Oleh : Ir. Slamet Soedjono, MBA Pengasuh MRI
PENDIDIKAN SEBELUM PUNCAK PERJUANGAN KEMERDEKAAN
A. Pendidikan Umum Hingga 1942
1. Sekolah Dasar
a. Sekolah Dasar Indonesia (Hindia Belanda) hampir 3,5 abad lamanya (1602-1942) dan telah membikin sebagian besar rakyat jajahannya berlama-lama miskin dan bodoh agar mudah dikuasai dan diatur serta tidak berani melakukan protes atau perlawanan politis kepada penguasa. Lama tak terlintas pikiran untuk membangun sekolah-sekolah supaya rakyat jajahannya maju. Setelah ada pembangunan sekolah di Indonesia rakyat pribumi yang diberi kesempatan ikut bersekolah hanyalah anak-anak priyayi (pegawai Pemerintah Belanda) pribumi dan bangsawan yang tidak banyak jumlahnya. Baru pada akhir abad 19 mulai diadakan sekolah untuk pribumi di pedesaan dengan dibukanya sekolah desa 2 tahun yang siswanya hanya diajari bahasa dan menulis huruf serta menyanyi nyanyian daerahnya, budi pekerti dan berhitung sederhana, sedikit saja diajarkan huruf latin. Tamat dari sekolah desa ini belum dapat membaca dan menulis huruf latin.
b. Awal abad 20 untuk memberi kesempatan orang desa bersekolah lebih tinggi di ibukota kecamatan mulai didirikan Sekolah Rakyat Lanjutan (Vervolgschool) atau SR 5 tahun yang siswanya diambil dari anak tamatan sekolah desa 2 tahun jadi sekolah di sini lamanya 3 tahun. Di sekolah ini diajarkan ilmu berhitung lebih tinggi, membuat surat atau karangan dengan huruf latin, ilmu bumi, menulis halus, sejarah wayang, bahasa Jawa lanjutan dan oleh raga rakyat (kasti/sepakbola) tetapi tidak diajari bahasa Belanda. Lulus dari sini sulit untuk bisa menjadi pegawai Pemerintah, kalau ada yang bisa paling jadi opas/pesuruh, juru tulis.
c. Di ibukota Kabupaten atau Kawedanaan tertentu (yang banyak orang Belanda) didirikan Sekolah Dasar Belanda ada dua yaitu Holland Inlandsche School (HIS) yang siswanya harus dari anak priyayi (pegawai Belanda), bangsawan atau anak lurah. Lama sekolah 7 tahun dan mulai kelas 4 harus berbahasa Belanda karena itu setelah lulus HIS sudah pandai/lancar berbaha Belanda dan lebih mudah untuk bisa menjadi pegawai Pemerintah Belanda. Yang satu lagi adalah Europese Lager School (ELS) dan yang bisa sekolah disini adalah orang-orang Belanda atau yang dipersamakan dengan orang Eropa.
2. Sekolah Menengah Pertama
a. Nama sekolahnya Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO yang adanya di Ibukota Karesidenan seperti Magelang, Yogyakarta, Cirebon, Purwokerto, Madiun, Bojonegoro, Bandung, Surabaya, Jakarta.
b. Yang bisa masuk sekolah disini hanya anaknya orang yang berkecukupan/ priyayi/bangsawan telah lulus dari HIS atau ELS seperti tersebut di atas jadi termasuk sekolah yang bergengsi. Di sekolah ini ada 2 bagian yaitu bagian (afdeling) B untuk Ilmu Pasti Alam dan Bagian A untuk Sastra Budaya. Guru-gurunya kebanyakan orang Belanda, Indo Belanda atau orang pribumi tertentu.
3. Sekolah Menengah Atas
a. Adanya hanya di kota-kota besar tertentu seperti Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Jakarta, Semarang.
b. Ada dua macam SLTA Belanda yaitu Algemeene Middelbareschool (AMS). Yang bisa masuk ke sini para siswa lulusan MULO, dari anak yang orang tuanya mampu/kaya atau berkedudukan tinggi di Pemerintah. Yang satu lagi namanya Hoger Burgelijk School (HBS) yang siswanya bisa dari HIS atau ELS tetapi lama sekolahnya 5 tahun.
4. Sekolah Tinggi
a. Pada tahun 1849 Pemerintah Belanda mendirikan sekolah Dokter Jawa di Surabaya dengan nama Nederlandsche Indische Artsen School (NIAS) untuk mendidik calon-calon Dokter Jawa.
b. Pada Januari 1851 di Jakarta Pemerintah Belanda mendirikan Dokter Jawa School (Sekolah Dokter Jawa) yang pada mulanya untuk pendidikan calon Mantri Kesehatan yang saat itu sangat dibutuhkan dan awalnya para siswanya diambilkan dari orang-orang Jawa yang memenuhi persyaratan.
c. Pada tahun 1898 Sekolah Dokter Jawa di Jakarta ditingkatkan mutunya serta lama pendidikannya untuk benar-benar dapat mencetak tenaga Dokter yang baik dengan merubah nama Dokter Jawa School menjadi School toot Opleiding van Indische Artsen atau dikenal STOVIA yang kemudian menjadi tempat pendidikan terbaik bagi calon dokter Indonesia.
d. Tahun 1920 di Bandung didirikan Techniche Hoogeschool (THS) atau Sekolah Tehnik Tinggi (STT) untuk menghasilkan para Insinyur Tehnik Indonesia seperti Ir. Soekarno dan Ir. Djuanda.
e. Tahun 1924 di Batavia (Jakarta) didirikan Recht Hoogeschool (Sekolah Hukum Tinggi) untuk menghasilkan ahli-ahli hukum (Mr=meester in de rechten).
f. Tahun 1927 Sekolah Kedokteran STOVIA ditutup diganti dengan Geneeskunde Hoogeschool.
g. Sejak 1928 di Surabaya dirintis berdirinya Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi School Toot Opleiding Van Indische Tandartsen (STOVIT) yang sempat berdiri hingga 1941.
h. Tahun 1940 di Jakarta didirikan Fakulteit der Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Kemanusiaan).
i. Tahun 1941 di Bogor didirikan Fakulteit van Landbouwwetenschap (Fakultas Ilmu Pertanian) tetapi tidak berlangsung lama, terhenti karena pendudukan Jepang dan dosen-dosennya pulang ke Negeri Belanda atau ditawan Jepang.
Oleh karena itu hingga jatuhnya Pemerintah Hindia Belanda dan digantikan oleh Penjajah Jepang di Indonesia belum ada Perguruan Tinggi yang khusus menghasilkan Insinyur Kehutanan. Satu-satunya insinyur kehutanan orang indonesia (pribumi) pada jaman penjajahan Belanda adalah Ir. R. Sewandono yang berasal dari kalangan bangsawan berpendidikan Middelbare Landbouw School (MLS) Bogor 1922 dan setelah bekerja di Jawatan Kehutanan (Boswezen) kemudian mendapat tugas belajar di Sekolah Tinggi Pertanian Wageningen Negeri Belanda. Dialah satu-satunya orang pribumi (Indonesia) dari kalangan bangsawan yang dapat meraih jabatan sangat tingggi di jaman Hindia Belanda yaitu Inspektur Kehutanan di Surabaya, dan pada tahun 1946 menjadi Kepala Jawatan Kehutanan Repubil Indonesia pertama.
B. Pendidikan Kehutanan Hingga 1941
1. Pendidikan Kehutanan Tingkat Dasar
Usaha Pengurusan dan Pengelolaan Hutan yang agak teratur dan intensif oleh Pemerintah Hindia Belanda baru dilakukan sejak 1865 setelah beberapa Ahli Kehutanan didatangkan dari Negeri Belanda dan Jerman. Pelaksanaan pengelolaan hutan di lapangan sejak jaman Kompeni hingga saat itu dipercayakan kepada para Residen dan Bupati dan kedua pejabat ini dalam menunjuk dan mengangkat petugas lapangan asal asalan saja yang penting loyal dan taat perintah, pendidikan kehutanan untuk pelaksana bawahan belum ada sama sekali. Pada tahun 1869 di Jawa dibentuk 13 Kesatuan Pengelolaan Hutan (Houtvesterij) yang dipimpin oleh para Insinyur Belanda, diangkat 28 orang bosch opziener (Sinder) dan 108 pegawai tehnik rendahan (polisi hutan/boswachter dan personil pembantu). Para personil menengah ke bawah belum mendapatkan pendidikan teori (ilmu Kehutanan) yang cukup hanya mendapatkan bimbingan praktek langsung dari atasannya.
Pada tahun 1885 seorang ahli kehutanan A.H.Berhout menulis pernyataan bahwa Penjaga hutan (Bosch wachter) dan Mantri Hutan yang diangkat dari kalangan rakyat setempat hanya dapat menulis dan berhitung saja. Sinder juga terdiri dari macam-macam orang yang merasa mengerti semua urusan kecuali kegiatan kehutanan sendiri. Memang ada yang diangkat dari orang yang pernah bekerja di perusahaan persil penebangan hutan tetapi ia tidak mempunyai pengetahuan tentang pengukuran, pemetaan, dan perencanaan hutan
2. Pendidikan Kehutanan Menengah Pertama
Pada tahun 1892 Koorders menyarankan perlunya diselenggarakan Kursus Sinder Hutan agar tidak terjadi seperti yang ada sekarang. Ada orang yang diangkat menjadi Sinder Hutan padahal dia belum pernah melihat pohon jati, tidak dapat membedakan pohon ploso dan walikukun, tidak tahu apa itu alat boussole dan alat pengukur lereng jalan. Pendeknya ia tidak mengerti apa-apa tentang kehutanan selain pandai menulis, berhitung, menulis dan berbicara bahasa Belanda dan duduk rapi di belakang meja kerja. Meski keadaan seperti itu usul Koorders untuk menyelenggarakan Kursus Sinder Hutan baru dilaksanakan tahun 1908 yang tergabung dengan Kursus Pendidikan Hortikultura dan Pertanian (Opleiding cursus voor tuin en landbouw) di Bogor. Keadaan juga semakin disadari bahwa pekerjaan Sinder berbeda sekali dengan pekerjaan kantor yang berpola tetap, bekerja atas dasar instruksi, masuk dan pulang kantor pada waktu yang tetap, setelah pulang kantor ia bisa sesuka hati mau berlaku apa saja. Sinder tidak demikian karena pekerjaannya banyak bergantung atau dipengaruhi banyak faktor lain. Sinder mempunyai tanggungjawab pelaksanaan pekerjaan di lapangan/wilayahnya, harus mempunyai kebijakan dalam bertindak, mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, dapat bekerjasama dengan pegawai pamong praja, pegawai lain maupun swasta, harus dapat mengambil hati rakyat dan bekerjasama atau melakukan pekerjaan kepolisian dan sebagainya.
Pada tahun 1912 Kursus tersebut resmi diganti menjadi Sekolah Pertanian atau Cultuurschool (CS) untuk mendidik pemuda-pemuda tamatan HIS/ELS (Sekolah Dasar Belanda) selama 3 tahun yang setelah lulus akan diangkat menjadi Pegawai tingkat Sinder di bidang kerja Pertanian atau Kehutanan. Inilah Sekolah Kejuruan Kehutanan Pertama di Hindia Belanda (Indonesia) yang memberi kesempatan kepada penduduk asli/pribumi mengenyam pendidikan pertanian dan kehutanan dan menjadi pejabat yang berbekal ilmu yang lumayan baik.
Oleh karena bertambahnya siswa dan kebutuhan sarana serta prasarana pendidikan seperti ruang kelas, asrama dan kebun praktek, pada tahun 1914 Cultuurschool ini dipindahkan dari Bogor ke Sukabumi. Pada tahun 1918 di Malang dibuka Cultturschool baru sama dengan yang di Sukabumi. Pada tahun 1923 kedua sekolah tadi (CS) tidak menerima siswa baru karena ada/terjadi malaise hanya meneruskan penyelesaian pendidikan bagi siswa yang sudah ada. Pada tahun 1925 Cultuurschool Sukabumi dibuka kembali sedangkan yang di Malang tetap ditutup. Dan pada tahun 1935 Cultuurshool Sukabumi ditutup sedangkan yang di Malang dibuka kembali, siswa CS dari Sukabumi dipindah ke Malang. Buka tutup CS ini sebenarnya agak kontroversi dengan adanya kebijakan Jawatan Kehutanan atas usul Berkhout bahwa sejak 1926 Jawatan Kehutanan tidak akan lagi mengangkat Sinder Kehutanan dari luar selain dari tamatan Culturschool.
Tamatan Cultuurschool Jurusan Kehutanan pada 4 tahun pertama setiap tahunnya sangat sedikit hanya 2-6 orang, yaitu tahun 1915=5 orang, 1916=2 orang, 1917=3 orang, 1918=4 orang, 1919=6 orang tetapi tahun 1920 sudah meningkat 15 orang dan pada tahun-tahun berikutnya 1921-1940 tamatan tiap tahunnya antara 7-19 orang hanya tamatan tahun 1940 (terakhir) mencapai 28 orang.
Jumlah seluruh tamatan CS (setingkat SLTP) dari 1915-1940 ada 318 orang dan dalam perjalanan karirnya di kehutanan selama jaman Belanda, Jepang dan Republik Indonesia berkat keuletan, ketekunan, kegigihan, kecakapan, semangat juang, dan semangat belajarnya ada yang mencapai prestasi/jabatan tinggi dan sangat tinggi di jaman Republik Indonesia. Sebagai contoh: Bp. Oedin gelar Sutan Moh Arief (CS 1915) terakhir menjabat sebagai Kepala Balai Besar Penyelidikan Kehutanan (sekarang Badan Litbang Kehutanan) 1955-1958, R. Anda Ganda Hidayat (CS 1938) terakkhir menjabat Presiden Direktur (Direktur Utama) BPU PN Perhutani 1963-1966, R. O. Nurhadi (CS 1922) Inspektur Kehutanan (Kadishut) Jawa Barat 1951-1954, Soeradi Soerodinoto (CS 1924) Inspektur Kehutanan (Kadishut) Jawa Timur 1952-1958 dan R. Soeroso SH (CS 1940) Kepala Divisi Hukum Keamanan dan Agraria Perum Perhutani 1981-1984. Para lulusan CS sampai pada akhir pengabdiannya di Kehutanan pada umumnya dapat mencapai jabatan baik menjadi KKPH/Administratur/Kepala Seksi hanya ada beberapa orang (kurang dari 10) yang kurang beruntung hanya bisa menjabat sampai Ajun/KSKPH.
3. Pendididkan Kehutanan Menengah Atas
Dalam perkembangan pengelolaan hutan para Houtvester (KKPH) yang umumnya dijabat oleh para Insinyur Kehutanan orang Belanda membutuhkan sekali adanya tenaga pimpinan yang cakap untuk dapat membantu pekerjaan Houtvester (Ajunct Houtvester) yang semakin meningkat dan berat terutama dari orang bumiputera. Keinginan itu disetujui Jawatan Kehutanan dan diprogramkan dari mana tenaga itu didapatkan. Akhirnya disimpulkan bahwa tenaga tersebut harus yang terdidik dan berpengetahuan sedemikian rupa sehingga dapat mengimbangi kebutuhan para houtvester dari segi ilmu tehnisnya, ketrampilannya, tata pergaulannya, pendekatan dengan masyarakat dan lain sebagainya. Satu satunya lembaga pendidikan pertanian dan kehutanan tertinggi saat itu yang dipandang dapat menyediakan tenaga seperti disebutkan tadi adalah Middelbare Landbouwschool (MLS) atau Sekolah Pertanian Menengah Atas di Bogor didirikan Pemerintah tahun 1913 yang siswanya diambil dari lulusan MULO (SMP) dan lama pendidikannya 3 tahun. Lulusan MLS Jurusan Kehutanan baru diperoleh pertama kali tahun 1921 sebanyak 13 orang dan semuanya diterima bekerja di Kehutanan diangkat menjadi Leerling Bosarchitect (Calon KSKPH) pengganti nama Leerling Ajunct Houtvester.
Pada tahun 1939 di Madiun dibuka Middelbare Boschbouw School (MBS) sebagai usaha pemisahan dari MLS Bogor agar Sekolah Kehutanan Menengah Atas ini bisa lebih bebas mengembangkan diri serta dapat melaksanakan pelajaran praktek hutan lebih intensif karena lokasinya dekat dengan hutan jati (KPH Madiun) dan hutan rimba (KPH Lawu Ds). Akan tetapi dengan datangnya penjajah Jepang MBS Madiun ditutup tahun 1943. Jumlah tamatan Sekolah Kejuruan Kehutanan Menengah Atas sejak MLS lalu menjadi MBS tercatat lulusan MLS 1921-1938=90 orang sedangkan lulusan MBS 1939-1943=80 orang keduanya berjumlah 170 orang. Oleh karena MLS dan MBS level pendidikannya lebih tinggi dari CS maka wajar saja tamatannya lebih banyak yang meraih jabatan-jabatan tinggi atau bahkan sangat tinggi contohnya Bp. R. Soepardi Poerwokoesoemo (MLS 1922) menjadi Kepala Jawatan Kehutanan (Pemimpin Tertinggi Kehutanan) 1947-1949, M. Soetarmo Hardjowasono (MLS 1930) menjadi Wakil Kepala Jawatan Kehutanan 1951-1959, R. Odang Prawiradiredja (MLS 1921) Wakil Kepala Jawatan Kehutanan 1952-1956, Ronggur gelar Patoean Malaon (MLS 1921) Wakil Kepala Jawatan Kehutanan 1956-1959, Amien Tjokrosoeseno (MLS 1934) Sekretaris Jendral Kementerian Pertanian sekitar tahun 1960, Ir. Soemaryo Joeswopranjoto (MBS 1939) Pembantu Menteri Kehutanan Kabinet Dwikora (Eselon I) 1964-1966, Ir.Hasan Basjaroedin Nasoetion (MLS 1937) Kepala Direktorat Kehutanan/Kepala Direktorat Pembinaan Hutan 1961-1975, Ir. M. Hatin Soedarma (MBS 1940) Direktur RRL, R. H. Holland Tedjokoemo (MBS 1940) Direktur Perdagangan, Ir.Soediarto (MBS 1940) Direktur LPH, Ir. Nizar Kamil (MLS 1938) Direktur LPHH, Tjahro Nurkamal (MLS 1938) Direktur LPKHH, Ir.Prijono Hardjosentono (MBS 1943) Presiden Direktur PN Perhutani 1966-1971 dan Direktur PPA, yang menjadi Inspektur Kehutanan sederajat ada 38 orang dan 1 orang menjadi Menteri adalah DR. Soedjarwo (MBS 1943).
Para lulusan MLS, MBS dan CS yang berjumlah 170+318=488 orang inilah menjadi pionir Kehutanan bangsa sendiri yang mulai bekerja dari tingkatan pegawai menengah bawah (Sinder Muda/Mantri) yang sampai berakhirnya penjajahan Belanda 1942 hanya diperbolehkan naik jabatan paling tinggi sampai Eersteklaas Boscharchitect (KSKPH Kelas I), di atas jabatan ini semuanya dijabat oleh orang Belanda atau Indo Belanda. Maka ketika Jaman Jepang dan tahun-tahun awal berdirinya NKRI mereka memperoleh kesempatan menduduki jabatan tinggi kehutanan menggantikan orang Belanda yang ditawan Jepang atau berhasil lari pulang ke negerinya sehingga terjadi kekosongan pimpinan kehutanan di hampir seluruh Indonesia.
4. Pendidikan Tinggi Kehutanan
Hingga tahun 1941 Pendidikan Tinggi Kehutanan untuk orang Belanda dan Negeri jajahannya adanya hanya di Wageningen Negeri Belanda bernama Landbouw Hoogeschool (LHS) atau Sekolah Pertanian Tinggi yang didirikan Belanda tahun 1890 untuk mendidik calon-calon Houtvester (KKPH). Awalnya baru tingkat Akademi lama pendidikan 2 tahun tetapi sejalan dengan perkembangan pendidikan tinggi lainnya seperti THS, GHS, RHS, dan lain-lain pendidikan ini ditingkatkan menjadi pencetak Insinyur Pertanian/Kehutanan dengan lama pendidikan 5 tahun. Pendidikan di Sekolah Tinggi ini lebih ditekankan kepada technical skill (ilmu terapan agar siap kerja) daripada pendalaman teori-teori keilmuan. Satu-satunya Insinyur Kehutanan Pribumi Indonesia lulusan LHS Wageningen sampai akhir 1941 adalah Ir. R. Sewandono seperti yang telah disebutkan di atas. Sebenarnya sejak 1925 Masyarakat Hindia Belanda telah mengusulkan kepada Dewan Rakyat agar di Hindia Belanda didirikan Landbouw Hoogeschool seperti di Wageningen dan usulan tersebut terus menerus atau berulangkali diajukan meski terus menerus ditolak. Baru pada tanggal 28 Agustus 1940 Dewan Rakyat menyetujuinya tanpa pemungutan suara dan Gubernur Jendral (Pemerintah Belanda) pada tanggal 25 September 1940 Pemerintah Belanda membentuk Komisi Pembentukan Fakultas Ilmu Pertanian (Fakulteit van Landbouwwetenschap bukan Landbouw Hoogeschool) di Bogor (di dalamnya ada jurusan Kehutanan) dan diminta agar pada tahun ajaran 1940/1941 sudah dapat dimulai kuliah tingkat pertama (propadeuse). Pada waktu dibuka pendaftaran mahasiswa yang masuk terdaftar 49 orang terdiri dari 5 orang Eropa, 12 Cina, dan 32 pribumi.
PENDIDIKAN KEHUTANAN SELAMA MASA PERJUANGAN (1942-1950)
Semangat Perjuangan dan Hasrat Mendapatkan Pendidikan yang Lebih baik
Di lingkungan kerja para pegawai Belanda lulusan CS, MLS, MBS, juga terjadi ketidakpuasan karena adanya pembedaan gaji pegawai orang pribumi dan orang Belanda/Indo Belanda meski dalam jabatan yang sama dan berlatar belakang pendidikan kehutanan yang sama. Dan dalam peningkatan karir jabatannya dibatasi hanya sampai tertinggi KSKPH/Ajun KKPH dan tidak ada program tugas belajar ke Perguruan Tinggi di Belanda untuk bisa menaikan jabatannya. Padahal hampir semuanya mengharapkan adanya kesempatan untuk dapat memperoleh tugas belajar mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi agar dapat meraih jabatan lanjutan yang lebih tinggi. Usaha-usaha perbaikan nasib para Pegawai Pribumi Kehutanan Belanda sampai dilakukan dengan bergabung pada Organisasi Kemasyarakatan Bond van Boschpersoneel in Nederlandsch Indie (Perkumpulan Personil Kehutanan Hindia Belanda) tahun 1916 yang kemudian diperbaharui menjadi Perhimpunan Pegawai Boschwezen 1926 dan tahun 1933 dibentuk Perkumpulan yang agak Khusus bernama Bond van Ongegradueerd Boschpersoneel (Perhimpunan Pegawai Kehutanan Tanpa Gelar) atau PPKTG anggotanya terdiri dari Pegawai Kehutanan Pribumi tingkat Sinder hingga Bosarchitect (jabatan tertinggi Pegawai Kehutanan Pribumi) guna berjuang meningkatkan pendidikan dan pencapaian jabatan yang lebih tinggi namun usaha mereka hingga tahun 1941 belum berhasil. Akhirnya mereka berpendapat keinginan itu hanya mungkin diperoleh bilamana bangsa Indonesia memiliki Negara sendiri yang harus diperjuangkan mati-matian dengan rela berkorban harta maupun nyawanya.
Pendidikan Kehutanan Masa Perjuangan 1942-1950
Ketika Belanda kalah perang melawan serbuan balatentara Jepang pada Maret 1942 kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda segra diambil alih oleh Pemerintah Militer Jepang. Orang-orang Belanda militernya maupun penjabat sipilnya yang tidak sempat menyelamatkan/melarikan diri ditangkapi dan ditawan/dipenjara dan tidak sedikit yang dibunuh. Akibatnya banyak bahkan hampir semua jabatan-jabatan sipil tinggi yang tadinya dikuasai/dijabat oleh orang Belanda terjadi kekosongan termasuk di Kehutanan. Pemerintah Militer Jepang tidak terlalu perhatian terhadap pengurusan Kehutanan, tidak mendatangkan ahli-ahli kehutanan dari negerinya hanya menempatkan beberapa orang kepercayaan untuk mengawasi kegiatan-kegiatan tertentu. Organisasi Kehutanan tetap sama dengan organisasi Kehutanan Belanda terakhir. Lima Inspektur Kehutanan di Jawa 3 dipercyakan dijabat oleh orang Indonesia mantan Pejabat Kehutanan Belanda (Ir. R. Sewandono, R. Odang, dan S. Roesiat) yang 2 dijabat orang Jepang (Azumi dan Yashikawa), jabatan-jabatan di bawahnya yaitu Kepala Bagian, KKPH dan Kepala Seksi diisi oleh orang Indonesia. Ada beberapa orang ahli Kehutanan Belanda yang dipercaya untuk menjadi Penasehat Jepang dalam pengurusan kehutanan seperti Dr.Becking, Dr.Wind, Van Doorn, Brouwer Dijkman dan Heringa. Hanya menjelang kekalahannya Pemerintah Militer menempatkan orang-orang Jepang yang tidak mempunyai pengetahuan Kehutanan tetapi sangat loyal kepada perintah atasan militer Jepang untuk melakukan penebangan hutan sembarangan dan besar-besaran guna menghasilkan bahan, barang dan pangan bagi pemenangan tentara Jepang dalam perang melawan sekutu. Pejabat resmi kehutanan yang ada diabaikan, diacuhkan, tak dipedulikan. Pada masa penjajahan Jepang dalam bidang pendidikan umum terjadi perubahan besar yang menguntungkan orang Inodnesia yaitu dengan ditutupnya sekolah-sekolah elit Belanda seperti HIS, ELS, MULO, AMS, HBS, KWS, MLS, MBS, yang harus diganti dengan sekolah baru yang tidak berbahasa Belanda dan tidak ada pembatasan penduduk pribumi memasuki sekolah yang dibentuk baru, maka kesempatan ini digunakan untuk mengubah dan meningkatkan status sekolah lama seperti HIS/HES diubah menjadi SMP Negeri dan MULO diubah menjadi SMA/SMT Negeri sehingga peluang anak muda Indonesia untuk bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi menjadi besar.
1. Pendidikan Kehutanan Menengah Pertama
Sekolah Pertanian Menengah Pertama Cultuur school (CS) yang selama 28 tahun menjadi pencetak tenaga terdidik kehutanan tingkat menengah bawah (Sinder Muda/Mantri) pada tahun 1941 ditutup untuk selamanya. Pada tahun itu di Madiun didirikan Sekolah Polisi Kehutanan (SPK) yang awalnya masih bersifat Kursus pendek 3 bulan yang siswanya diambil dari pegawai “Mandor Kehutanan” dan “Penjaga Hutan/Waker (Boschwachter)“ yang sudah senior untuk dididik sebagai calon Mantri Kehutanan dengan jumlah siswa tiap angkatan 25 orang. Mereka diasrama dan diharuskan membawa keluarganya. Isi kurikulumnya selain terkait dengan ilmu-ilmu kehutanan praktis juga harus menekuni hal-ikhwal tindakan kepolisian hutan baik ketrampilan fisik maupun aspek yuridisnya. Dalam perkembangannya kursus semakin intensif dan tahun 1943 dikembangkan menjadi Sekolah Polisi Kehutanan (SPK) yang lama pendidikannya 9 bulan kemudian menjadi 1 tahun. Pada tahun 1947 di Sekolah ini dikembangkan dengan jurusan Ukur Kehutanan sehingga menjadi Sekolah Polisi dan Ukur Kehutanan (SPUK) yang siswanya datang dari berbagai wilayah kehutanan Indonesia. Pada tahun 1951 SPUK Madiun dipindahkan ke Ungaran dekat Semarang. Pada saat yang sama (1951) SPUK dibuka di Pematang Siantar dan di Makassar. Untuk yang mengambil jurusan Polisi Hutan setelah lulus diangkat menjadi Mantri Kehutanan (SPK) di KPH-KPH dan yang mengambil jurusan Ukur Kehutanan setelah lulus diangkat menjadi Mantri atau Jurur Ukur Kehutanan yang ditugaskan pada Brigade-Brigade Planologi Kehutanan.
2. Pendidikan Kehutanan Menengah Atas
Seperti telah diuraikan dimuka bahwa sampai jatuhnya Pemerintah Belanda 1942 di Indonesia telah ada Sekolah Kehutanan Menengah Atas (MBS) di Madiun sebagai upaya pemisahan diri dari MLS Bogor. Saat Pemerintah Belanda jatuh digantikan Pemerintah Jepang MBS Madiun ditutup dan siswa Kelas I dan Kelas II yang ada diharuskan bekeja (diterjunkan dalam dinas kehutanan). Yang kelas II diharuskan menempuh ujian dan yang lulus terus diangkat sebagai pegawai kehutanan Jepang. Pada tahun 1943 di Bogor dibuka jurusan kehutanan pada Sekolah Pertanian Menengah Tinggi (SPMT) dan siswa Kelas I Eks MBS Madiun diharuskan masuk sekolah disini. Pada Pebruari 1944 di Bogor dibuka Sekolah Kehutanan Menengah Tinggi (SKMT) maka selain menerima siswa baru siswa eks MBS Madiun dipindahkan ke SKMT ini. Karena kebutuhan pegawai kehutanan sangat mendesak pada tahun 1945 mereka ini diharuskan menempuh ujian akhir pada tahun 1945, lulus sebanyak 38 orang langsung diangkat menjadi Pegawai RI yang merupakan lulusan SKMT pertama di Bogor (angkatannya Profesor Ir. Soekiman, Drs. Siswojo Sarodjo, A. Hendarin, Kol. Haryadi, Letkol. AD. Jachya Bachram dan lain sebagainya).
Ketiga angkatan siswa SKMT yang berada di Bogor menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan RI sambil belajar sebagai siswa sebagaian besar ikut terlibat dalam perang merebut dan mempertahankan Kemerdekaan RI. Sebelum proklamasi kemerdekaan ikut berjuang melawan/melucuti/merebut senjata tentara Jepang yang kalah perang melawan Sekutu, setelah proklamasi bertempur melawan tentara Belanda yang membonceng tentara Sekutu untuk dapat menguasai kembali Negara RI yang baru lahir. Semua itu karena tingginya semangat juang dan nasionalisme untuk dapat memiliki Negara sendiri yang bebas mandiri (merdeka) dan berdaulat yang telah lama didambakan.
Pada tanggal 6 Januari 1946 atau kurang lebih 5 bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan, Pemerintah RI beserta segala kelengkapan organisasinya dan para pimpinannya terpaksa harus mengungsi/hijrah ke Yogyakarta akibat gawatnya situasi dengan semakin kuat dan beratnya tekanan musuh (Belanda) dibantu tentara Inggris (Ghurka) yang mengancam keselamatan Pimpinan Negara dan Bangsa kita. SKMT Bogor ditutup sementara siswa Kelas I dan II diperintahkan kembali ke daerah masing-masing bergabung/bekerja di instansi kehutanan setempat. Pada April 1946 SKMT dibuka kembali di Kaliurang Yogyakarta untuk siswa Kelas II dan bulan Juni 1946 untuk kelas I di Yogyakarta. Tak lama kemudian yang di Kaliurang dipindah ke Yogya bergabung dengan siswa Kelas I berasrama di Klitren. Baru sekitar 1 tahun hidup agak tenang di Yogya tiba-tiba sambil bersekolah harus ikut bertempur kembali menghadapi Agresi Belanda I yang pada bulan Juli 1947 secara frontal dan cepat bergerak menguasai wilayah RI di bagian (front) Barat sampai batas Gombong (Kebumen), Utara sampai Ambarawa front timur hingga Bojonegoro-Tuban-Lamongan di Timur sampai Malang-Probolinggo. Kebanyakan siswa bergabung dalam satuan Tentara Pelajar dan beberapa kelaskaran yang lain yang tugasnya ke medan tempur diatur bergiliran berapa bulan/hari bertugas tempur di garis depan (musuh) berapa bulan bersekolah di Yogya.
Bisa dibayangkan betapa berat penderitaan fisik mental mereka tetapi tetap tabah bersemangat dan ulet menghadapi berbagai rintangan/ cobaan/ penderitaan. Angkatan kedua SKMT dapat menyelesaikan pendidikannya tahun 1947 di Yogyakarta berjumlah 27 orang. Diantara lulusannya 5 orang berkempatan meneruskan sekolah di Perguruan Tinggi hingga di kemudian hari ada yang menjadi Rektor Unbra (Prof. Dr. Ir. Mulyadi Banoewidjojo), Guru besar dan Dekan Fakultas Kehutanan UGM (Prof. Ir. R. Soedarwono) Kepala Unit I Perum Perhutani Jawa Tengah (Ir. R.I.S. Pramoedibyo), Staf Ahli Pemasaran Unit III Perhutani Jawa Barat (Ir. Moch Otjo Danaatmadja) dan Kol AL Drs. Psy. Oetoro.
Angkatan ketiga SKMT meluluskan siswanya di Yogyakarta tahun 1948 sebanyak 20 orang di antaranya Ir. Atang Soemaatmadja, Ir. Albertus Sugeng, dan Drs. Adjis Herdjan.
Pada tahun 1949 SKMT berubah menjadi SKMA masih tetap di Yogya tetapi tahun 1950 SKMA dipindah ke Bogor bergabung dengan MBS Bogor bikinan Belanda yang kemudian menjadi satu-satunya SKMA di Indonesia.
3. Pendidikan Tinggi Kehutanan
a. Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan Universitas Indonesia di Bogor.
Seperti telah disampaikan bahwa pada tahun 1941 Pemerintah Hindia Belanda sempat mendirikan Fakultas Ilmu Pertanian di Bogor tetapi baru berjalan lebih kurang 1 tahun Jepang datang mengambil alih Pemerintahan Hindia Belanda yang kemudian membubarkan/menutup sekolah Pertanian dan Kehutanan Tingkat Atas (MBS dan MLS) dan juga perguruan tinggi ini karena tidak ada dosen dan kesulitan pembiayaan. Pada tahun 1946 Pemerintah Belanda yang baru, membentuk de Nood Universiteit (Universitas Darurat) yang menggabungkan Geneeskunde Hoogeschool dan Recthoogeschool Jakarta, Techniche Hoogeschool Bandung, Faculteit van Landbouwwetenschap Bogor dan Faculteit de Letteren en Wiijsbeggerte Jakarta.Pada tahun 1947 de Nood Univesiteit diubah menjadi Universiteit van Indonesia (Universitas Indonesia). Di bawah kekuasaan Pemerintah Belanda Fakultas Pertanian Bogor dapat memulai kembali aktivitas perkulihaannya menampung mahasiswa lama dan menerima mahasiswa baru karena dosen-dosen Belanda sudah bisa aktif kembali. Hingga Belanda menyerahkan Kedaulatan RI kepada Pemerintah Indonesia awal 1950 perkuliahan relatif berjalan lancar karena di Bogor dari akhir 1947-1949 tidak ada perang seperti di Yogyakarta, dosen-dosennya cukup lengkap sebagian besar orang Belanda, buku perpustakaan maupun laboratorium/fasilitas praktikum cukup tersedia dan relatif lengkap. Oleh sebab itu Faperta UI dapat menghasilkan Insinyur- Insinyur Pertanian dan Kehutanan lebih cepat daripada Faperta yang di Yogyakarta. Jumlah mahasiswa Pertanian khususnya jurusan kehutanan waktu itu masih sedikit kurang dari 10 orang.
b. Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan di Yogyakarta
Fakultas Pertanian Yogyakarta awalnya didirikan oleh Kementerian Kemakmuran (sekarang Pertanian) di Klaten pada tanggal 27 September 1946. Waktu itu ibukota Negara RI berada di Yogyakarta setelah pindah dari Jakarta tanggal 6 Januari 1946 karena keadaan darurat. Pimpinan (Dekan) Fakultas Pertanian di Klaten dijabat oleh Ir. Haryono Danoesoesastro. Waktu didirikan di Klaten di Malang juga dibuka cabang Fakultas Pertanian tetapi karena bulan Juli 1947 Malang diserbu dan diduduki Belanda maka cabang Faperta di Malang ditutup dan mahasiswanya diberi ksesempatan melanjutkan studinya di Klaten. Tempat kuliah Faperta di bangsal belakang RS Tegalyoso Klaten. Dosen-dosennya datang dari Yogya yang sering kesulitan angkutan. Memang disediakan mobil antar jemput tetapi karena mobilnya tua sering rusak sulit cari ondedil bannya vulkanisiran dan jalan raya Klaten-Yogya rusak parah sehingga sering tidak jalan. Kalau naik bus umum busnya penuh sesak penumpang hingga di atap bus, jalannya pelan sekali lama waktu tempuh Yogya-Klaten paling cepat 2 jam. Untuk praktekum zoologi/biologi bisa di Klaten tetapi untuk praktikum fisika adanya di Yogya dan untuk bisa praktek disini mahasiswa harus menginap.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Yogyakarta dan Klaten diserbu dan diduduki Belanda maka Fakultas Pertanian di Klaten ditutup, sebagian mahasiswanya masuk Tentara Perjuangan Mahasiswa yang benar-benar bertempur/berperang di medan perang, diantaranya Pramoedibjo dan Utoro dan sebagian lagi pindah kuliah di Fakultas Pertanian UI di Bogor seperti Mulyadi dan Soedarwono.
Pada tanggal 1 Nopember 1949 Fakultas Pertanian bersama dengan Fakultas lain seperti Kedokteran dan Tehnik dibuka kembali, dan pada tanggal 19 Desember 1949 Pemerintah RI mendirikan Universitas Gajah Mada menaungi 6 Fakultas (Kedokteran Umum, Kedokteran Gigi, Tehnik, Pertanian dan Kehutanan, Keguruan dan Pendidikan serta HESP-Hukum-Ekonomi-Sosial-Politik). Oleh karena UGM belum memiliki gedung perkuliahan sendiri maka tempat kuliahnya terpencar-pencar di berbagai tempat yang pada umunya menggunakan dalem kraton atau kepatihan milik Sri Sultan Hamengkubuwono seperti Pagelaran dan Ngasem. Jumlah mahasiswanya juga belum banyak terutama untuk Kehutanan.
c. Pendidikan Akademi Kehutanan
Telah disampaikan bahwa selama penjajahan Belanda hingga akhir kekuasaannya 1942 jabatan-jabatan tinggi kehutanan KKPH (Houtvester) ke atas hanya boleh dijabat oleh orang Belanda yang kebanyakan bergelar Insinyur (Ir.) atau bahkan Dr. Ir. didikan Negeri Belanda atau Jerman. Pejabat Kehutanan Pribumi yang berpendidikan MLS/MBS menginginkan sekali untuk dapat diberi kesempatan kuliah kehutanan tingkat tinggi di Landbouw Hoogeschool guna meningkatkan ilmu dan kemampuan kepemimpinananya tetapi tidak pernah diberikan. Pada saat para lulusan MLS/MBS ini mendapat kesempatan menduduki jabatan-jabatan tinggi kehutanan di jaman Jepang guna menggantikan orang-orang Belanda yang ditawan Jepang atau lari pulang ke negerinya, semakin terasa perlunya peningkatan ilmu kehutanan tinggi. Beruntung Negara Republik Indonesia segera terbentuk setelah melalui perjuangan sengit hidup atau mati sehingga pada tanggal 5 September 1946 Pemerintah RI dapat mendirikan Akademi Kehutanan di Yogyakarta untuk meningkatkan ilmu Pejabat-Pejabat Kehutanan yang ada dan calon pimpinan tinggi/lebih tinggi lagi. Lama pendidikan 2 tahun bukan 3 tahun karena para siswanya terdiri dari para pegawai kehutanan yang waktu itu sudah berpangkat Ahli Praktek Kehutanan. Akademi Kehutanan di Yogyakarta yang merupakan Sekolah Tinggi Kedinasan berlangsung hingga tahun 1949. Di daerah yang diduduki Belanda pada tanggal 1 Oktober 1949 Pemerintah Belanda membuka Kursus Kehutanan Lanjutan Tinggi (Hoofden Cursus) atau disingkat KKLT di Bogor yang siswanya diambil dari Pejabat-Pejabat Kehutanan di wilayah Belanda sebagaian besar dari Luar Jawa. Setelah penyerahan kedaulatan RI dan ibukota Pemerintahan RI kembali ke Jakarta tahun 1950 Akademi Kehutanan Yogya dipindah ke Bogor digabung dengan Hoofden Cursuus (KKLT) yang ada di Bogor dengan nama Akademi Kehutanan. Akademi Kehutanan di Bogor berlangsung hingga tahun 1956 dengan berhasil meluluskan 6 angkatan Akademisi Kehutanan yang setelah lulus segera menduduki jabatan-jabatan Kepala Seksi, KKPH dan jabatan-jabatan lain yang sertingkat di seluruh Idonesia. Setiap angkatan berjumlah sekitar 20 orang.
Sebagai catatan tambahan bahwa sampai selesainya Perang Kemerdekaan 1950 Indonesia baru memiliki 2 (dua) orang Insinyur Kehutanan Bangsa Indonesi asli yang keduanya lulusan Landbouw Hoogeschool Wageningen Negeri Belanda yaitu Ir. R. Sewandono lulus sebelum Perang Kemerdekaan dan menjadi Kepala Jawatan Kehutanan Pertama RI 1946-1947 namun beliau segera pulang ke Negeri Belanda menuruti keinginan isterinya yang orang Belanda disebabkan di Indonesia merasa tidak aman perang terus-menerus. Beliau tidak pernah kembali ke Indonesia sampai meninggalnya di Negeri Belanda meski selama hidupnya sangat merindukan untuk dapat kembali ke tanah airnya. Yang kedua adalah Ir. R. Soesilo Hardjoprakoso yang lulus tahun 1947 setelah 10 tahun (1937-1947) sekolah/belajar di Belanda karena baru lebih kurang setahun studi di Belanda berkecamuk Perang Dunia di Eropa. Belanda dijajah Jerman, sekolah ditutup sementara, bea siswa dihentikan dan beliau ikut aktif bersama Mahasiswa Indonesia di Belanda berjuang untuk kemerdekaan RI. Setelah kembali ke Indonesia dalam suasana Perang Kemerdekan masuk bekerja di Pemerintah RI kemudian setelah RI berdiri tegak kembali beliau oleh Pemerintah RI diangkat menjadi Kepala Jawatan Kehutanan (Pimpinan Tertinggi Kehutananan saat itu) karena beliau memang satu-satunya Insinyur Kehutanan saat itu disamping dianggapnya mampu/cakap untuk memimpin Jawatan Kehutanan. Beliau memangku jabatan Kepala Jawatan Kehutanan dari 1950-1959 yang menjadi peletak dasar Pembangunan Kehutanan Indonesia. Tahun 1959-1962 menjadi Staf Ahli Menteri Pertanian terakhir menjabat Kepala Perwakilan FAO Regional Asia Pacific di Bangkok hingga pensiun tahun 1976. Setelah kembali di Indonesia oleh Pemerintah ditunjuk/diberi tugas selaku Penanggungjawab Penyelenggaraan Kongres Kehutanan Dunia ke VIII di Jakarta hingga sukses.
PENDIDIKAN KEHUTANAN SETELAH MASA PUCAK PERANG KEMERDEKAAN
Sekitar 10 tahun seusainya Perang Kemerdekaan RI 1950 lembaga pendidikan kehutanan yang ada ialah:
Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada di Yogyakarta. Mahasiswa di Faperta ini juga sama dengan yang di Bogor ada yang dari SMA Bag B (Umum) dan ada yang dari SLTA Kejuruan bidang Pertanian yang umumnya juga merupakan mahasiswa pegawai tugas belajar dari Jawatan Kehutanan atau Pertanian. Kurikulum dan sistim perkuliahaannya sama dengan Faperta Bogor yaitu system studi bebas. Jalannya perkuliahan di sini sering menghadapai kendala kekurangan dosen, dosen pembimbing skripsi, lab untuk praktikum, buku-buku perpustakaan yang tidak lengkap, banyak dosen dari luar kota (dosen terbang) yang kehadirannya terbatas, ditambah adanya sikap beberapa dosen yang bergaya feodalistik, tempat kuliah yang kurang memadai dan sering terganggu oleh perang kemerdekaan Agresi I dan Agresi II mahasiswanya banyak ikut perang sehingga kurikulum yang seharusnya dapat diselesaikan 5,0-5,5 tahun kenyataannya jarang yang dapat menyelesaiakn tepat waktu, paling cepat 7 tahun bahkan ada yang sampai 10-12 tahun dan banyak pula yang tidak dapat nenyelesaikan studinya. Faperta UGM berhasil meluluskan Insinyur Pertanian Pertama baru tahun 1954 yaitu Ir. R. Soedarsono Hadisapoetro, Ir. Anwarman Loebis, Ir. R. Soemarwoto, Ir. Gembong Sutoto, Ir. Soegiman, Ir. Kamarayani, dan Ir. Soenyoto Soemodihardjo. Sedangkan Insinyur Kehutanan Pertama baru dihasilkan tahun 1957 yaitu Ir. Koesniobari, Ir. Wisatja Sasemita, Ir. Soediarto, dan Ir. R.I.S. Pramoedibjo keempatnya adalah mahasiswa tugas belajar dari Jawatan Kehutanan Kementerian Pertanian RI. Kedua Fakultas Pertanian tersebut diatas terus berkembang sampai akhirnya pada tahun 1963 di masing-masing Fakultas tersebut terbentuk Fakultas Kehutanan yang terpisah dan jumlah mahasiswa dan lulusannya terus bertambah banyak.
Demikianlah gambaran Pendidikan Kehutananan ejak jaman penjajahan Belanda hingga pasca Perang Kemerdekaan RI. Tulisan ini dibuat atas permintaan Dewan Redaksi MRI. Semoga bermanfaat.