Oleh: Wiratno
Direktur Jenderal KSDAE, Kementerian LHK
Suatu teori yang telah dikembang-kan sejak 2007 oleh C.Otto Scharmer di MIT dan semakin relevan sampai dengan saat ini sampai beberapa dekade men-datang. Dalam buku versi revisi berjudul “The Essentials of Theory U” (Berretts-Koeh;er Publisher, Inc). Diuraikan bahwa di dunia saat ini telah terbagi ke dalam 3 bagian. Pertama, pembagian secara ekologi yang dapat dinyatakan dalam angka 1,5. Kita menggunakan 1.5 kali kapasitas planet bumi untuk regenerasi. Dan itu baru rata-ratanya. Di United States sendiri, misalnya, tingkat konsumsi saat ini telah melewati “lima planet”. Kedua, pembagian sosial dinyatakan dalam angka 8. Artinya 8 milyader dunia memiliki sebanyak separuh dari jumlah manusia.
Situasi tersebut yang membuat kemiskinan merebak dimana-mana. Ketimpangan penguasaan lahan-lahan produktif termasuk kawasan hutan. Oleh karena iitu, ditetapkan percepatan kebijakan nasional yang disebut sebagai TORA dan Perhutanan Sosial. Alasannya cukup rasional. Kebijakan TORA untuk kawasan hutan yang di dalamnya telah terdapat pemukiman, sarana dan prasarana sosial dan umum, sehingga tidak ada alasan untuk tidak melepasnya dari status kawasan hutan. Dari 130 juta hektare kawasan hutan nasional, lebih dari 27.000 desa atau 30% dari jumlah desa secara nasional. Dari 12,7 juta hektar alokasi kawasan hutan lindung dan hutan produksi untuk Perhutanan sosial, terdapat 9,000 desa. Dari 27,14 juta hektar kawasan konservasi, terdapat 6.000 desa yang hidup dan tergantung pada ragam sumberdaya di dalamnya.
KEMITRAAN KONSERVASI
Pengelolaan kawasan konservasi tidak dapat dipisahkan dari keberadaan masyarakat di desa-desa di sekitarnya dan bahkan desa atau masyarakat adat yang berada di dalamnya. Kawasan hutan atau lautan yang luas tersebut tidak akan pernah mampu dikelola oleh state, atau pemerintah saja. Sumberdaya alam yang dalam teorinya disebut sebagai Common Pool Resource (CPR) dalam konteks Indonesia, seharusnya dikelola secara kolaborasi, dengan prinsip berbagi tanggung jawab dan keuntungan. Masyarakat sekitar hutan yang tidak mendapatkan manfaat, baik langsung maupun tidak langsung akan cenderung melakukan eksploitasi berlebihan yang pasti akan merusak sumberdaya tersebut. Apabila pengelola di tingkat tapak tidak pernah membangun interaksi secara intens dengan komunitas sosial sebagai tetangganya, maka dapat dipastikan terjadi kemunduran kualitas sumberdaya tersebut, dan dalam jangka panjang akan terjadi kerusakan yang tidak dapat dipulihkan.
Kawasan konservasi daratan seluas 22 juta hektare, kini telah mengalami berbagai tingkat kerusakan-artinya vegetasi alaminya telah berubah menjadi pola-pola agroforestry atau monokultur karet, sawit, coklat, seluas 1,8 juta hektare atau 8% dari total luas kawasan konservasi daratan tersebut. Apabila tidak dilakukan upaya mitigasi dan adaptasi pengelolaan, maka luasan tersebut akan terus bertambah dan mengancam sistem penyangga kehidupan sebagai fungsi kawasan konservasi terpenting.
Maka, sejak 2018 telah didorong suatu kebijakan yang disebut sebagai “kemitraan konservasi”. Intisarinya adalah pemberian hak kelola (access right) kepada kelompok-kelompok masyarakat untuk secara legal mengelola lahan-lahan yang telah terlanjur dikelola tersebut, namun dengan kejelasan hak dan kewajiban. Secara psikologis, pendekatan baru ini mendorong perubahan yang signifikan bagi kelompok masyarakat, dimana mereka merasa “diwongke”, dimanusiakan karena diajak bicara, dialog, untuk membicarakan wilayah kelola mereka, diajak membentuk kelompok-kelompok sebagai basis membangun nilai-nilai kelompok, tujuan kelompok, dan cara untuk mencapai tujuan itu. Masyarakat yang semula tercerai berai dan dengan mudah dikendalikan oleh tengkulak, secara bertahap dirubah untuk membangun kelompok, diajak berserikat dan berkumpul untuk menentukan nasib mereka secara lebih terorganisir, dan dikaitkan dengan kondisi spesifik setiap lokasi. Berbagai persoalan dapat diselesaikan melalui kesepakatan dan kebersamaan, sehingga akan lebih mudah dan lebih ringan dalam menghadapinya. Keuntungan harus disisikan sebagian untuk tabungan kelompok, tanggung renteng, dan disinilah secara tidak langsung dibangun prinsip kegotongroyongan sebagai sendi dasar pengorganisasian ekonomi masyarakat khas Indonesia.
PENDAMPINGAN
Dimana pun pelibatan masyarakat dan kelom-pok masyarakat, kunci keberhasilannya adalah pen-dampingan yang dilakukan secara konsisten dalam rangka memperkuat kelembagaan lokal. Pendampingan akan berjalan dengan lebih mulus apabila di antara anggota kelompok masyarakat tersebut terdapat apa yang disebut sebagai “local champion”. Yaitu figgur yang dengan penuh kesadaranya melakukan banyak inisiatif dan terobosan, sehingga perubahan berbasiskan kesadaran dapat mulai dilakukan secara berkelompok. Dalam Theory U, ini yang disebut sebagai “awareness-based collective actions”. Gerakan yang dilakukan secara kolektif berbasiskan kesadaran.
Beberapa contoh nyata, perubahan-perubahan di tingkat akar rumput, tentang hubungan masyarakat dengan hutan, misalnya: (1) Lembaga Pariwisata Tangkahan, di perbatasan TN Gunung leuser, Kab. Langkat, Sumatera Utara. Kelompok ini sejak tahun 2000 mengembangkan wisata alam dengan daya tariknya berupa penelusuran hutan, sungai, memandikan gajah. Mereka berhenti dari pelaku illegal logging menjadi pelaku wisata alam dan penjaga hutan Leuser. Pengunjungnya kini sudah lebih dari 5.000 wisatawan manca negara, dengan pendapatan kotor 7-10 milyar/tahun (2) Forum Masyarakat di Sebangau, yang dimotori oleh Pak Sabran, sejak tahun 2002 telah mendorong lahirnya TN Sebangau dan memastikan bahwa tidak ada illegal logging. Saat ini, 18 tahun kemudian, kelompok ini mengembangkan wisata perahu menelusuri TN Sebangau dan didukung oleh pemerintah kabupaten dan provinsi, (3) Ritno Kurniawan: Merangkul Pembalak Liar (Sosok Kompas, 11 Oktober 2016). Figur pemuda sarjana pertanian UGM, ini memilih kembali ke kampung halamannya. Ia selama 10 tahun bekerja mengembangkan ekowisata di Hutan Nagari Lubuk Alung, di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Atas upayanya itu, ia berhasil merangkul mereka yang dulunya perambahah hutan menjadi pemandu wisata. Hutan mulai berhasil diselamatkan, melalui kesadaran masyarakatnya sekaligus mereka mendapatkan alternatif pendapatan dari pengembangan ekowisata tersebut, (4) Lejie Taq: Tokoh Adat Dayak yang secara konsisten melakukan upaya kolektif untuk menjaga dan melindungi Hutan Lindung Wehea seluas 38.000 hektar di Kab. Berau dan Kutai Timur, dengan pendampingan dari The Nature Conservancy, dengan tokoh tokoh penggerak pendampingnya yaitu Taufik, Iwan Wibisono, Neil Makinuddin, Bu Herlina, yang juga mengangkat Hutan Desa Kampung Merabu yang dikawal oleh Kepala Kampungnya Pak Franley.
PARADIGM SHIFT
Contoh di atas hanya sebagian kecil dari perubahan-perubahan cara pandang kita terhadap hubungan masyarakat-sumberdaya hutan. Hutan bukan hanya kumpulan kayu. Ia merupakan asosiasi biotik, abiotik, dan sejarah panjang kebudayaan manusia. Dalam pandangan deep ecology, manusia bagian dari alam itu. Cara ia memperlakukan hhutan atau alam, akan berdampak pada respon hutan kepada manusia. Hutan memiliki titik batas dimana ia akan bisa memulihkan dirinya atau tidak sama sekali.
Kebijakan Perhutanan Sosial, Kemitraan Konservasi, tentu menghadapi banyak tantangan, antara lain bagaimana menyeimbangkan antara kepentingan ekologi atau lingkungan dengan kebutuhan ekonomi manusia. Antara prioritas jangka pendek manusia dengan kepentingan jangka panjang pelestarian lingkungan. Tentu saja godaan short-term objectives lebih menggiurkan dari long-term goals. Jembatan untuk mendekatkan kedua extrem tersebut adalah melalui pendekatan agroforestry, agrosilvopasture, agrofishery, dimana selalu tersedia panen jangka pendek-harian, mingguan, bulanan yang dapat memenuhi kehidupan keseharian masyarakat, dengan kepentingan panen jangka menengah-tahunan dari pepohonan tersebut. Wisata alam, wisata religi, wisata spiritual, wisata sejarah, dan sekarang yang lagi booming yaitu wisata selfie, menjadi substitusi yang bagus sekali yang mampu menutupi gap kebutuhan ekonomi setempat. Bahkan menjadi penggerak ekonomi daerah tersebut. Desa Wisata Kalibiru, di Kab. Kulonprogo yang sesungguhnya adalah hutan kemasyarakatan, sejak 2013 telah mendunia, dengan daya tarik utama berfoto di pohon pinus dengan latar belakang keindahan hutan rakyat dan kemilau hijau kebiruan Waduk Sermo. Saat ini, banyak pemuda yang dulunya boro ataumencari penghidupan jauh di luar Jawa, banyak yang pulang kampung untuk ikut mengenyam dampak wisata di desa mereka. Desa menjadi magnet merebaknya tamu-tamu yang berkunjung dan menghidupkan ekonomi lokal, sekaligus hutannya semakin terjaga.
Perubahan cara pandang tersebut sebenarnya lebih pada cara kita nguwongke, atau memandang masyarakat sebagai subyek, dimanusiakan, diajak dialog untuk mencari peluang usaha dan ruang hidup bersama yang saling menghargai (mutual respect), saling percaya (mutual trust), dan saling menguntungkan (mutual benefits). Pemerintah memosisikan dirinya lebih sebagai fasilitator, motivator, dan memastikan bahwa komunikasi dan dialog dapat berlangsung dalam suasana yang nyaman dan jauh dari kesan menggurui. Karena masyarakat sebenarnya memiliki caranya sendiri untuk menyelesaikan masalah dan hambatan yang mereka hadapi. Inilah mungkin yang saya sebut sebagai paradigm shift dalam kelola hutan di tanah air. Pembangunan hutan yang berpusat pada masyarakat atau people-centered forest development. Indikasi keberhasilan telah mulai nampak, dan kita mestinya optimis untuk mendorong perkembangannya merebak di seluruh tanah air dengan ragam kondisi biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya.