MENATA KELAYAKAN HUTAN ALAM INDONESIA: MENATA PROPERTY RIGHT SUMBERDAYA HUTAN ALAM
Oleh : Dr. Ir. Endang Hernawan, M,T., M.Si,IPM
Lektor Kepala pada Studi Rekayasa Kehutanan- SITH Institut Teknologi Bandung (endang@sith.itb.ac.id)
PENDAHULUAN
Setidaknya ada lima mythos yang terkait dengan fungsi hutan dalam mempengaruhi hydrologis. Pertama hutan meningkatkan hujan, itu adalah mythos, yang benar adalah pengaruh hutan terhadap terjadinya hujan adalah kecil, kecuali dalam hutan skala benua. Kedua hutan meningkatkan aliran air tahunan, itu adalah mythos, yang benar adalah hutan meningkatkan evapotranspirasi, sehingga hutan justru mengurangi aliran air tahunan. Ketiga hutan mengurangi banjir, itu benar pada skala kecil, tetapi tidak pada skala banjir yang luas. Keempat hutan mengurangi erosi, tidak selalu benar, karena tergantung pada penggunaan hutan. Kelima hutan meningkatkan aliran air pada musim panas, itu tidak jelas kebenarannya. Sedangkan yang telah terbukti kebenarannya bahwa hutan mengurangi aliran permukaan (Pagiola, 2003). Dalam konteks keberlanjutan, sumberdaya hutan sepenuhnya bukan sumber daya pulih, tetapi hutan hanya memiliki potensi sebagai sumberdaya yang dapat pulih, tergantung pada cara kita memberlakukan hutan apakah hutan akan diberlakukan sebagai sumber daya exhautible atau renewable. Hal ini kita buktikan dan saksikan, bagaimana sumber daya hutan alam tropis Indonesia yang diberlakukan sebagai tambang emas hijau yang mudah dieksploitasi sebagai modal pembangunan masa orde baru, dalam waktu sesingkat-singkatnya hanya 20 tahunan sejak dibukanya HPH pada awal tahun 1970 an hutan alam kita mengalami degradasi yang hebat, dan sangat sulit untuk mengembalikan hutan Diptericarpaceae kita yang bernilai tinggi.
Demikian juga masyarakat umum sering kali salah mengartikan hutan sebagai barang publik, dan karena barang publik hutan dianggap sebagai sumber daya open akses, semua orang berhak memanfaatkannya. Padahal hutan dibedakan atas hutan sebagai bentuk fisik dan hutan yang memiliki fungsi tertentu. Hutan berbentuk fisik harus dimiliki melalui mekanisme perizinan, dan hutan yang memiliki fungsi tertentulah yang merupakan barang publik. Oleh karena itu hanya pihak yang menerima hak yang dapat memanfaatkan hutan seperti kayu, rotan, getah dan lain-lain. Hanya manfaat tidak langsunglah seperti: pengendalian erosi, penjagaan kesuburan tanah, penyerap karbon dan lain-lain yang merupakan barang milik umum atau publik (public property). Kondisi di lapangan seringkali diterjemahkan bahwa hutan secara keseluruhan merupakan barang publik dan dalam pengelolaan barang publik dapat dikelola siapapun. Kondisi pengelolaan barang publik seperti ini akan menjurus pada suatu keadaan yang disebut oleh Garret Hardin sebagai Tragedy of the Commons. Hardin berpendapat bahwa milik umum tidak dikelola secara sosial, tetapi merupakan sistem akses terbuka tanpa kepemilikan. Dan Hardin melihat bahwa ketiadaan kejelasan property right sebagai biang kerok kesemrawutan ini.
Menata kelayakan hutan alam di Indonesia, pada dasarnya menata property right sumber daya hutan yang masih belum jelas. Menata kelayakan hutan alam di Indonesia, juga bagaimana menata unit pengelolaan terkecil yakni Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang prospektif. Dan menata kelayakan hutan alam berarti juga menata hutan komunitas. Tulisan ini akan membahas terkait dengan bagaimana menata property right hutan alam, menata KPH dan menata hutan komunitas sehingga pengelolaan hutan alam yang tidak mengarah pada terjadinya Tragedy of the Commons.
MENATA PROPERTY RIGHT SUMBER DAYA HUTAN ALAM
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, sebagian besar sumberdaya hutan adalah milik negara. Menurut Schlager dan Ostom (1992) dalam Kartodihardjo (1998), dalam praktek pemanfaatan sumber daya milik negara, hak kepemilikan dapat dijabarkan menjadi bentuk access and withdrawl, management, exclusion and alineation. Bentuk access and withdrawl, pemegang hak hanya memiliki hak untuk memasuki suatu batas fisik hutan dan hak untuk mendapatkan produk dari sumber daya yang telah ditentukan. Hak manajemen adalah hak untuk mengatur pemanfaatan dan mengubah bentuk sumberdaya menjadi bentuk tertentu. Exclusion adalah hak untuk menentukan siapa yang mendapatkan akses dan bagaimana hak itu dapat dialihkan. Sedangkan hak alienation adalah hak untuk menjual atau menyewakan salah satu atau hak-hak sebelumnya.
Mengacu pada UU No.41/1999, pemegang hak pemanfaatan hutan hanya memiliki hak memanfaatkan, tetapi dipihak lain harus bertanggung jawab atas segala macam gangguan terhadap hutan dan kawasan hutan yang dipercayakan kepadanya. Hal ini berarti bahwa hak kepemilikan yang dimiliki pemegang IUPHHK-HA hanya dalam bentuk access and withdrawl tetapi tidak memiliki hak management, exclusion dan alineation. Perusahaan tidak memiliki hak untuk management, exclusion, dan alineation, disebabkan karena pengaturan manajemen hutan ditetapkan pemerintah seperti penggunaan sistem silvikutur melalui Peraturan Menteri Kehutanan atau Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Selain itu sejumlah aktivitas lainnya diatur melalui Peraturan pemerintah, Keppres, Surat Keputusan Bersama, dan sebagainya.
Dengan perusahaan tidak memiliki hak menentukan management, exclusion, dan alineation terhadap hutan yang dikelolanya, serta kayu sebagai asset pemegang IUPHHK-Hutan alam, maka pelestarian hutan oleh pemegang IUPHHK-HA sering diabaikan. Keadaan ini juga menyebabkan pemegang IUPHHK-Hutan Alam sulit menjalankan penegakan peraturan (law enforcement) guna mengatasi permasalahan free rider, komitmen, efisiensi perusahaan, dan sejumlah faktor eksternal yang mempengaruhinya. Bentuk perilaku yang muncul dari perusahaan pemegang IUPHHK-Hutan Alam adalah (a) sikap oportunis, (b) perilaku untuk memaksimumkan apa yang diinginkannya, atau (c) perilaku malas (Shaffer, 1980).
Dalam kondisi saat sekarang dimana standing stock hutan alam sudah menipis, pemegang IUPHHK-Hutan alam dalam kondisi tidak berdaya. Hasil survei Badan Pusat Statistik (2018) menunjukkan bahwa Perusahaan Hak Pengusahaan Hutan yang terdaftar sebanyak 283 perusahaan, hanya 199 perusahaan yang aktif dan/atau berproduksi. Dari 199 perusahaan tersebut tercatat produksi kayu bulat perusahaan HPH di Indonesia pada tahun 2018 sebesar 6,44 juta m³. Hal ini mengindikasikan bahwa reformasi peraturan perundang-undangan kehutanan tidak mampu menahan laju deforestasi di hutan produksi alam, dimana menurut Kartodihardjo (1999), pada awal reformasi yakni tahun 1999 produksi kayu dari hutan alam masih mencapai 22 juta m3. Kecenderungan menurunnya produksi kayu dari hutan produksi hutan alam akan terus terjadi dan sejalan dengan bergugurannya perusahaan HPH karena potensi kayu yang diusahakan sudah tidak layak untuk diusahakan. Perhatikan tabel dan grafik berikut bagaimana kondisi perkembangan jumlah unit manajemen, luas konsesi, produksi kayu bulat dan Annual Growing Stock Increment enam tahun terakhir.
Gambar 1. (a) Perkembangan Luas Areal Konsesi dan Jumlah Produksi Kayu Bulat per Tahun. (b) Produksi kayu bulat dibandingkan dengan riap tegakan tinggal, Periode 2013 – 2018 (Sumber: Statistik Kehutanan 2017 dan 2018 dan diolah).
Melihat Gambar 1. (a), menunjukkan bahwa luas kawasan konsesi hutan alam pada enam tahun terakhir mengalami penurunan dari 21.08 juta ha dengan unit manajemen 277 perusahaan pada tahun 2013 menjadi 18.52 juta ha dengan unit manajemen 254 perusahaan pada tahun 2018. Sementara itu produksi kayu bulat cenderung fluktuatif berkisar antara 5.01 juta m3 pada tahun 2013 dan 7.02 juta m3 pada tahun 2018. Kondisi produksi tahunan ini berada jauh dibawah riap tegakan tinggal yang berkisar antara 41.9 juta m3 pada tahun 2013 dan 36.8 juta m3 pada tahun 2018.
Fenomena tersebut di atas, salah satunya disebabkan oleh terbatasnya hak manajemen bagi perusahaan HPH, dimana semua proses pengambilan keputusan harus mendapatkan persetujuan dari otoritas kehutanan, termasuk jatah tebangan tahunan, demikian juga hak lainnya. Padahal hak-hak tersebut sangat diperlukan dalam mengatasi permasalahan biofisik, lingkungan, sosial budaya masyarakat setempat dan pasar. Persoalan okupasi lahan dan kegiatan illegal logging yang dilakukan masyarakat, kegiatan illegal mining salah satunya karena perusahaan tidak memiliki hak exclusion, sehingga perusahaan kurang mendapatkan pengakuan dari masyarakat setempat dan masyarakat merasa memiliki hak yang sama dalam akses dan withdwal terhadap hutan dan sumber daya alam. Perusahaan yang baru mendapatkan izin pun seringkali dihadapkan pada persoalan tidak bisa mengeksekusi izin yang telah diterimanya karena masyarakat sudah ada terlebih dahulu di areal yang sama. Perusahaan cenderung menghindari konflik dengan melakukan aktivitas di areal yang belum diokupasi masyarakat. Akibatnya kondisi di lapangan banyak ditemukan areal konsesi dalam kondisi tidak dikelola seperti tidak bertuan, di areal lain yang dianggap masyarakat lebih subur telah diokupasi menjadi ladang pertanian dan kebun.
Ada empat alternatif kebijakan penguatan property right hutan alam produksi di Indonesia yang diajukan Kartodihardjo (1998) yaitu memperhitungkan kayu di hutan sebagai asset, (b) HPH bagi masyarakat lokal, (3) HPH bagi masyarakat lokal, (4) pengusahaan hutan alam oleh BUMN dan (4) membentuk kesatuan pengusahaan hutan alam oleh BUMN dan (4) membentuk kesatuan pengusahaan hutan produksi (KPHP).
Gambar 2. (a) Kondisi Areal Yang Tidak Dilakukan Penanaman Ulang Setelah Penebangan. (b) Kondisi Areal Konsesi Yang Diokupasi Masyarakat Untuk Ditanami Tanaman Pangan
Alternatif pertama memiliki kelebihan yakni meningkatkan pendapatan negara dari perolehan nilai hutan yang dihimpun sejak awal pelaksanaan kontrak pengusahaan hutan. Hal ini dipertegas degan masuknya dalam pasal 35 ayat (1) dan (2) UU No. 41/1999 tentang Kehutanan yang disebutkan bahwa Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja (ayat 1), dan setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 wajib menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan (ayat 2). Menurut penjelasan dari ayat (1) dan ayat (2) menyebutkan bahwa dana jaminan kinerja adalah dana milik pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, sebagai jaminan atas pelaksanaan izin usahanya, yang dapat dicairkan kembali oleh pemegang izin apabila kegiatan usahanya dinilai memenuhi ketentuan usaha pemanfaatan hutan secara lestari; dan dana investasi pelestarian hutan adalah dana yang diarahkan untuk membiayai segala jenis kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka menjamin kelestarian hutan, antara lain biaya konservasi, biaya perlindungan hutan, dan biaya penanganan kebakaran hutan. Dana tersebut dikelola oleh lembaga yang dibentuk oleh dunia usaha bidang kehutanan bersama Menteri. Pengelolaan dana dan operasionalisasi lembaga tersebut di bawah koordinasi dan pengawasan Menteri.
Pada Pasal 34 ayat (1) UU No.41/1999 disebutkan bahwa pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi dilakukan melalui kegiatan usaha: (a) pemanfaatan hasil hutan kayu; atau (b) pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem. Selanjutnya menurut Pasal 35 bahwa Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil, sesuai dengan rencana pengelolaan hutan yang telah ditetapkan (ayat 1), dan Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi meliputi kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna (ayat 2). Selanjutnya menurut Pasal 36 nya disebutkan bahwa untuk pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem melalui IUPHHK dapat dilakukan apabila telah diperoleh keseimbangan hayati (ayat 3), dan apabila belum mencapai keseimbangan hayati, dapat diberikan IUPK, IUPJL, atau IUPHHBK pada hutan produksi (ayat 2).
Persyaratan pemanfaatan hasil hutan kayu di IUPHHK – RE ini terasa sulit hitungan-hitungan kelayakan finansialnya kalau produk utamanya adalah kayu karena memerlukan jangka benah yang cukup panjang sampai kondisi keseimbanan hayatinya tercapai supaya bisa dilakukan penebangan. Dengan demikian makan target bisnis utamanya dari perusahaan hanya berupa pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan dan HHBK. Dengan perubahan bisnis utamanya, inipun harus dilakukan menggunakan izin-izin yang berbeda yakni Iusaha pemanfaatan kawasan (IUPK), Ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL), dan atau Ijin usaha Pemanafaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK) melalui proses yang berbeda dengan IUPHHK – RE yang telah diperolehnya. Dengan asumsi bahwa perusahaan akan berfikir rasional, maka sangat sulit untuk menarik investor dalam IUPHHK-RE. Sampai tahun 2018, hanya tercatat ada 16 UM IUPHHK – RE dengan total luas konsesi 622,821.59 ha dengan nilai investasi Rp. 1,790 milyar. Selain itu nilai asset tegakan tidak bisa dijadkan agunan bank sebagai modal usaha. Hal ini ditegaskan juga dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan dan PP No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan; karena tegakan di hutan alam bukan hasil investasi si pemegang izin. Kondisi ini kemungkinan yang menyebabkan tidak menariknya investasi di hutan alam produksi, baik dalam bentuk IUPHHK -HA maupun IUPHHK – RE.
MENATA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN
Mengacu pada Pasal 17 ayat (1) UU No.41/1999 bahwa Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat propinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan. Berdasarkan penjelasan dari ayat (1) yang dimaksud dengan Ayat (1) yang dimaksud dengan:
- Wilayah pengelolaan hutan tingkat propinsi adalah seluruh hutan dalam wilayah propinsi yang dapat dikelola secara lestari.
- Wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota adalah seluruh hutan dalam wilayah kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari.
- Unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara lain Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (KPHKM), Kesatuan Pengelolaan Hutan Adat (KPHA), dan Kesatuan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (KPDAS).Unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara lain Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (KPHKM), Kesatuan Pengelolaan Hutan Adat (KPHA), dan Kesatuan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (KPDAS).
Karena telah terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, maka wilayah pengelolaan hutan di kabupaten/kota dihapus dan pembentukan KPHP/KPHL ditarik menjadi kewenangan Provinsi. Demikian juga, organisasi KPH menjadi UPTD Pemerintah Provinsi. Sementara KPHK masih menjadi kewenangan pusat. Sampai tahun 2020 perkembangan pembentukan KPH di seluruh Indonesia adalah sebagaimana tabel berikut.
Tabel 1. Perkembangan Pembentukan KPH di Indonesia Sampai Tahun 2020
No. | Jenis KPH | Jumlah KPH | Sk Penetapan Menteri | Pembentukan organisasi | SK Penetapan Propinsi | SK RPHJP | Luas (ha) | Hutan Produksi Tetap (ha) | Persentase (%) |
1 | KPHP | 344 | 196 | 301 | 340 | 203 | 59,105,042 | 68,837,507 | 85.86 |
2 | KPHL | 195 | 109 | 167 | 191 | 153 | 23,942,622 | 29,661,015 | 80.72 |
3 | KPHK | 148 | – | – | 147 | – | 12,736,852 | 22,101,271 | 57.63 |
Sumber: Subdit Informasi Spasial dan Dokumentasi (2021), Statistik Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2019), dan pengolahan
Berdasarkan Tabel 1 di atas, mengindikasikan bahwa KPH telah terbentuk di seluruh kawasan. Ketercapaian pembentukan tertinggi pada KPHP (85.86%), kemudian disusul KPHL (80.72%) dan KPHK (57.63%). Pembentukan KPHP dari hutan produksi tetap (HPT dan HP) seluas 55,989,958 ha pembentukan KPHP telah melampaui yakni 105.5%, sehingga sisanya berasal dari hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Sedangkan dari aspek keterpenuhan terhadap regulasi yakni SK Penetapan KPH untuk KPHP (56.98%), KPHL (55.9%), sedangkan untuk KHPK belum memiliki SK Penetapan KPHK. Pembentukan organisasi KPH untuk KPHP (87.5%), KPHL (85.64%), sedangkan untuk KHPK belum terbentuk organisasi pengelolanya. Organisasi KPHP dan KPHL pada umumnya adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Provinsi. Sedangkan penetapan per propinsi untuk KPHP (98.84%), KPHL (97.95%). Sedangkan dokumen RPHJP yang telah disyahkan untuk KPHP (59.01%), KPHL (78.46%), sedangkan untuk KHPK belum memiliki satupun memiliki RPHJP yang telah disyahkan.
Khusus untuk KPHP, dari luas sekarang 59,105,042 ha, didalamnya terdapat seluas 18,515,987.23 ha telah memiliki izin konsesi, jadi hanya mengelola 40,589,054.77 ha. Namun demikian, lahan yang tersisa tersebut, maka sering dijumpai areal KPH ini sebagian besar lahannya sudah di-okupasi masyarakat. Selain konflik penggunaan lahan tersebut, dihadapkan juga pada persoalan kondisi tutupan lahan dan potensi kayu dan HHBK yang memerlukan jangka benah dan pemulihan terlebih dahulu. Mengacu pada Undang-Undang No. 41 tahun 1999 Pasal 21a tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan, Pasal 22 tentang Tata Hutan yang kemudian diperjelas lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 Pasal 12. Mendasarkan pada PP tersebut, kemudian dikeluarkan Permenhut No. P.6/Menhut-II/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria Pengelolaan KPHL dan KPHP, dimana Pasal 4 menerangkan tentang Tata Hutan yang diperinci dengan Peraturan Dirjen Planologi Kehutanan No. P.5/VII-WP3H/2012 tentang Petunjuk Teknis Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan KPHL dan KPHP dimana berdasarkan hasil inventarisasi hutan maka dilakukan blocking pada kawasan dengan mempertimbangkan karakteristik kondisi biofisik lapangan, kondisi sosial ekonomi, potensi sumberdaya alam dan keberadaan ijin usaha pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan.
Terdapat dua karakteristik wilayah KPHL dan KPHP, yaitu: (a) wilayah KPHL dan KPHP yang kawasan hutannya berfungsi HL, dan (b) wilayah KPHL dan KPHP yang kawasan hutannya berfungsi HP. Pembagian Blok pada wilayah KPHL dan KPHP yang kawasan hutannya berfungsi HL terdiri atas satu Blok atau lebih, yaitu (a) Blok Inti, (b) Blok Pemanfaatan, dan (c) Blok Khusus. Pembagian Blok pada wilayah KPHL dan KPHP yang kawasan hutannya berfungsi HP terdiri atas satu Blok atau lebih, sebagai berikut: (a) Blok Perlindungan, (b) Blok Pemanfaatan kawasan, Jasa Lingkungan, HHBK, (c) Blok Pemanfaatan HHK-HA, (d) Blok Pemanfaatan HHK-HT, (e) Blok Pemberdayaan Masyarakat, dan (f) Blok Khusus.
Mengacu pada arahan pemanfaatan pada RKTN/RKTP/RKTK dalam proses merancang Blok. Oleh karena itu perlu dilakukan penyelarasan antara arahan pemanfaatan (yang terdapat dalam RKTN/RKTP/RKTK) dengan rancangan pembagian Blok sebagai berikut.
Tabel 2. Racang Bangun Wilayah KPHL dan KPHP Mengacu Pada Arahan RKTN/RKTP/RKTK
Arahan Pemanfaatan pada Kawasan hutan menurut RKTN/RKTP/RKTK | Pembagian Blok pada Wilayah KPHL dan KPHP | Keterangan |
Blok pada Wilayah KPHL dan KPHP yang berfungsi HL | ||
Kawasan untuk perlindungan HA dan Lahan Gambut | · Blok Inti | Kawasan untuk perlindungan HA dan Gambut (dalam RJTN/RKTP/RKTK) menjadi acuan awal dalam meancang Blok yang dapat berupa: Blok Inti atau Blok Pemanfaatan atau Blok Khusus pada HL sesuai potensi yang ada |
· Blok Pemanfaatan | ||
· Blok Khusus | ||
Kawasan untuk rehabilitasi | · Blok Inti | Kawasan rehabilitasi (dalam RJTN/RKTP/RKTK) menjadi acuan awal dalam merancang Blok yang dapat berupa: Blok Inti atau Blok Pemanfaatan atau Blok Khusus pada HL sesuai potensi yang ada |
· Blok Pemanfaatan | ||
· Blok Khusus | ||
Blok pada Wilayah KPHL dan KPHP yang berfungsi HP | ||
Kawasan untuk perlindungan HA dan Lahan Gambut | · Blok Perlindungan | Kawasan untuk perlindungan HA dan Gambut (dalam RJTN/RKTP/RKTK) menjadi acuan awal dalam merancang Blok yang dapat berupa: Blok Perlindungan, atau Blok Pemanfaatan Kawasan, Jasa Lingkungan antau HHBK, atau Blok Khusus pada HP sesuai potensi yang ada |
· Blok Pemanfaatan Kawasan, Jasa Lingkungan dan HHBK | ||
· Blok Khusus | ||
Kawasan untuk rehabilitasi | · Blok Perlindungan | Kawasan rehabilitasi (dalam RJTN/RKTP/RKTK) menjadi acuan awal dalam merancang Blok yang dapat berupa: Blok Perlindungan, atau Blok Pemanfaatan Kawasan, Jasa Lingkungan antau HHBK, atau Blok Khusus pada HP sesuai potensi yang ada |
· Blok Pemanfaatan Kawasan, Jasa Lingkungan dan HHBK | ||
· Blok Khusus | ||
Kawasan hutan untuk pengusahaan hutan skala besar | · Blok Perlindungan | Kawasan rehabilitasi (dalam RJTN/RKTP/RKTK) menjadi acuan awal dalam merancang Blok yang dapat berupa: Blok Perlindungan, atau Blok Pemanfaatan Kawasan, Jasa Lingkungan antau HHBK, atau Blok Pemanfaatan HHK-HA, atau Blok Pemanfaatan HHK-HT, atau Blok Pemberdayaan, atau Blok Khusus pada HP sesuai potensi yang ada |
· Blok Pemanfaatan Kawasan, Jasa Lingkungan dan HHBK | ||
· Blok Pemanfaatan HHK-HA | ||
· Blok Pemanfaatan HHK-HT | ||
· Blok Pemberdayaan Masyarakat | ||
· Blok Khusus | ||
Kawasan hutan untuk pengusahaan hutan skala kecil | · Blok Perlindungan | Kawasan rehabilitasi (dalam RJTN/RKTP/RKTK) menjadi acuan awal dalam merancang Blok yang dapat berupa: Blok Perlindungan, atau Blok Pemanfaatan Kawasan, Jasa Lingkungan antau HHBK, atau Blok Pemanfaatan HHK-HT, atau Blok Pemberdayaan, atau Blok Khusus pada HP sesuai potensi yang ada |
· Blok Pemanfaatan Kawasan, Jasa Lingkungan dan HHBK | ||
· Blok Pemanfaatan HHK-HT | ||
· Blok Pemberdayaan Masyarakat | ||
· Blok Khusus | ||
Apabila melihat kondisi tersebut, maka suatu KPH menampung semua kondisi hutan. Dalam konteks kelayakan pengusahaan, maka suatu KPH akan menampung semua kondisi fisik yang berdampak pada kelayakan ekonomi yang bisa langsung diusahakan, atau memerlukan jangka benah, atau memerlukan rehabilitasi terlebih dahulu. Kondisi fisik ini karena wilayah KPH melingkup areal yang di luar konsesi dan areal yang telah mengalami degradasi dan seringkali bekas tambang illegal. Demikian juga KPH menampung berbagai masalah sosial yang berdampak pada kelayakan secara sosial atau tingkat penerimaan masyarakat terhadap keberadaan KPH sebagai potensi konflik penggunaan lahan. Oleh karena itu persoalan yang dihadapi KPH lebih kompleks dibandingkan persoalan yang dihadapi oleh pemegang IUPHHK-HA yang memungkin menebang terlebih dahulu, atau melakukan IUPHHK-HT yang fokus melakukan kegiatan penanaman. Dipihak lain karena kelembagaan KPH merupakan UPTD Pemerintah Provinsi, maka dari sumber keuangan tidak sekuat perusahaan.
Dengan demikian Sebagai contoh kasus salah satu KPH yakni KPHL Model Ampang Provinsi Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan data dari pembagian bloknya dari 40,633.39 ha kawasan hutan KPHL Ampang yang terdiri dari fungsi lindung dan fungsi produksi dibagi menjadi tujuh (7) blok, yang terdiri dari dua (2) blok di kawasan hutan lindung dan lima (5) blok di kawasan hutan produksi terbatas dan tetap. Kawasan hutan lindung terbagi atas blok inti dan blok pemanfaatan dengan jumlah keseluruhan petak sebanyak 128 petak. Sementara untuk kawasan hutan produksi (tetap dan terbatas) terbagi menjadi 5 (lima) blok, yaitu; blok perlindungan, blok pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan dan HHBK, blok pemanfaatan HHK-HT dan HHK-HA, blok pemberdayaan masyarakat dengan jumlah petak sebanyak 250 petak. Berdasarkan kondisi blok tersebut, maka berdasarkan arahan RKTN/RKTP/RKTK di atas masuk kategori Kawasan hutan untuk pengusahaan hutan skala kecil. Pada potensi hutan yang bisa dimanfaatkan segera hanya berada pada Blok HP Pemanfaatan HHK-HA seluas 1,733.10 ha (4.27%). Sedangkan yang lain investasi terlebih dahulu yang tentunya memberatkan bagi KPHP yang baru berjalan. Hanya dengan sumber anggaran utama dari APBD Provinsi, APBN atau sangat sulit untuk bisa bergerak dengan cepat.
Tabel 2. Racang Bangun Wilayah KPHL dan KPHP Mengacu Pada Arahan RKTN/RKTP/RKTK
No. | Nama Blok | Luas (ha) | Persentase (%) | Keterangan |
I. Hutan Lindung | ||||
1 | HL Inti | 11,616.52 | 28.59 | Tidak dimanfaatkan |
2 | HL Pemanfaatan | 12,310.59 | 30.30 | Dimanfaatkan Tidak Langsung |
Total I | 23,927.11 | 58.89 | ||
II. Hutan Produksi (HP) | ||||
II.1. Hutan Produksi Tetap | ||||
3 | HP Perlindungan | 1,363.22 | 3.35 | Tidak dimanfaatkan |
4 | HP Pemanfaatan HHK-HT | 3,891.05 | 9.58 | Dimanfaatkan Tidak langsung |
5 | HP Pemanfaatan Kawasan, Jasa Lingkungan, HHBK dan Ekowisata | 3,301.21 | 8.12 | Dimanfaatkan Tidak Langsung |
6 | HP Pemberdayaan Masyarakat | 1,501.38 | 3.69 | Tidak dimanfaatkan |
Total II | 10,056.86 | 24.75 | ||
II.2. Hutan Produksi Terbatas (HPT) | ||||
7 | HP Perlindungan | 3,191.16 | 7.85 | Tidak dimanfaatkan |
8 | HP Pemanfaatan Kawasan, Jasa Lingkungan, HHBK dan Ekowisata | 1,725.16 | 4.25 | Dimanfaatkan Tidak Langsung |
9 | HP Pemanfaatan HHK-HA | 1,733.10 | 4.27 | Dimanfaatkan langsung |
Total III | 6,649.42 | 16.36 | ||
Total Keseluruhan | 40,633.39 | 100.00 |
Sumber: Sinpasdok KPH+, 2021
Seringkali kali juga KPH dihadapkan pada areal yang mengalami kerusakan yang sangat berat yang sulit untuk dipulihkan, akibat kegiatan penambangan illegal. Sebagai contoh KPHP Katingan Hilir Unit XXX, sesuai SK.02/Menhut-II/2012 tgl 9 Januari 2012 memiliki areal bekas tambang illegal yang sangat luas, dan direncanakan sebagai Blok Pemberdasayaan Masyarakat, yang diperkirakan mencapai 6000 ha. Kondisi ini akan membebani KPH dalam mengemban tugasnya untuk melakukan rehabilitasi, sehingga areal-areal tersebut biasanya dihindari untuk dilakukan pemulihan dan dibiarkan tanpa diserahkan melalui mekanisme rehabilitasi secara alami melalui mekanisme suksesi. Berdasarkan peraturan yang ada, sumber dana KPH berasal dari APBD Provinsi, APBN dan pihak lain yang tidak mengikat. Dalam kondisi masih belum menarik bagi investor, maka sumber pembiayaan hanya dari dua sumber utamanya yang sulit dapat digunakan untuk pembiayaan pembangunan KPH.
Dalam mendorong kinerja KPH, diperlukan suatu mekanisme pemberian insentif dan disinsentif, yang mana dalam pandangan kelembagaan merupakan hal yang pokok dalam suatu kebijakan dalam memperkuat property right hutan. Dengan telah terbaginya sebagian besar kawasan hutan di Indonesia dalam unit manajemen terkecil dalam KPH, maka bagaimana pentingnya peranan penting dalam penyiapan kelayakan hutan dan keberlanjutan pengelolaan hutan di Indonesia.
Gambar 3. Salah Satu Contoh Kondisi Kerusakan Kawasan Hutan Wilayah KPH Akibat Kegiatan Penambangan Illegal di Kabupaten Kalimantan Tengah (Sumber: foto pribadi, 2018).
KESIMPULAN
Kondisi menurunnya kinerja pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam produksi melalui IUPHHK-HA mengindikasikan bahwa hutan alam produksi di Indonesia memiliki penurunan kelayakan pengusahaan dan daya tarik bagi investor dalam pengusahaan hutan di Indonesia. Untuk mengatasi hal ini diperlukan kebijakan yang mampu mengatasi property right yang lengkap yang memungkin perusahaan lebih inovatif.
KPH sebagai tumpuan terakhir pengelolaan hutan di Indonesia, memerlukan dukungan kebijakan yang mampu memberdayakan KPH sehingga mampu menyiapkan kelayakan hutan yang dikelolanya sehingga dapat menarik para investor untuk menanamkan modalnya dalam pengusahaan hutan dii wilayah kerjanya. Untuk mengatasi hal itu, maka mekanisme insentif dalam mendorong kinerja KPH lebih baik dan lebih cepat lagi dalam penyiapan wilayah kelakannya.
DAFTAR PUSTAKA
Coase, R.H. 1937. The Nature of the Firm. Economic. 16, 366-406.
Kartodihardjo, Hariadi. 1998. Peningkatan Kinerja Pengusahaan Hutan Alam Produksi Melalui Kebijaksanaan Penataan Institusi. Disertasi. Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung.
Lynch, daniel R. 2009. Sustainable Natural Resources Management For Scientists and Engineers. Cambridge University Press.
North, Douglass C. 1999. Institutions, Institutional Change and Economic and Economic Performance. Cambridge University Press.
Pagiola, Stefano. 2003. Can Programs of Payments for Environmental ServicesHelp Preserve Wildlife? Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora Workshop on Economic Incentives and Trade Policies Geneva, December 1-3, 2003.
Ramli, Rizal dan Mubariq Ahmad. 1993. Rente Ekonomi Pengusahaan Hutan Hutan Indonesia. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
Schlager dan Ostrom. 1992. Property Right Regimes and Natural Resources: A Conseptual Analysis. Land Economic 68(3): 249-262.
Tiele, R. 1994. How To Manage Tropical Forest More Sustainably. The Case of Indonesia. Intereconomics, July/August, 1994.
Zhang, Y. 2001. Economics of transaction costs saving of forestry. Ecological Economic 36 (2001) 197-204.