Oleh: Prof. Dr. Ir. Endang Koestati Sriharini Muntasib, MS Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB
PENDAHULUAN
Saat ini Sektor kehutanan yang menguasai 65% dari daratan Indonesia hanya berkontribusi sekitar 0,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya sektor kehutanan yang diberikan amanat mengelola sebagian besar daratan masih jauh dari harapan untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Sehingga ada anggapan tingginya egoisme sektor kehutanan karena di saat masyarakat sangat membutuhkan lahan, sektor kehutanan sulit berbagi padahal jutaan hektar kawasan hutan belum dikelola secara optimal. Data menunjukkan sekitar 35 juta hektar kawasan hutan tidak lagi berhutan (KLHK, 2019).
Mengingat sektor kehutanan saat ini secara ekonomi nilai riil lahan hutan masih sangat rendah sehingga memicu terjadinya konversi hutan atau deforestasi. Sepanjang nilai ekonomi riil hutan lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan lain, maka cepat atau lambat, legal atau illegal, lahan hutan akan dikonversi yang memberikan nilai ekonomi lebih tinggi. Oleh karena itu, salah satu cara yang paling logis dan efektif menurunkan laju konversi hutan adalah dengan meningkatkan nilai ekonomi riil lahan hutan sehingga lebih tinggi dari alternatif penggunaan lahan lainnya. Jadi perlu ditunjukkan kepada masyarakat bahwa hutan secara ekonomi juga bisa kompetitif dibandingkan sektor lain. Keadaan ini akan bisa terjadi apabila hutan bukan hanya menghasilkan komoditas kayu. Di berbagai daerah dapat dijumpai kreativitas masyarakat dalam memilih berbagai komoditas kehutanan terbukti mampu memberikan keuntungan yang berlipat, jauh lebih tinggi dibandingkan kayu bahkan sawit yang menjadi komoditas primadona saat ini. Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 jelas menyebutkan bahwa pemanfaatan hutan terdiri dari pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan (kayu dan bukan kayu), serta pemanfaatan jasa lingkungan. Namun sayangnya, setelah lebih dari 20 tahun berlakunya Undang-Undang Kehutanan secara ekonomi sektor kehutanan masih sangat bergantung pada komoditas kayu dan kurang optimal dalam mengembangkan hasil hutan bukan kayu (HHBK), pemanfaatan kawasan, maupun pemanfaatan jasa lingkungan —yang sesungguhnya memiliki potensi ekonomi sangat besar.
Agar supaya usaha kehutanan berhasil baik, kegiatan perencanaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan harus dikerjakan secara gotong royong oleh para pihak dan ke depan harus terintegrasi dengan sektor lain. Kerjasama antar sektor adalah keniscayaan karena hutan memiliki multifungsi yang mendukung ketahanan pangan, kesehatan, energi, pariwisata, dan kemaslahatan secara luas. Sehingga pada masa mendatang, kontribusi sektor kehutanan terhadap pembangunan nasional hendaknya tidak hanya dilihat dari nilai sektoral, tetapi juga akan dapat dilihat dari banyaknya pihak yang dapat ikut serta dan mendapatkan keuntungan serta merta efek pengganda (multiplier effects) pendapatan, output, dan tenaga kerja.
Mengapa di pasa pandemic Covid-19 ini masih ada peluang untuk mengembangkan ekowisata? Karena setelah sekian bulan orang jenuh harus berada di rumah maka, salah satu keinginan dan harapan mereka adalah keluar rumah, tetapi tetap bisa sehat dan menikmati lingkungan yang alami. disinilah maka peluang pengembangan Ekowisata di hutan itu mempunyai pelluang yang sangat bagus untuk dikembangkan.
Selain berpotensi menahan laju deforestasi dan meningkatkan kontribusi ekonomi, maka bergotong royong untuk memanfaatkan hutan bagi ekowisata menjadi upaya mengurangi konflik, khususnya yang terkait dengan tumpang tindih pemanfaatan dan penggunaan lahan di kawasan hutan negara.
NEW ERA PANDEMIC COVID-19, APA YANG DIPERLUKAN MASYARAKAT
Dalam periode new normal, maka masyarakat yang setelah sekian bulan berada di rumah, maka memerlukan tempat untuk refreshing, tempat untuk berwisata. Namun mengingat bahaya Covid-19 belum berakhir maka mereka juga memerlukan tempat yang terbebas dari Covid-19, artinya tempat itu dikelola dengan protokol kesehatan yang lengkap dan orang yang berwisata akan mendapatkan kepastian untuk pengelolaan yang semacam itu.
EKOWISATA DI HUTAN
Bagaimana prinsip yang kita adopsi dari aturan Dunia tentang penyelenggaraan ekowisata yang bisa kita selaraskan pada masa new era ini?
Sebenarnya kebijakan operasional sejak sebelum tahun 2000 di tingkat Internasional sudah diterbitkan Piagam Pariwisata berkelanjutan (The Charter for Sustainable Tourism), juga Tourism Bill of Right and Tourism Code. Didalam industri perjalanan wisata WTTC telah meluncurkan ”The Green Globe” yang intinya memberikan bantuan/saran bagi industri besar maupun kecil yang akan menerapkan konsep ramah lingkungan, sesuai kebutuhan/persoalan yang dihadapi. Persoalan yang kita hadapi adalah Bencana Covid 19, sehingga kita sesuaikan dengan protokol kesehatan untuk ekowisata yang diselenggarakan.
Jadi berdasarkan Piagam Pariwisata Berkelanjutan dan kondisi Pandemi Covid-19 ini maka penyesuaian, prinsip-prinsipnya adalah:
Selain itu pada tahun 2002 dalam rangka Tahun Ekowisata Dunia (The International Year of Ecotourism) telah mencanangkan deklarasi quebec tentang eco-tourism yang mencakup prinsip-prinsip tertentu dengan konsep yang berbeda dengan pariwisata umum yaitu:
a. Memberikan sumbangan aktif terhadap pelestarian alam dan pelestarian budaya.
b. Melibatkan masyarakat setempat dan penduduk asli dalam perencanaan, pengembangan dan operasionalisasinya, dan memberikan sumbangan terhadap kesejahteraannya.
c. Menyampaikan interpretasi pada para wisatawan.
d. Biasanya lebih sesuai untuk perorarangan atau kelompok kecil.
BISNIS EKOWISATA
Untuk melaksanakan bisnis ekowisata pada masa new era maka beberapa catatan penting dari deklarasi qebec adalah:
Rekomendasi bagi sektor swasta yang mengelola bisnis ekowisata antara lain adalah:
BERGOTONG ROYONG MEMBANGUN EKOWISATA DI HUTAN, PERIODE NEW ERA
Untuk membangun ekowisata hutan dalam periode new era ini, yang paling penting adalah kesamaan persepsi para pihak yang akan terkait dengan kawasan hutan yang akan dikembangkan untuk ekowisata. Membangun ekowisata di era new normal tujuanya adalah menyediakan kawasan hutan untuk berwisata namun tetap sehat. Artinya menyiapkan suatu kawasan hutan yang awalnya mesthi mempunyai daya tarik unik dan spesifik, misal suatu hutan musim seperti hutan jati. Mesti ditemukan pohon jati yang spesifik, bisa umurnya, bisa besarnya atau juga diameter pohon. Juga diketahui pasti kapan pohon itu ditanam, cerita tentang perkembangan jati di Indonesia dan saat ini kenapa berkembang dengan jati yang daur pendek dan sebagainya. Jadi ketika wisatawan datang ke hutan jati juga tahu persis bagaimana cerita tentang hutan jati dan mereka akan pulang dengan mendapatkan edukasi yang lengkap (interpretasi). Selain itu juga ditentukan jalur-jalur dalam hutan yang menarik dan juga didapatkan ceritanya yang lengkap.
Jadi ekowisata hutan yang ditawarkan adalah betul-betul nyata sesuai pengetahuan, bisa juga ada cerita rakyatnya serta mitosnya. Jadi wisata yang ditawarkan bukan sekedar di kawasan hutan itu ada air terjun atau ada danau kemudian menjual karcis. Tetapi suatu paket atau program ekowisata dengan pasar yang khusus dan pengunjung serta pengelolanya dengan persiapan yang bagus. Selain itu juga perlu dipertimbangkan sarana prasarana ekowisata khusus itu diperlukan sarana prasarana yang terkait dengan fasilitas jaringan terutama adalah jaringan internet, sehingga walaupun didalam hutan maka tersedia jaringan yang memadai. Disini arti bergotong royong sangat tepat karena untuk mengembangkan ekowisata di hutan pada masa new era ini adalah multipihak, mulai dari pemerintah daerah, masyarakat, pengelola ekowisata serta para pihak yang lain diharapkan dapat mengembangkan ekowisata dengan persepsi yang sama.