Gunung Balak – Hutan Lindung Lampung, Riwayatmu Kini
Oleh: Ir. Suhariyanto,IPU, ASEAN Eng.
Pengasuh Majalah Rimba Indonesia
Hari Minggu siang, 12 November 2023 saya dan beberapa teman berangkat dari Kota Tangerang bermobil ke Pelabuhan Merak dengan tujuan Lampung khusus mau belajar di lapangan tentang kisah hutan lindung Gunung Balak di Lampung. Belajar dengan cara mendengar langsung, melihat langsung, dan merasakan langsung – tidak dengan membaca paper atau buku atau mendengar cerita dari orang lain. Pengaturan masuk ke kapalpun sungguh nyaman, teratur, dan rapi. Tiket kapal tidak lagi dijual di loket pelabuhan, tetapi harus dibeli secara online dari rumah dengan aplikasi Ferizy; cukup sederhana dan mudah: masukkan nomor mobil, nama-nama penumpang dan NIK KTP masing-masing dan jam keberangkatan kapal. Lalu bayar ke Indomart atau Alfamart. Kemudian dikirimkan ke Hp kita barcode untuk masuk ke kapal.
Senin pagi, 13 November 2023 berangkat menyusuri jalan poros lintas timur dari Bandar Lampung ke Hutan Lindung Gunung Balak. Ini sudah masuk Kawasan hutan lindung Gunung Balak, kata pak Idi Bantoro – Kepala BPDAS RH Way Seputih & Way Kambas; padahal masih di jalan poros lintas timur – meskipun jalan tidak cukup lebar, tetapi cukup mulus. Kanan kiri jalan sudah menjadi tempat pemukiman dengan bangunan rumah yang mengindikasikan bahwa pemiliknya bukan golongan miskin lagi. Tempat usaha (pertokoan, rumah makan) lumayan rapat. Tidak ada lagi vegetasi pohon yang berasosiasi sehingga bisa disebut hutan. Apakah ke depan bangunan-bangunan rumah itu akan dirobohkan dan ditanami lagi dengan vegetasi pohon menjadi hutan yang berfungsi lindung? Rakyat atau masyarakat disitu diusir atau dipindahkan ke tempat lain? Melihat fakta yang ada, rasanya kok tidak mungkin; kalaulah dimungkinkan tentu dengan biaya yang sangat mahal, baik itu biaya politik, biaya sosial, maupun biaya ekonomi, kelembagaan, dan lain-lain, dan tidak menjamin persoalan adanya tekanan sosial itu dapat diselesaikan tuntas.
Perjalanan sampailah di simpang Brawijaya, lalu berbelok ke kanan menuju jantungnya hutan lindung Gunung Balak ke arah desa Giri Mulyo. Jalan berbatu yang diratakan dan dipadatkan tanpa diaspal. Apakah ini karena berada di kawasan hutan, sehingga untuk sarana transportasi penduduk/masyarakat haruslah jalan seadanya saja? Padahal desa-desa di sepanjang jalan itu adalah desa definitif. Di sinilah nyata kita dihadapkan dengan dua dasar aturan (baca undang – undang). Di satu sisi adalah UU Kehutanan, dan di sisi lain adalah UU Desa. Keduanya adalah UU Negara. Dasar Konstitusionalnya sama, yaitu UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lalu, kenapa penerapannya di lapangan jadi menyengsarakan rakyat dengan tidak adanya kepastian hukum? Bila dipakai indikator bangunan rumah sebagai bagunan permanen berupa rumah-rumah tembok dan genting buatan pabrik, dan bukan lantai tanah lagi, jelas bahwa tingkat penghidupan penduduk di sepanjang kiri-kanan jalan dalam kawasan hutan itu bukanlah tergolong penduduk miskin, apalagi di bawah miskin. Halaman rumah ditanami tanaman- tanaman pohon buah-buahan yang sebagian besar adalah jenis tanaman alpukat. Banyak juga di halaman rumah dibuat persemaian yang siap tanam bibit alpukat yang telah disambung (grafting) dengan varietas unggul setempat, yaitu Alpukat Siger. Bibit alpukat tersebut selain dipakai untuk memenuhi kebutuhan sendiri, dijual di wilayah dan di luar wilayah Lampung.
Lahan-lahan di sepanjang kiri-kanan jalan itu, tanaman pohon alpukat mendominasi vegetasi yang ada berasosiasi dengan tanaman kelapa dan tanaman keras lainnya, dengan jarak tanam yang cukup lebar, tanaman pangan seperti jagung dan ketela pohon masih bisa tumbuh diusahakan sebagai usaha tani. Sebagian besar bibit alpukat itu ditanaman pada tahun 2020. Saat ini (2023) tingginya sudah sekitar 3-5 meter, dan sudah mulai belajar berbuah pertama (umur tanaman 1,5-2 tahun) dengan hasil buah per pohonnya sekitar 100 kg. Berbuah kedua (umur tanaman sekitar 2-3 tahun) dengan hasil buah per pohonnya sekitar 130 kg. Berbuah ketiga dan seterusnya (umur tanaman 3 – 5 tahun dan seterusnya) dengan hasil buah per pohonnya sekitar 300 kg. Bila saat ini harga di tempat sekitar Rp 25,000,00 per kg buah (sekitar 3-4 butir buah), kalikan berapa pohon yang dimiliki per orang, maka dapat dihitung berapa penghasilan per orang atau keluarga dari usaha buah alpukat ini. Jadi, masuk akal bila dari indikator bangunan rumah tinggal, penduduk di sini sudah jauh ke luar dari garis kemiskinan. Perkiraan, bila tanaman alpukat itu sudah berumur > 5 tahun, tajuknya akan saling menutup. Artinya tanaman palawija seperti jagung dan ketela pohon sudah sangat jauh berkurang luasannya, karena tidak bisa hidup di bawah naungan, tanpa dilarang menanam palawija sekalipun, penduduk tidak akan berusahatani palawija. Masyarakat akan mencari jenis-jenis tanaman bawah yang berfungsi pangan yang tahan terhadap naungan sampai intensitas tertentu, seperti porang, garut, iles-iles, dan lain lain. Sebenarnya, yang dilakukan ini adalah membangun dan mengelola hutan dengan Teknik Wanatani (agroforestry). Metoda pendekatatan ini adalah suatu keniscayaan terhadap eksistensi dan peran dari hutan yang menghadapi tekanan sosial yang begitu berat. Melihat fakta perubahan di lapangan, maka tidak terlalu berlebihan bila ada suatu harapan: hutan Gunung Balak akan ada lagi dengan ciri khas pepohonan jenis alpukat, dan fungsi lindungnya yaitu pengatur tata air akan terjadi lagi. Di samping itu, rakyat/masyarakat yang makmur yang memperoleh penghidupan dari hutan itu, pasti memelihara dan mempertahankan keberadaan dan peran hutan itu.
Perjalanan terus dilakukan, sambil sebentar-sebentar berhenti melihat, meraba pohon-pohon alpukat, dan berdiskusi. Sebelum terjadi penutupan lahan seperti ini, sebelumnya seperti apa? Ternyata betul, sebelumnya adalah hamparan ladang jagung dan singkong. Masih terlihat bagian-bagian dari tanaman jagung dan singkong yang tersebar luas, terhampar membusuk di atas tanah. Jelas keadaan seperti ini dan sudah berlangsung puluhan tahun pasti telah terjadi pelepasan berjuta ton CO2. Anehnya, tidak ada yang protes. Sekarang, dengan vegetasi pohon alpukat, berapa juta ton CO2 yang terserap dan disimpan dalam bagian-bagian tanaman hidup yang namanya Alpukat itu setiap tahunnya. Anehnya banyak yang mempertanyakan (biasanya mereka yang lazim disebut Rimbawan): kehutanan kok nanam jenis alpukat?
Tengah hari sampailah di Desa Giri Mulyo-jantung hutan lindung Gunung Balak. Sejauh mata memandang, hamparan lahannya adalah bebatuan vulkanik tanpa ada tanah yang menyelimutinya. Konon ceritanya, tempat ini adalah wilayah vulkanik purba. Tetapi tanaman pohon alpukat tumbuh subur di hamparan batuan itu, dengan tanaman sela berupa tanaman pepaya kalifornia. Berteduhlah kami dari sengatan matahari di Pondok Kerja, tempat berkumpul kelompok tani, tempat latihan ketrampilan usaha tanaman alpukat. Bertemulah di Pondok Kerja itu, saya dan rombongan teman-teman dari daratan pulau Jawa dan Pak Idi Bantoro – Kepala BPDAS RH Way Sebutih & Way Kambas, Mantan Kepala Desa Giri Mulyo, Para Ketua Kelompok Tani, dan beberapa warga desa anggota Kelompok Tani. Sambil makan buah papaya yang langsung dipetik dari pohonnya yang manisnya bukan main, mulailah saya dan rombongan mendengarkan kisah nyata hutan lindung Gunung Balak dari pelakunya langsung. Berpuluh tahun, masyarakat di hutan lindung Gunung Balak sangat antipati dengan yang namanya petugas pemerintah terutama petugas dari Kehutanan (dari instansi manapun), termasuk aparat TNI dan Polri – dengan kata lain, masyarakat sangat anti dengan mereka yang berpakaian seragam. Karena petugas Pemerintah itu hanya melarang dan melarang; Masyarakat tidak boleh tinggal dan berusaha menyambung hidupnya di hutan lindung itu. Mereka melawan dengan taruhan darah dan nyawa, apapun risikonya, demi kelangsungan hidupnya. Itulah causa prima musnahnya sekitar 22. 000 ha vegetasi hutan lindung Gunung Balak menjadi tanaman semusim jagung dan singkong, yang jelas mengakibatkan hilangnya fungsi lindung dari hutan lindung yang fungsi utamanya adalah pengaturan tata air. Lalu, sekitar tahun 2019 datanglah pak Idi Bantoro dengan pendekatan baru kepada masyarakat yang tinggal dan berusaha tanaman semusim di hutan lindung Gunung Balak. Dia datang dan mengajak berbicara dengan segala lapisan masyarakat yang tinggal dan berusahatani tanaman semusim di hutan lindung Gunung Balak secara informal. Dia tidak datang dengan membawa seabreg aturan dari Pemerintah, tetapi ngobrol lepas sambil ngopi-ngopi, tanpa pakaian seragam dinas dengan segala atributnya. Cara ini ternyata diterima oleh masyarakat di situ, karena masyarakat diajak berpikir dan memutuskan, bagaimana masyarakat meningkat penghasilannya di hutan lindung itu, tetapi fungsi hutan lindung terjadi dan tetap terjaga. Akhirnya, masyarakat sepakat mengambil keputusan, bahwa hutan lindung Gunung Balak harus menjadi hutan lagi dengan pilihan jenis bersifat pohon yang cepat menghasilkan buah, yaitu jenis Alpukat sebagai sumber penghasilannya atau mesin cetak pembuat uangnya. Anggaran Pemerintah (APBN) yang disediakan, benar-benar digunakan sebagai stimulus untuk mempercepat diperolehnya hasil (output) dan manfaat (outcome); jumlahnya sekitar 20 – 30% dari total investasi. Sebagian besar biaya investasi adalah berasal dari masyarakat sendiri, dalam bentuk inkind tenaga kerja, dan sumberdaya lainnya. Sengaja pembiayaan dari pemerintah ini tidak berupa total investasi 100%, karena bila demikian yang dikejar adalah uangnya, bukan hasil dan manfaatnya. Dalam penggunaan uang pemerintah, prinsipnya harus ada bukti hasil dan manfaatnya serta tidak ada penyelewengan apapun dalam penggunaan uang tersebut.
Dari hasil ngobrol dan ngopi itu, dihasilkan kader-kader dari masyarakat sendiri yang sangat militan untuk memotivasi dan menggerakkan masyarakat di seluruh kawasan hutan lindung Gunung Balak – dari masyarakat, untuk masyarakat, oleh masyarakat. Kisah ini diperoleh pada waktu perjalanan pulang ke Bandarlampung. Kita mampir di suatu desa di tempat (masih berada di dalam kawasan hutan lindung Gunung Balak) tokoh/kader penggerak masyarakat bertanam pohon alpukat untuk mengembalikan fungsi lindung hutan lindung Gunung Balak. Masyarakat di situ biasa memanggilnya dengan nama Mbah Weluh. Dia datang ke Gunung Balak itu bersama orang tuanya dari daerah asalnya Pati, Jawa Tengah, pada tahun 1972. Beberapa tahun kemudian sekitar tahun 1980 – an, keluarganya dan banyak orang lainya yang tinggal di Gunung Balak itu diusir tidak boleh tinggal di situ karena statusnya hutan lindung. Istilah kerennya dan cukup manusiawi adalah dilakukan Transmigrasi Lokal (Translok) ke arah utara ke luar dari Gunung Balak. Karena wilayah baru ini berawa-rawa yang cukup berat untuk usahatani sebagai sumber penghidupan, maka masyarakat yang ditranslok itu kembali lagi bermukim di Gunung Balak sampai sekarang. Setelah mendapat pengetahuan dan ketrampilan budidaya jenis alpukat dari pak Idi Bantoro dan staf dari BPDAS RH {sebelumnya adalah HL: Hutan Lindung, sekarang RH: Rehabilitasi Hutan) terciptalah kader-kader penggerak masyarakat dengan kelompok taninya. Menyadarkan masyarakat (kelompok tani) bukanlah sesuatu yang mudah, sehingga mereka punya kemauan dan kemampuan merealisasikan gagasan (meskipun telah menjadi kesepakatan). Sering Mbah Weluh mendapatkan cacian, kemarahan, bahkan kebencian dengan taruhan nyawa. Tetapi hal ini dihadapinya dengan kesabaran, ketekunan, dan keyakinan. Singkat cerita, setelah apa yang dilakukan terbukti hasil dan manfaatnya, Masyarakat tanpa disuruh dan dipaksa melakukan budidaya tanaman alpukat dengan varietas unggul secara vegetatif (grafting). Dari sini kita mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Masyarakat itu butuh bukti – bukan aturan tertulis dan kata-kata; bukti itu melebihi berlembar -lembar aturan dan jutaan kata-kata.
Hal-hal yang menarik dari pelajaran di lapangan, yaitu hutan lindung Gunung Balak Lampung adalah pendapat dari pak Sutrisno Karim pada diskusi terbuka via WAG FKRI Kamis, 16 November 2023, yaitu sebagai berikut. Regulasi dihasilkan dari pemikiran linier, sedangkan di lapangan fakta itu dinamis. Regulasi sepenuhnya hasil dari hasil tindakan rasional (action of thought). Tidak salah tindakan rasional itu, bahkan diperlukan, hanya tidak cukup untuk memecahkan masalah lapangan; rasional saja tanpa berpasangan dengan hasil empirik fakta lapangan tidak akan menghasilkan solusi. Repotnya ketika pada level hasil rasio tersebut dijadikan hukum (legal), dikenal sebagai rasional legal. Kalau jadi hukum, maka bila dilanggar ada sanksi hukum. Disinilah problem institusi kita. Apalagi klaim bahwa regulasi di buat berdasarkan kebenaran ilmiah. Maka, seharusnya kebenarannya adalah senentara, karena kebenaran ilmiah sendiri bersifat sementara, dan bisa salah. Beda kalau sudah jadi peraturan, kebenarannya relatif permanen sebelum peraturan diubah, dan tidak bisa disalahkan. Gap tersebut bagaimana mengatasinya? (1). Peraturan dibuat yang prinsip- prinsip saja, (2). Kalau masalah yang kompleks jangan diselesaikan hanya oleh peraturan, tapi seimbang antara hukum pasar (market power), peraturan (political power), dan nilai-nilai (values) / etika (values power), (3). Profesionalisme atau orang profesional perlu dimaknai eksistensial: dia otonom (diperkenankan tidak terkekang oleh struktur, termasuk peraturan dari hasil pemikiran rasional). Postulat bagi orang profesional memang diperlukan; tanpa postulat setiap orang kesulitan menafsir makna apapun yang mereka hadapi. Maka, postulat juga perlu dikembangkan antara postulat ilmiah, postulat pasar, dan postulat moral. Misal, ketika seorang profesional harus memecahkan masalah, maka perlu berpegang pada postulat moral: otonom (tidak terkekang pada dogma-dogma apapun); hidup tidak hanya berakhir dengan kematian, awas nanti setelah mati ada pertanggungjawabannya, dan ada Tuhan yang akan mengadilinya kelak. Tanpa postulat moral tersebut, maka moral tidak akan ada, dan profesionalisme juga mati.
Selamat kepada pak Idi Bantoro yang bergelar Insinyur Profesional Utama (IPU) bidang Teknik Kehutanan, yang telah berpraktek keinsinyurannya di hutan lindung Gunung Balak. Karya keinsinyuran dari seorang Insinyur Profesional Teknik Kehutanan – memberikan atau membuat solusi atas permasalahan yang ada.
![]() | ![]() |