Artikel Utama

MENAPAKI JALAN TERJAL KEHUTANAN: ADA “SETAN” DI DALAM DETIL PENGELOLAAN HUTAN

Oleh: Transtoto Handadhari

Suatu saat Direktur Utama Bulog Djarot Kusumayakti yang kemudian bertugas menjadi Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani (2019) berkata tentang kemampuan seseorang menguasai masalah, hanya apabila dia tahu detil pekerjaannya. Di dalam detil setiap pekerjaan apapun itulah ada “setan” yang menjadi kunci penanganan dalam setiap pekerjaan, katanya.

Menjadi pertanyaan umum, kenapa hutan rusak dan semakin sulit diperbaiki. Apakah benar karena penampakan “setan” di dalam detil persoalan pengelolaan hutan tidak diketahui. Ataukah karena para petugas lapangan ataupun para pejabat kehutanan telah terjebak malas melihat detil pekerjaannya yang menyebabkan dasar keputusan kebijakan menjadi lemah, dan hutan semakin terdegradasi. Maka, siapapun menterinya, rimbawan profesional, non rimbawan ataupun politikus tidak dapat memimpin pengelolaan kehutanan dengan baik.

Praktik pengelolaan hutan yang tampaknya sederhana tersebut ternyata di dalamnya dipenuhi dengan boerbagai misteri. Jangankan bicara tentang kebakaran hutan yang selalu hadir dengan asap tebalnya, ataupun penebangan liar yang nyata di depan mata tapi tidak dapat tuntas diberantas. Bahkan menanam hutan kembali saja kita dianggap tidak mampu.

Sebagai gambaran, pembangunan hutan tanaman industri (HTI) yang “hanya” menanami hutan loggeg-over area saja hasilnya sangat buruk. Hanya 250 ribu hektare per tahun, lebih buruk dari kemampuan negeri kecil Vietnam. Itupun seakan hanya disesuaikan dengan luas tanaman untuk memproduksi kayu yang diperlukan oleh industri, khususnya pulpa. Luas hutan tanaman yang dibangun sejak tahun 1985 sampai saat ini tercatat hanya sekitar 4 juta hektare. Faktanya di lapangan mungkin kurang. Tidak sepadan dengan areal 10 juta hektare yang sudah dicadangkan. Mengapa? Hanya “setan“-nya yang bisa bercerita.

Kelemahan kehutanan Indonesia lainnya tercatat khususnya dalam hal merencanakan dan mengkomunikasikan pekerjaan. Hal ini berkaitan dengan data dan informasi yang hampir tidak pernah valid dan konsisten. Tentu ada sebabnya, bukan sekedar longgarnya koordinasi antar bidang, tetapi ada kesalahan pengambilan data yang tidak dapat dipungkiri terjadi karena adanya kecurangan kerja di lapangan.

Barkaitan dengan core kegiatan kehutanan yang didakwa paling merusak, yakni pemanenan kayu, dalam melakukan penebangan hutan secara berkelanjutanpun kita dianggap juga tidak mampu. Pembangunan kehutanan dan Rimbawan gagal mengelola hutan (Kompas, 12 September 2001). Sajian data kepulihan tutupan hutan ternyata bila ditelisik ke lapangan, nampak degradasi yang luas, di mana hutan yang tumbuh di areal gundul bekas tebangan HPH ternyata didominasi oleh tanaman cepat tumbuh yang dianggap tidak berharga seperti pohon biwan (Endertia, Sp.).

Kontradiksi Kebijakan Kehutanan

Sebelum bicara masalah detil persoalan yang membelit pengelolaan hutan, masalah utama yang jarang diperhatikan adalah memahami tujuan pokok pengelolaan sumber daya hutan (SDH, maupun detil filosofisnya pekerjaan, serta kesiapan pengelolanya. Apabila itu semua tidak siap, tentu mudah membangkitkan kontradiksi maupun kontroversi dalam pelaksanaannya yang menimbulkan banyak pertentangan.

Mengapa kebijakan pengelolaan kehutanan, dan pengelolaan lingkungan negeri ini secara keseluruhan mengundang bencana lingkungan? Karena masalah utamanya penataan ruang tidak tepat. Diperparah oleh berbagai perilaku kehidupan yang tidak ramah lingkungan, tidak dikuasai oleh pihak kehutanan, dan secara legalitik sering tidak bisa dipersalahkan. Lalu “setan”-nya ada di mana? Mudah saja melihatnya, tapi bagi yang tidak peka nampak kabur.

Penetapan hutan lindung adalah pangkal pembuataan tata ruang daratan. Tetapi sampai kini, hanya ditetapkan dengan SK Menteri Pertanian Nomor 837 Tahun 1980 yang lalu. Dilakukan hanya dengan overlay 3 (tiga) buah peta manual: peta lereng, peta jenis tanah dan peta iklim. Saat ini umur SK tersebut sudah mendekati 40 tahun. Kemajuan tehnologi sudah tak terbilang lagi. Di samping ada foto udara, citra satelit, GIS, peta geologi tiga dimensi dan berbagai tehnologi canggih, pemetaan lapangan bisa dilakukan lebih akurat. Kriteria maupun variabel penilaian lahan yang harus dijadikan kawasan lindung semakin banyak, namun jauh lebih mudah dan akurat.

Kawasan konservasi yang harus ditetapkan sesuai kebutuhan pengawetan dan kelestarian alam hayati yang sekitar 75 persen dimiliki Indonesia, belum kawasan cagar alam dan budaya yang bernilai, juga seringkali menjadi sasaran penggundulan kayunya atau diabaikan pelestariannya. Menyedihkan, dan bencana alam berdatangan semakin merajalela dengan tata ruang yang ada, tanpa memikirkan menggantinya yang lebih canggih, kecuali yang dilakukan di Kantor BPKH XI Jawa-Madura tahun 2003, dan karya besar itupun hanya menjadi monumen tanpa dikembangkan seperti maunya Wapres JK kala itu. Sesuatu yang terasa ”tolol”, yang tanpa sadar dibiarkan saja tanpa dilakukan upaya apapun oleh aparat terkait.

Mengapa pengukuhan hutan tidak rampung-rampung? Karena hakekat pengukuhan hutan adalah pengakuan eksistensi kawasan, bukan hanya penanaman tapal batas fisik per 100 meter-an sepanjang batas kawasan. Di Kanada tidak dikenal pamatokan hutan, tetapi memanfaatkan tehnologi GPS (Global Positioning System) dan peta yang akurat. Diketahui dan disepakati masyarakat dengan antara lain sistem CORE (Comission on Resource Environment) yang selalu dilibatkan penuh dalam ikut mengawal pengelolaan hutan oleh masyarakat berdasarkan undang-undang. Pematokan batas hutan memberikan peluang penyalahgunaan fisik dan finansial. Tata cara dan praktik penataan batas hutan konvensional sampai saat ini memberikan gambaran bahwa pengukuhan hutan tidak akan selesai sampai akhir jaman.

Mengapa pembangunan institusi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang dianggap sangat strategis di area tapak berjalan lambat dan tidak efektif? Karena roh kegiatan tersebut yang seharusnya adalah “pemangkuan”, dipaksakan sebagai “pengelolaan”. Pengabaian roh manajemen tersebut yang telah dilakukan sejak tahun 1992 (SK Menteri Kehutanan Nomor 200/Kpts-II/1991) dengan meluncurkan kebijakan pengelolaan hutan dengan sebutan membangun “Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi” (KPHP). Pedoman awal yang dibuat para ahli lokal didampingi oleh para ahli Uni Eropa hanya berakibat kaburnya tujuan yang hendak dicapai. Yaitu pengurusan hutan yang paling optimal, berbeda dengan roh pengelolaan yang harus mampu membiayai sendiri seluruh proses manajemennya.

Mengapa hutan rusak? Jawabannya karena ulah penebangan liar. Dan paling mudahnya semua akan mendakwa pihak korporasi penebangan hutan yang merusaknya. Persangkaan yang telah menjadi stigma publik tersebut apabila dicermati secara detil persoalannya justru membawa ke sinyal bahwa “setan” persoalan perusakan hutan dan sumber dayanya mengait kepada para pengambil kebijakan, penyusun rencana pengusahaan, pemberi ijin tebang, pengawas penjaga hutan, aparat lapangan terkait, aparat keamanan, sampai masyarakat umum yang punya peran berjamaah. Deforestasi paling besar dalam mendorong perusakan hutan yang pernah mencapai 2,83 juta hektare per tahun (1997-1980), tidak termasuk hutan di Jawa.

Sesuai data yang tersedia di Baplan/Ditjen Planologi, penghitungan deforestasi dikelompokkan dalam tiga periode: 1985-1997, 1997-2000, dan 2000-2005. Periode 1985-1997, deforestasi dihitung berdasarkan peta RePProt tahun 1985, dan peta penutupan lahan hasil pemafsiran citra Lansat 5 TM tahun 1997, dan diperoleh angka tingkat deforestasi sebesar 1,87 juta ha/tahun. Pada periode 1997-2000, deforestasi dihitung berdasarkan data digital penutupan lahan hasil penafsiran citra Landsat 7 ETM+ tahun 2000. Tingkat deforestasi yang dihasilkan 2,83 juta ha/tahun. Selama ini, angka laju deforestasi 2,83 juta ha/tahun yang digunakan Dephut dan diacu para pihak.

Pada periode 2000-2005, deforestasi dihitung berdasarkan hasil penelitian Wageningen University (WU) yang menggunakan citra SPOT Vegetation, dan hitungan South Dakota State University (SDSU) yang menggunakan citra MODIS. Tingkat deforestasi yang dihasilkan adalah 1,08 juta ha/tahun untuk SPOT Vegetation, dan 0,72 ha/tahun untuk MODIS.

Mengapa kebakaran lahan dan hutan terus terjadi setiap kemarau? Karena masalah pokoknya adalah rakyat lapar, perlu mengisi perut. Api adalah alat paling murah untuk membuka ladang. Pemahaman apa itu api sempurna, keterjadian asap di lahan gambut, kebiasaan masyarakat lokal dan banyak lainnya sangat kurang diperhatikan dalam upaya mencegah terjadinya kebakaran dan asap. Kendati sangat jelas siapa yang membuat api yakni masyarakat lokal yang dengan baju “kearifan lokal” membakar ladang dilindungi ijinnya oleh UU Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 69 ayat (1). Maka termasuk korporasi-lah yang lebih disasar bertanggungjawab atas terbakarnya hutan rembetan, meski sebagian benar juga ada yang sengaja membakar hutan. “Setan” dalam kasus-kasus kebakaran lahan dan hutan nyaris lepas dari perdebatan, dan solusi kebakaran lahan dan hutan tergolong menjadi yang paling sulit dan rumit.

Mengapa hutan alam fungsi produksi justru seharusnya ditebang habis? Karena terkait dengan penghitungan produksi kayu yang seharusnya dijamin kontinyu, dan kawasan hutan telah dijamin aman lingkungan. Maka sistem tebang habis perlu dilakukan untuk merubah kondisi hutan produksi yang un-even forests ke even forests.

Selainnya, mengapa kebun sawit layak diijinkan dikeluarkan dari kawasan hutan meski banyak hujatan? Karena secara sah status dan kondisi lahannya telah sesuai dengan tata ruang. Itu jawaban yang sangat terang. Meski dalam praktik selanjutnya tanggungjawab soal perkembangan kebun sawit bukan ditangani oleh kehutanan.

Tekait gambut, mengapa lahan gambut justru aman dari pembakaran apabila diterbitkan ijin usaha di atasnya? Mengapa moratorium tebangan hutan justru sebaiknya tidak dilakukan?

“Setan” yang ada dalam detil persoalannya adalah bahwa karena kondisi hutan yang open access, kerakusan kebutuhan bahan baku industri kayu sekitar 80 juta meter kubik per tahun yang akan semakin tidak tercukupi, kondisi sosial-ekonomi masyarakat, penegakan hukum di lapangan yang sangat lemah dan lainnya menyebabkan langkah out of the box yang bertolak belakang itulah yang harus diambil.

Langkah-langkah Politik

Kebijakan politik mengejar kekuasan, ataupun berbau “pencitraan” yang lazim terjadi tidak selalu dengan buruk niatnya. Terutama apabila tetap berlandaskan keilmuan, kelestarian lingkungan dan tujuan kenegaraan yang memang dipersyaratkan untuk dicapai. Umumnya juga selalu dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat dan keadilan. Tapi bisa lupa aspek kelestarian alamnya.

Salah satu program utama pemerintah terkait kebijakan politik yang dikaitkan dengan penanganan pendudukan kawasan hutan oleh masyarakat (yang dalam praktiknya tidak murni masyarakat hukum adat) adalah program TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) yang digulirkan akhir masa jabatan SBY, hanya 3 (tiga) hari sebelum Jokowi dilantik menjadi Presiden RI tanggal 17 Oktober 2014 lalu dengan dorongan KPK, dan dilanjutkan sampai sekarang.

Terbitnya Perbermen 17 Oktober 2014, terbit hanya 3 (tiga) hari sebelum pemerintahan Jokowi dilantik sebagai Presiden RI, mengatur tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Negara RI No. 79 Tahun 2014, No. PB.3/Menhut-II/2014; No. 17/PRT/M/2014 dan No. 8/SKB/X/2014 tersebut yang juga merupakan percepatan penjabaran atas Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 34/PUU-IX/2011 awalnya mendapat reaksi keras. Pemerintah memandang masyarakat yang secara hakiki harus punya hak hidup dari hutan dan tanah negerinya sendiri tak jarang dimusuhi, dianggap sebagai perambah liar. Pemerintahan justru berupaya memberikan solusi kasus-kasus perambahan dan kemiskinan masyarakat sekitar hutan melalui Perpres Nomor 88/2017 dan Permenhut Nomor 39 /2017 dengan resiko menggali lubang kehilangan suara pemilihnya dalam Pilpres 2019 justru suara dari rimbawan/masyarakat kehutanan. Namun berangsur niat baik pemerintah tersebut banyak mendapatkan dukungan dengan beberapa penyempurnaan, meski imbasnya jelas mengurangi elektabilitas Jokowi dalam Pilpres 2019 yang tidak dapat dihindari.

Dalam pelaksanaannya pemberian sertifikat hak milik tanah hutan di luar Jawa untuk TORA tersebut sangat terhambat oleh masalah-masalah sosial dan tehnis lapangan, yang memerlukan penyelesaian yang tidak sederhana maupun waktu yang lama. Dari target 9 juta hektare (2015-2019) TORA tahun 2019 harus sudah bisa selesai diredistribusi dan dilegalisasi. Namun progresnya sangat jauh dari target. Tidak mencapai 10 persennya.

Di hutan Jawa, Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) serta SK Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) juga menghadapi kendala tentangan dari elemen-elemen masyarakat penggarap lahan hutan Perhutani seperti pihak LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) karena kurangnya sosialisasi, penyuluhan dan seringkali lupa menyertakan LMDH setempat. Areal IPHPS paling tidak telah sah ditatabatas areal IPHPS seluas lebih dari 12.500 hektare.

Khusus terkait program kerakyatan di atas di samping “setan” masalah TORA dan IPHPS tersebut, ada “setan” tambahan yang tidak disentuh atau dibiarkan ada dan sangat mengkhawatirkan bagi para konservasionis. Yakni pelepasan kawasan hutan di daerah-daerah perlindungan bencana dan konservasi, hanya setelah memenuhi syarat menghuni selama minimal 20 tahun, bahkan yang belum mencapai waktu tersebut tetap diberikan ijin huni sambil diberikan program hutan kemasyarakatan. Proses hukum atas terjadinya perambahan apalagi di kawasan lindung dan konservasi bahkan tabu untuk disinggung-singgung.

Sedangkan praktik kebijakan penyejahteraan masyarakat di kawasan hutan Jawa yang diwenangi oleh Perum Perhutani dilaksanakan melalui penerbitan SK IPHPS (dan Kulin KK) dan dilakukan dengan dorongan LSM lebih berdasarkan keinginan menyejahterakan masyarakat melalui pemberian hak pakai kapada petani seluas 2 (dua) hektar per orang selama waktu 30 tahun, yang dapat diperpanjang dan diwariskan. “Setan”-nya tertawa memperoleh ijin pakai yang tidak beda dengan diberikan “kepemilikan menggunakan kawasan hutan untuk jangka waktu yang “tak terbatas” di wilayah hutan Pulau Jawa yang sudah di bawah 16 persen saja luasnya. Tentu dalam praktiknya harus dibuat aturan-aturan yang lebih membangun tumbuhan bernuansa hutan dan ramah lingkungan, namun tetap memberikan hak hidup sejahtera bagi petani pemegang ijin.

Akhir Kata

Penanganan masalah pengelolaan hutan tidak akan dapat ditangani dengan tepat tanpa menemukan “setan” yang menghuni di dalam setiap detil keruwetan persoalan. Mengakibatkan arah dan laju pengelolaan SDH menjadi sebuah pekerjaan rumah (PR) yang panjang, jalan “di tempat”, dan bahkan tidak tepat sasaran.

Masalah-masalah yang menjadi penyakit yang akut seperti tentang kejahatan kehutanan tanpa perlu ditutupi serta secara jelas nampak dilakukan oleh siapa saja harus menjadi keutamaan untuk diberantas. Telah kita ketahui, dengan berteori yang dakik-dakik organ pemberantasan mafia kejahatan kehutanan yang kasat mata-pun tidak atau masih sulit meraba “setan”-nya, apalagi memberantasnya. “Setan” pengelolaan hutan dan lingkungan terjahat itu sangat ampuh, gelap tanpa terlihat, bahkan menjadi sahabat yang dirindukan senyumnya bagi setiap orang. Quo vadis.

Sedangkan untuk efektivitas pengelolaan kehutanan, perlu dipertimbangkan kembali membangun sistem pengorganisasian pengelolaan SDH secara “sentralistik” dalam sistem pemerintahan otonomi daerah saat ini. Sekali lagi menjadi pilihan stratejik karena pengelolaan ekosistem memang tidak boleh dilakukan secara parsial dalam menjamin tercapainya tujuan pokok pengelolaan SDH sebagai life supporting system yang amat prioritas kepentingannya bagi umat, bumi dan alam.

Sebagai seorang rimbawan Presiden Jokowi tentu memiliki kepekaan terhadap masalah yang muncul di bidang hutan dan kehutanan. Namun Presiden memiliki keterbatasan waktu dan kapasitas untuk melihat, apalagi mengetahui detil permasalahan kehutanan. Melalui pembantu-pembantunya yang mampu melihat “setan” persoalan kehutanan, dengan mengembangkan langkah-langkah intelijen (management intelligent) dalam pengelolaan hutan (GATRA, 9-15 Juni 2016), Presiden tidak perlu selalu harus blusukan umtuk memastikan memperoleh masukan yang benar. Sambil mengingatkan perlunya penyempurnan UU Nomor 41 Tahun 1999 yang tentu banyak “setan”-nya, yang konon hanya  disusun kilat selama 4 (empat) bulan.

TRANSTOTO HANDADHARI
Direktur Utama Perum Perhutani 2005-2008; 
Ketua Umum Perkumpulan Green Network Indonesia-BERBANGSA; 
Ketua Gerakan Rimbawan dan Masyarakat Peduli Hutan (GRMPH).

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *