HUMANISME DALAM REHABILTASI HUTAN DAN LAHAN
Oleh : Ir. Idi Bantara, S.Hut.T., M.Sc., IPU
(Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Way Seputih-Way Sekampung di Provinsi Lampung)
Latar Belakang
Provinsi Lampung merupakan wilayah yang sarat dengan konflik status penggunaan lahan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan. Tulisan ini berisi perjalanan merealisasikan target kebijakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) pada situasi dan kondisi masyarakat yang menolak, dan masih berjuang keras dalam usaha pelepasan kawasan hutan lindung dan produksi menjadi lahan milik. Kondisi ini mengakibatkan konflik tak berkesudahan. Di mana konflik juga pernah menjurus kepada peristiwa kekerasan yang telah menimbulkan kerugian sosial, ekonomi, dan lingkungan. Konflik yang terjadi sudah demikian rumit.
Kisah para petani hutan di Lampung ini menjadi cermin dan catatan panjang akan kompleksitas masalah hutan. Di satu sisi, pemerintah ingin menjaga kelestarian hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat menghendaki pelepasan kawasan. Usaha pelepasan tidak lepas dari propaganda oknum yang terus mensosialisasikan, meyakinkannya dengan piawai, sering kali juga disertai mencatut nama-nama lembaga pemerintah atau ketokohan demi meyakinkan propaganda mereka. Pada kondisi rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan melalui pemberian hak kelola perhutanan sosial selama ini, mereka lebih percaya pada oknum. Walaupun dapat diduga, muaranya untuk menarik iuran dengan alasan membantu pembiayaan proses pelepasan. Ironinya, walau tidak kunjung hasil mereka mau mengeluarkan uang iuran bahkan sudah berulang antara tiga hingga enam kali tanpa bukti dan pertanggungjawaban, bahkan bermasalah, karena beberapa oknum juga akhirnya ditangkap oleh aparat penegak hukum.
Di dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan disebutkan hutan lindung sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan. Maka, hutan lindung perlu dijaga kelestarianya, hutan lindung memiliki nilai ekologis, ekonomi, hingga nilai sosial yang tinggi bagi masyarakat. Selain sebagai sumber kehidupan, hutan lindung berfungsi sebagai sistem penyangga biodiversitas serta memperbaiki kualitas air dan udara, serta meredam kenaikan gas rumah kaca yang menjadi pemicu perubahan iklim. Hutan lindung juga mempunyai potensi besar menjadi sumber pendapatan yang dapat diandalkan oleh masyarakat di sekitar hutan. Hutan lindung, sebagaimana namanya, memiliki fungsi utama sebagai pelindung, hutan lindung berfungsi sebagai penyangga Daerah Aliran Sungai (DAS). Akar pohon yang kokoh mencengkeram tanah, mencegah erosi dan menjaga kelestarian aliran sungai. Dengan demikian, pasokan air bersih bagi masyarakat di sekitarnya tetap terjamin. Tak hanya itu, hutan lindung juga berperan penting dalam mencegah erosi tanah. Vegetasi yang rapat dan rimbun menyerap air hujan sehingga mengurangi limpasan permukaan yang dapat mengikis tanah. Akar pohon yang saling menjalin menciptakan pagar pelindung yang mencegah longsor dan tanah runtuh, melindungi kawasan di sekitarnya. Namun demikian, dinamika yang sering terjadi justru sebaliknya, hutan lindung yang harusnya dipertahankan justru dijarah dan beralih fungsi usaha lainnya, tentu hal ini membawa konsekuensinya terhadap perubahan biofisik hutan, juga bagi masyarakatnya. Bagi hutan yang sudah terlanjur alih fungsi akibat penjarahan dan penggunaan lain perlu dipelajari dengan sangat mendalam hingga menemukan solusi efektif untuk kelestariannya. Hutan harus dikelola, sebagaimana dalam Simon (2008). hal ini sangat terkait dengan kehidupan sosial dan ekosistem hutan itu sendiri yang harus terkelola sesuai dengan kondisi fisik wilayah maupun tuntutan sosial ekonomi masyarakat hal ini sering disebut dengan istilah pengelolaan sumber daya hutan (forest resource management )
Pengetahuan Dari Tragedi Hutan
Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, kembalinya fungsi hutan lindung menjadi sangat krusial. Tak sekadar sebagai paru-paru bumi, hutan lindung memiliki beragam fungsi vital yang patut kita jaga. Hutan lindung atau protection forest merupakan kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah beserta kelompok masyarakat tertentu untuk dilindungi, agar tetap terjaga fungsi-fungsi ekologinya, terutama yang menyangkut tata air serta kesuburan tanah sehingga dapat tetap berjalan dan manfaatnya dapat dinikmati oleh masyarakat banyak, baik yang berada disekitar hutan tersebut maupun manfaat secara luas. Peningkatan jumlah penduduk juga mempengaruhi alih fungsi hutan. Pemahaman masyarakat umum terhadap hutan masih bertentangan dengan usaha kelestariannya. Adanya interaksi antara masyarakat di sekitar hutan yang memiliki pemahaman dan pengetahuan terhadap pemanfaatan sumber daya hutan dapat menjaga kelestarian hutan dengan ikut berpartisipasi (Lewirissa, 2015) sementara ketidaktahuan dan kurangnya pemahaman akan cenderung memicu konflik di internal masyarakat sekitar hutan (Sumanto, 2009). Bahwa, mereka butuh hidup dan mengganggap hutan negara sebagai lahanya. Penambahan kebutuhan ruang usaha tani masyarakat di dalam hutan negara, telah menjadi permasalahan utama dalam pelestarian hutan di lampung, termasuk dampak ikutan cara merehabilitasinya. Merehabilitasi kawasan hutan keterlanjuran atau konflik tidak sesederhana menanami pohon dalam kegiatan hutan tanaman, ada aspek non teknis yang memerlukan pendekatan ekstra. Tragedi didalam kawasan hutan masa lalu juga mempengaruhi gerak kerja dan sikap aparat terhadap pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan di lapangan. Sikap dipengaruhi oleh pengalaman masing masing aparat akibat penolakan keras yang berulang masif disetiap lokasi hutan, kadangkala belum memulai kegiatan sudah terhembus bahwa masyarakat selalu menolak kegiatan kegiatan kehutanan. Semua ini, tidak lepas dari perjalanan panjang kisah kisah konflik kawasan hutan di masa lalu. Dalam diskusi prakondisi kegiatan rehabilitasi hutan salah satu tokoh tokoh tua di desa Sri Pendowo juga ikut menyaksikan dan kurban pengusiran, menceritakan kejadian kejadian tahun 1980, dimana pemerintah mengosongkan dan mereboisasi kawasan hutan Gunung Balak, penduduk dipindahkan melalui prograrn transmigrasi lokal. Aparat saat itu memerintahkan warga untuk menghentikan kegiatan pengggarapan lahan dan mengharuskan warga membongkar rumah-rumah mereka, Dimana mereka sudah mapan sejak tahun 1963. Demikian konflik di hutan Tahura Wan Abdulrahman yang disampaikan oleh pak Wiyogo (2020), beliau saksi saat masih menjadi kepala tahura, beralihnya fungsi hutan kawasan Register 19 Gunung Betung pada tahun 1993 dari hutan lindung menjadi kawasan hutan konservasi berdampak sebuah operasi evakuasi oleh gabungan aparat pemerintah saat itu, masyasakat dipaksa mengosongkan hutan. Pengusiran masyarakat dari Tahura Wan Abdul Rachman berlangsung hingga 2003. Dan kisah kesedihan di lain lokasi. Walau kisah kisah tersebut tentu menyedihkan. Kurun waktu tiga puluh tahun berjalan memberi pelajaran tak ternilai bagi perkembangan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan saat ini. Kondisi hutan yang demikian bukan tidak berpengaruh pada sikap aparat kehutanan di lapangan, jika ditanyakan ke semua pemangku kawasan, atau penanggungjawab kegiatan pembangunan hutan jawabannya hampir sama “betapa susahnya menjaga hutan itu dari tangan-tangan oknum tak bertanggung jawab”. baik masalah perlindungan satwa, penjarahan kayu, penyerobotan hutan dan rehabilitasi hutan. Pembalakan liar hasil rehabilitasi hutan kususnya kayu sonokeling (Dalbergia latifolia) sampai tahun 2024 ini masih saja ditemukan oleh apparat dinas kehutanan propinsi lampung, menyebar dari KPH Liwa, KPH Pematang Neba, KPH Way Waya, Taman Hutan Raya [Tahura] Wan Abdul Rachman, KPH Betutegi, KPH Sungai Buaya, KPH Rajabasa, hingga KPH Kota Agung Utara. Apakah hanya pohon sonokeling, ada beberapa pohon kayu laiinya seperti jati (Tektona grandis), mahoni (Switenia mahagoni) dll, roninya pohon pohon bukan penghasil kayu tetap tumbuh dan terjaga dengan baik. Dari kisah pilu hutan, kita memulai belajar cara tepat rehabilitasi hutan dan lahan.
Menghadirkan Humanisme RHL
Persoalan dan fenomena di atas dengan segala turunannya menjadikan permasalahan dalam mengembalikan fungsi hutan bersifat kompleks dengan lingkup permasalahan dalam skala terkecil yaitu aspek manusia hingga mencakup aspek-aspek makro yang berwujud dalam bentuk sistem, diantaranya ekonomi, politik, sosial dan budaya. Humanisme dalam kegiatan rehabilitasi hutan merupakan sebuah pendekatan dalam upaya melihat dan merespon kompleksitas permasalahan pelestarian hutan lindung melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang dinamis tanpa mengurangi substansinya yaitu kembalinya fungsi hutan lindung. Peliknya permasalahan pelaksanaan RHL antara menanam pepohonan dan atau kebutuhan lahan untuk kehidupan dapat menjadi tipologi hutan bervegetasi yang ideal dan tidak mengganggu sumber penghidupan masyarakat bahkan meningkatan pendapatan dan kesejahteraaanya. Sebagaimana Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2020 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, rehabilitasi hutan dan lahan bertujuan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Masyarakat memandang rehabilitasi lahan sangat berdampak dari segi ekonomi dan belum melihat dari dampak lingkungannya. Menurut Hermawan, et al. (2016), ketergantungan masyarakat terhadap keberadaan hutan berkaitan dengan hal ketersediaan air dan kesuburan tanah. Oleh karena itu, masyarakat bersedia untuk menjaga tanaman yang telah ditanam melalui kegiatan RHL. Pandangan positif dari masyarakat memberi dampak baik terhadap keberhasilan program RHL khususnya kelangsungan hidup tanaman yang telah ditanam.
Meski hutan lindung sangat berharga, pengelolaannya tidak selalu mudah. Penebangan liar, perambahan, dan aktivitas tidak berkelanjutan lainnya mengancam kesehatan dan integritas ekosistem hutan lindung. Selain itu, perubahan iklim memberikan tekanan tambahan pada hutan-hutan lainnya, membuat upaya pemulihan kelestariannya menjadi semakin mendesak.
Dapat dikatakan bahwa humanisme dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan nampaknya akan menjadi konteks yang sangat diperlukan bagi pelaksanaan dalam permasalahan yang kompleks ini. Untuk itulah, konsep humanisme ekologis yang diperkenalkan Brennan sangat tepat, menurutnya, setiap individu tidak bisa berkembang kecuali dalam konteks komunitas dan ekosistem biologis yang menjadi bagian tak terpisahkan. Karena itu, melalui humanisme ekologis ini, relasi antara manusia dan lingkungan tidak dipisahkan tetapi terintegrasi menjadi sebuah ekosistem yang tergantung dan terkoneksi satu sama lain. Namun humamisme itu sendiri perlu dipraktikan agar makna yang diemban saat ini dapat sesuai dengan kebutuhan manusianya.
Konteks Yang Dibutuhkan
Penelusuran masalah/tantangan rehabilitasi hutan yang dihadapi saat ini dimulai dari belajar fakta lapangan dari pengalaman keberhasilan dan kegagalan rehabilitasi hutan sebelumnya. Bahwa masalah besar kerusakan hutan berhubungan dengan banyak hal, yang bermuara pada manusia. Jika diurutkan secara kualitatif dari terbesar, dalam degradasi hutan lindung di lampung, urutan masalah adalah: kemanusiaan/ humanity; teknologi; masalah alam; isu iklim dan ekonomi. Permasalahan kemanusiaan, teknologi, ekonomi, semuanya berpusat kepada manusia. Manusialah yang merusak sumber daya hutan dengan membuka hutan tanpa mengindahkan alam atau menjaga kelestariannya. Sebagaimana disampaikan Siahaan,(2007). dalam kenyataan keinginan besar untuk memenuhi kepuasan hidup, sering menjadi pemicu manusia untuk menguasai alam yang cenderung menimbulkan kerusakan akibat sikap mementingkan kebutuhan sendiri tanpa memperhatikan kelangsungan hidup. Penemuan berbagai instrumen teknologi, bahkan telah mengubah lingkungan alam sesuai dengan keperluan manusia. Manusialah yang suka konflik, menjarah dan melukai sesama manusia hingga mengakibatkan penderitaan manusia lainnya. Manusia pulalah yang menciptakan teknologi serta memanfaatkannya untuk keperluannya. Teknologi yang ia buat tersebut merusak alam dan merusak manusia atau tidak juga tergantung pada manusia. Manusia pula yang mengatur, menata kelola hutan tanpa melihat kekhususan atau perbedaan masing-masing tapak hingga mengakibatkan dampak yang kurang baik pada ekonomi dan budaya. Semua permasalahan yang ada berpusat pada manusia. Hal di atas mengindikasikan bahwa yang dibutuhkan adalah manusia itu sendiri. Belajar dari proses, hasil dan dampak yang nampak hasilnya, humanisme nampaknya akan menjadi konteks yang sangat diperlukan bagi profesi hutan di abad XXI ini. Namun perlu praktik terus menerus agar yang diemban saat ini dapat sesuai dengan kebutuhan manusianya, dan menghasilkan sumber daya manusia yang menjiwai profesinya. terutama pelajaran rehabilitasi hutan. Kita dapat belajar dari pengalaman kegiatan Inpres Penghijauan, prosesnya sangat menginspirasi, presisi dan tekun. Inpres Penghijauan dan Reboisasi yang merupakan salah satu program pada sektor lingkungan hidup, telah dimulai sejak tahun 1969. Program ini secara umum bertujuan untuk memulihkan kemampuan hutan dan tanah yang rusak agar lebih produktif kembali dan pada akhirnya meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Dalam pelaksanaannya program ini sudah melibatkan kelompok tani melalui usulan dari lapangan,
Swakelola RHL
Perubahan sosial dan pembangunan petani mulai dari usulan (bottom up) merupakan salah satu strategi untuk membangun petani karena pembangunan dari pemberian (top down) sering kali tidak mencerminkan keinginan petani itu sendiri. Konsep ini bukan hal yang baru, bahkan istilah ini sudah menjadi pembicaraan umum yang banyak dibicarakan atau disinggung diberbagai perencanaan kegiatan, saat ini dikenal dengan istilah teknis aspirasi masyarakat. Kelembagaan kelompok tani hutan sebagai basis kekuataan pada akar rumput yang mengayomi anggota kelompoknya. Kelompok tani adalah wadah pembelajaran petani/pedagang hutan, dengan pimpinan kontak tani, melalui pendampingan dari penyuluhan kehutanan dalam pertemuaan berkala mingguan/bulanan/spontan. Dengan demikian kelembagaan kelompok tani merupakaan kelembagaan ujung tombak pembangunan hutan. Sejalan dengan Ratnasari et al., (2013). Pada prinsipnya pengembangan kapasitas masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat sendiri, upaya yang dilakukan dicerminkan melalui pengembangan kemampuan, keterampilan, potensi, bakat serta penguasaan kompetensi-kompetensi lainnya yang dibutuhkan serta berupaya memperbaiki situasi sosial dan ekonomi secara mandiri dengan berbasis lokalitas.
Program pengembangan kapasitas kelompok memiliki enam prinsip, yaitu prinsip kepemimpinan dari mereka sendiri, prinsip partisipasi, prinsip keswadayaan, prinsip kesatuan keluarga, prinsip belajar menemukan sendiri, dan prinsip kemandirian (Herfina et al., 2016, Suwardi, 2018). Demikian juga dengan kegiatan RHL yang melibatkan kelompok, kelembagaan kelompok tani menjadi wadah bagi petani melakukan tukar informasi dan saling membantu dalam melaksanakan kegiataan. KTH sudah lama ada, meraka adalah kumpulan petani yang mengelola di dalam kawasan hutan. Dalam SIMP2SDM tercatat jumlah kelompok tani di Indonesia dengan jumlah saat ini adalah 30.824 KT. Dari sekian KTH Sebagian ada di Provinsi Lampung sebanyak 1.681 KTH. Di Lampung KTH terbanyak ada di Kabupaten Tanggamus sejumlah 492 KTH dan Kabupaten Lampung Timur sejumlah 196 KTH. Kelompok tani menjadi mintra penting dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan. Kendati lembaga kelompok tani telah demikian banyak dibentuk, namun cukup sulit saat ini untuk menemukan kelompok tani yang aktif, di mana anggotanya memanfaatkan lembaga tersebut untuk meningkatkan kinerja usahanya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani. Padahal kelompok tani hutan memiliki peran dan fungsi yang penting dalam menggerakkan pembangunan kehutanan. Kegiatan penguatan kelembagaan sebelum pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan perlu dilakukan melalui kegiatan prakondisi kegiatan agar mereka paham dan tidak ada keraguan akan kegiatan RHL. Bebeberapa upaya, antara lain; (1) pendekatan formal/informal, mendorong dan membimbing petani agar mampu bekerjasama di bidang rehabilitasi hutan secara berkelompok, (2) menumbuh-kembangkan kelompok tani hutan melalui peningkatan fasilitasi bantuan dan akses permodalan, peningkatan posisi tawar, peningkatan fasilitasi dan pembinaan kepada organisasi kelompok, dan peningkatan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan, serta (3) meningkatkan kapasitas SDM petani melalui berbagai kegiatan pendampingan, dan latihan yang dirancang secara khusus bagi pengurus dan anggota. Secara teknis upaya penguatan kelompok tani ini dilakukan oleh Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL). Meskipun demikian pendampingan pembinaan kelompok tani juga dapat dilakukan oleh lembaga lainnya seperti LSM, NGO, Tokoh Masyarakat yang dipandang mampu untuk dilibatkan dalam penguatan kelompok tani hutan.
Di Provinsi Lampung, peran serta kelompok tani hutan dalam pelaksanaan RHL begitu besar. Keikutsertaan mereka diwujudkan dalam melaksanakan RHL dan menampilkan hasil yang membanggakan bahkan produktif. Tercatat, sampai pertengahan tahun 2024 ini kelompok tani yang telah ikut serta melaksanakan rehabilitasi hutan secara swakelola sebanyak 173 KTH, melibatkan 3495 petani, mereka bertanggungjawab merehabilitasi hutan seluas 4.125 ha. Mereka mampu merancang kebutuhan pelaksanaan rehabilitasi hutan, dengan melibatkan anggota sejak perancangan hingga evalasi kegiatan, mereka mampu mengimplementasikan antara rencana dan pelaksanaan. Hasil evaluasi BPDASWSS tahun 2023 menunjukan nilai rata rata pertumbuhan tanaman di atas 96 %. Nilai ini sebagian telah diwujudkan dengan hasil RHL berupa buah khususnya alpukat. Perkiraan hasil pada tahun 2023 sampai April tahun 2024 mencapai 10,000 ton dari luasan 500 ha yang telah belajar berbuah. Jika rata rata harga alpukat sebesar Rp20,000/kg, maka uang yang diterima petani RHL sudah mencapai dua ratus milyard rupiah, dari biaya bantuan RHL seluas 500 ha total sebesar Rp3.400.000.000/ha. Selain buah juga menjual bibit unggul alpukat bersertifikat, lebih dari satu juta batang atau kira kira berkontribusi sebesar lebih dari dua puluh milyard dalam kurun emoat tahun berjalan ini. Selain barang juga jasa. Mereka sudah banyak menjadi pendamping pengembangan rehabilitasi di luar wilayah desanya, baik dalam provinsi juga diluar propinsi lampung, seperti di Berastagi Sumatera Utara, di Rumpin dan Parung Bogor, di Banyuwangi Jawa Timur, dll.
Titik Balik Perubahan KTH
Ajakan bergabung dalam ketidak percayaan adalah pilihan yang tidak mudah. Rekaman masa lalu petani hutan terhadap kegiatan RHL masih negative (sinisme), mereka tidak mudah percaya, masih ada anggapan hutan yang direhabilitasi akan diambil pemerintah lagi, RHL MPTS hanyalah cara halus mengusir mereka. Walau sudah dijelaskan sedemikian rupa, bahwa bibit pohon yang akan ditanam adalah milik mereka dan pilihan petani sendiri, dirancang kelompok dan dikelola seluruhnya oleh kelompok. Kondisi awal kegiatan swakelola RHL sama sekali tidak mudah, apalagi memutuskan.
Adalah kelompok tani Agro Mulyo Lestari (AML) di desa Giri Mulyo register 38 hutan lindung Gunung Balak. Walau anggota kelompok masih merasa keberatan dan khawatir, mereka mengganggap menjadi petani RHL sama halnya dengan hanya cara menyenangkan aparat belaka. Sesuatu yang sudah nyata berupa tanaman semusim atau perkebunan, sementara pohon yang akan ditanam dan diharapkan belum jelas hasilnya, dan mereka lebih meragukan konsistensi kegiatannya. Karena itu, diawal kegiatan belum banyak yang mendukung keputusan kelompok yang akan menanami hutan areal pangan mereka menjadi pepohonan dengan pola agroforestry.
Salah satu tokoh yang tidak menyerah dan sangat membantu kelancaran pelaksanaan sejak awal kegiatan swakelola adalah Anto Abdul Muntolib, sekarang sudah almarhum. Di awal perjumpaan memang juga terkesan sama, yaitu keraguan. Anto lah sang pemilik pohon induk alpukat varitas Siger Sibatu Ratu Puan, yang akhirnya varitas ini menjadi dikembangkan dan menjadi sarana komunikasi efektif dalam pelaksanaan RHL hutan konflik di Lampung. Di tangan Anto yang tidak mudah menyerah dan terus berikhtiar membantu meyakinkan anggotanya untuk mendukung pelaksanaan RHL. Jalan tengah yang ditempuh adalah menanam pohon pola agroforestry di antara tanaman jagung atau ubi kayu, Dari pola ini di sela-sela tanaman semusimnya bisa ditanami pohon alpukat dengan populasi 200 batang menggunakan jarak tanam 5 x 10 meter, sesuai pilihan mereka sendiri.
Kelompok tani AML mulai mencoba dari petani yang mau tanpa paksaan. Di awal kegiatan hanya ada sembilan orang yang mau diajak bergabung, areal yang ditanami saat itu baru seluas 15 hektar. Semangat yang gigih, ditengah kecaman warga desa yang masih keras menolak kegiatan kehutanan termasuk RHL, mereka berani dan terus mewujudkannya.
Melalui kesepakatan awal kegiatan pemberdayaan RHL swakelola bersama Balai Pengelolaan DAS Way Seputih Way Sekampung dimulailah dengan penguatan kelompok. Kelompok kecil yang sudah mulai paham dan percaya ini, akhirnya menjadi kelompok pelopor RHL di Lampung.
Awal pelaksanaan dimulai hanya dengan perbincangan ringan, sambil ngopi bersama, saat itu tanpa banyak berbincang substansinya. Sekedar basa basi tapi terarah. Seringnya ketemu dan berbincang, akhirnya bisa dilanjutkan kesepakatan belajar pembuatan bibit vegetatif, dan perbanyakan tanaman. Tanaman yang dikembangkan adalah alpukat yang diperoleh dari pohon/genetik asli desa Giri Mulyo milik almarhum Anto. Semua dilakukan secara terbuka dan bersama sama. Setiap anggota dilatih perbanyakan bibit hingga terampil, dan yang sudah terampil diwajibkan memproduksi bibit di rumahnya masing masing. Di awal kegiatan modal benih dan polybag dibantu oleh kelompok, sedangkan kegiatan lainnya dilakukan dengan cara swadaya petani. Di luar dugaan kegiatan pembibitan ini menjadi penopang ekonomi yang sangat signifikan di desa Giri Mulyo. Sampai pertengahan tahun 2024 paling sedikit sudah terbentuk 200 rumah tangga pembibit alpukat dan sudah memproduksi kurang lebih 1.250,000 batang bibit, harga saat ini kurang lebih Rp25.000/batang, maka putaran uang dari bibit yang tersebar di kelompok tani AML tidak kurang dari Rp20 milyard rupiah.
Hasilnya ternyata cukup memuaskan. Bahkan di luar dugaan. Peminat penanam alpukat di luar desa Giri Mulyo terus meningkat bahkan merambah luas di luar Provinsi Lampung. Sebagian pohon alpukat RHL juga sudah mulai banyak yang belajar panen, penerimaan pasar juga luar biasa. Setiap kali musim panen, semua hasil panen petani terserap pasar. Bahkan tahun 2024 ini, konsumen semakin banyak dan selalu kekurangan.
Rehabilitasi hutan secara swakelola menjadi titik balik penyemangat kemandirian petani di kawasan hutan di Lampung. Walaupun demikian karena pola pendekatan swakelola dalam kegiatan RHL juga masih baru, sebelumnya adalah melalui kontraktual pihak ke tiga di mana petani sebagai penonton pasif. Maka, untuk meyakinkan kesungguhan dan niat tulus dalam pelaksanaan kegiatan masih diperlukan pendampingan yang intensif oleh pendamping lapangan. Meminjam pandangan Prof. N. Diryarkara tentang pendidikan, dapat dipahami bahwa kerja pendampingan merupakan proses hominisiasi sekaligus proses humanisasi. Himinisasi adalah proses pendamping memenuhi kodrat kemanusiaannya. Sedangkan humansasi adalah proses pendamping memanusiakan masyarakat. Kegiatan swakelola RHL baru dimulai tahun 2020. Maka, komitmen kepercayaan menjadi roh utamanya. Mereka akhirnya mau dan mampu melaksanakan kegiatan RHL, bukti hasil menjadi cermin pentingnya hutan dan aparat ada di lapangan, dan sebagai simbul negara hadir. Di mana sebelumnya sangat sulit diajak komunikasi, karena sekian dekade petani tanpa sadar sebagai obyek setiap kegiatan, titik balik ini merubah cara pandang petani terhadap kegiatan RHL di Propinsi Lampung. Mereka semula menjadi obyek sekarang menjadi tokoh penting dan pemeran utamamya. Saat ini terasa di lapangan, mereka mandiri dan kreatif melaksanakan aktifitas rehabilitasi hutan, mereka adalah aset yang mahal untuk kelestarian hutan masa depan. Melihat proses kegiatan rehabilitasi hutan dan kegigihan hingga hasil, sungguh mencerminkan potret kemerdekaan rakyat petani.
Menjadi KTH Mandiri
Atas fenomena di atas, dan didorong oleh banyak tawaran permintaan dari kelompok tani hutan di luar desa Girimulyo, petani KTH bisa meyakini sepenuhnya. Inilah momentum perubahan besar yang diharapkan. Sebuah program yang menggabungkan secara sinergis dan berkesinambungan pilar-pilar, ekonomi, ekologi dan sosial masyarakat dengan potensi biofisik hutan, sumber daya apa adanya kritis dan terbuka, menjadi lingkungan yang indah dan damai.
Berkebang pesat, KTH seprovinsi Lampung banyak yang sudah memutuskan tanpa keraguan, selain karena dukungan dan dorongan terus menerus dari Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Ir. Ruchiansyah melalui para kepala Kesatuan Pemangku Hutan (KPH). Sesuai tema yang terus dikumandangkan Kepala Dinas, yaitu “merencanakan panen RHL”, dengan spirit ini banyak dari kelompok tani hutan yang ingin mengikuti jejak KTH AML mengusulkan lahan hutannya untuk direhabilitasi, jenis yang dipilih juga beragam namun semua MPTS, seperti pala, pete, jengkol dan durian menjadi idolanya, Hingga akhirnya benar-benar terkonversi dari ladang jagung, ubi kayu, sayur sayuran dan kebun kopi menjadi agroforestry yang memakmurkan.
Kelompok tani hutan RHL memilih mengkombinasikan usaha taninya dengan pohon permanen atau Multi Purpose Trees Species (MPTS). Kelompok menggunakan pendekatan sistem wana tani (agroforestry). Menggabungkan pohon MPTS, sayur sayuran, kebun (hortikultura) yang menghasilkan panen harian, mingguan, hingga bulanan dengan tanaman keras dan pepohonan yang bersifat tahunan. Luas lahan setiap petani kurang lebih satu setengah hektar (1,5 ha), tentulah luasan yang lebih dari cukup untuk bisa bertani secara optimal.
Sebelum mengenal agroforestry RHL, mereka mempunya pendapatan rata rata maksimal tiga puluh juta rupiah per tahun, setelah bergabung dalam KTH RHL hasil mereka setiap rumah tangga paling sedikit seratus juta rupiah per tahun. Konsistensi, menjadi nafas yang menyegarkan pikir para petani untuk bersikap mendukung atau menolak ajakan pemerintah dalam menjaga hutan. Berjalannya kurun waktu lima tahun ini, RHL telah menggeser paradigma petani. RHL pola agroforestry dengan populasi 200 batang/ha manjadi kebanggan dan pilihan jitu petani hutan. Bersama pemerintah mereka bangga. Kontribusi kelompok AML menjadi pioner swakelola sangat besar. Merekalah sendiri yang dapat merubah cara pandang banyak kelompok lain, baik yang ada di Povinsi Lampung juga tidak terhitung petani petani dari berbagai daerah di Indonesia. Petani yang telah berkunjung ke kelompok Agro Mulyo Lestari datang dari berbagai daerah dan berbagai status sosial. Penghargaan juga banyak mereka dapatkan terutama pengakuan akan inovasi dan karya nyata RHL di lapangan. Banyak dari petani RHL desa Giri Mulyo dikirim mendampingi petani petani di luar Lampung khususnya budidaya tanaman alpukat, juga beberapa jenis lainnya seperti durian, pete, jengkol, pala. Inovasi perbaikan pohon pohon tua yang tidak produktif menjadi bisa produktif, merupakan inovasi kebanggan mereka, karena teknik ini selain diminati banyak masyarakat juga menjadi media jejaring antar petani. Teknik sederhana tersebut popular disebut dengan sambung pohon (top working), atau mereka branding dengan sebutan Service Varitas, adalah andalannya.
Inti keberhasilan perubahan tersebut adalah fenomena AML, anggotanya banyak yang lahir di kawasan hutan lindung, sebagai generasi kedua yang hidup bermukim permanen di hutan lindung; Mereka tumbuh dengan berbagai karakter sosial, ekonomi dan budayanya bergeser menjadi petani hutan RHL satu untuk hutan. Bukan hanya berdampak nyata secara sosial di tengah interaksi komunitas petani hutan lainnya, namun juga memberikan perubahan besar yang jauh lebih baik secara ekonomi. Jauh lebih sejahtera. Juga yang tak kalah fenomenal adalah perubahan KTH secara sosial budaya. KTH kini berhasil menggapai kebebasan dan kemandirian. Bukan hanya lepas dari kepungan kemiskinan yang bersifat akut. Lebih dari itu, KTH bebas pula dari jeratan janji-janji palsu pelepasan kawasan menjadi lahan milik melalui demo pelepasan dan iuran liar tak bertanggungjawab, maupun berbagai narasi buruk petani hutan pada umumnya.
Empat tahun sejak beralih usaha tani semusim, saat ini KTH bahkan berhasil mewujudkan anggota petani yang merdeka. Bebas untuk memilih komoditi pohon RHL dan menjual hasil kepada siapapun. Selain bantuan pemerintah, tidak sedikit anggota KTH yang merehabilitasi secara swadaya. Saat ini berkembang pesat para anggota KTH mulai berani mengembangkan swadaya penanaman alpukat dan berjejaring dalam penjualan hasil HHBKnya.
Kelompok RHL di Lampung secara perlahan namun pasti juga berhasil mentransformasikan dirinya sebagai seorang aktivis petani mandiri di sekitar hutannya sendiri. Menularkan semangat “kecap no satu” yang hebat dan berani bertani secara mandiri. Bahkan atas kemampuannya bersosial media jaringan semakin luas, mampu menawarkan kepada berbagai kalangan warga masyarakat. Tidak sedikit anggota KTH yang diundang terhormat, menjadi narasumber di berbagai forum dan kesempatan. Kemampuan yang didapat dari belajar pengalaman diberikan juga secara iklas ke mereka yang membutuhkan, tidak sedikit dari mereka juga banyak yang membagi bibit gratis kepada yang membutuhkan.
Kebimbangan, kecurigaan yang lekat dengan masyarakat hutan, hasil hanya menjadi mimpi. Hari ini sungguh menjelma menjadi kebanggan petani. Bukan saja inspiratif, namun juga mencerahkan bagi para petani dan warga masyarakat lainnya. Kelompok tani AML yang dulu antipati, bahkan kemudian pembenci, kini berhasil bangkit menjadi manusai empati. Bahkan mampu meraih kemenangan bangga sebagai seorang petan RHL. Berhasil meraih kesejahteraan. Berhasil pula mewujudkan kemandirian dan kebebasan. Merdeka dari semua ketidakberdayaan petani. Mereka sudah tidak lagi mau mendengar propaganda pelepasan kawasan, justru mereka mempropaganda dengan slogan “Yang Penting Menikmati Walau Tidak Memiliki” sebuah slogan guyonan yang mengandung arti mendalam yaitu mensyukuri kenikmatan hutan dan menjaganya lestari.
Pelajaran yang dapat dirujuk dari mereka adalah komitmen teguh terhadap ajakan pemerintah dan keseriusannya mampu menaikkan tingkat kesejahteraan dan kemandirian KTH, mereka membuktikan pendapatannya bisa mencapai 11,2 kali lebih tinggi dari pendapatan yang diterima sebelumnya. pendapatan dari hasil agroforestry juga lebih beragam dengan penerimaan harian, mingguan dan bulanan. KTH tanpa disadari telah memberdayakan banyak pihak diantaranya sebagai pengolah tanah, pemetik buah, transportasi pengangkut bibit dan buah, distribusi hasil hutan lainnya, menumbuhkan usaha baru pengumpul buah di desa, penyediaan buah di supermarket di Jakarta seperti Indomart, Total buah, Gelael, Superindo, pasar induk Kramat Jati dan pasar lainnya di sekitaran Jakarta. Kebanggan nyata hasilnya luar biasa. Walau telah nyata, tetap tidak mudah mentransformasikan ke lembaga lain. Karena bukan soal nalar, pengetahuan atau niat baik saja, tapi niat baik dengan konsisten dan tulus. Siapa yang mampu bersama mereka? silahkan datang sendiri ke petani, mereka tidak hanya berargumentasi kosong, di sana akan menemukan nurani dan empati yang selalu rindu inovasi bukan diskusi.
Salam Lestari dari kemerdekaan petani.
* Idi Bantara, Penerima Penghargaan Kalpataru 2024 Kategori Pengabdi Lingkungan
Referensi
Arbayah. 2013. Model Pembelajaran Humanistik. Jurnal Dinamika Ilmu, Vol. 13. No.2
Baharuddin & Makin, M. (2017). Pendidikan Humanistik: konsep, teori, dan aplikasi praktis dalam dunia pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Efendi, R. S. (2000). Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta : Bumi Aksara
Handoko, H. (2011). Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE
Herfina, F. K., Lilis, N., & Ali, M. (2016). Peranan Kelompok Dalam Mendukung Pengembangan Kapasitas Wanita Pedesaan. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
Hermawan, Yudi., Sri Sulastri., Niniek Dyah Kusumawardani. 2016. Keberhasilan Kelompok Tani Dalam Program Rehabilitasi Hutan Dan Lahan. Konservasi Sumberdaya Hutan Jurnal Ilmu Ilmu Kehutanan. 1(1) : 61 – 68
Khan, A. S. (2014). Education Role In Capacity Building. International Journal of Agricultural
Extension, 5-11
Mardikanto, T. (2010). Konsep-konsep Pemberdayaan Masyarakat. Surakarta: UNS Press
Ratnasari, J. D., Mochamad, M., & Heru, R. (2013). Pengembangan Kapasitas (Capacity Building) Kelembagaan Pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jombang. Jurnal Administrasi Publik (JAP), 1(3):103-110
Pratiwi, & Narendra, B.H. (2012). Pengaruh penerapan Teknik konservasi tanah terhadap pertumbuhan pertanaman mahoni (Swietenia macrophylla King.) di hutan penelitian Carita, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 9(2), 39–150
“Pemberdayaan Komunitas: Strategi Meningkatkan Kualitas Hidup Masyarakat” oleh Dr. Siti Nuraini, dkk. (Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan, 2018)
Saripah, I., Nike, K., D. Nunu, H., Holva, L. S., Ari, P., & Mohamad, H.A. 2019. Community Learning Services (PKBM) In West Java. International E-Journal of Advances in Education, 5(15):1-9
Sumanto, S.E. 2009. Kebijakan pengembangan perhutanan sosial dalam perspektif resolusi konflik. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 6(1), 13-25
Lewerissa, E. (2015). Interaksi masyarakat sekitar hutan terhadap pemanfaatan sumber daya hutan di Desa Wongongira, Kecamatan Tobelo Barat. Jurnal Agroforestry, 10 (1), 11-12