Artikel Utama

TATA RUANG KESEPAKATAN

Oleh: Ir. Petrus Gunarso, M.Sc., Ph.D.,

(Koordinator Divisi Riset Kebijakan dan Advokasi Relawan Jaringan Rimbawan)

PENDAHULUAN

Kata kesepakatan dan kata mufakat menjadi kata yang semakin jauh dari kehidupan bernegara saat ini, proses pengambilan keputusan semakin hari semakin banyak bergantung pada pemungutan suara atau voting, siapa kuat dia yang menang. Dampak negatifnya akan sangat parah jika pemungutan suara atau voting terjadi dalam proses tata ruang dan atau revisi tata ruang.

Kesepakatan dalam sidang tata ruang sering berakhir dengan catatan. Catatan itu adalah permintaan persetujuan teknis dari satu sektor yang paling dominan dalam hal pemanfaatan ruang, yaitu KLHK. Selain itu terdapat pula istilah DPCLS (Dampak Penting dan Cakupan Luas); jika suatu wilayah dipandang memiliki dampak penting dan cakupan luas maka persetjuan perubahan tata ruang harus melalui persetujuan DPR. Bisa dibayangkan, jika putusan teknis kemudian dibawa ke ranah putusan politis.

Yang terjadi kemudian adalah kembali menonjolnya pemegang kata pokok dalam undang-undang sektor yaitu UU Pokok Agraria dan UU Pokok Kehutanan. Walaupun kata pokok itu telah hilang dari UU 5/67; namun kewenangan dan kesewenangan itu masih terus terbawa sampai saat ini. Hal itu diperparah jika putusannya dibawa ke ranah politis.

LHK tetap memperlakukan lahan Indonesia sebagai Kawasan yang ditunjuk sebagai hutan dan area penggunaan lain (APL). Seolah-olah lahan di Indonesia dipisah menjadi dua dan masing-masing dipegang kewenangan mengaturnya oleh BPN untuk APL dan Kehutanan untuk Kawasan Hutan.

Padahal jika dibaca cermat dalam Pasal 14 dan 15 UU 41/1999 tentang Kehutanan, penunjukan kawasan hutan itu adalah satu dari 4 langkah dalam penetapan kawasan hutan. Upaya penetapan kawasan hutan adalah untuk menjamin kepastian hukum atas kawasan hutan. Pada pasal 15 dari UU tersebut ditegaskan bahwa pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan memperhatikan Tata Ruang Wilayah – bukan sebaliknya! Perda Tata Ruang harus menjadi acuan bagi pengukuhan dan penataan hutan.

Tulisan ini akan membawa kita pada prinsip dasar pemanfaatan lahan, bagi sebsar-besarnya kemakmuran rakyat – kembali kepada cita-cita luhur UUD 1945. Jika keadilan sosial menjadi cita-cita bangsa – maka kesepakatan untuk pemanfaatan lahan di Indonesia harus disepakati bersama dari tingkat pusat sampai ke desa sekaligus berproses dari tingkat desa ke tingkat pusat.

SEJARAH SUKSES TGHK

Ketika Indonesia mulai membangun – sebagian pembiayaan pembangunan berasal dari ekploitasi hutan dan pertambangan minyak di awal 70an. Setelah masuknya investasi asing dengan keluarnya UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing; maka disusul dengan UU 5/67 untuk membuka peluang penanaman modal asing di bidang kehutanan.

Pertengahan tahun tujuh puluhan sampai awal delapan puluhan, proses penataan ruang masih didominasi oleh sektor kehutanan. Penataan ruang oleh PU dan BPN saat itu masih berfokus pada wilayah pemukiman, sedangkan untuk wilayah di luar pemukiman, masih dominan dilakukan oleh Kehutanan dengan memanfaatkan UU Pokok Kehutanan 5/1967. Sektor kehutanan sejak jaman Belanda telah dibekali dengan kemampuan planologi yaitu dengan kemampuan pemetaan dan pemanfaatan lahan super luas dengan peta skala kecil. UU Tata Ruang pertama baru muncul kemudian yaitu UU 24 tahun 1992.

Dengan absennya tata ruang secara luas, yang mencakup wilayah hutan dan pedesaan, maka dilakukan penataan ruang oleh Kehutanan. Muncullah ide dari bawah, di tingkat propinsi, dengan semangat kebersamaan – disepakati oleh para kepala dinas yang memanfaatkan lahan saat itu dengan apa yang disebut Tata Guna Hutan Kesepakatan. Kesepakatan di tingkat propinsi yang di tanda-tangani oleh para Kepala Dinas dan Gubernur saat itu – kemudian dikirimkan ke Pusat sebagai pedoman pusat dalam mengeluarkan perijinan hak pengusahaan hutan.

Kala itu, hamparan bentang alam Indonesia di masing-masing pulau dan propinsi dibagi ke dalam Hutan Produksi, Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Area Penggunaan Lain. Saat itu belum ada UU Tata Ruang! Jadilah TGHK menjadi tata ruang pertama untuk seluruh NKRI dan dimulailah pembagian kewenangan antara BPN dan Kehutanan.

BPN berpegang pada UU Pokok Agraria – yang seharusnya mencakup seluruh wilayah NKRI, daratan, Perairan, wilayah di bawah laut, di bawah tanah, dan udara di atasnya sebagai wilayah nasional. Tetapi dengan kekuatan sektor Kehutanan saat itu, TGHK menjadi acuan dan BPN kemudian hanya fokus pada APL – area penggunaan lain yang ditetapkan oleh Kehutanan.

Karena UU 5/67 juga diberi gelar sebagai UU Pokok Kehutanan, seolah menjadi sah jika ruang hutan sepenuhnya diurus dan dikelola oleh lembaga yang mempunyai kewenangan atas kawasan hutan saat itu. Waktu itu, Kehutanan masih menjadi satu dengan Kementerian Pertanian.

TGHK menjadi alat sakti dalam membagi-bagi lahan ke dalam hak-hak Pengusahaan Hutan (HPH). Saat itu, HPH dibagi-bagikan banyak kepada para Jenderal dan yayasan kemiliteran dan kepolisian, walaupn dalam pelaksanaan kemudian diberikan manajemennya kepada para pengusaha hutan baik dari dalam maupun dari luar negeri.

KETIDAK ADILAN RUANG

Pembangunan berjalan terus, hingga pada suatu saat TGHK dirasakan tidak lagi cukup untuk mengatur dan menjamin keadilan ruang di Indonesia. UU Tata Ruang pertama lahir pada tahun 1992 – yaitu UU Tata Ruang No. 24 tahun 1992. UU tersebut secara umum kemudian memperkenalkan pembagian ruang ke dalam berbagai kawasan; Kawasan Lindung, Kawasan Budidaya, Kawasan Perdesaan, Kawasan Perkotaan, dan kawasan strategis lainnya.

Dalam tata ruang ini sama sekali tidak menyebut Kawasan Hutan; mungkin karena saat itu Kawasan hutan masih memiliki UU yang kuat. Kehutanan telah memiliki tata ruangnya tersendiri yaitu TGHK – Tata Guna Hutan Kesepakatan.

Munculnya Tata Ruang menimbulkan sedikit friksi antara Rencana Tata Ruang dengan TGHK. Oleh karena itu maka muncul di berbagai wilayah, khususnya di luar Jawa ketidak sesuaian antara TGHK dengan Tata Ruang. Saat itu, ketika Kehutanan masih sangat kuat produksi dan peran ekonominya, maka pendekatan yang ditempuh adalah Padu Serasi antara TGHK dengan Tata Ruang. Proses padu serasi ini lebih mudah terjadi di wilayah yang hutannya tidak begitu luas; namun tidak demikian dengan wilayah-wilayah yang memiliki banyak HPH. Secara khusus padu serasi yang paling alot terjadi adalah di Kaltim, Kalteng, Kalbar, dan Riau.

STUDI KASUS KALIMANTAN TENGAH

Kasus Kalimantan Tengah merupakan Propinsi paling unik dalam proses padu serasi antara TGHK dengan Tata Ruang. Terdapat perbedaan mencolok pada penataan ruang di Kalimantan Tengah ini. Anehnya, perbedaan itu semakin mencolok justru jika dibandingkan sebelum reformasi dengan setelah reformasi. Masukknya kepentingan politik di saatu sisi dan kepentingan daerah di sisi lain.

Secara ringkas, di Kalimantan Tengah terjadi ketidak adilan karena dalam TGHK, luas APL saat itu hanya 2% dan kawasan hutannya 98%. Tentu ini terjadi karena saat itu Kalimantan Tengah sebagai daerah Swatantra tingkat I baru, dan merupakan Pemekaran Propinsi – menjadi Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Menerima alokasi itu apa adanya.

SEBELUM ERA REFORMASI

Dalam tulisan ini, dibandingkan antara tata ruang sebelum reformasi dan sesudah reformasi. Tergambar bahwa sebelum reformasi – tata ruang Kalimantan Tengah sdh berubah dari semula 99% hutan dan hanya 1% APL, menjadi lebih baik proporsinya. APL bertambah cukup luas dan terjadi kesepakatan atas proporsi tersebut dan dituangkan ke dalam PERDA.

Dalam bagan-kue di bawah ini terlihat pada tahun 1994 dan 1999 pembagian wilayah hutan dan APL menunjukkan angka wilayah hutan yang dominan, dengan wilayah APL lebih dari 30%. Pengaturan ini merupakan hasil scoring yang kemudian diwujudkan ke dalam bentuk peta TGHK. Peta Tata Ruang pada tahun 1994 – merupakan peta tata ruang pertama yang keluar berdasarkan pada UU Tata Ruang yang terbit pada tahun 92, yaitu UU Tata Ruang no. 24 tahun 1992.

Namun anehnya, pasca reformasi di mana pada tahun 2007 muncul UU Tata Ruang baru yang mengakomodir semangat desentralisasi yaitu UU 26 tahun 2007. Namun jika kita lihat pada bagan kue Kalimantan Tengah sesudah reformasi 1999, maka terjadi perubahan proporsi yang aneh – di mana APL utk provinsi Kalteng bukan meningkat, tetapi justru menyusut.

SESUDAH ERA REFORMASI

Anehnya – pada masa sesudah reformasi, proporsi hutan dan APL justru mengalami perubahan dari moderat menjadi sangat konservatif. Dari bagan kue di bawah ini terlihat betapa areal Kehutanan mengalami perubahan berulang kali dengan proporsi yang sangat beragam. Hal ini menggambarkan kemungkinan pemanfaatan scoring yang cermat tidak dilakukan – dan penetapan justru lebih didorong oleh perebutan kepentingan – kepentingan politik saat itu.

Tata Ruang Kalteng jelas menunjukkan ketidak adilan wilayah. Kehutanan terlalu dominan – padahal pada kenyataannya – banyak pengusahaan hutan di Kalimantan Tengah yang gulung tikar dan tidak sanggup menunjukkan kelestariannya. Hal ini terbukti dengan makin menyusutnya jumlah HPH di Kalimantan Tengah.

Jika demikian – deforestasi telah terjadi dan meninggalkan banyak lahan2 kosong, dirambah, dibiarkan, dan kemudian muncul investasi penanaman sawit. Dari kasus Tata Ruang di atas, nampak sebuah paradoks dimana klaim kawasan hutan bukan semakin menyusut tetapi justru semakin luas. Permainan kepentingan atau politik kawasan terus mendera Kalimantan Tengah.

PERLU KEMBALI KE KATA KESEPAKATAN

Kini dampak dari perubahan penunjukan kawasan hutan yang dirasakan kurang adil oleh masyarakat Kalimantan Tengah – telah menimbulkan phenomena baru yang disebut sebagai “hutanku bersawit”. Disebut demikian karena sebagian kebun sawit yang dibangun di Kalimantan terperosok ke dalam penunjukan kawasan hutan karena penunjukan kawasan dan tata ruang yang dihasilkan oleh keputusan politis dan nir-kesepakatan di tingkat daerah.

Saat ini terjadi kondisi “hutanku bersawit” di paling tidak 3 propinsi yaitu di Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Ke tiga propinsi ini mewakili keadaan hutanku bersawit paling luas dan mencakup lebih dari 75% masalah tumpang tindih antara kawasan yang ditunjuk sebagai hutan dengan kebun sawit.

Musyawarah dan mufakat harus dikedepankan kembali – terutama dalam pemanfaatan sumberdaya lahan di Indonesia. Bagi tiga propinsi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Riau, yang saat ini menjadi pusat pengembangan kebun kelapa Sawit, diperlukan kebijakan yang perlu memperhatikan kepentingan yang lebih luas – bukan sekedar kepentingan satu propinsi atau satu pulau, tetapi harus melihatnya demi kepentingan Nasional. Dalam pengambilan keputusanpun disarankan untuk tidak berpegang pada putusan politik semata, tetapi harus mengedepankan penataan ruang yang disepakati di tingkat kabupaten/kota dan provinsi.

Pelibatan unsur Kabupaten/kota dan Provinsi dalam menata ruangnya seharusnya mulai didengarkan, dan pemerintah pusat sebaiknya memberikan panduan dengan melihat permasalah ke tingkat nasional. Kesesuaian lahan dari 3 propinsi tersebut sebagai kebun sawit jangan sampai menjadi korban konflik perebutan kewenangan yang merugikan semua pihak. Tata Ruang Kesekatan nampaknya adalah solusi yang menguntungkan semua pihak, dibanding berbagai usulan solusi yang saat ini dikemukakan oleh berbagai pihak dengan masing-masing menggunakan kacamata kepentingan masing-masing. Semoga kita Sepakat!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Themes By WordPress