Artikel Utama

S.O.S. AIR

Oleh: Ir. Suhariyanto, IPU., ASEAN Eng.

(Pengasuh Majalah Rimba Indonesia)

Dalam 5 tahun ke depan, suhu bumi berpotensi mencapai rekor terpanas. Era pemanasan global akan beralih dengan era pendidihan global. Dunia sedang menuju neraka iklim.  Akankah padi atau beras semakin haus air?

Kerisauan peralihan pemanasan menjadi pendidihan global dinyatakan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres pada 28 Juli 2023. Dalam lima tahun ke depan, suhu global bisa melebihi ambang batas 1,5 derajat celcius di atas tingkat praindustri, di atas ambang batas yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris.

Nyaris setahun kemudian, yakni pada 14 Juni 2024, Presiden Joko Widodo menggaungkan kembali kerisauan Guterres, Jokowi menyebutkan kenaikan suhu bumi membuat dunia sedang menuju neraka iklim. Hatihati, satu tahun terakhir ini kita rasakan betul adanya gelombang panas, periode terpanas. Di India bahkan sampai 50 derajat celcius, di Myanmar 45,8 derajat celcius, panas sekali. Ujarnya dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2024. Pemanasan global ini, pasti berdampak pada penyediaan atau ketersediaan air dalam jumlah yang cukup buat kehidupan mahluk hidup di planet bumi ini.

KEBUTUHAN AIR

Merujuk proyeksi Organisasi Pangan dan Pertanian  Dunia (FAO), Presiden juga menyatakan, 50 juta petani di dunia akan kekurangan air. Jika tidak berbuat apa-apa, dunia bisa mengalami kekurangan pangan dan kelaparan.

Di Indonesia, kemarau panjang akibat El Nino pada 2023 telah mengikis produksi beras nasional sebanyak 0,44 juta ton. Pada 2024 Indonesia berpotensi kekurangan beras 3,8 juta ton dari sebelumnya diperkirakan kurang 5 juta ton. Kementerian Pertanian RI menjelaskan, hal itu terjadi lantaran dampak El Nino tahun lalu berlanjut hingga tahun ini. Luas tanam padi pada Oktober 2023 – April 2024 seluas 6,55 juta hektar. Luas tanam itu turun 36,9 persen atau 3,83 juta hektar jika dibandingkan dengan rerata luas tanam periode 2015 – 2019 yang mencapai 10,39 juta hektar. Selain itu, pada tahun ini, Indonesia memasuki musim kemarau pada Mei dan diperkirakan puncaknya pada Agustus. Kendati hujan masih berpotensi terjadi di beberapa daerah, kekeringan akan lebih mendominasi berbagai wilayah di Indonesia. Kementan RI akan tetap berupaya mengejar produksi padi sepanjang musim kemarau untuk memenuhi kebutuhan beras dengan aneka cara, diantaranya pompanisasi sawah tadah hujan, rehabilitasi jaringan irigasi tersier, dan memanen air hujan. Tahun ini, produksi padi itu ditargetkan 55,42 juta ton setara gabah kering giling (GKG). Per 18 Juni 2024, realisasinya baru 29,04 juta ton atau 52,47 persen.

Peningkatan kebutuhan pangan dan air akan berjalan beriringan dengan perubahan iklim. Dalam laporannya bertajuk Ending Groundwater Overdraft without Affecting Food Security yang dirilis pada 14 Juni 2024, Institut Penelitian Kebijakan Pangan Internasional (IFPRI) memperkirakan permintaan tanaman pangan secara global akan meningkat 40 persen dan khusus beras 11 persen pada 2020 ke 2050.

Tergantung air. Begitu juga dengan permintaan terhadap air. Dalam periode tersebut, kebutuhan air secara global diperkirakan meningkat 17 persen dan khusus sektor pertanian 12 persen. Sementara itu, dalam laporannya bertajuk The Green, Blue, and Grey Water Footprint of Rice, UNESCO-IHE Institute for Water Education menekankan, produksi beras sangat bergantung pada air. Rerata konsumsi air untuk padi secara global sebesar 1.325 meter kubik per ton gabah. Dari jumlah itu, 48 persen berasal dari air dalam tanah dan air permukaan, 44 persen air hujan, dan 8 persen limbah air. Di Indonesia, rerata konsumsi air untuk padi 2.114 meter kubik per ton gabah (AK Chapagain dan AY Hoekstra, 2020). Air yang dibutuhkan untuk memproduksi satu ton gabah sekitar 111.263,16 galon air mineral (kapasitas 19 liter).

Saat permintaan beras bertambah, peningkatan produktivitas padi dan pencetakan sawah perlu dilakukan. Bahkan sawah tadah hujan yang semula hanya bisa ditanami padi setahun sekali, disulap agar dapat ditanami tiga kali setahun. Sumber air sawah tersebut tidak hanya berasal dari embung tadah hujan, tapi juga pompanisasi sumur air tanah. Sawah yang kekurangan sumber air permukaan di musim kemarau juga mulai banyak menggunakan sumber air tanah. Tidak heran jika di sejumlah negara, termasuk Indonesia dan India, pembangunan sumur benam atau submersible berbasis pompa Listrik yang menyedot air tanah berkapasitas besar untuk mengairi sawah semakin menjamur. Hasil riset IFPRI menyebutkan, tanpa air tanah, produksi beras dan gandum akan turun, masing-masing 1,8 persen dan 1,5 persen dalam satu musim tanam. Meski begitu, IFPRI menyarankan penggunaan sumber air tanah diminimalisasi agar tidak terjadi degradasi air dan tanah. Cara lain yang bisa dilakukan, antara lain mengelola air hujan, mengembangkan benih unggul sesuai kondisi geografis dan curah hujan, teknologi pengairan terukur, dan budidaya pangan organik.

ALIH FUNGSI LAHAN (DEFORESTASI)

Banyak orang sudah tahu, bahwa deforestasi (hutan menjadi bukan hutan) berdampak bencana bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. Contoh nyata yang baru saja dialami di Ternate, Maluku Utara. Harian Kompas, Senin, 26 Agustus 2024, Hlm. 11, memberitakan dengan judul: Banjir Bandang Ternate, Puluhan Warga Tertimbun. Hujan sejak Minggu dini hari memicu banjir bandang di Ternate, Maluku Utara. Banjir juga diduga dipicu deforestasi di sekitar permukiman. Potensi banjir susulan harus diwaspadai. Endapan hampir 3-4 m menutupi jalan serta menimbun puluhan rumah. Sebanyak 13 orang dinyatakan meninggal dunia akibat banjir bandang. Kemungkinan korban bertambah bisa terjadi, seiring evakuasi yang dilakukan. Beberapa warga masyarakat yang terkena dampak bencana memutuskan untuk tinggal di rumah keluarga. Warga yang masih tinggal di sekitar lokasi juga diimbau untuk mengungsi.

Selanjutnya, Harian Kompas, Rabu, 28 Agustus 2024, hlm. 11, memberitakan dengan judul: Alih Fungsi Hutan Picu Banjir Bandang Ternate. Banjir Bandang di Ternate diduga tidak hanya karena hujan deras. Sisa erupsi Gunung Gamalama menerjang kawasan pemukiman akibat alih fungsi hutan. Potensi bencana seperti banjir bandang di wilayah Ternate memang tinggi. Padatnya permukiman dibangun di wilayah lereng Gunung Gamalama menjadi salah satu alasan. Adanya perubahan daerah aliran air di wilayah hulu, yang seharusnya dipenuhi hutan dan berfungsi sebagai daerah aliran air, berubah menjadi permukiman. Jadi, tidak ada penahan material hasil erupsi gunung, dan meresapkan air ke dalam tanah – air mengalir semaunya sendiri, mencari jalannya sendiri – meluncur bebas menerjang permukiman. Daya dukung dan perubahan tampungan air yang berkurang di hulu juga diduga memicu banjir bandang. Kejadian ini bukan hanya karena masalah alam, melainkan juga karena perbuatan manusia.

Kejadian seperti di Ternate itu membuktikan bahwa masyarakat Indonesia itu belum menjadi Masyarakat Pembelajar yang baik. Beberapa bulan sebelumnya, peristiwa yang sama juga terjadi di Sumatera Barat. Bahkan sudah puluhan dan bisa jadi ratusan kali peristiwa yang sama terjadi di banyak tempat di Indonesia. Di samping itu, bom waktu sengaja dipasang di berbagai tempat. Contoh di dataran tinggi Dieng – menunggu terjadi bencana dulu atau segera mengambil langkah-langkah pencegahan (mitigasi).

Pada hari yang sama di halaman yang sama, Harian Kompas memberitakan dengan judul: Balapan Motor di Sawah Kering, Ironi Petani di Lumbung Padi. Sejumlah petani menggelar balapan sepeda motor di persawahan kering di Desa Karanganyar, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Aksi itu tidak hanya bentuk protes atas kekeringan, tetapi juga potret kegentingan lumbung padi. Sekitar 250 ha sawah dengan padi usia 1,5 bulan di desa itu, sudah sekitar 10 hari tidak mendapatkan air. Sehari setelah video balap sepeda motor itu viral, jaringan irigasi kembali terisi air. Petanipun bisa menyedot air dengan mesin pompa ke sawah. Namun, penyaluran air itu hanya sehari. Itupun tidak semua sawah petani merasakannya, karena keterbatasan pasokan air. Sekarang sudah tidak bisa memompa (air ke sawah) lagi. Air sudah tidak ada. Sekitar 80% (dari sekitar 4.000 ha) sawah di Kandanghaur itu kekeringan. Dari 13 desa, mungkin hanya 2 desa yang terselamatkan. Kisah yang tidak kalah memilukan terjadi di Desa Suramenggala, Kecamatan Suramenggala, Kabupaten Indramayu. Tanah sawah retak-retak hingga sekitar 10 cm. Saluran irigasi mengering, menyisakan endapan lumpur dan sampah. Petani sudah malas ke sawah, sebagai gambaran sepinya areal persawahan di daerah itu. Petani nyaris frustasi karena sudah 2 pekan sawah mereka tidak mendapatkan air. Jika 1 minggu ini sawah petani tidak mendapatkan pasokan air, sudah dapat dipastikan gagal panen akan terjadi. Kondisi lebih buruk bisa terjadi, karena areal persawahan hanya sekitar 2 km dari laut. Intrusi air laut bisa merusak sawah petani.

Ironis memang. Baik kelebihan maupun kekurangan air, dampaknya sama, yaitu bencana atau malapetaka. Banyak orang tahu, mengerti, atau paham penyebabnya dan harus bagaimana. Tetapi, bila hanya berhenti sampai tahu, mengerti, paham, tetapi tidak ada praktik apapun, lalu apa artinya? Bukankah itu upaya kesia-siaan (absurdity) yang hanya membuang energi atau sumberdaya? Bila sesuatu itu terjadi berulang-ulang, dapat dipastikan ada sistem yang salah (sekurang-kurangmya tidak tepat) baik di sisi pemerintah maupun masyarakat. Berbicara tentang sistem, tidak bisa dilepaskan dalam hal struktur dalam organisasi di institusi pemerintah dan masyarakat. Jadi, langkahnya adalah mengkaji, dan mengubah struktur menjadi lebih benar, baik dan tepat – restrukturisasi.

KEBERADAAN DAN PERAN HUTAN 

Kita semua tahu dan memahami apa, mengapa dan bagaimana keberadaan (eksistensi) dan peran hutan terhadap iklim dan pengaturan tata air atau hidroorologi; artinya, hutan itu keberadaan dan perannya adalah sebagai regulator alam, terutama yang ada di wilayah hulu DAS. Regulator alam berarti di dalamnya terkandung Teknik Konservasi tanah yang tidak bisa diabaikan, dalam hal ini terhadap kecukupan tersedianya air. Dalam musim penghujan dimana ketersediaan air demikian melimpah, air permukaan yang cenderung berpotensi merusak, dicegah atau dikurangi dengan dipaksa masuk (infiltrasi) ke dalam tandon (reservoir) besar alami di dalam tanah berupa air tanah dangkal dan air tanah dalam, yang akan dikeluarkan atau dialirkan pada musim kemarau. Demikian pula air hujan yang jatuh akan diredam energinya oleh tajuk vegetasi hutan (air intersepsi), dialirkan ke ranting dan cabang serta batang (air perkolasi), dan masuk ke reservoir alam ke dalam tanah (air infiltrasi) sebagai air tanah dangkal dan air tanah dalam. Sedangkan air hujan yang langsung jatuh ke lantai hutan diredam energinya oleh seresah hutan, sehingga mencegah terjadinya erosi percikan (splash erotion),selanjutnya masuk ke dalam tanah sebagai air infiltrasi.

Membangun dan mengelola hutan tidak bisa dilepaskan dengan penerapan teknik-teknik dalam metoda atau cara-cara dalam melakukan konservasi tanah (dan air). Metoda dan teknik konservasi tanah, paling tidak ada 3 hal, yang penerapannya bisa masing-masing atau kombinasi, yaitu: cara vegetatif, cara sipil teknis, dan cara kimiawi. Sudah barang tentu, pertimbangannya adalah mutlak, yaitu mempertimbangkan faktor-faktor abiotik dan biotik.

Uraian selengkapnya mengenai keberadaan dan peran hutan, telah Penulis sajikan pada MRI, volume 76, hlm. 18 – 20, Desember 2023, berjudul Sumbangan Pangan Nasional dari Sektor Kehutanan (Suatu Pemikiran).

Bukti nyata keberadaan dan peran hutan dalam kaitannya dengan kecukupan air, diberitakan Harian Kompas, Kamis, 29 Agustus 2024, hlm. 1 dan 15, berjudul Jutaan Manfaat Air Bersih untuk Warga. Musim kemarau di Kampung Karamat, Desa Sukamulya, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur,  Jawa Barat, tidak pernah seindah tahun ini. Air bersih kini lebih mudah didapat warga. Tiada lagi perebutan air antar warga. Air bersih mengalir kencang saat dibukanya keran air di rumah. Airnya bersih tanpa bau. Sebelumnya, tinggal di kaki Gunung Gede Pangrango bukan berarti air bersih mudah didapatkan. Tidak ada sumber air layak di dekat pemukiman. Satu-satunya sumber air ada di kawasan Lebak Salada, sekitar 500 m dari permukiman. Setelah ditampung, air rembesan dari Lebak Salada disalurkan melalui banyak selang plastik ke rumah-rumah warga. Saat musim hujan  airnya memang melimpah. Namun, kualitasnya jauh dari sempurna. Airnya keruh bercampur material tanah. Pada musim kemarau lebih parah. Debit air berkurang drastis. Akibatnya, warga berebut demi mendapat setetes air, yang kerap terlanjur tercemar limbah rumah tangga. Fatalnya, perebutan air itu berujung adu mulut antar warga. Saat masa sulit air antara Juni – Oktober, semuanya berdampak pada hubungan buruk antar warga. Persoalan air ini tak kunjung tuntas, puncaknya semakin menyiksa ketika gempa bermagnitude 5,6 melanda Cianjur pada 23 November 2022. Pasca gempa, Lebak Salada semakin irit saja mengalirkan air. Titik terang mulai muncul di awal 2024, dengan kehadiran Habitat for Humanity Indonesia dan Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK). Warga diajak ikut serta dalam Program Penyediaan Air Bersih untuk Penyintas Gempa Cianjur. Dari hasil survey, Kampung Karamat sebenarnya punya potensi sumber air bersih melimpah. Salah satu yang terdekat adalah Mata Air Persemehan, sekitar 3 km dari kampung itu. Saat kemarau debit airnya 1 liter per detik, dan lebih banyak ketika musim hujan. Untuk memanfaatkannya butuh ijin, karena berada di area Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Bersyukur pengelola mengijinkannya. Syarat utamanya, warga ikut menjaga hutan. Hutan terjaga juga menjamin air bisa terus menghidupi warga. Rabu, 28 Agustus 2024 dilakukan serah terima mata air tersebut. Warga kampung/desa mensyukuri perjuangan mereka siang dan malam sejak Februari 2024. Kerja keras itu memberikan manfaat bagi 923 jiwa yang tersebar di 225 kepala keluarga. Melalui meteran berkelir biru Yayasan DKK, air dialirkan juga untuk kebutuhan 11 fasilitas umum, 6 sarana Pendidikan, 1 Posyandu, serta 4 sarana sosial seperti masjid dan mushala. Semua usaha baik ini adalah hasil kolaborasi semua pihak selama 9 bulan terakhir. Semoga air di sini tetap dingin terus, tidak lantas membuat suasana menjadi panas.

PENUTUP

Tulisan ini bertujuan mengingatkan dan atau menyegarkan pikiran baik pengambil kebijakan maupun masyarakat umum (publik), betapa penting dan strategisnya keberadaan dan peran hutan itu, khususnya berkaitan dengan kecukupan ketersediaan air, yang sangat menentukan hidup, kehidupan, dan penghidupan umat manusia dan mahluk hidup lainnya di bumi. Negara (Pemerintah) hadir itu, bila persoalan yang dihadapi di tempat itu selesai – bukan sebaliknya, masalahnya malah beranak pinak tambah banyak. Dan, benar-benar masyarakat dijadikan subyek – bukan obyek.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *