Oleh : Ir. Slamet Soedjono, M.B.A.
(Pengasuh Majalah Rimba Indonesia)
PENGANTAR
Bagi sebagian besar rimbawan tentulah telah mengetahui baik secara garis besar maupun secara lebih mendalam tentang hutan jati di Jawa karena keberadaannya telah lama menjadi obyek pembelajaran, penelitian dan kajian ilmu kehutanan. Masyarakat Indonesia pun cukup banyak yang mengetahui adanya hutan jati di Jawa yang menghasilkan kayu jati berkualitas baik dan terkenal untuk bahan pembuatan bangunan dan perabotan rumah yang tergolong mewah. Masyarakat Pulau Jawa bahkan di Eropa dan Amerika telah lama mengenal dan menyukai kayu Jati Jawa yang disebutnya sebagai “Java Teak” sejak puluhan hingga ratusan tahun yang lalu. Dapat dikatakan Jati Jawa telah mengalami sejarah panjang ketenarannya. Akan tetapi dalam waktu 3 dekade terakhir hutan jati di Jawa mengalami kemunduran disebabkan oleh beberapa hal, seperti kerusakan hutan sangat parah terdampak chaos dari Gerakan Reformasi yang melanda hutan jati tua yang berkualitas baik, menurunnya daya beli masyarakat, berubahnya selera konsumen, semakin banyaknya bahan subsitusi/pengganti yang berharga murah, biaya pembuatan hutan yang semakin mahal dan sulit, tuntutan masyarakat untuk kesejahteraan yang semakin memberatkan dan sulitnya usaha pengamanan hutan guna melindungi tegakan hutan yang dibangun bisa mencapai daur/umur masak tebang yang optimal. Dengan informasi dari beberapa sumber penulis mencoba menuangkan dalam tulisan ini tentang hutan dan kayu jati serta kemungkinan perlu dilanjutkan/tidaknya pengusahaan hutan jati di Jawa yang pernah mendapat nama baik.
HUTAN JATI DI JAWA
Dalam buku Sejarah Kehutanan Indonesia dinyatakan bahwa hingga terbitnya buku tersebut tahun 1987 tentang asal-usul hutan jati di Jawa masih menjadi teka-teki atau tanda tanya apakah asli Indonesia ataukah didatangkan dari negara lain. Dua Sarjana Kehutanan Altona (1923 ) dan Carthaus adalah pihak yang berpendapat bahwa pohon jati di Jawa dirantaukan (dibawa) oleh orang-orang India dari wilayah Kalinga (Keling) yang beragama Hindu pada tahun 200 M sebagai perantau pertama di Jawa Tengah. Tahun 600 M menyusul emigran lain dari wilayah yang sama di India. Emigran yang kedua ini pada tahun 640 M mendirikan kerajaan Kalingga di Jepara. Penghunian orang Hindu di Jawa Timur dimulai tahun 750 M oleh orang dari India Belakang (Burma dan Siam) dan dari India Tengah. Alasan kedua sarjana tersebut nama pohon jati yang dalam bahasa Latinnya disebut Tectona grandis di Indonesia tidak ada suku pohon yang bernama Tectona, nama ini adanya di India dekat tepi sungai Godowari dengan nama Cadi, Catti atau Tachatti. Di Jawa Barat orang India yang beragama Hindu sudah lebih dulu masuk ke wilayah ini sejak beberapa tahun sebelum Masehi hingga di abad 4-5 dapat mendirikan kerajaan Tarumanegara di daerah Jakarta. Sementara itu Brascamp (1922) berpendapat (yakin) bahwa pohon jati adalah asli pulau Jawa dengan ditemukannya larikan-larikan jati yang berada pada lahan hutan berbentuk persegi panjang di Bojonegoro dan beberapa tempat lainnya di Jawa.
Altona melakukan penelitian mendalam dengan pengetahuan sejarah yang luas, legenda dan hikayat dari orang-orang tua, kecermatan dan kesabaran yang luar biasa di daerah Bojonegoro dan Saradan, ia sampai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa orang Hindu telah memasukkan jati ke Jawa dan menanamnya secara besar-besaran di Pulau Jawa diperkirakan hingga mencapai 1,5 juta ha. Namun dalam perjalanan waktu yang lama pada tahun 1940 hutan jati tinggal 825.000 ha akibat dari perusakan dan konversi (perubahan fungsi lahan) untuk pertanian, pemukiman dan prasarana umum lainnya. Tentang penyebaran hutan jati di Jawa R. Soepardi mantan Kepala Jawatan Kehutanan RI Kedua (1946-1949) dalam bukunya Hutan dan Kehutanan Dalam Tiga Jaman (1974) memberikan gambaran sebagai berikut:
Hasil penyelidikan N. Beumee-Nieuwland (1922) dari Balai Penyelidikan Kehutanan Bogor menyimpulkan bahwa pohon jati di Jawa paling luas didapatkan pada tanah tertier kapur dan mergel dan yang tumbuh baik dan subur (berbonita IV dan V) terdapat pada tanah-tanah yang dulunya banyak kadar kapur. Tetapi jati juga tumbuh cukup baik di tanah merah dan merah tua asal dari gunung api dan yang terjadi dari kapur. Beriklim agak kering dan agak basah, berketinggian maksimum 700 m dari muka laut. Lahan hutan jati itu pada umumnya kurang baik/tidak menguntungkan untuk budidaya tanaman pangan dalam jangka panjang. Pohon jati dapat tumbuh cukup baik juga pada tanah lempung keras atau agak berpasir.
Bentuk tajuk pohon jati berbentuk bulat agak melebar di bawah dengan dahan cabang dan ranting yang kuat. Dalam susunan hutan dapat membentuk tajuk yang rapat menghijau yang indah. Tumbuh tinggi pohon jati dapat menjulang tinggi hingga 50 m dengan diameter bisa mencapai 2 m. Kulit pohon tebal dan kuat hingga tahan api, pohon tidak mati walau beberapa kali hutan terbakar.
Telah puluhan tahun lamanya kayu jati dipungut dari tegakan hutan jati alam maupun buatan yang menurut ketentuan pengaturan pemungutan hasil hutan telah memenuhi persyaratan untuk ditebang. Bagi tegakan pohon jati tua sekurang-kurangnya setahun sebelum ditebang pohon-pohon jati di petak yang akan ditebang diteres/dimatikan lebih dulu sehingga waktu ditebang sudah mengering dan lebih ringan diangkutnya di samping lebih mempermudah pengerjaannya. Tetapi untuk pohon jati yang masih muda yang dipungut dari perlakuan penjarangan pohon untuk tujuan pemeliharan/pengaturan tegakan hutan yang baik tidak dilakukan peneresan jadi kayu yang dipungut masih segar, basah dan berat. Kayu jati yang dipungut dari hutan sejak tahun 1963 hampir seluruhnya sudah dalam bentuk dolok kasar (logs) kecuali untuk bantalan kereta api, sedangkan jauh sebelumnya sejak masa pemerintahan penjajah Hindia Belanda ada beberapa jenis sortimen kayu non logs yang sebelum dikeluarkan dari hutan diproses dulu menjadi kayu persegi pacakan (balok), kayu persegi pacakan tanpa empulur (Zwalp) dan kayu bulat halus (bulung halus) yang membuatnya sangat khusus oleh ahlinya dengan wadung (kampak berkepala panjang dan berat). Oleh pembeli/pemakai kayu jati, logs jati tersebut diproses lebih lanjut menjadi balok-balok atau papan-papan jati dengan menggunakan gergaji tangan atau mesin dalam berbagai macam ukuran sesuai keperluannya. Jawatan Kehutanan/Perhutani juga mengolah kayu logs jati dengan menggunakan gergaji mesin (sawmill) menjadi kayu persegi berbagai ukuran terutama untuk memenuhi pesanan (order) pembeli di luar negeri (ekspor). Kenampakan serat kayu jati ada beberapa macam ada yang lurus-rata, serat kayu begelombang disebut jati moari, beberapa serat nampak lebih tua warnanya dari serat-serat di sampingnya dengan susunan yang teratur disebut jati doreng dan ada yang disebut jati gambol yang seratnya agak ruwet tetapi enak dipandang yang semuanya menjadikan kayu jati banyak penggemarnya/peminatnya sehingga kayu jati mendapat julukan kayu istimewa. Di negara-negara benua Eropa kayu jati telah lama dikenal sebagai Java Teak sedangkan di USA dan negera lain di benua Amerika menurut Transtoto kayu jati diberikan julukan sebagai ”Magic Woods” karena sangat indah, serba guna, tahan lama tak terbatas.
Sejak beberapa puluh tahun sebelum dan setelah Masehi orang India telah menggunakan kayu jati untuk perkapalan, bangunan perumahan dan perabot rumah tangga, sedangkan orang Cina mengunakan kayu jati untuk pembuatan kapal dagang yang kayunya didatangkan dari India. Tahun 400 M untuk pertama kali kapal dagang Cina yang besar memuat lebih dari 100 orang memasuki wilayah Nusantara (Indonesia). Orang-orang India yang beremigrasi ke Indonesia (Jawa) membawa biji jati untuk ditanam di pulau ini dan menggunakan hasil kayunya untuk perumahan dan perabot rumah tangga seperti di negeri asalnya terutama yang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tradisi tersebut turun menurun berlangsung beberapa ratus tahun berikutnya tidak hanya untuk perumahan rakyat biasa, temasuk juga untuk bangunan istana dan perabotnya untuk raja maupun pejabat kerajaan lainnya.
Pada jaman VOC (Kongsi Dagang Belanda) atau Kompeni (1602-1799) penggunaan kayu jati berkembang pesat terutama setelah Kompeni berhasil menguasai raja-raja dan lebih dari separuh wilayah kerajaan Mataram. Pada mulanya kapal kapal dagang VOC dibuat di negeri Belanda dan kalau terjadi kerusakan tiang-tiang kapal yang tinggi bahannya didatangkan dari Belanda yang jelas lebih mahal dan memerlukan waktu lama. Setelah diketahui di Jawa ada kayu jati yang baik untuk pembikinan kapal, VOC membelinya dari pedagang Cina. Setelah wilayah hutan jati di Pati, Rembang, Blora, Bojonegoro dikuasai, VOC mendirikan Kantor Dagang di Jepara selanjutnya membangun galangan kapal di Rembang sehingga berkembanglah industri perkapalannya dan mengirimkan kayu jati untuk perkapalan ke negerinya. Selain untuk perkapalan Kompeni menggunakan kayu jati untuk selubung laras senjata api masket, untuk membikin tong dan peti, kayu pertukangan untuk bangunan perumahan, benteng pertahanan, pembuatan meubel.Juga untuk kayu bakar dan arang kayu untuk peleburan logam dan masak makanan.
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1942) penggunaan kayu jati meningkat sekali untuk pembuatan pabrik gula, gudang dan pengolahan kopi, gudang tembakau dan lainnya berkaitan dengan pelaksanaan politik “Tanam Paksa”. Juga untuk pembangunan tangsi militer, perumahan dan kantor pemerintah, gudang senjata, beteng pertahanan, sarana dan prasarana umum paska Perang Besar Diponegoro dan penggunaan kayu jati untuk bantalan rel kereta api yang banyak dibangun serta kayu bakar loko kereta api uap.
Pada masa Pemerintahan RI 1950-1998 permintaan pasar (masyarakat) terus meningkat terlebih ketika masa jayanya orde baru di mana cukup banyak orang lama menjadi semacam OKB permintaan akan kayu jati meningkat tetapi karena suplainya terbatas harganya menjadi semakin mahal sehingga masyarakat yang kurang mampu beralih minatnya ke kayu Luar Jawa yang lebih murah. Orang-orang lama yang berasal dari Jawa Tengah khususnya wilayah Solo Raya (Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Sragen, Karanganyar, Wonogiri) dan Yogyakarta Raya masih banyak yang menjadi penggemar fanatik kayu jati terpengaruh oleh orang tuanya.Orang-orang tuanya dulu kalau mau membuat rumah harus dari kayu jati yang baik. Kalau punya kelebihan uang lebih suka dibelikan kayu jati untuk tabungan yang diyakini harganya akan terus meningkat daripada beli emas untuk dijadikan tabungan yang tiap tahun harus dizakati. Tetapi jamannya sudah berubah generasi sekarang sudah lebih realitis dan telah berubah pandangannya apalagi barang penganti (subsitusi) jati yang berharga murah semakin banyak sehngga konsumen kayu jati diduga akan semakin berkurang. Pada periode ini kayu jati banyak diekspor ke Eropa (10 negara), Australia, Jepang, Korea, Taiwan, Timur Tengah dan Singapura dalam berbagai bentuk seperti kayu bulat (teaklog) yang dihentikan pada th 1978, kayu persegi olahan dan gergajin (teak conversion) untuk bangunan perumahan (door and window components) dan mulai tahun 1980 berkembang permintaan kayu jati untuk parket (blok maupun mosaik),th 1985 berkembang permintaan kayu jati untuk flooring/plinth/skirting, vinir, teak plywood, solid door dan furniture.
PENGURUSAN/PENGLOLAAN HUTAN JATI
Seperti telah diutarakan bahwa orang-orang India beragama Hindu telah berimigrasi ke Jawa secara bertahap sejak sebelum Masehi. Yang pertama bermukim di Jawa Barat, yang kedua di tahun 200 bermukim di Jawa Tengah disusul gelombang berikutnya di tahun 600 di Jawa Tengah juga, di Jawa Timur baru mulai tahun 750. Mereka datang dengan membawa benih jati untuk ditanam di tempat tinggalnya seperti tradisi di negerinya. Hutan jati yang terbentuk merupakan hasil budi daya rakyat. Penganut agama Hindu beraliran Wisnu mengeramatkan pohon jati sebagai tempat tinggal sukma mereka setelah meninggal oleh karena itu mereka tidak berani merusaknya. Lain halnya bagi mereka yang beraliran Ciwa mereka tidak sepaham tetapi menghormati pula sehingga tidak mau berbuat semena kepada hutan jati. Penguasa kerajaan juga tidak ikut campur pengurusannya tetapi menaruh perhatian jika ada lahan yang rusak dengan perintah untuk menanaminya. Kebudayaan Hindu mempengaruhi penduduk asli dan terus bekembang apalagi perkawinan campur dengan penduduk setempat semakin meluas. Pada abad 9-10 semakin banyak orang India yang beragama Islam dari daerah Koromandel dan Malabar yang datang ke Sumatera dan Jawa untuk berdagang tetapi tak lama kemudian menetap serta menikah dengan penduduk setempat disertai menyebarkan agama Islam. Kemudian menyusul pendatang dari Timur Tengah yang awalnya bermotif dagang tetapi kemudian tinggal menetap dan memperluas penyebaran agama Islam. Perkembangan agama Islam awalnya di wilayah pelabuhan dan pantai tetapi kemudian berkembang cepat ke arah pedalaman yang puncaknya terjadi di abad 13. Dengan perkembangan penyebaran penduduk seperti itu maka hutan yang mengalami kerusakan untuk dijadikan tanah pertanian dan pemukiman semakin luas dimulai dari daerah pesisir terus berkembang ke pedalaman. Di daerah pedalaman yang kebanyakan berbukit dan bergunung pertanian yang bisa dilakukannya ialah dengan sistem peladangan berpindah meninggalkan hutan yang rusak. Namun penguasa kerajaan tidak menghiraukannya dianggapnya tidak masalah karena hutan masih sangat luas. Hutan juga dijadikan tempat pengasingan bagi penduduk yang melawan pemerintah kerajaan atau tawanan perang.
Kompeni adalah sebutan lain dari VOC (Vereenigde Oost Indiche Compagnie) suatu Perusahaan Dagang Belanda yang didirikan tahun 1602 dan membangun Kantor Pusatnya di Jayakarta (Jakarta ) tahun 1610. Pada awalnya perusahan ini hanya berkonsentrasi pada beli jual rempah-rempah Indonesia untuk dijual ke Eropa tetapi kemudian memperluas usahanya ke bidang pertanian dan perkebunan dengan memproduksi sendiri. Setelah mengetahui di sekitar Jakarta hingga Cirebon banyak kayu jati yang berkualitas baik untuk perkapalan, perumahan, alat rumah tangga, peralatan perang dll. yang baik, Kompeni memperluas usahanya ke kayu jati untuk dikirim ke negeri nya (Belanda) dan lebih bersemangat lagi setelah mengetahui wilayah pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur sangat banyak hutan jati yang kayunya lebih besar dan lebih baik maka Kompeni mendirikan Kantor di Jepara kemudian membangun pabrik Galangan Kapal di Rembang dan Lasem dengan mengambil kayu dari wilayah yang berdekatan hingga Bojonegoro. Kalau awalnya Kompeni hanya membeli kayu jati dari pedagang Cina lama kelamaan ingin menguasai wilayah pemerintahannya dari raja-raja yang berkuasa di Mataram.
Kompeni sebagai Perusahaan Dagang oleh Pemerintah Belanda diberi kepercyaan dan kewenangan pemerintahan seperti membuat perjanjian dengan penguasa setempat dan menjalankan perpolitikan atas nama pemerintah Belanda. Dengan kemampunnya dan kelicikannya Kompeni dapat membuat perjanjian dengan Pangeran-Pangeran yang ingin merebut kekuasaan dari Raja yang berkuasa setelah berhasil raja baru tersebut harus menyerahkan wilayah kerajaannya ke Kompeni (Belanda) hingga akhirnya hampir dua pertiga wilayah kerajaan Mataram berhasil dikuasi Kompeni. Hanya setelah wilayah hutan dikuasai tidak dilakukan pengurusan hutan yang baik Kompeni hanya memerintahkan para Residen dan Bupati untuk melakukan penebangan hutan jati di mana saja untuk memproduksi sejumlah balok- balok jati dan batang-batang panjang kayu jati sesuai perintah Kompeni untuk keperluan pabrik galangan kapal, dikirim ke negeri Belanda dan keperluan Kompeni sendiri di Jawa. Akibatnya hutan jati banyak mengalami kerusakan apalagi para Residen dan Bupati tidak diberi gaji oleh Kompeni hingga akhirnya mencari gaji sendiri dengan menebang pohon lebih banyak dari yang dipesan/diminta Kompeni.
Penyusun Sejarah Kehutanan Indonesia memilahkan masa pengurusan/pemangkuan hutan di zaman Pemerintah Hindia Belanda menjadi Masa Pemangkuan Hutan Non Ilmiah tahun 1800-1850 dan Masa Pemangkuan Hutan Secara Ilmiah tahun 1850-1942.
Kompeni (VOC) ditutup/dibubarkan oleh Pemerintah Belanda tahun 1796 tetapi Pemerintah Belanda baru bisa melakukan pengambilalihan kekuasaan Kompeni tahun 1800 bahkan pengangkatan Penguasa Tertinggi di Hindia Belanda (Gubernur Jenderal) baru tahun 1804 dengan ditunjuknya Wiese sebagai Gubernur Jenderal pertama. Tahun 1807 Pemerintah Belanda mengangkat H.W. Daendeles sebagai Gubernur Jenderal baru tetapi ia baru bisa melaksanakan tugasnya di awal tahun 1808 menggantikan Gubernur Jenderal Wiese. Baru 4 bulan bertugas sudah dapat mengetahui adanya permasalahan di Kehutanan yang harus segera ditangani mengingat pentingnya peranan hutan terutama hutan jati di Jawa yang cukup besar bagi perekonomian Belanda. Tindakan yang dilakukan Daendeles berazaskan :
Selanjutnya diangkat seorang Inspektur Jenderal Kehutanan yang mempunyai kekuasan tertinggi dalam pemberian perintah maupun pengawasan. Inspektur Jenderal dibantu oleh sebuah Kolese yang terdiri dari seorang Ketua dan 4 orang Anggota. Kepada Ketua Kolese diperbantukan seorang Sekretaris dan 12 orang Bosganger (Sinder Hutan) yang bertugas mengawasi langsung pekerjaan di hutan (eksploitasi dan penghutanan kembali). Hutan-hutan dibagi dalam 4 Afdeling Hutan yang masing-masing dipimpin oleh seorang Anggota Kolese. Afdeling I meliputi wilayah Cirebon, Tegal dan Pekalongan, Afdeling II meliputi wilayah Kaliwungu, Semarang dan Jepara, Afdeling III meliputi Juwana, Rembang dan Lasem, Afdeling IV Pojok Timur Jawa mencakup wilayah Bangil ke Timur. Inspektur Jenderal Kehutanan mendapat tugas mengurus hutan negara, mengatur dan mengawasi pelaksanaan eksploitasi dan penghutanan kembali, administrsi keuangan dan menghukum orang-orang yang merusak hutan dan mengganggu hasil kayunya. Inspektur Jenderal Kehutanan bertanggungjawab langsung kepada Gubernur Jenderal. Namun Inspektur Jenderal dan Ketua Kolese serta Anggotanya bukanlah orang yang berpendidikan ahli kehutanan melainkan mantan Pejabat Militer dan Residen karena waktu itu belum ada Ahli Kehutanan. Mereka bekerja berdasarkan pengalaman dan latar belakang pendidikan masing-masing. Walaupun demikian Daendeles diakui oleh banyak pihak merupakan orang pemerintah pertama perintis/peletak dasar pengelolaan hutan di Hindia Belanda. Sayangnya ia tidak lama berkuasa dan pengganti-penggantinya tidak sungguh-sungguh meneruskan konsepsinya bahkan ada yang kebijakannya berlawanan yang berakibat memperparah kerusakan hutan, seperti Gubernur Jenderal Raffles dan Van den Bosch yang terkenal dengan kebijakan “Tanam Paksa”nya yang menghancurkan banyak sekali hutan jati produktif untuk pembuatan perkebunan tebu, tembakau, kopi, pembuatan pabrik gula, pengasapan tembakau, pergudangan, perumahan pegawai dan untuk kayu bakar.
b. Pengelolaan Hutan Ilmiah
Orang dan juga Pemerintah mulai gelisah dengan terjadinya kerusakan hutan yang semakin parah dan belum menemukan konsep bagaimana melestarikan hutan yang memiliki bermacam fungsi penting bagi kepentingan rakyat dan negara. Diperlukan adanya ahli-ahli Kehutanan yang dapat mengkonsepkan secara ilmiah. Akhirnya Gubernur Jenderal J. Rochussen(1845-1851) meminta ke Pemerintah Pusat (Belanda) supaya dikirim ahli-ahli Kehutanan Jerman untuk ditugaskan di Hindia Belanda guna membangun hutan dan kehutanan di sini. Tahun 1849 permintaan tersebut dipenuhi dengan didatangkannya 3 orang ahli kehutanan yaitu Bennich, Mollier dan Balzar. Di Hindia Belanda Balzar dan Mollier ditugasksn untuk melakukan Pengukuran dan Pemetaan serta Pembagian Kelas Hutan, Bennich di bidang Eksploitasi. Pada tahun 1855 didatangkan lagi seorang Ahli Kehutanan Jerman Von Rooster yang sudah 15 tahun berpengalaman, yang pada tahun 1858 diangkat menjadi Inspektur Boschwezen. Menyusul kemudian di tahun 1857 kedatangan 3 orang Belanda (Beijerinck, Noodt dan Stuffken) lulusan Sekolah Tinggi Politeknik Pertanian Carlsruhe Jerman. Setelah beberapa tahun bekerja para Ahli Kehutanan diminta memberikan saran/usul untuk pemangkuan, eksploitasi dan budidaya hutan jati yang baik (ilmiah). Pada tahun 1860 berhasil ditetapkan pembagian wilayah hutan menjadi 13 distrik hutan yaitu Sumedang-Cirebon Barat, Tegal-Cirebon Timur, Pekalongan, Semarang, Jepara Selatan, Jepara Utara, Rembang (2 distrik), Madiun-Kediri Barat, Surabaya, Pasuruan-Kediri Timur, Probolinggo dan Besuki. Usul dan saran dari para Ahli Kehutanan setelah ditelaah dan dipertimbangkan untuk disetujui akhirnya dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (Reglemen Hutan) pada tahun 1865 dan dalam Instruksi Kerja/Petunjuk Pelaksanaan.
Karena dalam praktik ditemukan cukup banyak kelemahan dan kekurangan seperti hutan jati dibedakan antara hutan jati yang dikelola secara teratur dan tidak teratur maka terjadi di hutan jati yang dikelola tidak teratur banyak mengalami karusakan. Juga banyak keluhan mengenai pembatasan dalam pengadaan kayu untuk rakyat, pembangunan perumahan, perkapalan dan lain-lain maka Reglemen 1865 ditinjau kembali dan diganti dengan Reglemen Hutan 1874 dan pada tahun 1897 diganti dengan Reglemen baru bernama “Reglemen Untuk Pengelolaan Hutan di Jawa dan Madura 1897” diikuti dengan Peraturan Pelaksanaannya yang disebut Reglemen Dinas. Reglemen Hutan 1897 beda jauh dengan Reglemen 1874 banyak berisi perbaikan dan penegasan seperti hutan di Jawa dibedakan antara hutan jati dan hutan rimba, hutan rimba dibedakan dalam hutan tetap dan tidak tetap, ditegaskan bahwa pemangkuan hutan mencakup penataan hutan-eksploitasi hutan-pengamanan hutan. Untuk pemangkuan hutan dibentuk distrik hutan yang dikelola oleh Pejabat Boschwezen, eksploitasi pada hutan yang sudah ditata tetap harus didasarkan kepada Rencana Perusahaan yang telah disahkan, pelaksanaan eksploitasi hutan dilakukan oleh Pemborong yang ditetapkan secara tender, pemangkuan hutan rimba yang tidak tetap dilakukan oleh Kepala Pemerintah Daerah dibantu oleh Dinas Pertanian dan Boschwezen, pengamanan hutan ditugaskan kepada pejabat kehutanan orang Eropa dan Pribumi atau kalau tidak ada ditugaskan kepada polisi distrik dan polisi desa. Setelah berjalan 16 tahun Reglemen Hutan 1897 diganti dengan Reglemen Hutan Untuk Jawa Madura 1913 tetapi Peraturan Pelaksanaannya berlaku untuk seluruh wilayah Hindia Belanda. Ada 23 perbedaan antara Reglemen Hutan 1913 dengan Reglemen Hutan 1897 yang bersifat perbaikan, penyempurnaan dan penegasan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan kehutanan, teknologi dan pengalaman praktik. Salah satu hal penting yang ditetapkan adalah dimasukannya kegiatan Penelitian dalam pelaksanaan Pengelolaan Hutan. Pada tahun 1927 Reglemen Hutan 1913 diganti dengan Ordonansi Hutan Untuk Jawa dan Madura 1927 dengan perubahan/perbedaan antara lain diberikannya difinisi yang tegas tentang istilah hutan, pohon, hasil hutan,panen teratur,pnnen tidak teratur,pengamanan hutan menjadi perlindungan hutan, Bosch Proefstation menjadi Bosbouw Proefstation dan bermacam istilah lain. Peraturan Pelaksanaan Ordonansi Hutan 1927 ditetapkan dalam Verordening Hutan 1932.
Pengelolaan hutan secara ilmiah ditandai dengan hasil kerja yang didukung dengan penerapan ilmu dan teknologi yang dilakukan oleh para ahli dari berbagai bidang ilmu (geodesi, botani, kimia, tanah, teknologi, teknik bangunan, pertanian, perencanaan, pengelolaan, kehutanan, foto udara, hukum dan keamanan, ekonomi dan keuangan seperti dalam: Pengukuran dan Pemetaan, Perencanaan dan Penataan Hutan, Pengelolaan, Eksploitasi, Transportasi, Budidaya Pembibitan dan Penanaman, Pengolahan Hasil Hutan, Pemasaran, Penatausahaan Hasil Hutan dan Keuangan. Pengukuran dan Pemetaan hutan di Jawa yang dilakukan dari tahun 1849-1940 menghasilkan data luas hutan 2.765 juta ha terdiri dari hutan jati 0,824 juta ha dan hutan rimba 1,941 juta ha dengan peta-peta berskala 1:10.000, 1:25.000 dan 1:100.000. Sistem penghutanan kembali yang tadinya dilakukan secara alami diganti dengan sistem buatan secara tumpangsari yang ditemukan oleh Ir. Buurman van Vreden (1873) yang lebih menjamin akan keberhasilannya. Hutan jati dibagi dalam blok-petak-anak petak yang dalam satuan pengelolaannya dikelompokan dalam Resort, Bagian dan Kesatuan Pemangkuan Hutan (1897) yang ditata tetap dan untuk perencanaan disusun Rencana Perusahaan untuk jangka waktu 10 tahun meliputi berbagai bidang kegiatan yang dibuat untuk menjamin terlaksananya Pengelolaan Hutan Lestari. Sistem penataan hutan, pengaturan hasil, perangkat upaya peletarian hutan dan sarana pemangkuan hutan diciptakan oleh ahli Perencanaan Hutan Ir. A. E. J. Bruinsma.
Jepang menjajajah Indonesia dari tahun 1942-1945 dengan memberlakukan sistem Pemerintahan Militer. Pemerintah Jepang tidak menaruh perhatian kepada Pengelolan Hutan yang baik melainkan hutan hanya dipandang sebagai sumber daya ekonomi yang dapat dimanfaatkan sebesar mungkin untuk mendukung pemenangan perang melawan Amerika dan sekutunya. Hutan terutama jati banyak yang rusak parah karena pemungutan kayu jati secara semena-mena untuk digunakan bagi bahan bakar pengganti batubara mesin up (kereta api maupun kapal laut), bangunan perumahan, jembatan, kapal, pembuatan senjata di samping juga untuk lahan produksi pangan.
Pada awal berdirinya NKRI tahun 1945 Pemerintah dan Bangsa Indonesia menghadapi banyak masalah berat. Negeri yang baru berdiri ini harus menghadapi perang dengan Belanda yang ingin menjajah kembali dengan sebutan Perang Mempertahankan Kemerdekaan RI yang belangsung dari tahun 19451949. Disusul kemudian menghadapi perang melawan para Pemberontak di beberapa daerah yang melawan Pemerintah Pusat karena ingin menjadi Negara sendiri seperti DI/TII, RMS, PRRI dan PERMESTA. Walaupun demikian Pemerintah tetap menaruh perhatian terhadap pengelolaan hutan di Jawa meski dengan berbagai keterbatasan dana mupun sumber daya manusia. Para pimpinan Kehutanan yang ada kebanyakan berpendidikan SLTA ke bawah, baru ada seorang Insinyur Kehutanan. Namun dengan semangat juang yang tinggi mereka bekerja keras membangun hutan dan prasarananya yang banyak rusak akibat perang di zaman Jepang. Untungnya dari aspek pengelolaan hutan-hutan di Jawa sudah tertata baik sejak akhir jaman Hindia Belanda tinggal memperbaiki kerusakan-kerusakan dan melanjutkan serta menyempurnakan program yang telah ada. Dari tahun 1950-1960 prestasi kerja perencanaan, eksploitasi, penanaman dan pemeliharaan hutan, pembangunan sarana dan prasarana, pengolahan dan penjualan hasil hutan terus membaik. Pada tahun 1961 Pemerintah membentuk Perusahaan Negara (PN) dengan maksud dan tujuan untuk lebih memberdayakan kekayaan negara, meningkatkan pelayanan umum bagi masyarkat, memupuk pendapatan bagi negara khususnya perolehan devisa yang sangat dibutuhkan. Hutan di Jawa Tengah dan Jawa Timur dikelola oleh BUMN dengan nama PN Perhutani. Akan tetapi karena timbulnya krisis politik nasional yang berpuncak dengan terjadinya Pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965 dan krisis ekonomi keuangan negara, apa-apa yang telah direncanakan banyak yang terhambat hingga hasilnya kurang optimal. Banyak hutan yang dirusak dan diduduki oleh BTI/PKI.
Dengan disehatkannya ketertiban dan keamanan umun, bangkitnya dan pesatnya perkembangan ekonomi nasional, menguatnya daya beli msyarakat menimbulkan peningkatan permintaan kayu jati yang besar baik dari pasar di dalam maupun luar negeri. Usaha pembangunan sumber daya hutan, pemungutan dan pengolahan hasil hutan maupun pemasarannya terus bertambah baik sehingga dapat dikatakan pengusahaan hutan jati di Jawa dapat mencapai kejayaannya. Sebagai Perusahaan Negara dalam pertanggungjawaban keuangannya tidak pernah merugi dan selalu dapat memenuhi kewajiban kewajibannya kepada negara. Kebijakan Pemerintah terhadap Perusahaan Negara (PN) waktu itu tidak harus mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tetapi lebih banyak ditekankan kepada peningkatan pelayanan umum bagi masyarakat dari asset negara yang dikelola sesuai fungsi dan peran masing-masing dan bimbingan teknis kepada PN masih dilakukan oleh Departemen Teknis yang melingkupinya. Hasil usaha perbaikan manajemen dan operasionalisasinya bertambah baik termasuk dalam usaha pembinaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Perhutanilah yang pertama sejak 1973 merintis dan mengembangkan uaha tersebut mulai dari usaha peningkatan kesejahteraan pekerja dan petani hutan dengan proyek-proyek pembuatan rumah base camps untuk pekerja hutan dilengkapi dengan penyediaan air bersih, sarana pendidikan, pembuatan kerajinan tangan, pemberian sarana produksi pertanian kepada petani hutan (bibit, pupuk, insektisida), hewan ternak sapi dan kambing serta bantuan pakan ternak (rumput gajah). Kepada pekerja dan petani hutan diberikan pembelajaran dan pelatihan berternak lebah untuk menghasilkan madu yang dapat dijual guna menambah penghasilannya. Usaha-usaha tersebut dituangkan dalam proyek Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Untuk kelancaran pelaksanaannya dibuat pernyataan kerjasama Mantri-Lurah (Malu) sebagai pimpinan Perhutani dan Pimpinan Masyarakat terdepan. Dalam sistim penghutanan kembali diadakan perubahan dan perbaikan untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan sebagai partner usaha yang bertujuan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dituangkan dalam bentuk proyek Pembangunan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dengan bantuan berbagai macam dana dan daya dari Perhutani. Usaha perbaikan dan pengembangan di bidang indutri pengolahan hasil hutan dan pemasarannya di dalam dan ke luar negeri juga ditingkatkan guna meningkatkan pendapatan perusahaan. Pendapatan Perusahaan sekitar 85% berasal dari penjualan kayu diantaranya 70 % dari kayu jati. Namun persentase ini kemudian mengalami penurunan sedangkan pendapatan dari hasil hutan non kayu terus meningkat. Tamu-tamu dari luar negeri yang ingin meninjau, mempelajari dan mendiskusikan beberapa hal maupun yang bersifat rekreatif terus meningkat jumlahnya. Perhutani pernah mendapatkan penghargaan dunia sebagai Pengelola Hutan Jati Lestari yang baik. Dan ketika Kongres Kehutanan Dunia ke-VIII tahun 1978 diselenggarakan di Indoneia (Jakarta) beberapa kegiatan Perhutani di lapangan mendapat perhatian dan kunjungan dari delegasi banyak negara yang ikut meninjaunya dengan kesan dan pesan yang baik. Perhutani dikenal memiliki ahli pembuatan tanaman hutan sampai Ditjen Kehutanan meminta agar Perhutani mengirimkan para petugasnya untuk memberikan bimbingan dan pelatihan pembuatan hutan di Luar Jawa ketika awal-awal dimulainya Proyek Inpres Reboisasi. Menteri Kehutanan Ir. Hasjrul Harahap memerintahkan Perhutani untuk melaksanakan reboisasi hutan jati di NTB, NTT dan Timor Timur selama 12 tahun dan telah dilaksanakan dengan hasil amat baik. Akan tetapi perusakan hutan jati terutama pencurian kayu sulit diatasinya
Pada bulan Mei 1998 Presiden Soeharto (Pemimpin Orde Baru) dijatuhkan/diturunkan oleh Kelompok Masyarakat yang menamakan dirinya sebagai Orde Reformasi.Pimpinan Negara dan Pemerintahan (Presiden) digantikan oleh Dr. Ir .B. J. Habibie. Tuntutan Orde Reformasi adalah agar Pemerintahan yang baru benar-benar dapat menegakan demokrasi, menegakan hukum dan keadilan serta memberantas Korupsi-Kolusi-Nepotime (KKN). Sayangnya proses penjatuhan Pimpinan Orde Baru diikuti dengan tindakan anarkis dari kelompok-kelompok masyarakat yang ada di kota-kota (pembakaran gedung, mall, rumah tinggal disertai pembunuhan dan perkosaan) dan di daerah terjadi perusakan/ penjarahan hutan besar-besaran di Jawa mupun Luar Jawa, ditebangi dan diambil kayunya selama 3 tahun lebih hingga menimbulkan kerusakan parah atas jutaan ha hutan yang produktif. Dalam hal ini Perhutani mengalami kerugian besar lebih dari 45 % hutan produktifnya hancur lebur. Hutan-hutan jati tua yang dapat menghasilkan kayu jati berkualitas tinggi baik dari hutan alam maupun hutan buatan hampir habis. Kekacauan ini menimbulkan krisis besar di berbagai bidang yang diberi nama “Krisis Multi Dimensi”memakan waktu lama dan membutuhkan biaya yang besar untuk menormalkan kembali. UUD 1945 dirombak/direformasi, Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan masa jabatan dibatasi hanya 10 tahun, Gubernur-Bupati/Walikota dipilih langsung, jumlah partai bertambah banyak, kebebasan berpendapat dibuka seluas-luasnya yang dalam pelaksanaan banyak yang kebablasan tak terkendali dan banyak lagi hal-hal yang harus direformasi termasuk otonomi daerah. Kelompok-kelompok masyarakat yang membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) jumlahnya semakin besar dan masalah kontrol masyarakat terhadap Pemerintah semakin banyak dan berani. Hampir di semua organisasi pelaksanaan fungsi pemerintahan harus dibentuk Dewan Pengawas (Komisioner) yang bertugas mengawasi serta mengkritisi kebijakan dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh aparatur Negara dan di masyarakat LSM-LSM inilah yang melakukannya di samping dari Partai-Partai. Undang-Undang Kehutanan No 5 Tahun 1967 diganti dengn UU Kehutanan No 41 Tahun 1999 yang lebih liberal dan menampung lebih banyak tuntutan masyarakat. Peran BUMN juga berubah terutama setelah dibentuk Depertemen/Kementerian BUMN. Atas desakan dari beberapa pihak BUMN sebagai pengelola asset negara dituntut harus memberi sumbangan yang lebih besar lagi kepada negara berupa dividen yang didapat dari keuntungan BUMN. Akibatnya BUMN harus berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya meski dengan terpaksa harus mengorbankan kaidah keilmuan atau pengalaman baik dalam teknik pengelolaan hutan yang ideal. Tuntutan masyarakat untuk mendapatkan kesejahkaran yang terus meningkat kualitas dan kuantitasnya dari usaha pengelolaan hutan menambah berat beban Perusahaan. Perusahaan (Perhutani) dihadapkan pada tuntutan yng semakin berat dari Pemerintah maupun Masyarakat yang tidak mudah untuk memenuhinya sementara kondisi lapangan mengalami banyak penurunan. Perusahaan harus mencari penghasilan dari usaha non kayu seperti getah pinus yang harus terus ditingkatkan produksinya untuk diolah menjadi gondorukem dan terpentin guna diekspor atau dijual langsung di dalam negeri. Demikian juga usaha peningkatan penghasilan dari jasa lingkungan seperti wisata, air pegunungan, dan sumber energi. Usaha ini ternyata berhasil mendongkrak penghasilan Perhutani yang porsinya semakin besar. Di alam demokrasi pasca reformasi kebebasan berpendapat dan bertindak sepertinya tanpa batas bisa dilakukan kapanpun dan di manapun termasuk mempengaruhi aparatur negara yang mengurus sesuatu hal baik dalam penyusunan kebijakan maupun pelaksanaan suatu kegiatan. Pasca reformasi Perhutani selalu mendapat penilaian yang tidak sedap dikatakan feodal, seperti negara dalam negara dan tidak becus mengurus hutan. Wewenang upaya pengamanan hutan direduksi seperti Polisi Khusus Kehutanan yang ada harus dibubarkan, sebelumnya senjata api yang dimiliki ditarik, pengeluaran pas kayu dicabut. Beban biaya untuk penghutanan kembali hutan yang dijarah rakyat saat dan pasca huru hara reformasi dalam jumlah yang begitu luas amat memberatkan keuangan Perhutani. Terakhir areal hutan Perhutani diambil oleh Pemerintah seluas 1,1 juta ha untuk dijadikan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) termasuk di dalamnya kawasan hutan yang baik untuk pengusahaan hutan jati. Oleh karena belum ada kejelasan peraturan pelaksanaannya secara konkrit dan detail di lapangan telah terjadi perusakan hutan yang sulit untuk diatasinya disebabkan perusak hutan sudah merasa punya hak untuk berbuat apapun di areal hutan tersebut dan menganggap Perhutani tidak berwenang untuk melarangnya apalagi menuntut secara hukum. Namun demikin Perhutani berusaha dan terus berinovasi untuk bisa bangkit kembali minimal survive. Terakhir dibentuk holding yang induknya Perum Perhutani dan PT Inhutani I, II, III, IV dan V menjadi anak perusahaan.
MUNGKINKAH PENGUSAHAAN HUTAN JATI DIPERTAHANKAN
Untuk dapat menjawab pertanyaan ini penulis telah meminta pendapat dari beberapa tokoh Rimbawan yang pernah memimpin perusahaan pengelola hutan jati di Jawa dan meminta informasi dan pendapat dari Pimpinan Perhutani yang diwakili oleh Direktur Sumber Daya Hutan Perhutani serta mengutip pendapat Prof Dr. Ir. Agus Pakpahan, M.S. yang dimuat dalam Majalah Rimba Indonesia Volume 77, Hasilnya seperti berikut ini:
PENUTUP
Demikianlah gambaran tentang pengusahaan hutan jati di Jawa yang bersejarah sejak zaman kompeni (VOC), Pemerintah Hindia Belanda, zaman Jepang dan zaman Pemerintah RI . Walaupun sejak tahun 2000 mengalami kemunduran oleh berbagai sebab banyak tokoh rimbawan dan masyarakat yang menghendaki sebaiknya Pengusahaan Hutan Jati di Jawa diteruskan/dipertahankan. Nilai historisnya sangat tinggi seperti hasil rempah-rempah Indonesia yang sejak berbad-abad sangat disukai/diminati oleh negara-negara di Eropa, Timur Tengah, India dan Asia Tenggara dan jalur perdagangan rempah-rempah tersebut tengah digali dan dihidupkan kembali termasuk wilayah produksi rempah-rempah Indonesia yang tersohor. Sama halnya dengan jalur perdagangan sutera antara Timur Tengah-India-China.