PENYEDIAAN LAHAN 20 JUTA HEKTARE TANPA DEFORESTASI: TANTANGAN DAN USULAN SOLUSINYA
Oleh: Dr. Ir. Petrus Gunarso, M.Sc.,IPU.
(Pengasuh Majalah Rimba Indonesia)
Pemerintahan Presiden Prabowo memiliki visi pembangunan yang menekankan pada kemandirian pangan, sandang, papan, air, energi, serta hilirisasi industri. Salah satu kebijakan yang menonjol adalah pengalokasian lahan seluas 20 juta hektare untuk keperluan hutan cadangan pangan, energi, dan air. Kebijakan ini menuai perdebatan, terutama terkait kemungkinan realisasinya tanpa menimbulkan deforestasi.
Dalam struktur kabinet baru, Kementerian Kehutanan kembali dipisahkan dari Kementerian Lingkungan Hidup, setelah sebelumnya digabung selama satu dekade. Pemisahan ini didasarkan pada evaluasi yang menunjukkan bahwa integrasi kedua sektor tersebut menyebabkan lemahnya pengelolaan hutan di lapangan. Akibatnya, perambahan dan pemanfaatan lahan secara illegal dan pembalakan liar tetap menjadi masalah yang semakin mengkhawatirkan.
Kompleksitas Penyediaan Lahan 20 Juta Hektare
Kebijakan ini bukan sekadar soal penyediaan lahan, tetapi juga menyangkut pemenuhan kebutuhan mendasar masyarakat, termasuk pangan, energi, dan air. Namun, implementasi kebijakan ini harus memperhitungkan berbagai aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan, seperti deforestasi, konflik agraria, serta dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, penting untuk menemukan solusi yang seimbang antara kebutuhan domestik dan komitmen terhadap perjanjian Indonesia di kancah global.
Upaya menghindari deforestasi mendapat sorotan internasional, terutama dari Uni Eropa (UE) yang menerapkan regulasi ketat terhadap produk yang berkontribusi pada perusakan hutan. Aturan ini, dikenal sebagai “Deforestation Regulation“, menargetkan komoditas utama dari wilayah tropis, yang umumnya negara sedang berkembang, seperti minyak sawit, kedelai, kopi, kakao, dan kayu agar diproduksi tanpa menyebabkan deforestasi dan degradasi lingkungan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah kebijakan penyediaan lahan ini semata-mata untuk memenuhi kepentingan asing? Bagaimana dengan kepentingan nasional? Apakah Indonesia benar-benar berkomitmen untuk tidak melakukan deforestasi lagi? Moratorium terhadap hutan primer dan lahan gambut seluas 66 juta hektare menjadi bukti komitmen Indonesia, tetapi apakah hal ini telah disepakati sebagai kebijakan nasional yang tetap? Terlebih lagi apakah upaya itu telah mendapatkan imbalan yang wajar dari negara penghasil polusi CO2 yang telah berjanji akan memberikan kompensasi?
Definisi Deforestasi
Menurut FAO, deforestasi didefinisikan sebagai perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi non-hutan, yang umumnya disebabkan oleh aktivitas pertanian, perkebunan, atau pembangunan infrastruktur. Namun, organisasi lingkungan seperti WWF dan Greenpeace memiliki definisi yang lebih ketat, memasukkan perubahan hutan alam menjadi hutan tanaman dalam kategori deforestasi. Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendefinisikan deforestasi sebagai perubahan hutan menjadi non-hutan, termasuk akibat kebakaran atau konversi lahan.
Beberapa ahli juga berpendapat bahwa Indonesia memiliki konsep deforestasi terencana atau “planned deforestation” dalam sistem tata ruang, di mana kawasan hutan produksi dapat dialihfungsikan untuk pembukaan lahan untuk kepentingan komoditas pertanian. Selain itu, wilayah yang telah bervegetasi hutan tetapi dialokasikan untuk pembangunan, jika nantinya dibuka – masuk dalam kategori deforestasi terencana.
Penyediaan lahan seluas 20 juta hektar pada saat ini tanpa terjadi deforestasi, sudah pasti menimbulkan polemic yang panjang dan kompleks. Tanpa memahami dan menyepakati definisi – yang memang nyata-nyata berbeda antara definisi global dengan nasional, formal dengan kelompok lingkungan yang lebih informal, pastilah memerlukan komunikasi yang terbuka dan melibatkan para pihak. Bagi pembangunan dan kemajuan Indonesia – kepentingan rakyat akan ketahanan pangan dan enrgi pastilah menjadi prioritas yang tinggi, tanpa haru melupakan kepentingan lingkungan – bagi keberlanjutan yang lestari.
Ketahanan Pangan dan Energi
Dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa, kebutuhan pangan dan energi Indonesia terus meningkat. Saat ini, ketergantungan terhadap impor menjadi tantangan besar bagi perekonomian nasional. Di tengah ancaman krisis pangan dan energi global, Indonesia perlu meningkatkan produksi pangan, pakan dan energi dalam negeri agar lebih mandiri.
Menteri LHK, Raja Juli Antoni, menegaskan bahwa lahan yang akan dimanfaatkan berasal dari logged over area (LOA) atau bekas kebakaran, bukan hutan alam primer. Namun, jika wilayah ini masih masuk dalam kategori kawasan hutan, maka penggunaannya tetap berpotensi dianggap sebagai deforestasi. Untuk itu perlu Langkah teknis dan legal yang tidak mudah.
Untuk mempertahankan kebijakan luar negeri yang bebas aktif, Indonesia harus menyeimbangkan kepentingan nasional dengan tuntutan dan komitment global. Salah satu cara adalah memastikan kawasan hutan tetap dipertahankan sesuai UU 41/1999, dengan merehabilitasi area yang mengalami degradasi.
Bagi wilayah yang sudah digunakan untuk perkebunan sawit, evaluasi menyeluruh diperlukan. Jika lahan tersebut lebih cocok untuk pertanian, maka dapat dialokasikan sebagai lahan produksi. Namun, mengubah kebun sawit kembali menjadi hutan bukanlah langkah yang mudah, mengingat keterbatasan dana dan teknis. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih bijak adalah memberikan semacam amnesti atau diskresi terhadap lahan yang sudah lama digunakan untuk perkebunan.
Dalam konteks food estate, pemilihan lahan yang sesuai sangat penting. Jika wilayah tersebut lebih cocok untuk tanaman sagu, maka sebaiknya dikhususkan untuk pengembangan sagu, tanpa mengubah statusnya secara drastic, untuk kepentingan persawahan padi – yang mungkin belum tentu membuahkan hasil maksimal.
Tata Ruang Kesepakatan
Salah satu cara untuk memastikan bahwa penyediaan lahan tidak menyebabkan deforestasi adalah dengan melakukan tata ruang kesepakatan. Tata ruang kesepakatan adalah proses perencanaan dan pengelolaan ruang yang melibatkan semua pihak yang terkait, termasuk pemerintah, masyarakat, dan industri. Dengan melakukan tata ruang kesepakatan, dapat dipastikan bahwa penyediaan lahan dilakukan dengan cara yang berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan.
Mengapa tata ruang kesepakatan ini penting? Tata ruang yang sekarang terjadi masih didominasi oleh kebijakan nasional mengenai luas kawasan hutan. Rasio atara hutan dan lahan untuk budidaya pertanian (arable land) di Indonesia masih sangat timpang. Hal ini terjadi karena Kawasan hutan ditetapkan pada tahun 70an dengan kesepakatan beberapa sektor pengguna lahan di tingkat provinsi melalui kegiatan yang disebut Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Sektor Kehutanan saat itu mendominasi proses karena selain menguasai pemetaan, juga sektor ekonomi non migas tertinggi ke dua saat itu diduduki oleh Kehutanan. Sejak saat itu sektor Kehutanan selalu mendominasi penataan ruang – bahkan penataan ruang yang diatur oleh sebuah undang-undang pun harus dipaduserasikan dengan TGHK.
Saatnya kini perlu adanya kesepakatan baru tata ruang Indonesia. Kebutuhan pangan, papan, energi, air, sandang dan papan bagi 280 juta penduduk tentu berbeda dibanding kebutuhan ketika penduduk Indonesia masih 115 juta jiwa pada tahun 1970. Apakah masih wajar mempertahankan Kawasan hutan dengan rasio 65% hutan dibanding arable land dan infrastruktur? Pada kenyataannya, Kehutanan selama ini tidak mampu juga menyediakan kebutuhan kayu, dan non kayu (untuk pangan dan energi) dari hutan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sementara wilayah budidaya pertanian, yang tidak bertambah luasan – terus menerus dibebani kebutuhan pangan yang meningkat. Tidak heran jika saat ini terjadi import gandum mencapai 12 juta ton, dan impor beras mencapai 5.5 juta ton. Belum lagi impor bahan pangan dan hortikultura lainnya.
Tata ruang kesepakatan lainnya yang perlu dilakukan adalah tata ruang laut. Tuntutan internasional untuk luas Kawasan Konservasi laut sebesar 17% dari wilayah laut Indonesia – tentu akan mengurangi wilayah tangkap nelayan. Namun, karena perairan kita amat luas – dengan nelayan modern yang masih sangat terbatas, kepentingan untuk penataan ruang laut nampaknya masih menjadi prioritas yang ke dua, dibanding penataan ruang kesepakatan baru untuk daratan Indonesia.
Solusi Berbasis Tata Kelola Lahan
Merancang kebijakan penyediaan lahan 20 juta hektare harus dilakukan secara hati-hati dengan melibatkan masyarakat setempat. Evaluasi terhadap tata kelola lahan harus mempertimbangkan berbagai aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial agar kebijakan ini tidak menimbulkan konflik baru.
Sektor kehutanan yang telah melepaskan 20 juta hektare untuk kebutuhan pangan dan energi sebaiknya tidak mencari lahan baru yang berpotensi menimbulkan eksploitasi dan memunculkan pemburu rente ekonomi. Sebaliknya, optimalisasi lahan yang sudah ada dan pemanfaatan lahan tidak produktif harus menjadi prioritas utama.
Tata kelola lahan memerlukan kesepakatan ruang yang baru baik ruang lahan maupun lingkungan. Tata ruang kesepakatan yang ditawarkan sebagai salah satu solusi berjangka panjang dan bermanfaat jauh ke depan, harus mendapatkan keberterimaan dan kebersamaan, serta kegotong royongan.
Kesimpulan
Untuk mencapai ketahanan pangan, air, dan energi, penyediaan lahan 20 juta hektare harus dilakukan dengan bijak. Kami menyarankan tiga strategi utama:
- Melakukan tata ruang kesepakatan baru yang melibatkan semua pihak terkait.
- Mengoptimalkan penggunaan lahan yang tidak produktif, rehabilitasi lahan, dan penerapan teknologi pertanian yang efisien.
- Menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dan perlindungan lingkungan dalam pengelolaan lahan.
Dengan strategi ini, kita dapat memastikan bahwa penyediaan lahan dilakukan dengan cara yang legal, legitimate, berkelanjutan, dan tidak merusak lingkungan.
Jakarta, 14 Maret 2025
KESIMPULAN nya DITAMBAH sbb :
– Strategy budidaya AGRO FORESTRY … menggabungkan komodity PERTANIAN/ PERKEBUNAN dg KEHUTANAN (contoh : kayu & sawit, kayu & kopi, kayu & kakao, kayu & padi.dll)
– dg demikian kawasan /lahan itu tetap menjadi kawasan HUTAN, dan kelestarian kayu masih berlanjut,
– selama menunggu kayu panen, BIAYA PEMELIHARAAN nya disubsidi dari hasil panen komodity pertanian & perkebunan lain nya .. …