti bhinneka tunggal ika, merupakan realitas tradisi yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat, yang dijabarkan sebagai sikap atau perilaku yang sangat luhur, diantaranya adalah:
Pepatah Jawa yang mengatakan “guyub agawe sentosa” (artinya: “keguyuban, kebersamaan, dan kerukunan akan menciptakan kesejahteraan”), masih dipegang teguh oleh masyarakat desa di pedalaman. Pepatah tersebut menjadi pedoman bagi pengelolaan pembangunan desa yang dilandasi semangat gotong royong seperti aktivitas: pembuatan infrastruktur desa, pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan warga desa. Dana desa yang digulirkan pemerintah akan menjadi stimulan untuk mengembangkan aktivitas gotong royong warga desa, seperti program inovasi desa (PID) yang menggali dan mengembangkan potensi yang telah ada di desa.
Karena adanya semangat gotong royong yang didukung oleh bergulirnya dana desa sebagai stimulus fiskal, maka seperti dikatakan oleh Mantan Menko Kesra Haryono Suyono (Kompas, 1 Januari 2019) bahwa, sejak tahun 2018 tingkat kemiskinan di Indonesia telah menurun mencapai < 10% (single-digit). Hal ini menurut beliau, disebabkan karena:
Desa-desa tertinggal di pedalaman kiranya perlu mendapat sentuhan dari pemerintah, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Sinergitas atau perpaduan antara semangat gotong-royong dari warga desa dengan dukungan dana desa sebagai stimulus fiskal, akan menciptakan akselerasi pembangunan desa menuju kemandirian dan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Karena itu budaya gotong-royong sebagai modal sosial (social capital) yang telah hidup dan berkembang di masyarakat, perlu terus dipelihara dan ditingkatkan.
MENEPIS KEKHAWATIRAN MEROSOTNYA NILAI-NILAI GOTONG ROYONG
Meskipun terdapat stimulus fiskal melalui dana desa, tetapi ada kekhawatiran terjadinya kemerosotan semangat gotong royong pada kehidupan masyarakat desa di pedalaman. Ada kekhawatiran bahwa, sesanti bhinneka tunggal ika, lebih khusus lagi nilai-nilai gotong royong yang terdapat di dalamnya, tidak lagi menjadi roh bagi proses kehidupan bermasyarakat di desa-desa.
Perilaku gotong royong lambat-laun cenderung memudar karena pengaruh budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, seperti budaya individualisme dan materialisme yang telah merambah hingga ke ceruk-ceruk desa. Hubungan virtual melalui saluran internet misalnya, telah merambah hingga ke daerah “remote” sehingga berpotensi mengganggu budaya gotong-royong apabila konten yang sampai ke masyarakat lebih bernuansa pada persoalan pertentangan SARA, politik identitas yang berpotensi memecah-belah masyarakat, serta adanya pamer gaya hidup konsumerisme dari masyarakat perkotaan.
Karena itu dalam rangka menangkal potensi terjadi-nya kemerosotan budaya gotong royong di desa-desa terpencil (sekitar hutan), maka perlu dilakukan hal-hal sebagai-berikut: