PERANAN HUKUM DALAM MENATA KELAYAKAN HUTAN DI INDONESIA
Oleh: Dr. Drs. Budi Riyanto, S.H., M.Si
Doktor Ilmu Hukum Urniversitas Indonesia, Purna Tugas sebagai Perancang Peraturan Perudang-undangan Utama dan Inspektur pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Pangkat/Golongan terakhir Pembina Utama/IV e hingga saat ini sebagai Pengajar Hukum Kehutanan pada Program Pasca Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia & Beberapa Perguruan Tinggi Swasta,
PENGANTAR
Majalah Rimba Indonesia (MRI) dalam Volume 68 ini mengangkat tema Menata Kelayakan Hutan Indonesia. Penulis berpartisipasi dalam volume ini khusus menyoroti peran Hukum dalam menata kelayakan Hutan Indonesia.
Bangsa Indonesia dikarunia oleh Tuhan yang Maha Esa berupa hutan yang merupakan kekayaan alam untuk kehidupan dan kesejahteraan rakyat. Untuk itu, sebagai konsekuensinya hutan harus diurus, dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, rasional, serta lestari. Hutan sebagai bagian yang essensial dari sistem penyangga kehidupan sekaligus merupakan unsur utama, merupakan modal dasar pembangunan nasional, mempunyai manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana panggilan jiwa Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Selain hal tersebut, hutan juga mempunyai peranan sebagai tempat spiritualitas dan
sebagai bagian ekosistem global, sehingga mempunyai pengaruh dunia internasional yang sangat penting. Namun, keberadaannya tetap mengutamakan untuk kepentingan nasional. Kehadiran Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan telah memberi wadah untuk pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan potensi hutan. Dalam kapasitas sebagai alat bantu untuk rekayasa pengurusan hutan tersebut, tentu dirasakan masih terdapat materi muatan yang dipandang tidak sejalan dengan konstitusi. Hal tersebut terbukti dengan adanya beberapa putusan Mahkamah Konstitusi sehingga perlu penyempurnaan materi muatan.
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. Selain itu, masih terdapat peraturan pemerintah yang belum ditindak lanjuti, sehingga belum secara utuh Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 sebagai sistem hukum dan sebagai alat bantu dalam mengelola hutan. demikian pula dalam hal pemanfaatan potensi hutan, dirasakan masih belum optimal, khususnya terkait potensi pemanfaatan plasma nutfah dan unsur-unsur hara dalam hutan yang belum secara optimal dimanfaatkan. Undang-Undang 41 Tahun 1999 telah diubah untuk kedua kalinya yang terakhir dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dalam tulisan ini akan lebih mengupas peranan hukum dalam Membangun Kehutanan khususnya menyangkut, Bagaimana bekerjanya hukum, Organisasi Biro Hukum dan Smart Regulations??
PANDANGAN HUKUM MODERN DALAM PENYELENGGARAAN KEHUTANAN
Campur tangan pemerintah sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut di atas menunjukkan bahwa Indonesia menganut konsep Negara Kesejahteraan (welfare state). Campur tangan pemerintah tersebut diberi bentuk hukum agar segala sesuatunya tidak simpang siur dan tidak menimbulkan keragu–raguan pada semua pihak yang bersangkutan dan bilamana menimbulkan konflik, penyelesaiannya lebih mudah.
Bentuk hukum tersebut adalah mutlak perlu, oleh sebab fungsi hukum modern adalah Pertama, untuk menertibkan masyarakat; Kedua, untuk mengatur lalu lintas kehidupan bersama masyarakat; Ketiga, untuk mencegah dan menyelesaikan sengketa; Keempat, untuk menegakkan kedamaian dan ketertiban; Kelima, untuk mengukur tata cara penegakkan keamanan; Keenam, untuk mengubah tatanan masyarakat; Ketujuh, untuk mengatur tata cara pengubahan dan perubahan keadaan dalam rangka pelaksanaan ideologi tersebut.
Dalam pelaksanaan ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan tersebut dijabarkan dalam Peraturan Perundang-undangan antara lain: Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan ekosistemnya dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan beserta peraturan pelaksanaannya, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta peraturan pelaksanaannya.
Keberlakuan produk perundang-undangan tersebut di atas, kualitasnya ditentukan oleh tiga hal sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence W. Friedman dalam bukunya American Law, disebutkan bahwa hukum sebagai sistem yang terdiri dari tiga komponen yaitu:
1. Struktur sistem hukum yang merupakan badan atau pelaksana perundang-undangan.
2. Substansi sistem hukum yang menyangkut perundang-undangannya baik pada tataran policy level, institutional level maupun operational level.
3. Budaya hukum masyarakat yaitu menyangkut tata laku dan cara pandang masyarakat terhadap hukum.
Terkait dengan struktur sistem hukum yang merupakan penentu keberhasilan pelaksanaan perundang-undangan dituntut adanya sikap profesional dan perilaku pelaksanaannya. Untuk itu di dalam penempatan para pejabat khususnya terkait hutan dan kehutanan harus benar-benar profesional yaitu mumpuni dalam bidangnya dan bertangungjawab terhadap apa yang menjadi bidang tugasnya. Oleh karena itu, sistem pengkaderan dan promosi
dari pejabat yang duduk dalam struktur organisasi kepemerintahan khususnya yang mengelola kawasan hutan harus benar-benar yang terencana, terukur dan terseleksi serta benar-benar mengetahui dan mampu melaksanakan apa yang menjadi bidang tugasnya.
Untuk itu perlu adanya evaluasi terhadap sistem promosi untuk penempatan para pejabat/pelaksana, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Terkait dengan budaya hukum masyarakat bahwa perlu adanya penyadaran masyarakat terkaitarti pentingnya pengelolaan kawasan konservasi dan perlindungan jenis tumbuhan dan satwa liar. Kegiatan penelitian terus menerus tentang tata laku masyarakat dan sosialisasi terus menerus tentang arti pentingnya pengelolaan kawasan dan perlindungan jenis tumbuhan dan satwa bagi kelestarian alam dan keberlanjutan kehidupan. Selain hal tersebut materi muatan perundang-undangan tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya perlu dilakukan perubahan perubahan menyesuaikan kebutuhan di masyarakat. Hal ini mengingat hukum sebagai sistem dapat berjalan dengan baik apabila terjadi interaksi yang baik dan selaras antar komponen dalam sistem hukum tersebut.
Dalam hal Substansi Sistem Hukum untuk membuat Peraturan Perundang-undangan yang baik menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka harus memenuhi azas formil dan materiil yang meliputi antara lain:
1) Bahwa Undang-Undang yang akan disusun/perubahan dibutuhkan masyarakat.
2) Bahwa Undang-Undang yang akan disusun dimungkinkan dapat dilaksanakan.
3) Bahwa Undang-Undang yang akan disusun merupakan kemurnian kehendak Pemerintah.
4) Bahwa Perancang Perundang-undangan harus memahami betul terhadap substansi yang akan dirumuskan.
5) Dalam proses penyelesaian perancangan Undang-Undang tidak boleh tergesa-gesa.
6) Dalam proses perancangan dihindari adanya proses tawar menawar kepentingan tertentu, apabila hal tersebut terjadi akan menimbulkan kerancuan dalam pengaturan.
7) Harus adanya kejelasan terminologi dan sistematika.
8) Bahwa perundang-undangan tersebut mudah dikenal.
9) Perlakuan yang sama dimuka hukum.
10) Azas kepastian hukum.
Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa hukum (Undang-Undang) yang telah dibuat selanjutnya harus diimplementasikan, sebab jika tidak maka hukum/Undang-Undang hanyalah merupakan huruf-huruf mati belaka. Agar supaya hukum/Undang-Undang dapat berfungsi dengan baik maka ia harus memenuhi keberlakuan. Oleh karena itu jika tidak dipenuhi bisa jadi:
1) Hukum/Undang-Undang tersebut merupakan hukum yang mati bila hanya berlaku secara yuridis.
2) Hukum tersebut menjadi aturan pemaksa bila berlaku secara sosiologis.
3) Hukum tersebut hanya merupakan yang dicita-citakan apakah hanya berlaku secara filosofis.
Selanjutnya menurut Mochtar Kusumaatmaja, hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dimasyarakat (The Living Law) yang tentunya merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. Nilai-nilai yang berlaku di masyarakat kita adalah nilai Gotong Royong. Dengan demikian di atas nilai gotong royong dibangun konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Di dalam Undang-undang Kehutanan Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa semua hutan dalam wilayah Republik Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh Negara. Di dalam ayat (2) disebutkan bahwa hak menguasai dari Negara yang tersebut pada ayat (1) diatur dengan memberi wewenang kepada Negara untuk: Pertama, menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukkan, penyediaan dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya dalam memberikan manfaat kepada rakyat dan Negara; Kedua, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan, dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan. Berdasarkan ketentuan undang-undang ini yaitu Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Namun demikian kenyataan saat ini bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait pengelolaan kehutanan dan konservasi masih menyisakan peraturan pelaksana yang belum ditindak lanjuti pada tataran Peraturan Pemerintah (PP).
Dengan lambatnya penyusunan RPP menyebabkan peraturan perundang-undangan tersebut belum utuh dalam melaksanakan tugasnya sebagai alat bantu dalam penyelenggaraan kehutanan.
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 masih menyisakan 3 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), yaitu:
(1) RPP tentang Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan; RPP tentang Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan.
RPP ini sebenarnya merupakan ”RPP Induk” dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, karena dengan RPP ini Pemerintah menetapkan:
a) Wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan.
b) Pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan.
c) Pengaturan cara pemanfaatan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan.
Selain hal tersebut dalam RPP ini Pemerintahjuga mengatur serta melakukan tindakan penertiban terhadap penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang terletak dalam wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan.
Perlindungan sistem penyangga kehidupan berarti mengelola sistem penyangga kehidupan secara seimbang dan terpadu antara pemanfaatan langsung bagi kehidupan manusia dan pelestarian fungsi ekosistem, yang dalam jangka panjang dan secara tidak langsung menjaga kehidupan manusia.
Perlindungan sistem penyanga kehidupan
dilaksanakan melalui:
a) Perlindungan hutan termasuk daerah aliran sungai.
b) Perlindungan sistem pertanian produksi pangan.
c) Perlindungan sistem perairan di daerah pantai dan pesisir melalaui perlindungan dan pemeliharaan lahan basah, khususnya ekosistem rawa bakau, terumbu karang, bantaran sungai dan sebagainya. Mengingat pentingnya pengaturan perlindungan sistem penyangga kehidupan, maka materi