DILEMA KONFLIK AGRARIA – Antara Kenyataan dan Harapan
Oleh : Ir. Suhariyanto, IPU., ASEAN Eng.
(Pengasuh Majalah Rimba Indonesia)
Kisah nyata berikut ini sudah lama terjadi, yaitu pada Maret 2004. Tetapi, masih sangat layak sebagai bahan pembelajaran (referensi) guna memahami judul di atas. Banyak orang dikejutkan dengan perasaan yang kompleks, terharu, prihatin, geram, dan marah. Eman J. Embu dan Robert Mirsel selaku editor menuangkannya dalam buku setebal 352 halaman, berjudul Gugat! Darah Petani Kopi Manggarai (Penerbit Ledalero, Maumere 2004). Pada bagian Sapaan Editor, dikemukakan antara lain sebagai berikut. Tragedi Rabu Berdarah tanggal 10 Maret 2004 di Ruteng sudah tiga bulan lewat, namun masih menyisakan mimpi buruk yang tak kunjung surut di antara warga masyarakat petani Colol, Manggarai. Betapa tidak, aksi damainya di Mapolres Manggarai di Ruteng disahut dengan salakan senjata api aparat kepolisian. Hasilnya, enam nyawa petani meregang, 29 lainnya bersimbah darah, dan tujuh di antaranya menanggung cacad seumur hidup. Kejam. Begitu bisa dikatakan. Peristiwa yang memilukan dan telah menyita perhatian dunia ini membangkitkan sejumlah sikap dan tudingan. Ada penjelasan beladiri pihak kepolisian dan sikap cuci tangan pihak pemerintah kabupaten Manggarai. Tidak hanya itu. Di koran kita baca gugatan terhadap peran pimpinan Gereja Manggarai, beredar juga surat domba kepada gembala disana. Sementara para petani benar-benar dipojokkan dan para pembelanya dikambinghitamkan sebagai provokator dan aktor intelektual dalang kejahatan melawan pemerintah yang sah. Berbagai pernyataan awal pihak kepolisian dan pemerintah amat mencerminkan penumbalan rakyat yang telah sekarat karena kopinya dibabat, didukung pula oleh pernyataan petinggi lain yang menyudutkan para petani seperti :”Kalau memang ini penyerangan, maka akibatnya sangat fatal” atau “Siapa yang mulai angkat parang akan mati oleh parang” atau juga “ Pemaksaan kehendak lebih fatal daripada kematian”. Tetapi, benarkah memang rakyat kecil ini yang salah? Benarkah mereka melakukan kejahatan terhadap polisi dan negara? Benarkah mereka melakukan makar? Benarkah tindakan polisi sudah memenuhi standar prosedural? Mestikah reaksi polisi begitu kejam berhadapan dengan petani yang datang cuma dengan mengandalkan nyali tanpa tameng pelindung diri dan tidak bermaksud membantai? Pertanyaan-pertanyaan itu kini mulai mendapat jawaban. Kapolres Manggarai, AKBP Drs. Boni Tampoi, telah dicopot dari jabatannya dan kini menjadi tersangka. Tidak sedikit anggota polisi yang telah diperiksa dan proses hukum selanjutnya sedang menanti mereka. Bagi yang miskin informasi, kasus ini dengan cepat akan dinyatakan sebagai tindakan kriminal murni. Artinya, rakyat memang dengan tahu dan mau menyerang aparat kepolisian dan melawan pemerintahan yang sah. Tetapi, bagi mereka yang telah mengikuti seluruh alur perjalanan sejarah konflik struktural/vertikal antara rakyat (petani) dan pemeritah, jelas bahwa tragedi 10 Maret 2004 itu merupakan puncak akumulasi persoalan antara pemerintah versus rakyat kecil sehubungan dengan kebijakan pembangunan di daerah Manggarai selama masa pemerintahan Bupati Anton Bagul Dagur. Sejak tahun 2002 sudah terjadi ketegangan antara rakyat dan pemerintah menyangkut klaim keabsahan kepemilikan tanah dan kawasan hutan di daerah tersebut. Pemerintah di satu sisi mencari landasan-landasan juridis formal untuk membenarkan klaim kepemilikan atas tanah dan hutan di sejumlah kawasa Manggarai, sementara di sisi lain, rakyat (petani) mengklaim memiliki hak ulayat karena menganggap tanah dan hutan di sekitar pemukiman mereka adalah warisan leluhur. Malangnya, di tengah kontroversi soal klaim keabsahan ini, pemerintah daerah telah melakukan tindakan-tindakan sepihak melakukan pembabatan tanaman rakyat, termasuk kopi untuk menunjukkan diri sebagai yang berkuasa dan benar secara juridis. Dengan ini, pemerintah telah menempatkan dirinya sebagai sebuah kekuatan pelawan, dan bukan pelindung dan pelayan Masyarakat. Dan hasilnya, ribuan hektare tanaman rakyat dibabat; ribuan hektare tanah yang dikerjakan petani kecil pedesaan dicaplok. Ratusan warga ditangkap, terus-menerus dipersalahkan, dikalahkan dan dimiskinkan. Lalu, dimanakah tempat kita? Kita yang mempunyai hati nurani? Tentu saja kita tidak bisa menutup mata terhadap jeritan suara kaum tertindas ini. Kita tidak bisa tidur nyenyak di atas penderitaan mereka yang harta dan nyawanya telah dibabat. Kita tidak bisa menjadi orang-orang yang mati rasa ketika mereka menangis pilu karena tak jelas masa depannya. Kita, siapa saja – kaum beriman dan sesama manusia – dipanggil untuk berpihak kepada mereka yang telah menjadi korban. Kita dipanggil untuk membela kemanusiaan dan solider dengan mereka, dan bukannya ramai-ramai mencari kambing hitam atau cuci tangan atau melabelkannya sebagai penjahat dan pelaku makar. Panggilan kita adalah panggilan untuk berpihak kepada keadilan dan kebenaran yang nyata dalam diri para korban penindasan, marginalisasi dan kriminalisasi. Kita dipanggil untuk menempatkan hidup sebagai prioritas, dan pemeliharaan menyusulnya: primum vivere, deinde concervare – pertama-tama hidup, kedua pemeliharaan. Pertama manusia, kedua hutan. Kita butuh damai. Namun, adil dulu baru damai. Kita butuh rekonsiliasi, namun pertobatan dulu baru ada pengampunan dan rekonsiliasi. Yang dibutuhkan adalah keadilan dan kebenaran untuk bisa merajut kembali kehidupan bersama di mana semua orang menjadi saudara semartabat.
Belajar dari Sejarah
Kisah nyata tersebut di atas adalah sebuah contoh tentang konflik agraria yang terjadi di Indonesia – rakyat terusir dari tanah/lahan tempat bergantung kehidupannya. Kisah seperti itu jauh dimulai sekitar paruh kedua abad 19.
Tanam Paksa. Perang Diponegoro yang lebih dikenal dengan Perang Jawa, mengakibatkan kas pemerintah Belanda nyaris kosong atau bangkrut. Seiring jaman itu, berbagai komoditas seperti teh, kopi, karet, tembakau, gula, dll sangat bernilai komersial. Ini jadi peluang pemerintah Belanda yang sedang mengalami defisit anggaran keuangannya. Tanam paksa, atau yang juga dikenal sebagai cultur stelsel, adalah sistem yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia pada tahun1847. Sistem ini dipelopori oleh Johannes Van Den Bosch, yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sistem tanam paksa mewajibkan penanaman tanaman ekspor yang laku di pasaran seperti kopi, gula, dan teh. Hasil tanaman tersebut harus diserahkan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sistem ini diterapkan di beberapa daerah, termasuk Jawa, Minahasa, Lampung, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Namun, sistem tanam paksa memiliki banyak penyimpangan yang memberatkan rakyat, seperti antara lain: 1). Jatah tanah yang melebihi batas: rakyat diwajibkan untuk menyediakan tanah yang melebihi batas yang ditentukan, sehingga mereka tidak memiliki cukup tanah untuk menanam tanaman untuk kebutuhan hidup sehari-hari; 2). Waktu bekerja yang melebihi batas: rakyat diwajibkan untuk bekerja di Perkebunan selama waktu yang melebihi batas yang ditentukan, sehingga mereka tidak memiliki cukup waktu untuk menanam tanaman untuk kebutuhan hidup sehari-hari; 3). Kegagalan panen yang dibebankan kepada rakyat: jika terjadi kegagalan panen, rakyat diwajibkan untuk membayar biaya yang dibebankan oleh pemerintah kolonial. Akibat dari penyimpangan-penyimpangan tersebut, sistem tanam paksa mendapatkan banyak kecaman. Salah satu tokoh yang mengecam adalah Douwes Dekker, yang menulis buku berjudul Max Havelaar yang berisi tentang tuntutan kepada pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan rakyat Hindia Belanda. Sistem tanam paksa akhirnya dihapuskan secara bertahap mulai tahun 1860. Penghapusan sistem tanam paksa ini merupakan hasil dari kecaman-kecaman yang dilakukan oleh beberapa tokoh, termasuk Douwes Dekker.
Agrarische Wet, adalah peraturan hukum agraria yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia pada tahun 1870. Peraturan ini bertujuan untuk mengatur hak-hak atas tanah dan memperluas kepemilikan tanah oleh perusahaan-perusahaan Belanda. Agrarische Wet diberlakukan pemerinth Belanda karena beberapa alasan. Alasan Ekonomi: 1). Perluasan kepemilikan tanah: Belanda ingin memperluas kepemilikan tanah di Indonesia untuk meningkatkan produksi dan ekspor komoditas seperti kopi, gula, dan teh; 2) Pengembangan perkebunan: Belanda ingin mengembangkan Perkebunan di Indonesia untuk meningkatkan produksi dan ekspor komoditas. Alasan Politik: 1). Penguasaan kolonial: Belanda ingin memperkuat penguasaan kolonialnya di Indonesia dengan mengontrol tanah dan sumberdaya alam; 2). Pembatasan kekuasaan penguasa lokal: Belada ingin membatasi kekuasaan penguasa lokal di Indonesia dengan mengambilalih kontrol atas tanah dan sumberdaya alam. Alasan sosial: 1). Pengembangan infrastruktur: Belanda ingin mengembangkan infrastruktur di Indonesia, seperti jalan, jembatan, dan Pelabuhan untuk meningkatkan asesibilitas dan efesiensi transportasi; 2). Pengembangan Pendidikan dan Kesehatan: Belanda ingin mengembangkan Pendidikan dan Kesehatan di Indonesia untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Prinsip Agrarische Wet didasarkan pada beberapa prinsip, yaitu: 1). Prinsip hak milik: Agrarische Wet mengakui hak milik tanah sebagai hak yang paling utama; 2). Prinsip kepemilikan: Agrarische Wet memperluas kepemilikan tanah oleh perusahaan-perusahaan Belanda; 3). Prinsip eksploitasi: Agrarische Wet memungkinkan eksploitasi sumberdaya alam di Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Belanda. Jadi, pada dasarnya peraturan ini merupakan bagian dari kebijakan kolonial Belanda untuk memperluas kepemilikan tanah dan eksploitasi sumberdaya alam di Indonesia. Agrarische Wet berdampak sangat signifikan terhadap masyarakat Indonesia, yaitu: 1). Pengambilalihan tanah: Agrarische Wet memungkinkan perusahaan-perusahaan Belanda untuk mengambilalih tanah dari masyarakat Indonesia; 2). Eksploitasi sumber daya alam: Agrarische Wet memungkinkan eksplotasi sumber daya alam di Indonesia oleh perusahaan-perusahaan Belanda; 3). Kemiskinan dan ketidakadilan: Agrarische Wet menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan bagi Masyarakat Indonesia yang kehilangan tanah dan sumber daya alam mereka. Oleh karena itu, Agrarische Wet dihapuskan pada tahun 1960 dan digantikan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang lebih adil dan berorientasi pada kepentingan Masyarakat Indonesia.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sejarah UUPA di Indonesia dimulai dari masa kolonial Belanda, di mana hukum agraria didasarkan pada asas-asas hukum tanah kolonial Belanda. Sistem ini memberikan hak kepemilikan tanah kepada perusahaan-perusahaan Belanda dan elit pribumi, sementara masyarakat adat kehilangan akses dan kendali terhadap tanah mereka. Setelah kemerdekaan Indonesia, upaya reformasi agraria dilakukan untuk mengatasi ketimpangan kepemilikan tanah dan memperoleh akses masyarakat terhadap sumberdaya tanah. UUPA pada tahun 1960 menjadi landasan hukum agraria yang mengatur tentang penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah. Proses pembentukan UUPA dimulai dengan Surat Penetapan Presiden No. 16 yang membentuk Panitia Agraria Yogyakarta (PAY) untuk Menyusun Hukum Agraria baru dan kebijakan politik agraria negara. UUPA memiliki beberapa prinsip, yaitu: 1). Prinsip keadilan: mengatur pengelolaan dan pemanfaatan tanah secara adil dan merata; 2). Prinsip Kemanfaatan: meningkatkan kemanfaatan tanah bagi Masyarakat; 3). Prinsip Keseimbangan: mencapai keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat; 4). Prinsip Perlindungan: melindungi hak-hak Masyarakat atas tanah. Jadi, secara garis besar dapat digambarkan perbedaan antara Agrarische Wet (AW) dan UUPA sebagai berikut. AW adalah peraturan hukum agraria yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia pada tahun 1870. Peratutan ini bertujuan untuk mengatur hak-hak atas tanah dan memperluas kepemilikan tanah oleh perusahaan-perusahaan Belanda. Sedangkan UUPA adalah peraturan hukum agraria yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Peraturan ini bertujuan untuk mengatur hak-hak atas tanah dan memperluas akses masyarakat terhadap sumber daya tanah. Perbedaan utama antara AW dan UUPA adalah: 1). Tujuan: AW bertujuan untuk memperluas kepemilikan tanah oleh perusahaan-perusahaan Belanda, sedangkan UUPA bertujuan untuk memperluas akses masyarakat terhadap sumber daya tanah; 2). Prinsip: AW didasarkan pada prinsip-prinsip hukum kolonial, sedangkan UUPA didasarkan pada prinsip-prinsip hukum agraria yang berorientasi pada kepentingan masyarakat; 3). Cakupan: AW hanya mengatur tentang hak-hak atas tanah, sedangkan UUPA mengatur tentang hak-hak atas tanah, air, dan sumber daya lainnya; 4). Implementasi: AW diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, sedangkan UUPA diberlakukan oleh pemerintah Indonesia. Dengan demikian, UUPA merupakan peraturan yang lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat dan memperluas akses masyarakat terhadap sumber daya tanah, sedangkan AW merupakan peraturan yang berorientasi pada kepentingan kolonial.
Kenyataan dalam Melaksanakan UUPA
Pelaksanaan UUPA memiliki berbagai kenyataan penting. Pertama, UUPA bertujuan untuk mengatur pengelolaan dan pemanfaatan tanah secara adil dan merata; kedua, pelaksanaan UUPA melibatkan pendaftaran tanah yang merupakan amanat dari pasal 19 UUPA. Pendaftaran tanah ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi hak atas tanah. Disamping itu, pelaksanaan UUPA juga melibatkan konversi hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA. Konversi ini diatur dalam pasal II dan pasal VI UUPA, yang menentukan bahwa hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA menjadi hak milik, hak guna usaha, atau hak guna bangunan. Dalam pelaksanaannya, UUPA juga mengatur tentang hak-hak masyarakat adat atas tanah. Pasal 3 UUPA menentukan bahwa hak-hak masyarakat adat atas tanah diakui dan dilindungi oleh negara. Namun, pelaksanaan UUPA dalam hal ini masih memiliki beberapa kendala dan permasalahan yang perlu diselesaikan, antara lain: Kendala: 1). Kurangnya kesadaran masyarakat: banyak masyarakat yang belum memahami hak-hak mereka atas tanah dan tidak menyadari pentingnya pendaftaran tanah; 2). Keterbatasan sumber daya: keterbatasan sumber daya seperti biaya dan tenaga, dapat menghambat pelaksanaan UUPA; 3). Kurangnya infrastruktur: kurangnya infrastruktur seperti jaringan jalan dan sistem informasi, dapat menghambat pelaksanaan UUPA. Sedangkan permasalahannya antara lain sebagai berikut: 1). Konflik tanah: konflik tanah antara Masyarakat, perusahaan, dan pemerintah masih sering terjadi; 2). Penggunaan tanah yang tidak sesuai: penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan peruntukannya, seperti perubahan fungsi lahan sering terjadi; 3). Kurangnya perlindungan hak-hak Masyarakat adat: hak-hak Masyarakat adat atas tanah masih belum dilindungi secara efektif; 4). Korupsi dan penyalahgunaan wewenang: korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan tanah masih sering terjadi; 5). Keterlambatan pendaftaran tanah: pendaftaran tanah masih belum dilakukan secara efektif dan efisien, sehingga banyak tanah yang belum terdaftar.
Konfik Agraria di Indonesia
Konflik agraria adalah suatu bentuk konflik yang terjadi dalam penggunaan dan pengelolaan sumber daya agraria, termasuk tanah, air, dan sumber daya alam lainnya. Konflik agraria dapat terjadi antara berbagai pihak, seperti: 1). Masyarakat lokal: masyarakat yang telah lama tinggal dan mengelola sumber daya agraria di suatu daerah; 2). Pemerintah: pemerintah yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengelola sumber daya agraria; 3). Perusahaan: perusahaan yang ingin mengeksploitasi sumber daya agraria untuk kepentingan bisnis; 4). Investor: investor yang ingin membeli atau menyewa tanah untuk kepentingan bisnis.
Penyebab konflik agraria antara lain: 1). Kepemilikan tanah: konflik tentang siapa yang memiliki hak atas tanah; 2). Penggunaan tanah: konflik tentang bagaimana tanah harus digunakan; 3). Akses ke sumber daya: konflik tentang siapa yang memiliki akses ke sumber daya agraria; 4). Pengelolaan sumber daya: konflik tentang bagaimana sumber daya agraria harus dikelola.
Dampak konflik agraria, antara lain : 1). Kerusakan lingkungan: konflik agraria dapat menyebabkan kerusakan lingkungan; 2). Kehilangan mata-pencaharian: konflik agraria dapat menyebabkan kehilangan mata-pencaharian bagi masyarakat lokal; 3). Konflik sosial: konflik agraria dapat menyebabkan konflik sosial antara masyarakat lokal dan pihak lain; 4). Kehilangan hak-hak masyarakat: konflik agraria dapat menyebabkan kehilangan hak-hak masyarakat lokal atas sumber daya agraria.
Tingkat konfik agraria di Indonesia masih tergolong tinggi. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan jumlah konflik agraria di Indonesia mencapai 561 kasus sejak tahun 1988 hingga 2025. Provinsi dengan jumlah konflik agraria tertinggi, yaitu: Tahun 2023: 1). Sumatera Utara: 33 kasus konflik agraria dengan luas tanah 34.090 ha dan korban terdampak 11.148 KK di 25 desa; 2). Sulawesi Selatan: 19 kasus konflik agraria dengan luas tanah 75.785 ha dan korban terdampak 17.889 KK di 53 desa; 3). Riau: 16 kasus konflik agraria dengan luas tanah 60.955 ha dan korban terdampak 6.922 KK di 20 desa; 4). Jambi: 15 kasus konflik agraria dengan luas tanah 22.433 ha dan korban terdampak 6.061 KK di 20 desa; 5). Bengkulu: 12 kasus konflik agraria dengan luas tanah 9.241 ha dan korban terdampak 4.186 KK; 6). Kalimantan Timur: 12 kasus konflik agraria dengan luas tanah 251.259 ha dan korban terdampak 3.885 KK. Tahun 2024: 1). Sulawesi Selatan: 37 kasus konflik agraria; 2). Sumatera Utara: 32 kasus konflik agraria; 3). Kalimantan Timur: 16 kasus agraria; 4). Jawa Barat: 16 kasus konflik agraria; 5). Jawa Timur: 15 kasus konflik agraria; 6). Sulawesi Tengah: 13 kasus konflik agraria; 7). Sumatera Barat: 12 kasus konflik agraria; 8). Sumatera Selatan: 11 kasus konflik agraria; 9). Daerah Khusus Jakarta: 11 kasus konflik agraria; 10). Jambi: 10 kasus konflik agraria.
Berdasarkan data dari Tanah Kita, sektor yang terlibat dalam konflik agraria di Indonesia, antara lain: perkebunan, pertambangan, hutan produksi, sarana militer/pemerintahan, pariwisata, infrastruktur, pangan dan energi, pesisir dan laut, hutan adat.
Lalu, bagaimana penyelesaian konflik agraria tersebut dapat diatasi? Penyelesaian konflik agraria dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain:
I. Pendekatan hukum:
1). Penggunaan hukum agraria: menggunakan hukum agraria yang ada untuk menyelesaikan konflik agrarian;
2). Pengajuan gugatan: mengajukan gugatan ke pengadilan untuk menyelesaikan konflik agrarian;
3). Mediasi: melakukan mediasi antara pihak-pihak yang berkonflik untuk mencapai kesepakatan;
II. Pendekatan non – hukum:
1). Negosiasi: melakukan negosiasi antara pihak-pihak yang berkonflik untuk mencapai kesepakatan;
2). Mediasi komunitas: melakukan mediasi komunitas untuk menyelesaikan konflik agraria;
3). Pengembangan partisipatif: melakukan pengembangan partisipatif untuk menyelesaikan konflik agraria;
III. Pendekatan kebijakan:
1). Pembuatan kebijakan: membuat kebijakan yang jelas dan transparan untuk menyelesaikan konflik agraria;
2). Pengaturan tata ruang: mengatur tata ruang untuk menyelesaikan konflik agraria; 3). Pengembangan program: mengembangkan program untuk menyelesaikan konflik agraria;
IV. Pendekatan Masyarakat:
1). Pengembangan kesadaran: mengembangkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menyelesaikan konflik agraria;
2). Pengembangan partisipasi: mengembangkan partisipasi masyarakat dalam menyelesaikan konflik agraria;
3). Pengembangan jaringan: mengembangkan jaringan masyarakat untuk menyelesaikan konflik agraria.
Dalam menyelesaikan konflik agraria, perlu dilakukan pendekatan yang komprehensif dan partisipatif, yang melibatkan semua pihak yang berkonflik dan masyarakat sekitar.
Pemikiran Solutif
Reforma Agraria. Dengan tetap berpegang pada jiwa dan semangat UUPA, program reforma agraria yang dilakukan oleh pemerintah, patut didukung dan secara partisipatif layak untuk kita bantu. Reforma agraria adalah suatu proses perubahan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani dan mengatasi ketimpangan dalam penguasaan dan penggunaan tanah. Dalam UUPA No. 5 Tahun 1960, dinyatakan pada Pasal 1: Reforma agraria adalah suatu proses perubahan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani dan mengatasi ketimpangan dalam penguasaan dan penggunaan tanah; Pasal 2: Tujuan reforma agraria adalah menciptakan struktur penguasaan dan penggunaan tanah yang adil dan merata; Pasal 3: Reforma agraria dilakukan melalui beberapa cara, antara lain: pembagian tanah kepada petani yang tidak memiliki tanah atau memiliki tanah yang tidak cukup, pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah yang lebih adil dan merata, pembangunan infrastruktur dan fasilitas pendukung untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
Reforma agraria itu juga diamanatkan oleh TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam. Pada Pasal 1: Reforma agraria adalah suatu proses perubahan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani dan mengatasi ketimpangan dalam penguasaan dan penggunaan tanah; Pasal 2: Tujuan reforma agraria untuk menciptakan struktur penguasaan dan penggunaan tanah yang adil dan merata, serta meningkatkan produktivitas pertanian; Pasal 3: Reforma agraria dilakukan melalui beberapa cara, antara lain: pembagian tanah kepada petani yang tidak memiliki tanah atau memiliki tanah yang tidak cukup, pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah yang lebih adil dan merata, pembangunan infrastruktur dan fasilitas pendukung untuk meningkatkan produktivitas pertanian, pengembangan sistem pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik.
Dalam pelaksanaannya, reforma agraria di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan, antara lain: 1). Keterbatasan lahan: ketersiaan lahan yang terbatas untuk dibagikan kepada petani; 2). Ketimpangan penguasaan tanah: penguasaan tanah yang tidak merata, dengan beberapa pihak memiliki tanah yang luas, sementara petani kecil memiliki lahan yang terbatas; 3). Kurangnya infrastruktur: kurangnya infrastruktur pendukung, seperti jalan irigasi dan fasilitas pendukung lainnya, yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian.
Peran Kementerian Kehutanan
Menteri Kehutanan RI – Raja Juli Antoni, menyatakan adanya nomenklatur baru yaitu hutan cadangan pangan, energi, dan air untuk mendukung kementerian-kementerian terkait. Pernyataan ini disampaikan pada tanggal 30 Desember 2024 usai rapat terbatas yang membahas Swasembada Pangan – salah satu Program Asta Cita Prabowo Gibran, di kompleks istana kepresidenan Jakarta. Konsep hutan cadangan pangan dan energi tersebut telah diidentifikasikan bersama Menteri Pertanian RI, bahwa ada 20 juta hektare yang dapat dipergunakan untuk hutan cadangan pangan, energi dan air tersebut. Pernyataan Menteri Kehutanan tersebut telah memperoleh respon dari berbagai kalangan masyarakat bahkan berkembang menjadi polemik.
Polemik penyediaan lahan seluas 20 juta hektare tersebut merupakan kebijakan nasional yang kompleks. Kebijakan tersebut tidak dapat dipandang semata kebijakan penyediaan lahan. Melainkan kebijakan yang menyentuh pemenuhan kebutuhan dasar manusia, antara lain pangan, air, dan energi. Di sisi lain, persoalan sosial, ekonomi dan lingkungan yang tengah dihadapi, khususnya semakin meningkatnya luasan lahan dan hutan yang terdegradasi, konflik agraria, dan persoalan perubahan iklim serta terjadinya bencana ekologis. Kompleksitas kebijakan tersebut merupakan sebuah kepentingan nasional dalam mewujudkan taraf kehidupan dan kesejahteraan rakyat Indonesia serta keberlanjutan lingkungan yang memerlukan pendekatan menyeluruh. Dalam konteks penguasaan lahan (kawasan hutan) berjuta-juta hektare, sangat layak Kementerian Kehutanan mendukung program kemandirian pangan, energi (biomasa, buah dari pohon tertentu seperti Nyamplung), air untuk berbegai kepentingan, termasuk untuk PLTA/energi, dan hilirisasi, berkontribusi dalam penyediaan lahannya. Dalam kaitannya dengan reforma agraria, telah lama dilaksanakan program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA). Kebijakan pelepasan kawasan hutan dapat ditujukan untuk mempercepat realisasi program TORA, menyelesaikan permasalahan tentang keterbatasan lahan baik yang akan dibagikan kepada masyarakat petani yang tidak mempunyai lahan maupun yang kepemilikan lahannya tidak cukup untuk berusaha tani, termasuk lahan untuk infrastruktur. Tentu, kebijakan pelepasan kawasan hutan tersebut haruslah merupakan kebijakan yang bersifat etis. Artinya, lahan/kawasan hutan yang akan dilepas itu haruslah dikaji atau dievaluasi secara luas dan mendalam, dengan menyeimbangkan berbagai dimensi. Di satu sisi, menyeimbangkan antara dimensi ilmiah /IPTEK yang bersifat obyektif dan dimensi humanisme atau kesadaran masyarakat (societal consciens) yang bersifat subyektif, dan di sisi lain menyeimbangkan dimensi utilitiarisme/anthrohocentris dan ecocentrisme/ bio–consciens. Kemungkinan pilihan lain adalah pelepasan kawasan hutan dengan cara tukar menukar lahan. Artinya kawasan hutan yang ternyata klas kemampuan lahannya (land capability) dan klas kesuaian lahannya (land suitability) sangat layak untuk usaha tani pangan dilepaskan, diganti atau ditukar dengan lahan yang kemampuan dan kesesuaiannya tidak cocok untuk pertanian pangan, tetapi sangat cocok untuk (budidaya) hutan.
Di samping itu, program Perhutanan Sosial perlu ditempatkan sebagai program prioritas andalan dalam rangka program kemandirian pangan, energi, air, dan hilirisasi, termasuk sebagai peluang atas tantangan penguasaan lahan/kawasan hutan. Perusahaan-perusahaan yang menguasai sangat luas lahan dengan legalitas ijin berusaha dari Kementerian Kehutanan sangat memungkinkan untuk bekerjasama atau mengurangi luas areal ijinnya buat kelompok masyarakat yang memperoleh ijin Perhutanan Sosial. Kita ketahui, bahwa kelompok masyarakat pemegang ijin Perhutanan Sosial itu kurang atau lemah dalam hal sumber dayanya. Oleh karena itu, kolaborasi yang bersifat partisipatif menjadi suatu keniscayaan. Kelembagaan usaha yang paling cocok adalah koperasi. Tetapi sebelum sampai ke sana, bisa dimulai dengan kelompok usaha bersama. Pendampingan sangat diperlukan, terutama dalam mentransformasi kemampuan management: produksi, pemasaran, keuangan, dan SDM, Sedangkan pemerintah berkontribusi dalam perencanaan pengelolaan dan perancangan teknik (engineering design). Evaluasi lahan dengan manual terbitan FAO, yaitu Land Use for Forestry dapat digunakan untuk maksud dan tujuan perencanaan dan perancangan teknis tersebut, yang orientasinya adalah bertujuan ganda (multi-objective).
Penutup
Eskalasi konflik agraria jelas menghambat pencapaian Indonesia Maju – Indonesia Emas tahun 2045. Oleh karena itu, semua pihak harus menaruh perhatian serius tentang hal ini. Penyelesaian dengan pendekatan kekerasan (hard power), sungguh tidak menguntungkan, bahkan sangat memungkinkan berdampak negatif. Dengan demikian, pendekatan lunak (soft power) adalah suatu pilihan mutlak,dengan menempatkan manusia sebagai subyek dan obyek utama dalam penyelesaian konflik agraria tersebut – orientasinya adalah keadilan sosial dan pemerataan. Program yang diluncurkan oleh Kementerian Kehutanan perlu diapresiasi dan didukung, sepanjang dilakukan dengan kebijakan atau keputusan yang bersifat etis. Keberhasilan yang diukur dari pencapaian tujuan dan manfaat, paling tidak akan sangat mengurangi terjadinya konflik agraria, kalau tidak boleh dibilang menihilkannya. Primum Vivere, Deinde Concervare.