PERLUKAH DIADAKAN PERUBAHAN TERHADAP UU. NO. 5/90 tentang KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA?
Kajian Terhadap Naskah Akademis Revisi UU No.5/19901
Oleh: Prof. Dr. Ir. John E.H.J. FoEh.
(Guru Besar Ekonomi SDA, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)
PENDAHULUAN
Sebagai bagian dari Rimbawan (forester by education) termasuk semua mereka yang tergabung dalam berbagai organisasi rimbawan perlu ikut menjawab apakah UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya sudah waktunya diganti, atau direvisi atau bahkan perlu dilakukanpenyesuaian dengan situasi dan kondisi saat ini terutama terkait dengan berbagai permasalahanyang dihadapi saat ini. Apa sesungguhnya yang menjadi permasalahan utama terkait istilah konservasi, ekosistem, sumberdaya alam hayati, kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya ataukah faktor penegakan hukum (law enforcement) yang belum berjalan sebagaimana mestinya? Ketika jawabannya adalah sudah sangat perlu dilakukan revisi terhadap Undang-undang dimaksud, maka dibutuhkan kajian yang mendalam dari berbagai aspek (ekologis, teknis, sosial, politik, hukum, dsb) dalam apa yang dikenal sebagai Naskah Akademis. Atas dasar Naskah Akademis inilah maka seluruh pertimbangan akan menjadi dasar perubahan terhadap UU yang ada baik secara sederhana sampai kepada perubahan yang sangat signifikan oleh karena berbagai permasalahan yang telah terjadi atau diprediksi akan terjadi di masa depan.
Tulisan ini adalah semacam pokok pikiran atau lebih tepat dikatakan sebagai tanggapan atas Naskah Akademis yang telah dibuat Komisi 4 DPR RI mendampingi Draft Rancangan Perubahan UU No. 5/90 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjadi kewajiban mutlak dari tiap generasi. Dengan demikian maka sumberdaya alam hayati tidak dapat dipisahkan dengan ekosistemnya serta memiliki nilai yang sangat tinggi (intangible benefits) dan mestinya tidak terkait secara langsung dengan wilayah administratif namun mengikuti bentang sistem ekologisnya. Setiap unsur kehidupan akan beradaptasi dengan ekosistemnya dan sifat ini tidak tergantikan.
Sifat korelasi ini pun terkait erat dengan Piramida Maslow tentang kebutuhan manusia yang pada hakekatnya telah mengalami perubahan yang sangat signifikan di era globalisasi ini sebagaimana terlihat dalam gambar di bawah ini.
Kehidupan sumberdaya alam hayati termasuk manusia dan ekosistemnya telah berubah dalam berbagai aspek terutama juga dikaitkan dengan kebutuhan dan kehidupan manusia di sekitar ekosistem sumberdaya alam hayati dimaksud. Perlu dicarikan jawaban pengelolaan yang tepat.
Perlu tidaknya perubahan akan sangat bergantung pada 3 hal berikut ini: 1) adanya kesenjangan antara Das Sein dengan Das Sollen yaitu terdapatnya masalah, 2) undang-undang dimaksud belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. 3) adanya kebutuhan pengaturan sesuai tuntutan kekinian.
KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
Keanekaragam hayati adalah keanekaragaman organisme yang menunjukan keseluruhan atau totalitas variasi (Kompas.com, 2020). Sejalan dengan itu, Encyclopaedia Britannica (2015), menyatakan bahwa keanekaragaman hayati adalah variasi kehidupan yang ditemukan di suatu tempat di bumi.
Keanekaragaman hayati menggambarkan bermacam-macam makhluk hidup. Keanekaragaman dari makhluk hiudp dapat terjadi karena adanya perbedaan warna, ukuran, bentuk, jumlah, tesktur, penampilan dan sifat. Keanekaragaman hayati dibagi beberapa tingkatan atau jenis, yakni: keanekaragaman gen, keanekaragaman jenis, dan keanekaragaman ekosistem.
Keanekaragaman gen merupakan variasi genetik dalam satu spesies. Tingkat tersebut timbul karena setiap individu mempunyai bentuk gen yang khas. Gen adalah materi dalam kromosom makhluk hidup yang mengendalikan sifat organisme. Gen pada setiap individu meskipun perangkat dasar penyusunannya sama tapi susunannya berbeda-beda bergantung pada masing-masing induknya. Penyebab terjadinya gen karena adanya perkawinan antara dua individu makhluk hidup sejenis dari kedua induk. Keturunan dari hasil perkawinan memiliki susunan perangkat gen yang berasal dari kedua induk. Kombinasi susunan perangkat gen dari dua induk tersebut akan menyebabkan keanakaragaman individu dalam satu spesies berupa varietes-varietes secara alami atau buatan . Pada manusia terdapat keanekaragaman gen menunjukan sifat-sifat berbeda, seperti ukuran tubuh, warna kulit, warna mata, dan bentuk rambut.
Dalam keanekaragaman jenis dijumpai keseragaman individu, tapi antar jenis dijumpai keanekaragaman individu. Di lingkungan sekitar banyak dijumpai berbagai jenis hewan dan tumbuhan dengan berbagai ciri fisik seperti bentuk dan ukuran tubuh, warna, dan kebiasaan hidup.
Keanekaragaman ekosistem di bumi akan ditemukan makhluk hidup lainnya. Semua makhluk hidup berinteraksi atau berhubungan erat dengan lingkungan tempat hidupnya. Lingkungan hidup meliputi kompoten biotik dan komponen abiotik. Komponen biotik meliputi berbagai jenis makhluk hidup mulai yang bersel satu hingga makhluk hidup bersel banyak yang dapat dilihat langsung. Komponen abiotik meliputi iklim, cahaya, batuan, air, tanah, dan kelembaban. Kedua komponen tersebut sangat beragam dan bervariasi. Maka ekosistem yang merupakan interaksi antara komponen biotik dan abiotik pun menjadi bervariasi pula.
Di dalam ekosistem, seluruh makhluk hidup yang terdapat di dalamnya selalu melakukan hubungan timbal balik, baik antar makhluk hidup maupun makhluk hidup dengan lingkungnnya atau komponen abiotiknya. Hubungan timbal balik menimbulkan keserasian hidup di dalam suatu ekosistem. Perbedaan letak geografis antara lain merupakan faktor yang menimbulkan berbagai bentuk ekosistem. Dengan demikian maka keanekaragaman hayati perlu dilestarikan karena di dalamnya ada sejumlah spesies asli sebagai bahan mentah dari perakitan varietas-varietas yang unggul. Kelestarian pada suatu ekosistem akan terganggu jika ada komponen-komponennya yang mengalami gangguan. Gangguan-gangguan terhadap komponen-komponen ekosistem tersebut dapat menimbulkan perubahan pada tatanan ekosistemnya. Besar atau kecilnya gangguan terhadap ekosistem dapat merubah wujud ekosistem secara perlahan-lahan atau secara cepat. Contoh gangguan tersebut, seperti penebangan pohon, bencana tanah longsor, banjir atau letusan gunung berapi, kebakaran hutan dan lahan, termasuk perambahan Kawasan hutan, khususnya hutan suaka alam, dapat memusnahkan ekosistem yang itu sendiri.
Akibat yang segera tampak adalah degradasi lahan, terutama penurunan produktivitas lahan, penggundulan hutan dan meningkatnya kasus-kasus bencana alam. Dalam jangka panjang, dampak yang akan muncul adalah kejenuhan lingkungan, akibat tertekannya daya dukung lingkungan dan meningkatnya kerusakan lahan dan fungsi ekologis dari keanekaragaman hayati. Bila hal ini terus berlanjut maka ketiga fungsi keanekaragaman hayati akan rusak dan manusia sendiri yang harus menerima akibatnya. Esensi dari pendekatan bioregional adalah untuk mewadahi dan melibatkan konservasi keanekaragaman hayati dalam pemanfaatan sumber daya lahan dan sumber daya alam lainnya, termasuk yang utama ditujukan untuk produksi ekonomi. Dengan demikian, pendekatan bioregional development plan adalah upaya memadukan tujuan konservasi keanekaragaman hayati dalam pengelolaan hutan, pertanian, perternakan, perikanan dan pengembangan kawasan pemukiman/perkotaan, serta dalam pembangunan dilahan basah dan semua lanskap. Teknik dan strategi konservasi keanekaragaman hayati pada berbagai bentukan lanskap dimaksud, sebenarnya sudah ada, namun perlu ditingkatkan lagi dan dilaksanakan secara lebih terpadu dan luas. Pemanfaatan keanekaragaman hayati unggulan daerah dalam konsep bioregional ini sebenarnya menguntungkan secara ekonomi dan ekologis. Pemanfaatan jenis-jenis asli/setempat akan membantu pemeliharaan keanekaragaman setempat dan meningkatkan efisiensi pemeliharaan, karena sangat sedikit membutuhkan input kapital dalam proses produksi (pupuk, pertisida, dll.). Dengan demikian konservasi ekosistem menjadi penting karena Konservasi berbasis ekosistem merupakan salah satu pendekatan dalam konservasi. Konservasi berbagai ekosistem yang berada di dalam maupun di luar kawasan konservasi merupakan upaya yang sangat diperlukan sebagai suatu tindakan kehati-hatian ketika pengetahuan tentang spesies-spesies di sebuah ekosistem masih terbatas.
Berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran konservasi, yaitu: 1). menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan); 2).menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah); 3).mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya. Akibat sampingan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana, belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah serta belum berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun di perairan dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik, polusi, dan penurunan potensi sumber daya alam hayati (pemanfaatan secara lestari).
Indonesia dikatakan sebagai “world mega biodiversity center” karena dengan hanya memiliki luas 1,3 % dari luas daratan dunia, namun memiliki 17 % species yang ada di dunia. Di samping itu Indonesia juga memiliki 11% species tumbuhan berbunga, 12% species binatang menyusui, 15% species reptilia dan amphibia, 17 % species burung dan 11% species ikan di dunia. Sungguh suatu kekayaan sumberdaya alam hayati yang luar biasa yang perlu dilindungi. Data kajian akademis DPR RI, 2020 juga memberikan gambaran data tumbuhan berspora : 91.251 jenis, Spermatophyta : 19.232 jenis, Vertebrata : 3.982 jenis, Invertebrata : 197.964 jenis, Arthopada : 5.137 jenis, Serangga : 151.847 jenis, dan Hymenoptera : 30.000 jenis. Atas dasar keragaman hayati di atas maka konservasi bukan pada jenis itu saja tetapi pada EKOSISTEM nya. MANUSIA dan kebutuhannya sangat mempengaruhi Ekosistem itu sendiri sehingga perlu diatur dalam Undang-undang.
NASKAH AKADEMIS SEBAGAI DASAR PEMBUATAN UNDANG-UNDANG
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Peraturan sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Dengan demikian Naskah Akademis ini sangat penting bagi pembahasan suatu undang-undang dan/atau peraturan. Untuk itu, Naskah Akademis dimaksud haruslah memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut: pertama-tama, kajian akademik yang dilakukan haruslah suatu hasil kajian ilmiah. Hal ini dimulai dengan analisis permasalahan apa yang ada (existing problems) atau berpotensi menimbulkan masalah di masa yang akan datang. Perlu pula ditentukan apakah akan dilakukan perubahan secara menyeluruh atau pada Sebagian pasal tertentu saja? Langkah berikut adalah memilih pendekatan penelitian yang tepat yang dilanjutkan dengan suatu kajian teoritis serta analisis serta interpretasi data yang akurat. Perlu diingat bahwa FGD (focus group discussion) yang menjadi metoda utama hanyalah alat yang harus diikuti dengan analisis yang tajam terhadap hasil-hasil FGD dimaksud. Untuk itu dibutuhkan konstruksi teori yang mengajukan konsep baru baik secara parsial maupun menyeluruh. Prof. Dr. Jimly Asshiddique, SH mengatakan bahwa sudah seharusnya norma hukum yang hendak dituangkan dalam rancangan peraturan perundang-undangan, benar-benar telah disusun berdasarkan pada pemikiran yang matang dan perenungan yang memang mendalam, yakni semata-mata untuk kepentingan umum (public interest) dan bukan kepentingan pribadi atau golongan.
Isi naskah akademis RUU tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, penuh dengan aturan dan perundang-undangan yang mungkin saling bertentangan baik pada ayat, pasal maupun keseluruhan isi Peraturan / UU dimaksud. Mekanisme yang menjadi andalan penelitian hanyalah FGD padahal di Bab 2 dimulai dengan kajian teoritis. Ini aliran positivism yang rasional. Dalam bab-bab selanjutnya berangkat dari fakta atau fenomena yang ada. Ini merupakan suatu pendekatan riset kualitatif yg lain. Selanjutnya pada bab-bab lain tampak ke arah penelitian evaluasi dan kebijakan, tapi tidak jelas mekanisme maupun hasilnya. FGD terlalu diandalkan sebagai metoda penelitian namun tidak diikuti dengan analisis dan rumusan hasil yang obyektif. Komposisi Focus Group Discussion (FGD) harus direncanakan dengan hati-hati untuk menciptakan lingkungan yang tidak mengintimidasi, sehingga para peserta merasa bebas untuk berbicara secara terbuka dan memberikan pendapat yang jujur. Hal ini dikarenakan peserta secara aktif didorong untuk tidak hanya mengungkapkan pendapat mereka sendiri, tetapi juga menanggapi anggota lain dan pertanyaan yang diajukan oleh pemimpin. FGD harus menawarkan kedalaman, nuansa, dan variasi untuk diskusi yang tidak akan tersedia melalui survei. Selain itu, FGD tak hanya disusun dan diarahkan, tetapi juga ekspresif, FGD dapat menghasilkan banyak informasi dalam waktu yang relatif singkat, karena itu, FGD adalah cara yang baik untuk mengumpulkan informasi mendalam tentang pemikiran dan pendapat komunitas tentang suatu topik.
Kelebihan metoda FGD dapat melibatkan diskusi terorganisir dengan sekelompok individu yang dipilih untuk mendapatkan informasi tentang pandangan dan pengalaman mereka tentang suatu topik. Sangat cocok untuk mendapatkan beberapa perspektif tentang topik yang sama serta membantu mendapatkan wawasan ke dalam pemahaman bersama orang-orang tentang kehidupan sehari-hari dan cara-cara di mana individu dipengaruhi oleh orang lain dalam situasi kelompok. Peran moderator sangat signifikan, karena tingkat kepemimpinan kelompok dan keterampilan interpersonal yang baik diperlukan untuk memoderasi suatu kelompok dengan sukses. Meskipun moderator dapat mengendalikan diskusi, sejauh mana dia dapat mengontrol diskusi tergantung pada pengalamannya. Moderator yang tidak berpengalaman mungkin menghadapi masalah dalam mengendalikan beberapa peserta yang mencoba untuk mendominasi grup. Responden mungkin enggan untuk membagikan beberapa ide dan masalah sensitif secara public karena ukuran sampel yang kecil dan heterogenitas individu, hasil mungkin tidak memadai untuk membuat proyeksi atau gambaran gabungan dari situasi tersebut. Di samping itu, FGD dapat menjadi pengaturan yang sangat artifisial, yang memengaruhi responden untuk mengekspresikan dan bertindak secara tidak wajar. Temuannya mungkin jauh dari yang sebenarnya.
Dari komposisi daftar isi Naskah Akademis, terlihat bahwa Bab I (PENDAHULUAN) mempunyai 10 halaman yang terdiri dari latar belakang 8,3 halaman, permasalahan 1/3 halaman, maksud/tujuan 1/3 halaman dan metoda pendekatan sebanyak 1 halaman. Selanjutnya Bab II (KAJIAN TEORITIS dan PRAKTIS EMPIRIS) sebanyak 154 halaman yang terdiri atas Kajian Teoritis 114 halaman dan 40 halaman lain sebagai kajian terhadap azas dan praktik penyelenggaraan. Di dalam Bab III (EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT) terdiri atas 39 halaman di mana seluruhnya terdiri atas Undang-undang. Selanjutnya, Bab IV (LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS) hanya sebanyak 4 halaman sementara Bab V (JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN RANCANGAN UNDANG- UNDANG KKH) hanya sebanyak 2 halaman dan diakhiri Bab VI (PENUTUP) yang juga sebanyak 2 halaman. Di samping itu, naskah akademis ini juga menyertakan DAFTAR PUSTAKA dengan 99 bahan/sumber referensi yang terdiri atas : Text Book = 55 buah, Jurnal Nasional/Internasional = 8 buah, Buku Laporan/ Statistik = 13 buah, Sumber Internet = 5 buah serta 18 Peraturan / Undang-Undang. Selain itu, terdapat 230 catatan kaki (footnotes) yang sebagian besar tdk masuk Daftar Pustaka. Penulisan naskah ini berdasarkan FGD sebanyak 101 kali, Text Book sebanyak 30 buah, Kutipan Ulang (Ibid, Op. Cit. Loc. Cit) sebanyak 43 kali, UU dan Laporan Institusi sebanyak 25 buah, Jurnal Ilmiah sebanyak 21 buah serta Internet sebanyak 10 sumber. Tim Penyusun naskah terdiri atas 17 orang: 9 latar belakang hukum, 2 teknik, 1 kehutanan dan 5 sosial.
APA YANG SESUNGGUHNYA HARUS ADA DALAM SUATU NASKAH AKADEMIS?
Pertama-tama karena naskah akademik harus memuat hasil penelitian / kajian ilmiah maka harus memenuhi syarat-syarat utama sebagai berikut: KAJIAN AKADEMIK ATAU PENELITIAN : adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data/informasi dengan tujuan tertentu. Dikatakan CARA ILMIAH berarti, kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu ; rasional, empiris dan sistematis. Di mana; RASIONAL yaitu cara-cara yang masuk akal dan terjangkau oleh daya nalar manusia. EMPIRIS yakni cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh indera manusia, sehingga orang lain dapat mengamati dan mengetahui cara-cara yang digunakan. Berikutnya, SISTEMATIS yakni proses yang digunakan dalam penelitian memakai langkah-langkah tertentu yang bersifat logis. Dengan demikian maka Naskah Akademis dari suatu Rancangan Undang-undang (RUU) adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid, dengan tujuan dapat ditemukan, dibuktikan dan dikembangkan suatu pengetahuan, sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan dan mengantisipasi masalah dalam kaitan dengan penyusunan suatu Undang-undang ataupun Peraturan. Untuk itu diperlukan penerapan metoda berpikir ilmiah (MST = methods of scientific thingking) yang tepat yang meliputi; social context and phenomenon, philosophical perspective, paradigm perspective, theoretical perspective and methodological perspective.
Untuk itu, apa yang sesungguhnya harus ada dalam naskah akademik dari rancangan Undang-undang adalah; searching the PROBLEMS yang meliputi Social Issues, Technical Contexts, Economic Concern, Cultural Aspects, Phenomenon, etc. Literature Review harusnya meliputi Mapping atau pemetaan terhadap Penelitian Terdahulu, Teori dan Metoda yang pernah dilakukan sebelumnya. Kajian pustaka harusnya merupakan tindakan untuk menemukan kesenjangan (Founding Gaps): Theory, Empirical, Methods, Public Opinion, etc. Atas dasar Gaps yang ditemukan dalam NASKAH AKADEMIK itulah dibangun HIPOTESIS, untuk menemukan kerangka teoritis yang baru. Inilah yang disebut sebagai Pena Analisis Peneliti untuk merumuskan pasal-pasal baru dalam suatu Rancangan Undang-undang. Dengan demikian maka fungsi penelitian dalam menghasilkan suatu naskah akademis RUU harus menggambarkan 3 kebutuhan antara lain; need to know (metoda kuantitatif, metoda kualitatif dan mixed methods), need to do (R & D, Action Research, Operation Research), dan need to choose (Evaluation Research, Policy Research).
PENUTUP
Kritik utama terhadap naskah akademik RUU tentang Konservasi Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya adalah; Pendekatan yang dilakukan dalam Naskah Akademis masih terlalu didominasi pemikiran yang cenderung UNSCIENTIFIC. Lebih banyak mengandalkan COMMON SENSE dan KEWIBAWAAN OTORITAS sebagaimana argumentasi yang banyak dalam kutipan UU. Focus group discussion (FGD) yang menjadi alat / metoda pengumpulan data/informasi utama, hanyalah merupakan salah satu metoda pengumpulan data untuk diolah menjadi INFORMASI. Harusnya melalui TIM PERUMUS diadakan analisis yang lebih mendalam agar tidak terlalu didasarkan pada penilaian / muatan subyektivitas dari para nara sumber dan moderator.
Beberapa masukan terkait revisi sebagian pasal dari UU No. 5/1990 adalah sebagai berikut: 1). konservasi hutan dan keragaman hayatinya harus melibatkan masyarakat setempat dan daerah karena merekalah yang paling dekat dan hidup di sekitarnya dengan berbagai persoalan sosial dan ekonomi. 2). Jangan-jangan persoalan terberat adalah MASALAH TENURIAL dan penguasaan lahan baik oleh masyarakat maupun “orang kuat” di daerah. Tidak jarang hukum/UU dikalahkan. SUATU KENYATAAN YANG IRONIS. 3). Dalam konservasi hutan perlu disertai PEMBERDAYAAN MASYARAKAT LOKAL sebagai ujung tombak pelindung hutan atau BUFFER ZONE untuk menangkal berbagai upaya penyerobotan dan pengrusakan Sumberdaya alam dan Ekosistemnya. 4). Selama ini pemberdayaan masyarakat sekitar hutan lebih banyak diserahkan kepada perusahaan yang ada padahal CORE BUSINESS mereka lebih kepada persoalan ekonomi atau PROFIT ORIENTED. 5). Dengan demikian, COMMUNITY EMPOWERING yang dilakukan hanya sekedar memenuhi kewajiban yang diatur dalam persyaratan perijinan. 6). DUNIA BISNIS lebih baik diarahkan kepada pemasaran dan industri pengolahan PRODUCT and BY PRODUCT yang dihasilkan dari hutan. 7). Pemberdayaan masyarakat harus menjadi tanggung jawab utama PEMERINTAH bekerjasama dengan LSM dan Perguruan Tinggi berpengalaman dan TERSELEKSI. 8). Perlu dirancang pola KONSERVASI BERBASIS EKONOMI. 9). HUTAN BURU lebih baik diserahkan pengelolaannya ke daerah sebagai ICON dan ASSET daerah maupun negara.
Sumber Referensi:
- Ari Welianto, 2020. “Keanekaragaman Hayati, Pengertian dan Jenisnya”, https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/04/180000769/
- Dewan Perwakilan Rakyat RI, 2017. NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG tentang KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA. Jakarta.
- ENCYCLOPEDIA BRITANNICA BOOK OF THE YEAR 2015, 2015. Amazon Book Club, New York.
- Giphart Ronald and Mark van Vugt, Mismatch: How Our Stone Age Brain Deceives Us Every Day and What We Can Do about It (London: Robinson, 2018), 346 pages. ISBN: 9781472139702.
- Perpustakaan KLHK, 2013. Keanekaragaman hayati untuk keberlanjutan kehidupan manusia. Jakarta