Pengantar Redaksi Volume 78
Pengalaman bahwa betapa mudahnya kita kehilangan kemampuan untuk hidup dalam kebersamaan, sebagai keniscayaan kehidupan kebersamaan yang berat dan sulit diwujudkan. Hilangnya kebersamaan menjadi sumber penyebab timbulnya masalah yang esensial dalam perilaku kehidupan, yang bersumber dari manusia, sebagai makhluk hidup yang mempunyai kelebihan dibanding dengan makhluk hidup lainnya di muka bumi ini.
Kehilangan kebersamaan sebagai sumber perubahan perilaku yang esensial, dalam periode panjang berdampak negatif terhadap perubahan populasi makhluk lainnya, termasuk perubahan lingkungan, hutan dan kehutanan di dunia pada umumnya, termasuk di Indonesia, dalam 25 tahun, 50 tahun, 100 tahun yang lalu kondisinya tidaklah sama dengan kondisi hari ini.
Hal ini berkaitan dengan aspek manusia yang berdampak terhadap perilaku individu, dalam pengertian pengaturan dan pengelolaan hutan. Kondisi hutan dan kehutanan Indonesia hari ini berbeda dengan kondisi beberapa dekade yang lalu, ini menunjukan pengaruh faktor manusia yang signifikan sebagai aspek peradaban secara luas.
Berbagai perubahan yang terjadi seperti : pertambahan populasi yang pesat, kemajuan IPTEK, berkembangnya model pembangunan untuk meraih kesejahteraan dan mengejar ketinggalan dari negara maju, terjadi dari waktu ke waktu mencakup perubahan IPOLEKSOSBUDHANKAM. Dampaknya dapat dirasakan oleh semua umat manusia, seperti: perubahan iklim, akibat berkurangnya tutupan vegetasi (termasuk hutan) untuk peruntukan berbagai kepentingan, antara lain: pemukiman, infrastruktur fisik, pertanian pangan, hortikultura, perkebunan, dll.
Belum lagi kelangkaan dan kecukupan air bersih, kecukupan energi dengan penggunaan energi fosil dan penambangan berbagai mineral berharga, yang ke semuanya itu berada di bawah lahan hutan. Banyak pihak berpaling kepada hutan dan kehutanan, yang dialamatkan kepada rimbawan dan institusinya, sebagai pihak yang paling bersalah. Namun bila dicerna dengan nalar bersih, Rimbawan dan institusi yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan, adalah pihak korban penerima akibat yang tidak mampu dielakkan. Sedang pemegang otoritas kebijakan hutan dan kehutanan, dalam hal ini Pemerintah, seakan mampu mengatasi berbagai persoalan dengan menerbitkan banyak peraturan, Undang-undang dan peraturan perundang-undangan, namun pada kenyataannya masalah beranak pinak menjadi masalah yang semakin rumit.
Hari ini ada karena ada masa lalu; masa depan ada karena ada hari ini. Cara pandang dan cara pikir inilah yang harus menjadi perhatian untuk mengerem kekacauan atau kerusakan (enthrophy) yang terus meningkat di bumi Indonesia. Memang kita tidak harus mengedepankan anthrophosentrisme karena manusia harus menyeimbangkan dengan ecosentrisme, namun di lain sisi kita harus menyeimbangkan dimensi IPTEK, atau science dan teknologi, yang bersifat inter-objektif dengan dimensi hubungan antar manusia (societal conscience) yang bersifat inter-subjektif. Ini semua adalah Humanism yang dalam pengertian paham filsafat, menjunjung tinggi nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai kriteria segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia atau dengan kata lain Memanusiakan Manusia. Pada sisi lain perlu jawaban mengenai seberapa jauh humanisme tersebut di atas bisa sebagai mindset untuk penanganan pembangunan (pengaturan dan pengelolaan) hutan (dan kehutanan) di Indonesia.
Melalui majalah Rimba Indonesia Volume 78 ini hasil pengamatan, pengalaman dan telaahan berbagai pihak, didokumentasikan sebagai masukan untuk mengembangkan kerangka berfikir dalam penanganan masalah pembangunan hutan dan kehutanan di Indonesia.
Selamat membaca. Selamat merayakan Proklamasi Kemerdekaan ke-79 Republik Indonesia. DIRGAHAYU RI.