Apa dan Siapa

Prof. Dr. Ir. DANIEL MURDIYARSO, M.S.

Oleh: Ir. Sudjarwo

(Pengasuh Majalah Rimba Indonesia)

Murdiyarso, pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 10 September 1955, kota yang dibanggakannya ini dulu dikenal sebagai kota minyak dan jati. Dia menikah dengan Dr. Endah Retno Palupi, dikaruniai 3 orang anak: Lukas Purbadi Murdiyarso (Praktisi Psikologi) – istri Ruth Novalinda, Lydia Sihanti Murdiyarso (Peneliti Biomedis) – suami Damian Oyong, dan Hana Estiti Murdiyarso (Desainer). Mereka juga dikaruniai dua orang cucu laki-laki.

Murdiyarso memiliki hobi yang sudah tidak banyak lagi peminatnya, yaitu mengumpulkan perangko. Seperti filatelist lainnya, karena semua orang menggunakan surat elektronik atau email, dia kehilangan bahan baku. Namun dia tidak menghentikan kesukaannya dan terus memelihara koleksi ribuan benda kecil menarik dari berbagai negara itu. Baginya, memelihara kebun seperti merawat perangko, dapat merilis stress.  Dia memotong rumput dan pagar hidup nya sendiri. ”Tukang kebun boleh mengerjakan yang lain, tapi rumput dan pagar adalah jatah saya”, pungkasnya dalam wawancara dengan Rimba Indonesia.

TAK PERNAH BERHENTI BELAJAR

Murdiyarso mengawali pendidikan dasar di SD Negeri 4 Cepu, Jawa Tengah, lulus tahun 1965. Melanjutkan ke SMP Katolik di kota yang sama, lulus tahun 1969, dan menyelesaikan sekolah menengahnya di SMA Negeri Cepu tahun 1972.  Kota Cepu yang dikelilingi hutan jati yang dibanggakannya ini rupanya memberi motivasi Murdiyarso untuk meneruskan studi di Fakultas Kehutanan. Waktu itu dia memiliki dua pilihan UGM dan IPB. Tapi keputusannya untuk ke Bogor menghantarkannya menjadi Sarjana Kehutanan termuda, karena studi di  IPB memungkinkannya selesai sebelum umurnya genap 22 tahun pada tahun 1977.

Karena merasa tidak siap bekerja, Murdiyarso muda segera melanjutkan studi S2 nya di bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, di IPB juga, dan lulus tahun 1979. Penelitiannya tentang Neraca Air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo Hulu membuatnya paham, kenapa tempat kelahirannya yang berada di DAS Bengawan Solo Hilir selalu banjir setiap musim hujan. Kawasan hulu ternyata miskin, rusak dan tidak terjamah teknologi sederhana sekalipun. Dia juga melihat pemahaman konsep DAS dan cara menangani masalah di antara lembaga pemerintah tidak sama, bahkan cenderung bertentangan. Hal itu sudah terjadi puluhan tahun dan terus terjadi hingga beberapa dekade berikutnya.

Sementara banyak dosen IPB belajar ke Amerika, Jepang atau Australia, Murdiyarso melanjutkan studi di bidang  Meteorologi untuk studi S3 nya di University of Reading, Inggris.  Di titik ini terjadi perubahan yang mendasar tentang identitas dirinya, karena di Paspor pertamanya yang diterbitkan tahun 1982 namanya menjadi Daniel Murdiyarso. Cukup panjang ceritanya, tapi dua nama itu memudahkan dirinya dalam sistem registrasi apapun selama studi di Inggris.

Studi S3 di Inggris tidak mengharuskan pesertanya mengikuti kuliah (course work). Daniel langsung merancang penelitian bersama para pembimbingnya dan langsung bekerja di lapangan. Dengan penelitian menghasilkan disertasi yang berjudul “Forest Evaporation”, Daniel menggelar penelitiannya di berbagai tempat  yang memiliki karaketeristik hutan dan iklim berbeda di Wales, Skotlandia, Brasil dan Indonesia.

Untuk konteks Indonesia, hasil penelitiannya cukup kontroversial karena dia mendapati bahwa hutan tidak menghasilkan air, seperti persepsi banyak orang kala itu. Tapi justru ”menghabiskan” hingga 20-25 persen karena dievaporasikan. Selanjutnya dia menegaskan bahwa angka tersebut jauh lebih besar di hutan-hutan sub tropis yang ”minum” hingga 40 persen. Dia juga mencoba ”menghibur” rekan-rekan birokratnya, ”kita harus merelakan kehilangan air 20 persen itu, karena tutupan hutan menjaga tanah yang rawan erosi dan longsor.

Gelar Ph.D. diraih pada tahun 1985, ketika Daniel Murdiyarso berusia 30 tahun. Lebih dari itu dia dan istrinya juga membawa pulang 2 orang anak yang dilahirkan di Inggris.

MERANGKAT DAN MELOMPAT

Sekembalinya dari Inggris Daniel Murdiyarso telah mengembangkan dan mengajar berbagai mata kuliah di Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB untuk S1- S3, antara lain Hidrometeorologi, Bencana Hidrometeorologi, Mitigasi Perubahan Iklim, Iklim dan Peradaban Manusia, dan Kebijakan Iklim.  Hingga saat ini, menjelang pensiun di tahun 2025, Daniel Murdiyarso telah membimbing dan meluluskan lebih dari 100 mahasiswa S1, 45 mahasiswa S2, dan 20 mahasiswa S3.

Daniel Murdiyarso menapaki karier pegawai negeri dan akademisi sejak menjadi Asisten Ahli, Golongan IIIa, di Departemen IPA, Fakultas Pertanian IPB di tahun 1980. Golongan ini dia susuri secara tekun selama 13 tahun hingga tahun 1993. Begitu menginjak Golongan IVa dengan Jabatan Lektor Kepala, Daniel melompat ke Jabatan Guru Besar di bidang Ilmu Atmosfer dalam waktu 6 tahun di tahun 1999, saat usianya 44 tahun.

Orasi Ilmiahnya dalam Sidang Pengukuhan Guru Besar IPB pada tahun 1999 itu berjudul “Perlindungan Atmosfer melalui Perdagangan Karbon: Paradigma Baru dalam Sektor Kehutanan”. Pada waktu itu judul ini terdengar sangat asing di telinga banyak orang, termasuk rimbawan. Orang awam berfikir, sektor kehutanan dapat berdagang arang dalam karung kepada negara maju. Namun sekarang topik ini menjadi pokok pembicaraan yang luas berbagai kalangan yang berkecimpung di bidang perubahan iklim, baik secara nasional maupun internasional. Kaum pebisnis yang paham kredit karbon dalam konteks perubahan iklim juga berusaha ingin tahu bagaimana sektor kehutanan dikaitkan dengan isu perubahan iklim global. Begitu juga para pemegang konsesi HPH, mulai antusias dengan peluang bisnis baru.

PENELITI DAN PENULIS YANG PRODUKTIF 

Sejak menyelesaikan studi S3 nya Daniel Murdiyarso menikmati dana penelitian yang disediakan pemerintah melalui Ditjen DIKTI dalam skema Riset Unggulan Terpadu (RUT). Selama 5 tahun berturut-turut dia meneliti emisi gas rumah kaca, khususnya metana (CH4) dari  lahan sawah merupakan isu global yang strategis.  Milestone yang dicapai proyek adalah penentuan Emission Factors (EF) CH4 dari berbagai tipologi sawah di Indonesia.  Awalnya dalam laporan IPCC tahun 1990 yang menggunakan default EF, Indonesia diduga mengemisikan 12 Tg CH4 per tahun (1 Tg (Teragram) = 1×1012 g).  Namun dengan country-specific EF yang diterbitkan Dr. Murdiyarso, dkk., emisi sawah Indonesia hanya 4 Tg per tahun.

Kiprah penelitian internasional Daniel Murdiyarso dimulai ketika pada tahun 1995 dia dipercaya oleh International Geosphere Biosphere Program (IGBP) untuk memimpin Global Change Impact Center for Southeast Asia (IC-SEA) yang berkedudukan di Bogor.  Dengan mandat global dan bekerja secara regional Daniel memilki kesempatan menjembatani science-policy gap yang lebar. Kegiatan ini menuntut penggalangan dana global di tengah-tengah krisis moneter tahun 1997/1998 sehingga IC-SEA bertahan lebih panjang dari rencana awal 3 tahun.

Di antara tema penelitian yang ditekuni selama 5 tahun hingga tahun 2000 adalah Alternative to Slash-and-Burn (ASB).  Penelitian yang mencari win-win solution di tengah maraknya konversi lahan di Indonesia juga diterapkan di Cameroon, Brazil dan Peru ini didukung oleh GEF/UNDP.  Posisinya sebagai Lead scientist di bidang emisi gas rumah kaca, Murdiyarso dan tim telah menerbitkan belasan publikasi ilmiah dan makalah kebijakan dari proyek ini.

Selanjutnya Daniel makin jauh terlibat dalam penelitian berskala besar dan internasional ketika diundang bergabung bersama Center for International Forestry Research (CIFOR). Debut penelitian di bidang adaptasi perubahan iklim makin gencar ketika dia memimpin Tropical Forests and Climate Change Adaptation (TroFFCA) selama 3 tahun (2007-2009), Sebagai Lead scientist, Murdiyarso berusaha memahami kaitan antara adaptasi untuk hutan dan hutan untuk adaptasi perubahan iklim, khususnya yang berkaitan dengan kekeringan dan kebakaran, banjir dan tanah longsor, serta ketahanan pangan di Indonesia, Filipina, Mali, Ghana, Burkina Faso, Costa Rica, Honduras dan Guatemala.

Mulai tahun 2010, Daniel terlibat dalam riset jangka panjang (10 tahun) bertajuk Global Comparative Study on Reducing Emission from Deforestation and forest Degradation (GCS REDD). Selain menghasilkan artikel ilmiah, dampak penelitian besar ini telah meningkatkan kesadaran banyak negara akan pentingnya memiliki strategi nasional penanganan perubahan iklim sekaligus memenuhi obligasi perjanjian internasional. Peran Daniel yag menonjol adalah dalam sistem pengukuran, pelaporan dan verifikasi (MRV) pada tingkat pusat dan daerah di beberapa negara tropis.

Dalam kurun waktu yang sama (10 tahun), secara paralel Daniel Murdiyarso juga memimpin penelitian global berskala besar, Sustainable Wetlands for Adaptation and Mitigation Program (SWAMP) yang sekaligus mempelajari kemampuan lahan basah dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Kontribusi penemuan paling signifikan dalam penelitain ini adalah bahwa ekosistem mangrove memiliki cadangan karbon 3-5 kali hutan terrestrial dan kapasitasnya dalam menanggulangi kenaikan muka laut. Penemuan ini mendorong banyak pemerintah, termasuk Indonesia memasukkan aspek blue carbon dalam strategi kebijakan iklim nasional.

Dengan kegiatan penelitian yang padat itu Daniel Murdiyarso telah mempublikasikan lebih dari 135 artikel di berbagai jurnal ilmiah (termasuk yang memiliki Impact Factor yang tinggi seperti Science, Nature, dan PNAS), belasan Book Chapter dan 8 buah buku.  Lembaga pemeringkat, Scopus memberi nilai yang namanya h-index 52, Google Scholar 73, Web of Science 42 dan ResearchGate 51.  Sebagai penjelasan, jika seseorang memiliki h-index 10 artinya dia memiliki 10 artikel yang masing-masing disitasi paling sedikit oleh 10 orang, Artinya, Daniel Murdiyarso yang memiliki ratusan publikasi ilmiah telah disitasi puluhan ribu kali oleh peneliti lain (catatan Google Scholar menunjukkan angka 27,000 sitasi).

Keterlibatan Murdiyarso, seperti kebanyakan penulis yang produktif tidak hanya sebatas menjadi penulis. Dia juga melayani sebagai pengulas (peer reviewer) puluhan artikel orang lain yang memiliki bidang ilmu yang terkait. Keputusan ini dia ambil secara sadar mengingat perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat tergantung pada kesediaan ilmuwan memberikan waktu dan perhatian terhadap pekerjaan mitranya. «Kita tidak boleh egois menginginkan karya kita diulas orang lain, kita juga harus bersedia membantu orang lain. Tidak hanya itu, dia juga menjadi Editor beberapa jurnal ilmiah internasional, antara lain: Mitigation & Adaptation Strategies Global Change Journal, Journal Environmental Science and Policy, Wiliey Interdisciplinary Review (WIRE) – Climate Change. Jurnal tersebut berturut-turut memiliki faktor dampak (impact factor, IF), sebesar 4.0, 6.0 dan 9.2.

KIPRAH INTERNASIONAL 

Jejaring internasional Daniel Murdiyarso mulai dibangun sejak dia diangkat menjadi Direktur Pusat Studi Dampak Perubahan Global (Global Change Impact Center) di bawah International Geosphere Biosphere Program (IGBP) yang berkedudukan di Stockholm. Meskipun ruang kerjanya hanya di kawasan Asia Tenggara, dalam kurun waktu 5 tahun, sejak 1995 waktunya dihabiskan untuk membantu meningkatkan kapasitas ilmuwan dan pengambil kebijakan di kawasan dalam memahami isu-isu perubahan global, termasuk perubahan iklim melalui pelatihan, penelitian dan bantuan peralatan.

Dalam posisi itu, dengan mudah Daniel terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah dengan duduk sebagai Scientific Steering Committee (SSC) berbagai inisiatif internasional seperti  (i) Global Change System for Analysis, Research, and Training (START), berkedudukan di Washington DC, USA. (ii) Asia-Pacific Network (APN) for Global Change Research, berkedudukan di Kobe, Jepang, dan (iii) International Council for Scientific Union (ICSU), berkedudukan di Paris.

Latar belakang ilmiah Murdiyarso mengundang berbagai lembaga internasional untuk menjadikan dirinya sebagai penasihat (Advisor) untuk membangun berbagai standard yang diberlakukan secara internasional seperti (i) BioCarbon Fund, mekanisme pendanaan yang terkait dengan penggunaan hutan untuk offset emisi karbon, dari Bank Dunia, (ii) Forest Carbon Partnership Facilities (FCPF), mekanisme pendanaan dalam penurunan emisi dari alih guna lahan, juga dari Bank Dunia, dan (iii) Climate, Community, Biodiversity Alliance (CCBA) Standards untuk melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan penurunan emisi dari sektor lahan, dari Conservation International.

Dengan berbagai pengalaman internasional tersebut, menjelang akhir dekade 1990-an, selama 6 tahun, Daniel Murdiyarso menduduki posisi sebagai Majelis Wali Amanah (Board of Trustees, BoT), International Center for Research on Agroforestry (ICRAF), yang berkedudukan di Nairobi, Kenya. Posisi ini membuatnya makin paham peranan Consultative Group of International Agricultural Research (CGIAR) yang pada waktu itu memiliki 16 pusat penelitian yang tersebar di pelbagai pojok bumi, sebelum akhirnya dia sendiri bergabung ke CIFOR, anggota CGIAR.

Di samping sebagai Guru Besar (Professor) di IPB University, capaian ilmiah tertinggi yang diperoleh orang dari kota kecil, Cepu ini adalah sebagai Peneliti Utama (Principal Scientist), Center for International Forestry Research (CIFOR). Posisi yang dirintis sejak tahun 2003 ini telah membawanya malang melintang di hampir 60 negara dan ratusan kota di dunia. Sisi lain yang menarik menjadi peneliti di sini adalah kebebasannya dalam merancang penelitian jangka panjang, menggalang dana penelitian dan melibatkan mahasiswa. Tidak kurang dari 10 mahasiswa program Doktor dan belasan mahasiswa Master (terutama mahasiswa IPB) yang menyelesaikan studinya melalui proyek riset yang dikembangkan Murdiyarso dan timnya di CIFOR. Bercanda tapi serius Daniel juga cerita, dia menikmati mobil dinas lembaga riset internasional ini karena platnya ”CD” (Corps Diplomatic). Di beberapa tempat umum bebas biaya parkir, kadang-kadang ditawari kawalan polisi saat jalannya macet, tentu bebas ganjil genap atau 3 in 1. ”Tetangga saya juga nanya, Bapak kerja di Kedutaan mana….”, candanya.

Sebagai rimbawan yang lahir dan dibesarkan di sekitar hutan jati (dan tentu menyukai enthung jati) pria ini menjadi bagian penting dari – Global Forestry Expert Panel untuk High Level Panel Political Forum on Sustainable Development Goals di bawah International Union of Forestry Research Organization (IUFRO) dalam bidang Forest and Water dan Forest and Fires yang berkedudukan di Vienna, Austria. IUFRO adalah wadah Lembaga-lembaga penelitian yang terkait dengan hutan, seperti ”embah”nya penelitian. Bukan soal gengsi, tapi kesempatan bergaul dengan komunitas global adalah saat yang paling Daniel nikmati di usianya yang menjelang pensiun. Menjadi kakek 2 cucu memang menyenangkan, tapi bekerja dengan embahnya lembaga penelitian sangat membanggakan.

Keterlibatan dalam kancah global, khususnya yang terkait dengan hutan dan perubahan iklim berlanjut dengan masuknya Daniel ke dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Dia terlibat  sebagai Penulis Utama (Coordinating Lead Author) dalam Laporan Khusus (Special Report) tentang Hutan dan Alihguna Lahan di taun 2000. Serta Laporan Penilaian (Assessment Reports) ke-3 di tahun 2001 dan ke-4 di tahun 2007.  Lebih lanjut, Daniel akhirnya masuk sebagai Penulis Utama “2013 Supplement to the 2006 IPCC Guidelines for National GHG Inventory: Wetlands”, sebuah panduan yang paling banyak digunakan untuk memperhitungkan peranan lahan basah (terutama gambut dan mangrove) dalam mitigasi perubahan iklim, yang terbit tahun 2014. Bab tentang pembasahan lahan gambut diketuai oleh Murdiyarso dan rekannya dari Kanada – pemilik lahan organik kedua terbesar di dunia. Bab ini menjadi bagian yang sangat penting dan signifikan ketika pemerintah, kalangan bisnis, dan masyarakat lokal beramai-ramai merestorasi gambut yang terdegradasi karena pembalakan, drainase, dan kebakaran. Dokumen yang memiliki masa pakai (lifetime) yang sangat panjang ini akan tercatat dalam sejarah upaya manusia bekerjasama dengan alam semesta. Tidak sempurna, tapi menjadi tonggak (milesone) yang penting.

PENGHARGAAN

 

Keterlibatan Daniel Murdiyarso sebagai Tim Penulis berbagai Laporan IPCC, telah membuat lembaga itu dan anggotanya menjadi bagian dalam Hadiah Nobel Perdamaian (Nobel Peace Prize) tahun 2007. Penghargaan yang sama diberikan kepada Al Gore, Wakil Presiden Amerika Serikat periode itu untuk bukunya yang akhirnya difilmkan, berjudul Inconvenient Truth. “Sejak saya menerima Piagam Nobel, piagam-piagam langsung saya bingkai dan pajang di tembok”, ujarnya.

Sejak itu, Murdiyarso mulai dihampiri penghargaan demi penghargaan, termasuk Achmad Bakrie Award di tahun 2010 dari Freedom Institute. Kemudian Sarwono Award tahun 2018 di Bidang Perubahan Iklim dan Lingkungan dari LIPI, lembaga yang didirikan oleh Prof. Sarwono Prawirohardjo.

Tak terkecuali, Almamaternya IPB University, dalam 3 tahun berturut-tutrut memberikan penghargaan kepada Murdiyarso sebagai peneliti yang produktif, hingga akhirnya pada tahun 2020, IPB menyematkan predikat Lifetime Achievement untuk H-index dan Sitasi Tertinggi.

Siapa yang tak kenal teknokrat dan Presiden BJ Habibie? Ketika namanya diabadikan untuk sebuah penghargaan bagi insan akademik, Habibie Prize adalah sebuah pengakuan yang diterima Daniel  di Bidang Teknologi diberikan oleh Yayasan SDM/Habibie Center di tahun 2020.

Biodata Daniel Murdiyarso dibacakan dalam Bahasa Indonesia saat dia menerima gelar Doctor Honoris Causa di bidang Kehutanan dan Pertanian, yang diberikan oleh University of Helsinki, Finlandia, pada bulan Juni 2022. ”Saya merinding, terharu dan bangga. Hutan dan penelitian tentang kehutanan yang saya tekuni selama ini dihargai orang”, ucapnya sambil tertunduk. ”Aku seorang kapiten, mempunyai pedang panjang”, candanya memecahkan keheningan sambil menunjukkan foto unik yang menggambarkan tradisi akedemik salah satu Universitas tertua di Skandinavia.

PENGABDIAN

Sebagai bagian dari masyarakat, ilmuwan dituntut untuk terjun kepada masyarakat dan tidak angkrik-angkrik di Manara Gading. Tanggung jawab itu dilihat Murdiyarso sebagai keniscayaan yang tidak perlu dihindari. Apalagi darma bakti itu untuk Ibu Pertiwi. Jenis pekerjaan apapun yang diberikan, dimanapun penempatannya, baginya bertemu dengan pejabat tinggi dan bercengkerama dengan masyarakat di pinggir hutan atau di pesisir yang miskin adalah kehormatan.

Daniel Murdiyarso pernah diangkat dan menduduki jabatan Deputi Menteri Lingkungan Hidup, Republik Indonesia.  Posisi yang sangat strategis namun tidak ringan bagi seorang akademisi, Apalagi dalam jabatan itu melekat peranan sebagai National Focal Point untuk traktat atau konvensi internasional UNFCCC, CBD, dan Montreal Protocol. Meskipun singkat (2000-2002), tugas itu diselesaikan dengan baik dan meninggalkan kesan yang mendalam untuk masyarakat birokrasi yang memerlukan sentuhan ilmiah.

Pengalaman itu mengingatkan rekan-rekan di pemerintahan yang akhirnya memintanya untuk duduk sebagai Penasihat Badan Pengelola Mekanisme Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (BP REDD+) di tahun 2013/14. ”Namanya juga nasihat, bisa diterima dan dilaksanakan bisa juga tidak”, sambungnya ketika ditanya soal dampaknya. Peran seperti itu juga pernah diberikan kepada Daniel sebagai anggota Dewan Pertimbangan Perubahan Iklim Republik Indonesia, untuk memberi nasihat dan pertimbangan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Akhir-akhir ini Daniel juga mengetuai dua unit/lembaga yang sangat strategis dalam sektor pendidikan dan ilmu pengetahuan, yaitu (i) sebuah Majelis di Dewan Pendidikan Tinggi yang dibentuk Kemendikbud Ristek di era kedua Presiden Joko Widodo dan (ii) Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.8/1990. Interaksi dengan wakil rakyat di DPR RI adalah salah satu bagian penting dalam kapasitas ini. Daniel baru menyadari bahwa di penghujung pengabdiannya, ternyata banyak pihak memerlukan dukungan dan informasi yang baik dan akurat.

Namun demikian, di tengah-tengah peranan seperti diuraikan di atas, Murdiyarso masih diberi kesempatan bersama-sama mahasiswanya untuk melihat sisi lain dari masyarakat pesisir yang terancam penghidupannya karena perubahan iklim dan kenaikan muka laut. Action research untuk komunitas itu dipandangnya sebagai wujud pengabdian yang perlu dilakukan dengan model kemitraan dengan pmerintah daerah dan pelaku bisnis. ”Masyarakat memerlukan mitra agar mereka bisa menjadi bagian dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi. Mereka perlu pendampingan” pungkasnya dalam mengakhiri percakapan ini.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *