MENGELOLA HUTAN KEBERSAMAAN
Oleh: Dr. Ir. Transtoto Handadhari, SHA, M.Sc.
Rimbawan UGM Yogyakarta dan University of Wisconsin at Madison, USA; Direktur Utama Perum Perhutani 2005-2008; Ketua Umum Yayasan Peduli Hutan Indonesia/Gerakan Masyarakat Peduli Hutan Indonesia; Ketua Umum Perkumpulan GNI-BERBANGSA
Preview:
“Hutan dulu diremehkan, dianggap perlu dikelola dan diperebutkan “hanya” karena kayunya. Saatnya kemudian tiba, ketika manusia menyadari, kayu yang berharga itu hanyalah sebagian kecil dari manfaat sumber daya hutan (SDH). SDH adalah ekosistem, adalah penyangga kehidupan manusia, semua biota hidup, bahkan yang mati, dan alam. SDH adalah inti lingkungan hidup.
Kita terlambat menyesali memangkas kayunya, kita tak mampu mengulangi memiliki ekosistem hutan yang sangat amat berharga itu. Karena biodiversitas hutan banyak hilang, dan rahasia nilai intrinsiknya terkubur.
Hutan tidak dapat dikelola sendirian. Pengelolaan hutan dan kehutanan ada karena hutan adalah ekosistem. Pengelolaan SDH dan ekosistem lingkungan adalah kepentingan bersama, bukan hanya milik dan tugas rimbawan. Hutan harus dikelola bersama secara integratif menunjang seluruh sisi kehidupan. Hutan harus dijaga, dilestarikan fungsinya, dengan hati bersih tanpa kecurangan”.
Indonesia adalah gambaran pemilik hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brasilia dan Republik Kongo. Kebahagiaan memiliki kekayaan sumber daya yang melimpah berbalik dengan keprihatinan yang dalam oleh rusaknya hutan yang sangat besar. Pengurasan hutan “tak terkendali” yang berlangsung relatif cepat jelas akan menimbulkan deforestasi dan degradasi hutan yang sangat besar. Bahkan sempat disebut sebagai yang terbesar di dunia. Kebakaran hutan maupun perambahan lahan hutan merupakan kelanjutan masalah yang ikut merusak hutan, yang dalam jangka panjang semakin sulit dikendalikan.
Di sisi lainnya, kejayaan fungsi lindung bencana beserta konservasi sumber daya hutan (SDH) dan alam lingkungan tidak berdaya karena “penataan ruang” yang tidak tepat. Ditambah dengan hilangnya hutan dan munculnya lahan-lahan kosong, bencana lingkungan terus terjadi. Bahkan kuantitas dan kualitasnya meningkat. Banjir, erosi tanah, kekeringan dan tanah longsor membayangi pembangunan dan kehidupan masyarakat dengan berbagai implikasinya.
Pengelolaan hutan dan SDH memang tidak bisa dilakukan sendirian. Tapi bukan berarti menerima desentralisasi model “ahli” politik ala Indonesia yang memaksa melakukan desentralisasi pengelolaan hutan sejak 1 Januari 2001 itu. Para ahli konservasi malah seakan bungkam, meski paham bahwa pengelolaan ekosistem lingkungan hanya akan berhasil baik apabila ditangani dalam sebuah kebijakan yang utuh, tidak dipisahkan secara parsial oleh batas-batas dan kekuasaan administratif. Pengelolaan ekosistem lingkungan harus dilakukan secara terpadu. Lingkup keterpaduan yang dikenal oleh semua konservasionis adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) atau kesatuan wilayah pulau, yang merupakan kesatuan DAS/Sub DAS.
Kembali, “Superman” rimbawan memerlukan teman sejati untuk membantu berfungsinya SDH sebagai inti lingkungan hidup, sebagai pilar sistem penyangga kehidupan (life supporting system). Kompleksitas pengurusan sumber daya alam (SDA) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) itu perlu didukung dalam kebersamaan. Kebersamaan yang saling mendukung untuk capaian program prioritas, integral, terencana, berjangka, dan lestari.
LUAS HUTAN INDONESIA
Hutan Indonesia tetap luas. Setelah kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) akibat terbitnya UU Penataan Ruang Nomor 24 Tahun 1992, dan perkembangan pembangunan sektor-sektor non kehutanan, luas hutan Indonesia yang awalnya sekitar 144,3 juta hektar (TGHK, 1984) menyusut menjadi 120,35 juta hektar yang terbagi berdasarkan fungsi-fungsinya (Badan Planologi Kehutanan, 2000). Luas kawasan hutan negara tersebut kini merupakan 64,11 persen dari luas daratan Indonesia yang 187,7 juta hektar.
Deforestasi terbesar selama periode perijinan pembukaan konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan) untuk 5 (lima) pulau besar: Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua pada tahun 1997-2000 menunjukkan rata-rata 2,83 juta hektar per tahun. Ditambah angka pengurangan penutupan lahan di luar kawasan sebesar 0,68 juta hektar pertahun, maka angka deforestasi seluruhnya mencapai 3,51 juta hektar per tahun pada periode tersebut.
Tingginya angka deforestasi 1997-2000 itu juga dipicu oleh adanya kebakaran besar hutan tahun 1997/1998 seluas 9,7 juta hektar (Bappenas, 2000), di samping oleh proses otonomi daerah dan dampak reformasi yang tidak terkendali, di samping oleh over-cutting dan penebangan kayu tanpa ijin yang diperkirakan mencapai 40 juta-an meter kubik pertahun.
Tingginya angka deforestasi 1997-2000 itu juga dipicu oleh adanya kebakaran besar hutan tahun 1997/1998 seluas 9,7 juta hektar (Bappenas, 2000), di samping oleh proses otonomi daerah dan dampak reformasi yang tidak terkendali, di samping oleh over-cutting dan penebangan kayu tanpa ijin yang diperkirakan mencapai 40 juta-an meter kubik pertahun.
Sebelumnya catatan deforestasi sudah menunjukkan peningkatan secara cepat sejak awal konsesi tebangan. World Bank mencatat seluas 0,3 juta hektar per tahun (1970-an), serta 0,6 juta hektar per tahun (1981) dan 1 juta hektar per tahun (1990). Sedangkan FAO (1990) melaporkan angka seluas 0,9-1,3 juta hektar per tahun.
Data deforestasi nasional tahun 1985-1997 (tidak termasuk Papua) menunjukkan hilangnya areal berhutan seluas 21,65 juta hektar (1,6 juta hektare per tahun). Sedangkan menurut hasil perhitungan Badan Planologi Kehutanan, pengurangan hutan Indonesia tahun 1998-2000 (pada tiga pulau besar: Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi) meningkat menjadi rata-rata 2,52 juta hektar per tahun, yang ditambah dengan pulau-pulau lainya mencapai di atas 2,83 juta hektar.
Pada saat ini, tahun 2017-2018 deforestasi menurun menjadi 0,44 juta hektar, di mana deforestasi bruto sebesar 0,49 juta hektar, dan luas reforestasi sebesar 0,05 juta hektar. Deforestasi tertinggi berada pada hutan sekunder sebesar 0,31 juta hektar (71,4 persen), terdiri atas 162,6 ribu hektare di dalam kawasan hutan, dan 151,1 ribu hektar di lahan areal penggunaan lain (APL).
Dugaan pertama turunnya angka deforestasi lebih karena kayu-kayu komersial yang ukuran besar sudah habis, dan kayu berada pada lokasi-lokasi yang jauh yang sangat besar biaya tebangnya. Kemungkinan yang lain memang terjadi penurunan praktik illegal logging karena kegiatan pencurian kayu sudah dapat dicegah, dan minat mencuri kayu menurun karena harga log meranti sudah sangat rendah, bahkan dibandingkan harga sengon sekalipun.
Di samping kekayaan kayunya, kawasan hutan Indonesia tercatat pernah memiliki kekayaan mega-biodiversitas berupa 27.500 spesies tumbuhan berbunga, 1.539 spesies reptilia dan amphibi, 12 persen mamalia dunia, 25 persen jenis ikan dunia dan 17 persen jenis burung dunia sebagai cagar plasma nutfah dunia. Akibat deforestasi sebagian di antaranya punah.
KONDISI PENTUPAN KAWASAN HUTAN DAN LAHAN SAAT INI?
Berdasarkan data KLHK terbaru tahun 2018 di dalam kawasan hutan masih terdapat lahan berhutan seluas 79,35 juta hektar, ditambah 6,27 juta hektar di areal HPK, sehingga total kawasan hutan yang berhutan adalah seluas 85,62 juta hektar. Areal hutan sekunder yang telah pulih seluas 33,23 juta hektar, di areal HPK juga terdapat hutan yang pulih seluas 3,78 juta hektar, sehingga total hutan sekunder yang telah hijau seluas 37,01 juta hektare. Sedangkan hutan tanaman umumnya berupa HTI berjumlah sekitar 3,38 juta hektar, luas yang relatif stabil dalam 15 tahun ini.
Pertanyaan, mengapa hutan tanaman Perum Perhutani tidak diberlakukan khusus? Apalagi mengingat pola pengelolaan hutan Perhutani lebih intensif dan khusus.
Selanjutnya tercatat bahwa di lahan APL masih terdapat tutupan hutan seluas 7,9 juta hektar. Sehingga apabila luas berhutan di kawasan hutan ditambahkan dengan lahan berhutan di APL, maka luas hutan Indonesia masih seluas 95,52 juta hektar (49,8 persen) dari luas daratan.
Kawasan hutan yang tidak berhutan (kosong) tercatat seluas total 34,76 juta hektar, terdiri atas di kawasan hutan tetap seluas 28,19 juta hektar, dan di areal HPK seluas 6, 58 juta hektar. Apabila ditambah lahan kosong non hutan di areal APL, total luas lahan tidak berhutan sebesar 94,22 juta hektar (50,2 persen).
Apabila disandingkan dengan berbagai data parsial yang ada sebelumnya, nampak ada perbaikan data hutan yang berhutan ataupun menyusutnya lahan kosong, khususnya di areal kawasan hutan. Di samping upaya pemerintah hal tersebut bisa terjadi karena pertumbuhan alami tumbuh-tumbuhan cepat tumbuh yang tidak bernilai komersial di areal hutan sekunder yang tidak terganggu, seperti terjadi di Propinsi Kalimantan Tengah/Kalimantan Selatan yang ditumbuhi pohon biwan (Endertia sp.). Ini yang utama dikhawatirkan luput dari pengamatan. Salah satunya karena penggunaan interpretasi citra satelit.
Namun melihat angka-angka di atas, dan meningkatnya semangat masyarakat membangun tanaman termasuk tanaman apa saja di lahan milik, kekayaan hutan secara keseluruhan masih cukup melimpah. Apalagi bila diperlakukan dan dikelola dengan baik.
TATA RUANG MENJADI SENTRAL KEBERSAMAAN
Tata ruang merupakan “gong” kelemahan pemerintah dalam merawat alam dan mengendalikan bencana lingkungan. Pemahaman tentang penataan ruang juga sangat naieve. Tanpa sadar, memisahkan tata ruang kawasan hutan dan ruang daratan lainnya adalah dosa besar. Apalagi pengelola hutan negeri ini tidak juga “bangun dari mimpi” menyadari keterlambatannya untuk cepat-cepat memperbaiki tool kekurangannya, SK Penetapan Hutan Lindung (1980), dengan menetapkan aturan yang terkini dalam proses penataan ruang.
Tata ruang bukanlah seperti digambarkan merupakan sebuah proses membagi-bagi lahan (daratan) sesuai kebutuhan dan ruang yang ada, namun merupakan kegiatan melakukan penyelamatan terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam dan biodiversitas hayati, maupun konservasi budaya, bentukan alam raya, plasma nutfah, kehidupan biodiversiti fauna flora yang harus dipertahankan keberadaannya di bumi. Tata ruang besar mencakup daratan dan perairan. Prioritas pelaksanaannya dilakukan di daratan, dengan tetap memasukkan dan mengatur pemanfaatan sistem perairan yang ada di dalamnya seperti sungai, embung, rawa, maupun yang mempengaruhinya secara langsung seperti bibir pantai dan vegetasi pantai.
Seluruh kawasan yang harus berfungsi sebagai kawasan konservasi seharusnya mutlak berada dalam kewenangan kelola pihak kehutanan. Sisanya dibagi sesuai prasyarat penggunaannya. Di daerah dengan kelerengan tertentu yang umumnya di daerah tinggi dan di hulu diprioritaskan sebagai kawasan hutan dengan berbagai variasi budidaya. Yang di tempat ketinggian di atas 1.000 meter, berkemiringan 50 derajat, di daerah yang memiliki tanah jenis yang mudah longsor (poreus), sifat erodibilitasnya tinggi, serta daerah beriklim basah memiliki erosivitas tinggi, dilindungi sebagai daerah lindung air di daerah lindung resapan, melindungi dari bencana banjir dan erosi.
Sedangkan daerah sisanya diperuntukkan bagi hutan produksi, perkebunan, persawahan, pertambakan, perikanan darat, peternakan, hutan adat, hutan rakyat, pemukiman, sarana prasarana pembangunan, dan lainnya yang dapat dibagi untuk kepentingan kehidupan yang fleksibel sesuai kebijakan pemerintah.
Proses tata ruang tadi saya biasa sebut “Proses Dalil Sisa”. Daerah sisa daratan tersebut idealnya diperhitungkan sudah tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap bencana erosi tanah, penyimpanan air tanah, banjir, tanah longsor, dan kekeringan lahan. Sehingga antara lain debat tentang eksistensi kebun sawit, kebun singkong, tidak perlu ada lagi.
Pemangku tugas penataan ruang yang selayaknya ditangani oleh pihak kehutanan, telah berulangkali pindah tangan, dipegang selalu oleh instansi pemerintah non kehutanan. Sekarang oleh institusi pertanahan yang nampak seringkali terlibat ketidak-harmonisan dengan pihak kehutanan.
Sektor kehutananpun selama ini hanya dianggap user. Penataan ruang yang dilakukannya juga sebatas dalam kawasan hutan yang telah ditunjuk saja. Menggunakan dasar SK Menteri Pertanian Nomor 837 Tahun 1980 tentang penetapan hutan lindung sungguh sudah sangat ketinggalan jaman. Akibatnya banyak terjadi areal penggunaan lain yang selayaknya berfungsi lindung merupakan daerah produksi pertanian yang menyebabkan bencana lingkungan.
KEBERSAMAAN MENDUKUNG PENGELOLAAN HUTAN
Selain masalah tata ruang yang menjadi sentral keterkaitan barbagai kegiatan pengelolaan hutan, setiap sektor memiliki hubungan kegiatan yang memperkuat pengelolaan hutan dan kehutanan. Hutan sebagai sumber daya menyiapkan segala penunjang aktivitas kehidupan dan pembangunan sesuai fungsi embanannya: lindung, ekonomi dan sosial yang sangat diperlukan masyarakat secara umum dan pembangunan bangsa.
Luasnya lahan hutan yang lebih dari separoh luas daratan negara diperlukan masyarakat untuk berbagai kegiatan. Sebut antara lain sumber pangan, sumber penghidupan, bahan pemukiman, industri, pendidikan, rekreasi, beribadah, budaya, perlindungan alami, mengendalikan pemanasan global, sampai pertahanan negara. Keanekaragaman hayati menyediakan berbagai bahan bernilai medis yang sangat berharga dan makanan yang terus digali. Bahkan hutan yang luas memberikan kesejahteraan dalam bentuk kepemilikan/pemanfaatan lahan seperti kebijakan reforma agraria di hutan namun harus dijaga tanpa merusak fungsi lindung dan konseravsi hutan.
Sangat sulit memilah sendi-sendi kehidupan yang tidak berkaitan dengan hutan dan sumber daya hutan beserta ekosistemnya. Salah satu yang terpenting kebutuhan oksigen dan udara bersih, serta media regenerasi biota. Sehingga tidak keliru bila setiap sektor pembangunan, maupun institusi pemerintah di dalam menyusun kegiatannya selalu disisipkan kegiatan yang akan memperkuat peran sektor kehutanan sebagai ekosistem, inti lingkungan hidup.
Hutan dan sumber daya hutan berdasarkan fungsi dan peran utamanya mendukung kehidupan manusia, dan pembangunan bangsa. Sebaliknya sektor dan pihak lainnya mendukung dengan aneka rupa kegiatan yang akan memperkuat fungsi hutan dan kehutanan.
Adapun sebab rusaknya hutan beralih menjadi kawasan-kawasan kosong sebenarnya sudah diketahui umum. Bukan karena semakin banyaknya rimbawan, bukan karena lemahnya sistem tebangpilih/tebang pilih dan tanam Indonesia (TPI/TPTI), bukan karena tidak ada pemikiran perlunya ada integrasi kebersamaan antar sektor. Tetapi salah satu yang diyakini menjadi penyebabnya adalah karena “emas hijau” itu menjadi rayahan penyalahgunaan wewenang berjamaah yang dibiarkan.
Integrasi pengelolaan hutan harus dilakukan. Kepedulian masyarakat dibangun agar setiap orang dengan lembaga apapun memperlakukan hutan dengan hati bersih, tanpa kecurangan (no cheating). Memang tidak mudah, tapi harus bisa, apabila pemimpin mau bertekad tanpa ragu.
