Berita hangat

Transformasi Pemikiran Hutan Sebagai Natural Capital Pada Era Anthroposen

Oleh : Prof. Dr. Ir. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut., M.Agr. Sc., IPU.

(Dirjen KSDAE KLHK/ Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM)

 

The world is healthier place than at almost any time in the past. People live longer; they are taller and stronger and their children are less likely to get sick or to die (Deaton, 2013).

Angus Steward Deaton, pemenang Nobel Ekonomi tahun 2015, penulis buku “The Great Escape: health, wealth and the origin of inequality” menyampaikan statemen yang membangkitkan optimisme besar untuk kehidupan yang makin baik dengan bercermin pada kondisi umat manusia saat ini. Dikatakan bahwa dihitung dari  250 tahun yang lalu, kehidupan manusia saat ini adalah yang paling sehat dan sejahtera. Manusia yang hidup saat ini memiliki fisik yang lebih baik, lebih bugar dan kuat.  Dengan kepandaian dan teknologinya, manusia berhasil meloloskan diri dari perangkap kekurangan materi, kemiskinan, malnutrisi dan kematian pada umur biologis yang masih muda.

Kutipan di atas sangat benar dan didukung oleh data yang meyakinkan. Rata-rata angka harapan hidup manusia di dunia meningkat dari 47 tahun pada 1950-1955, menjadi 70,9 tahun pada rentang waktu pencatatan antara 2010 sampai 2015. Angka kematian anak di bawah umur 5 tahun secara global mengalami penurunan tajam dari rata-rata 204 per seribu kelahiran hidup pada rentang waktu tahun 1950 sampai 1955, menjadi hanya 39 pada tahun 2018. Begitu juga penurunan jumlah penduduk miskin. Menurut Bank Dunia pada tahun 2015 sebanyak 10% populasi manusia dunia hidup di bawah garis kemiskinan (diukur dengan biaya kehidupan kurang dari 1,9 USD per hari), jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tahun 1990 yaitu sebanyak 36%. Sekitar 1,1 miliar orang lepas dari kemiskinan ekstrim sejak tahun 1990.  Kemajuan ini terutama disumbang dari peningkatan perekonomian di Asia Timur (China), dan Pasifik (Indonesia) serta Asia Selatan (India), sedangkan di Sub Sahara Africa kemajuan tercapai hanya dalam tingkat moderat, sehingga sampai saat ini populasi orang miskin di dunia mayoritas tinggal di sana.  Kemajuan besar juga dicapai dalam kesehatan publik yang didukung dengan penyediaan fasilitas kesehatan dasar, imunisasi yang lebih merata untuk penyakit infeksi dan peningkatan pendidikan reproduksi (Haines dan Frumkin, 2021).

Di balik optimisme tersebut kekhawatiran terhadap masa depan manusia juga terus disuarakan oleh para ahli lingkungan. Akankah generasi penerus kita masih akan menikmati dunia yang nyaman dihuni dengan sumber daya yang cukup seperti saat ini? Atau bumi akan menjadi rumah yang tidak nyaman lagi untuk manusia? Faktanya, untuk mencapai kehidupan manusia yang lebih baik seperti yang disampaikan oleh Deaton ternyata menimbulkan beban yang sangat besar bagi lingkungan hidup dan ongkos yang tinggi yang ditanggung oleh orang-orang yang terpinggirkan dan makhluk hidup non human. Degradasi lingkungan yang ditandai dengan makin hilangnya lahan hutan, kemunduran keanekaragaman hayati dan polusi, serta perubahan iklim global telah mengancam kestabilan sistem bumi yang dapat mengarah pada risiko kehancuran. Kutipan dari Steffen et al 2025, merupakan ekspresi yang paling tepat  merepresentasikan kegalauan atas terjadinya  proses kemunduran kualitas lingkungan global akibat aktivitas perekonomian manusia yang nampaknya sudah semakin sulit dikendalikan.

A continuing trajectory away from the Holocene could lead, with an uncomfortably high probability, to a very different state of the Earth system, one that is likely to be much less hospitable to the development of human societies (Steffen W et al., 2015).

Era Holocene merupakan periode waktu ideal untuk berkembangnya peradaban manusia yang berawal kira-kira 12.000 tahun yang lalu. Pola kehidupan manusia mulai mengalami perubahan, yang semula berburu dan meramu menjadi komunitas agraris dengan pertanian dan peternakan menjadi aktivitas utama, dan kemudian berkembang menjadi komunitas perkotaan yang ditopang oleh aktivitas perdagangan dan dilanjutkan dengan industri dan manufaktur.  Salah satu karakteristik era holocene adalah kestabilan iklim, meskipun sempat terganggu pada saat jaman es kecil (little ice age). Namun demikian, pada umumnya tidak terjadi fluktuasi iklim yang signifikan. Kemungkinan besar, populasi manusia tidak bisa berkembang pada era Pleistosen (sebelum Holocene), salah satu faktor yang mempengaruhi adalah ketidakstabilan iklim. Fluktuasi iklim yang ekstrim sering terjadi, dan berulang-ulangnya pergantian fase glasial dan interglasial. Kondisi lingkungan bumi, terutama iklim yang stabil, pada era Holocene merupakan prakondisi berkembangnya peradaban manusia pada waktu itu sampai saat ini (Haines dan Frumkin, 2021).

Tanda-tanda ketidakstabilan sistem planet bumi dibandingkan pada era Holocene menimbulkan kegamangan keberlanjutan peradaban manusia. Pengaruh manusia sangat dominan sejak revolusi industri terutama terkait dengan perubahan iklim dan penurunan kualitas lingkungan. Skala dan intensitas perubahan tersebut  belum pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya. Pada tahun 1957 Roger Revelle dan Hans Suess menyatkan di salah satu artikelnya di Script Institution of Oceanography bahwa manusia telah melakukan eksperimen geofisik dalam skala yang sangat besar; dalam  beberapa abad manusia melalui penggunaan bahan bakar fosil secara besar-besaran, mengembalikan karbon yang semula tersimpan dalam batuan sedimen selama ratusan juta tahun ke atmosfer dan lautan. Era ketika manusia memiliki peran yang  sangat dominan mengubah iklim dan lingkungan disebut sebagai Anthroposen.

Perubahan-perubahan radikal yang dilakukan manusia tersebut, dikhawatirkan berpengaruh terhadap proses-proses esensial planet Bumi. Beberapa metodologi diajukan untuk menganalisis keberlanjutan planet Bumi. Salah satunya adalah konsep Planetary Boundaries/Batas Planetari yang disusun oleh  tim ilmuwan terkemuka yang berbasis di Stockholm Resilience Institute di Swedia. Planetary boundaries didefinisikan sebagai batas operasi yang aman  (safe operating space) bagi umat manusia, yang apabila batas tersebut dilampaui akan meningkatkan risiko terjadinya destabilisasi proses-proses yang krusial dalam sistem bumi.  Konsekuensi terlampauinya batas tersebut akan  mengubah ekosistem global ke kondisi yang tidak diinginkan, dan perubahan tersebut bersifat tidak bisa dipulihkan (irreversible).

Mereka melakukan kajian dengan menggunakan 9 Boundaries sebagai indikator proses-proses esensial yang mengatur stabilitas dan resiliensi planet Bumi. Kesembilan proses atau batas tersebut adalah; (1) perubahan sistem lahan, (2) integritas biosfer, (3) perubahan iklim, (4) entitas baru, (5) pengurangan lapisan ozon di stratosfer, (6) pemuatan aerosol atmosfer, (7) pengasaman laut, (8) aliran biogeokimia  dan  (9) pemanfaatan air tawar. Tiap batas memiliki limit atau threshold yang spesifik yang ditentukan berdasarkan data saintifik.  Sampai saat ini masih terus dilakukan penyempurnaan metodologi dan pendetilan indikator. Perkembangan konsep saat ini, dari 9 boundaries tersebut dirumuskan 2 boundaries inti (core boundaries) yaitu perubahan iklim dan integritas biosfer, yang merangkum semua boundaries yang lain, serta memberikan framework yang menghubungkan satu boundary dengan boundary yang lain.

Menurut analisis ilmuwan, dari sembilan (9) boundaries yang telah terlampaui batasnya ada enam (6). Salah satunya adalah integritas biosfer yang diukur dari rata-rata kepunahan spesies, yang saat ini nilainya 1000-kali lebih besar daripada kepunahan yang terjadi sebelum era manusia. Batas-batas yang lain yang sudah terlampaui adalah; perubahan sistem lahan, perubahan iklim, entitas baru, aliran biogeokimia (terutama nitrogen dan fosfor)  dan pemanfaatan air tawar. Pada sistem lahan, sejak tahun 2000 secara global hutan primer yang hilang telah mencapai 2,3 juta km2 dan fragmentasi hutan telah mengurangi biodiversitas sebesar  13-75%.  Selain itu, antara 1-2,9 juta Ha lahan pertanian telah mengalami kerusakan tanah. Pada aspek perubahan iklim, konsentrasi gas rumah kaca telah meningkat drastis dari 284 ppm pada awal revolusi industri menjadi lebih dari 400 ppm saat ini dengan tren terus meningkat.

Terlampauinya threshold suatu boundary bisa menuju kondisi tipping point, yaitu perubahan di yang sifatnya tiba-tiba, dan bersifat non linear. Perubahan tersebut bisa bersifat dramatik dan tidak dapat dipulihkan kembali, serta pada umumnya tidak dapat atau sulit sekali dikelola dengan teknologi yang dikuasai manusia. Tipping point juga bisa bersifat cascading yaitu satu perubahan dapat memicu perubahan yang lain. Contohnya, risiko apabila terjadi perubahan temperature lebih dari 20C. Kondisi ini dapat menimbulkan feedback yang memberikan additionality untuk pemanasan global sehingga menempatkan bumi dalam kondisi bahaya.

Feedback akibat kenaikan suhu global tersebut di antaranya adalah mencairnya permafrost (yang biasanya beku) dengan melepaskan gas Methane dalam jumlah yang sangat besar (meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer), kematian hutan Amazon (karena intensitas kekeringan yang dipicu pemanasan global) dan hutan Boreal (frekuensi kebakaran meningkat dan meledaknya populasi hama) dan berkurangnya kemampuan ekosistem darat dan ekosistem laut sebagai carbon sink sehingga kapasitas untuk menyerap karbon juga berkurang. Kombinasi dari feedback tersebut akan menyebabkab additionality penambahan suhu rata-rata 0,470C (di atas yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca) pada akhir abad ini.

Transformasi Cara Berfikir dan Perilaku dalam Era Anthroposen

Nafsu manusia untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber daya hayati maupun non hayati yang secara rata-rata global telah melampaui batas kapasitas fisik dan biologis bumi, cepat atau lambat akan membawa manusia pada kondisi yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Resiko terburuk adalah merosotnya kualitas bumi sebagai habitat manusia, sehingga tidak mampu lagi mendukung perkembangan peradaban manusia seperti yang kita nikmati saat ini. Kondisi kritis ini direspon dalam pembukaan Earth Charter (Piagam Bumi) yang diumumkan di kantor pusat UNESCO tahun 2000 yang dimulai dengan pernyataan “ We stand at a critical moment in Earth’s history, a time when humanity must choose it future”.

Sebagai panduan untuk memilih masa depan yang lebih baik, Piagam Bumi memuat 16 prinsip dasar.  Dalam prisnip tersebut termuat visi etik yang jelas dan realistik.  Juga memberikan perspective praktis atau rencana-rencana konkrit untuk perubahan berdasarkan pada pemahaman yang mendalam terhadap realitas saat ini dan kendala-kendala yang dihadapi. Kekuatan lain dari piagam tersebut adalah perhatiannya terhadap  interkoneksi antara perlindungan lingkungan, hak asasi manusia, serta pembangunan yang adil, demokratis, berkelanjutan dan damai.

Menghadapi moment yang kritis saat ini, kita memerlukan cara berfikir yang baru; sebuah framework konseptual yang menempatkan manusia pada konteks hidup Sejahtera dalam lingkungan/ekosistem yang bagus dan sehat.  Kesejahteraan hendaknya didefinisikan pada terpenuhinya kebutuhan otentik manusia, keberkelanjutan ketersediaan sumber daya alam sampai generasi mendatang, terwujudnya keadilan tanpa diskriminasi, solidaritas dan pengutamaan daripada konflik dan kompetisi.

Refleksi Terhadap Praktik-Praktik Manajemen Hutan

Mengingat peran esesnsial hutan dalam dua proses inti Planetary Boundaries yaitu perubahan iklim dan integritas biosfer, maka kontemplasi yang mendalam penting dilakukan untuk memberi panduan pengelolaan hutan yang sesuai untuk era anthroposen. Sejarah ilmu kehutanan tidak bisa dilepaskan dari ilmu kehutanan yang muncul di Sachsen dan Prusia (sekarang wilayah Jerman) pada awal abad ke 18. Ilmu management hutan pada awalnya merupakan cabang dari Kameralwissenschaft (cameralism) yang menggunakan pendekatan integratif dalam manajemen negara, dan secara komprehensif mengaplikasikan teori ekonomi, administrasi publik dan sumberdaya alam. Konsep ini menekankan pentingnya efisiensi, keberlanjutan dan peran negara dalam pembangunan ekonomi. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan rasionalisasi dalam admisnitrasi publik untuk peningkatan pendapatan negara (Aspoy, 2024).

Pengetahun ilmiah Kehutanan dimulai dengan terbitnya buku berjudul Silvicultura Oeconomica (Sylvicultura oeconomica, oder haußwirthliche Nachricht und Naturgemäße Anweisung zur Wilden Baum-Zucht) yang ditulis oleh Carl von Carlowitz, seorang kameralis yang juga dipamdang sebagai orang yang pertama kali mengenalkan istilah keberlanjutan (Nachhaltigkeit/sustainability). Buku ini membahas tentang konservasi hutan, penanaman kembali bekas-bekas areal loging dan pengaturan pemanfaatan untuk menjamin ketersediaan kayu yang stabil dan berkelanjutan.

Ilmu kehutanan di Eropa Tengah lahir ketika terjadi kelangkaan pasokan kayu dari hutan, dan makin berkurangnya lahan hutan karena diubah untuk pertanian. Pada awal abad ke-18 kebutuhan kayu tidak bisa lagi dipenuhi oleh sisa-sisa hutan yang belum ditebang. Padahal, kayu sangat dibutuhkan oleh negara-negara seperti Jerman, Austria dan Swiss sebagai bahan baku  infrastruktur pertambangan dan industri garam, serta Inggris, Swedia, Spanyol, Perancis  dan Portugal untuk industri kapal laut.  Salah satu karakteristik Ilmu Kehutanan awal adalah penggunaan matematika dalam pengelolaan hutan dengan tokohnya Martin Faustman, yang mengembangkan model matematika untuk valuasi hutan dan menentukan rotasi optimum untuk pemanenan hutan. Dengan meluasnya implementasi Ilmu Kehutanan, manajemenen hutan mengalami lompatan besar menuju profesionalisasi.  Dengan Ilmu Kehutanan dan profesionalisasi kehutanan yang kuat dan konsisten serta didukung oleh bukti empiris keberhasilan pengelolaan hutan lestari, rimbawan menjadi salah satu profesi paling terhormat di Jerman pada abad ke-19.

Model Ilmu Kehutanan Jerman mencapai posisi hegemoni global pada akhir abad ke-19. Di Asia, Ilmu Kehutanan di India, yang merupakan jajahan Inggris, sangat dipengaruhi oleh Perancis dan Jerman. Ilmu Kehutanan Jerman juga diaplikasikan di Jepang pada akhir abad ke-19. Di Indonesia, jejak model pengelolaan hutan Jerman sangat terlihat jelas di pengelolaan hutan Jati di Jawa. Pada tahun 1849 dikirim tiga rimbawan Jerman ke Jawa. Seorang bertugas untuk Menyusun perencanaan pengelolaan hutan secara umum, sedangkan dua oran lainnya melakukan  survey, pemetaan dan klasifikasi hutan serta perencanaan jalan sarad dan sistem drainase. Ilmu kehutanan Jerman juga berpengaruh ke Eropa. Forester Norwegia pertama kali  mendapat pendidikan di Jerman. Selain itu, ada hubungan professional yang kuat antara Perancis dan Jerman. Bernhardt Lorenzt seorang rimbawan yang memiliki hubungan persahabatan dengan Georg Ludwig Hartig menjadi pendiri dan direktur pertama Sekolah Kehutanan Perancis di Nancy.

Di Amerika Serikat, pertukaran ilmuwan kehutanan antara Amerika Serikat dan Jerman terjadi pertama kali sekitar tahun 1777. Sekolah Ilmu Kehutanan Pertama di Amerika yaitu Biltmore Forestry School didirikan oleh Carl Alwin Schenk seorang rimbawan dari Jerman. Pada tahun 1900 berdiri Yale School of Forestry yang didirikan oleh Gifford Pinchote, bapak Forester Amerika yang mendapatkan Pendidikan kehutanan di Eropa termasuk Jerman.  Pada awal-awal tahun pendirian Yale School of Forestry, mahasiswa wajib untuk membaca textbook kehutanan Jerman, karena belum adanya buku berbahasa Inggris. Konsekeuensinya, mahasiswa Amerika otomatis belajar sistem Kehutanan Jerman. Praktik kehutanan Jerman selanjutnya diadopsi dengan beberapa adaptasi sesuai kondisi lingkungan dan sosio-kultural Amerika. Namun demikian, bukan berarti sistem Kehutanan Jerman diterima tanpa mendapatkan kritik.  Aldo Leopold  seorang forester, ekolog sekaligus filosof tidak bisa menerima transformasi radikal hutan Jerman dari hutan campur yang mirip dengan hutan alam (mixed-close to nature forest) menjadi hutan monokultur yang didominasi oleh hutan seumur dengan jenis utama Spruce dan Pinus.

Seperti telah diuraikan sebelumnya, pada awalnya, prinsip metodologi ilmu kehutanan berorientasi pada ilmu Matematika terutama dalam aspek rasionalitas dan keteraturan. Setelah terjadi tranformasi pemahaman konseptual terhadap hutan dengan landasan aljabar dan geometri tersebut, transformasi berlanjut pada material hutan itu sendiri. Secara empiris, hutan yang terkelola baik harus berbentuk struktur yang teratur dan rapi, landskap yang monokultur, yang pohonnya ditanam secara geometris dan dengan tanaman seumur. Ini merupakan karakteristik bentuk ideal hutan.   Dengan konsep tersebut hutan-hutan tua Eropa yang beragam jenisnya, strukturnya heterogen, jarak antar pohon tidak teratur, dan multiumur diubah menjadi landskap hutan sejenis dan seumur.

Pandangan Descartes tentang matematika, terutama aljabar dan geometri, merupakan alat bagi manusia untuk memahami hukum alam yang rasional dan dengan tingkat kepastian yang tinggi. Seiring berjalannya waktu, ilmu bukan lagi menjadi alat untuk memahami, tetapi digunakan menguasai dan mengeksploitasi alam. Ilmu telah mengubah pandangan manusia terhadap hutan. Pada waktu sebelum masa pencerahan hutan lebih diperankan dalam fungsinya  sebagai suaka untuk keanekaragaman hayati dan eksploitasi oleh manusia dibatasi, namun pada perkembangan selanjutnya hutan lebih dominan menjadi domain pemanfaatan.

Komponen esensial dari filsafat ilmu Descartes adalah pemisahan yang sangat ketat antara subyek pengetahuan dan obyek analisis. Subyek adalah pengetahuan manusia (res cogitans) dan obyeknya adalah alam (res extensa). Tidak dipungkiri, Descartes berkontribusi sangat besar dalam filsafat, matematika dan sains serta membuat pondasi yang kuat untuk pengembangan metodologi sains modern, teknologi dan industri. Perhatiannya yang khusus terhadap skeptisisme, geometri analitik dan penjelasan mekanistik memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mendorong inovasi dan kemajuan teknologi. Namun demikian, ide Descartes yang menjadikan alam sebagai arena eksploitasi, sangat mempengaruhi perilaku manusia dalam sikap dominasi manusia terhadap alam dan memiliki implikasi sangat besar yaitu adanya kemunduran kualitas dan kerusakan lingkungan.

Sejak awal, telah terdapat pandangan-pandangan yang berseberangan terutama berasal dari tradisi dan kearifan lokal baik di negara berkembang maupun negara maju. Pelukis-pelukis romantik dari Inggris dan Jerman (misalnya, Caspar David Friedrich, J.M.W. Turner dan John Constable) lewat karya-karyanya memberi kontribusi yang krusial dalam pembentukan naluri, emosi dan sikap dalam mengapresiasi keindahan alam dan menumbuhkan perasaan pertanggungjawaban dalam pemeliharaan alam dan inspirasi untuk konservasi lanskap dan flora-fauna sampai saat ini.

Saintifik framework yang menjelaskan interdepedensi antara manusia dan alam (yang menolak pemisahan manusia dan alam) antara lain dilakukan para penulis seperti John Muir, Ralph Waldo Emerson dan Henry David Thoreau sebagai pencetus madzab Romantic Transcendental Conservation, George Perkin Marsh dengan karyanya Man and Nature  yang menginspirasi gerakan awal konservasi (menyatakan bahwa tugas pertama rimbawan adalah menjamin kelestarian) dan Aldo Leopold dengan madzhab Evolutionary Ecological Land Ethic. Ketidakterpisahan manusia dan alam makin diperkuat dengan munculnya Ekologi pada akhir abad 19 dan awal abad 20  sebagai disiplin ilmu mandiri yang dibangun berdasar pengamatan empirik para naturalis dan perkembangan biologi evolusi. Salah satu konsep penting adalah munculnya terminologi ekosistem yang pertama kali dikenalkan oleh Arthur Tansley yang menekankan adanya interaksi timbal balik antara organisme, termasuk manusia, dengan faktor-faktor lingkungan. Manusia dalam pandangan ini terikat oleh hukum-hukum alam yang kompleks.

Hutan Sebagai Natural Capital

Natural capital adalah komponen biotik dan abiotik dari ekosistem, selain manusia dan barang-barang yang dihasilkannya, yang memiliki kontribusi dalam memproduksi barang dan jasa yang bermanfaat untuk individu manusia maupun masyarakat. Hutan dapat memproduksi barang dan jasa yang mendukung aktivitas ekonomi sehingga dapat digolongkan sebagai natural capital. Selain hutan, natural capital mencakup lahan, mineral, minyak bumi, perikanan, dan semua sumber daya alam, tanpa memandang apakah mereka dipertukarkan di pasar atau dapat dimiliki.  Salah satu bagian dari natural capital adalah critical capital yaitu modal alam yang sangat esensial untuk manusia dan bersifat tidak tergantikan apabila hilang atau mengalami kerusakan.  Dalam kondisi tertentu beberapa kawasan hutan adalah critical capital. Karena sifatnya tersebut, opsi kebijakan terbaik untuk critical capital adalah menjamin keutuhannya, sehingga kapital-kapital yang lain (human capital dan man-made reproducible capital) tidak terkena bencana dan dapat terjaga keselamatannya, serta untuk memastikan kesejahteraan generasi manusia yang akan datang.

Dasgupta (2008) menyatakan bahwa ekosistem hutan merupakan kapital  yang sangat unik yang berbeda dengan manufaktur buatan manusia (jalan, bangunan, pabrik dan mesin). Seperti halnya manufaktur (man-made reproducible capital) ekosistem akan mengalami depresiasi nilai apabila digunakan secara salah atau berlebihan. Tetapi  ekosistem hutan berbeda dengan manufaktur dalam  3 hal, yaitu; (1) depresiasi dari ekosistem seringkali bersifat irreversible (atau kalau bisa pulih akan memmbutuhkan waktu sangat lama), (2) kecuali dalam kasus-kasus khusus, tidak mungkin mengganti ekosistem yang hilang ekosistem yang baru, (3) ekosistem dapat runtuh secara mendadak tanpa ada peringatan pendahuluan.

Pemikiran ekonomi pada era anthroposen harus benar-benar menghargai natural atau critical capital, yang pada beberapa kasus telah hilang. Keutuhan Natural Capital tidak hanya penting untuk dirinya sendiri, tetapi juga berfungsi untuk mendukung kesehatan dan kesejahteraan manusia. Karena ekosistem hutan berinteraksi dengan komponen-komponen yang lain, maka dapat dipahami bahwa kerusakan ekosistem hutan akan memiliki efek beragam terhadap produksi ekonomi, kualitas air, resiko bencana alam, perubahan iklim, kesempatan untuk tempat rekresasi yang sehat, hilangnya habitat dan spesies. Maka pengelolaan ekosistem hutan  harus mampu memahami dampak yang luas kerusakan hutan, trade-offs antara berbagai pilihan di satu sisi, dan sinergi positif pilihan-pilihan di sisi yang lain.

Hutan sebagai natural capital harus dipahami sebagai fundamental ekonomi suatu negara. Eksploitasi terhadap natural capital untuk pemenuhan keinginan kepemilikan material yang cenderung tidak terbatas akan sangat merusak lingkungan, dan mengabaikan fungsi-fungsi natural capital yang lain seperti pengaturan proses ekologi, fungsi pendukung produksi dan fungsi sosial-budaya. Sekarang adalah saat yang tepat untuk melakukan frame ulang terhadap kriteria yang mencerminkan masyarakat/komunitas sosial yang sukses.  Kesuksesan dalam pengelolaan natural capital dapat diukur dari kemampuan negara dalam menjamin kemajuan perekonomian negara dan menjamin orang untuk bisa mengembangkan dirinya dalam batas-batas kemampuan planet bumi.

Gerakan-gerakan lingkungan semestinya lebih didominasi oleh diskursus peningkatan kualitas hidup manusia, di samping kampanye penyelamatan dan perlindungan lingkungan an sich. Sayang sekali, tren saat ini mengasosiasikan kualitas hidup dengan tingkat konsumsi. Yang terjadi adalah konsumerisme kompulsif di tengah-tengah masyarakat, yang ditandai pemilikan dan tingkat konsumsi jauh di atas yang sebenarnya dibutuhkan. Konsumsi bagi banyak orang seringkali menjadi alat untuk identity signaling yaitu cara seseorang menginformasikan identitas dirinya (atau memamerkan dirinya), nilai yang dianut dan afiliasi sosial melalui  perilaku dan gaya hidup. Cara paling mudah untuk menarik perhatian orang adalah dengan memamerkan pilihan-pilihan terhadap barang konsumsi (merek HP, pakaian, kendaraan, rumah, perhiasan) dan hal-hal yang tampak dan bisa diamati secara mudah. Perubahan akan sulit dilakukan karena adanya konsepsi bahwa hidup yang berkelas dapat ditunjukkan dari  pemenuhan material berharga mahal tersebut. Konsep ini  terus-menerus dipromosikan oleh berbagai industri dan pencitraan media. Kompetisi sosial untuk menunjukkan dirinya yang terbaik (dalam hal pamer diri dengan material-material mahal) makin memperburuk kondisi saat ini.  Perubahan budaya sangat tergantung pada peran role model dari tokoh-tokoh publik dan tokoh agama.

Pada level kebijakan, maxim bangsa Romawi yang berbunyi Salus populi supreme lex esto (kesehatan atau kesejahteraan masyarakat harus menjadi hukum tertinggi) mestinya menjadi panduan. Kesehatan dan kesejahteraan sebagai tujuan harus diukur dari aspek yang berimbang yaitu terpenuhinya kebutuhan otentik semua orang dalam jumlah cukup, juga harus dapat meningkatkan resiliensi masyarakat dalam menghadapi perubahan lingkungan, mengurangi ecological/environmental footprint secara lebih cepat, dan secara bersamaan mengusahakan kemerataan dan keadilan konsumsi yang lebih baik. Kehidupan yang berkualitas dan kesuksesan dalam kesejahteraan ekonomi harus dipahami sebagai pembentukan masyarakat yang di dalamnya setiap orang dapat tumbuh dan berkembang secara sehat, mendapatkan pendidikan, pekerjaan yang layak dan kecukupan material, bukan semata-mata untuk kepemilikan material.

 

Penulis dalam menulis artikel menggunakan pustaka-pustaka dibawah ini sebagai bahan referensi:

  1. Aspoy H. 2024. Forest science between human and nonhuman agency. Trees, Forests and People. 15
  2. Barbier E. 2019. The Concept of Natural Capital. Oxford Review of Economic Policy. 35(1)
  3. Haines A & Frumkin H. 2021. Planetary Health: safeguarding human health and the environment in the Anthropocene. Cambridge University Press
  4. Dasgupta P. 2008. Nature in economics. Environmental and Resource Economics
  5. Scmidt U. E. 2009. German Impact and Influences on American Forestry until World War II. Journal of Forestry
  6. Bacaan-bacaan lain yang relevan