QUO VADIS PENYULUHAN KEHUTANAN
Oleh: Ir. Yaman Mulyana, M.M.
(Mantan Dirjen Perlindungan Hutan, Kementerian Kehutanan)
Keberhasilan Indonesia meningkatkan produksi padi sekitar tahun 1985 antara lain karena ada kontribusi penyuluhan pertanian yang dipandu pakar dari perguruan tinggi. Keberhasilan sektor pertanian ini menjadi inspirasi Kehutanan saat itu untuk menghadirkan penyuluhan kehutanan. Waktu itu instansi kehutanan sedang melancarkan Gerakan Penghijauan dan Reboisasi. Kebijakan Gerakan ini sangat mengharapkan partisipasi masyarakat terutama dari para petani. Untuk mendampingi petani direkrut sejumlah penyuluh yang sebagian besar tenaga honorer proyek penghijauan dan reboisasi lulusan SLTA. Rekruitmen tenaga penyuluh itu paling banyak di P. Jawa pertengahan tahun 1980-an. Hingga awal tahun 1990-an jumlah tenaga penyuluh kehutanan lebih kurang 5.000 orang dengan status pegawai negeri dengan jabatan fungsional penyuluh. Kehadiran penyuluh ini menjadi salah satu pendorong berkembangnya tanaman sengon (Albizia) di luar kawasan hutan di P. Jawa, yang dikenal sebagai hutan rakyat. Akan tetapi di Era Reformasi penyuluhan kehutanan ini kurang difungsikan di luar kegiatan penghijauan dan reboisasi, sementara di lapangan proses degradasi hutan yang melibatkan anggota masyarakat meningkat. Anggota masyarakat tersebut sebagian besar berada di dalam dan sekitar hutan yang seharusnya menjadi sasaran penyuluhan kehutanan.
Di Era Reformasi kelembagaan penyuluhan kehutanan ditingkatkan dari eselon II menjadi eselon I yaitu Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Tugas pokok Badan ini antara lain menetapkan kebijakan teknis, menyelenggarakan penyuluhan, dan evaluasi. Kemudian tahun 2006 keluar Undang-undang Nomor 16 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Menurut Undang-undang ini penyuluhan itu adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama agar mereka mampu menolong dirinya sendiri mengakses informasi sumber daya yang diperlukan yang dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi kegiatannya. Semua upaya itu untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesadaran pelaku utama terhadap kelestarian hutannya. Undang-undang ini juga menetapkan tugas pokok Badan Penyuluhan antara lain menyusun kebijakan nasional dalam urusan penyuluhan, mengembangkan penyuluhan dan peningkatan kapasitas penyuluh PNS, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya. Kehadiran lembaga penyuluhan kehutanan setingkat eselon I diikuti dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 menjadi landasan dan arah bagi penyuluhan kehutanan.
Badan Penyuluhan dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 lahir ketika eskalasi degradasi hutan marak. Ada tiga kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan yang serius, yaitu illegal logging, alih fungsi hutan dan kebakaran hutan. Proses degradasi hutan ini dalam satu dekade di Era Reformasi makin meningkat dan mendapat sorotan pemerhati lingkungan di dalam dan luar negeri. Dalam proses degradasi hutan itu anggota masyarakat secara individu maupun kelompok, banyak yang terlibat. Motifnya antara lain karena kemiskinan dan keterbelakangan, sehingga mudah dibujuk pemilik modal untuk menjadi tenaga kerjanya. Sebagian dari mereka adalah masyarakat adat yang sumber kehidupan utamanya dari hutan. Di dalam hutan mereka berladang, berkebun, berburu serta memanfaatkan bagian dari pohon dan lain-lain.
Badan Pusat Statistik setiap tahun mendata penduduk miskin serta penyebarannya. Tahun 2020 jumlah penduduk miskin 33,31 juta jiwa atau 9,78 % dari total penduduk Indonesia yang 270,20 juta jiwa. Jumlah penduduk miskin ini mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kehadiran mereka ini berkorelasi dengan keberadaan desa tertinggal yang pada tahun 2021 tercatat 13.215 desa termasuk desa sangat tertinggal 5.061 desa. Kemungkinan besar desa tertinggal itu terbanyak di dalam dan sekitar hutan, karena infrastruktur ekonomi dan lainnya terbelakang. Selain itu instansi kehutanan sendiri mengakui bahwa pemukiman penduduk tersebar di dalam hutan produksi, hutan lindung dan tidak sedikit berada di kawasan konservasi . Kebanyakan pemukiman di dalam hutan itu adalah masyarakat adat, yang sudah lama eksis turun-temurun dan seharusnya mendapat pendampingan para penyuluh kehutanan.
Pemerintah sendiri sudah lama mencanangkan program pengentasan kemiskinan, namun hingga kini belum juga tuntas. Mestinya dalam upaya besar pemerintah itu secara terintegrasi ada program penyuluhan kehutanan, karena masyarakatnya sendiri adalah stake holder hutan. Di sisi lain seluruh kawasan hutan sudah terbagi menurut fungsinya, yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi yang manfaat utamanya berbeda-beda dan semua hutan itu harus selalu dalam keadaan lestari. Sedangkan untuk mempertahankan kelestarian hutan butuh partisipasi masyarakat. Salah cara untuk mengundang partisipasi masyarakat yaitu dengan system penyuluhan. Penyuluhan berbeda dengan penerangan, publikasi atau kampanye yang tujuannya agar masyarakat sasaran menjadi tahu dan punya sikap. Penyuluhan adalah proses pembelajaran di luar sekolah atau sekolah lapang. Falsafah penyuluhan “helping people to help them selves“ atau ibarat falsafah bakar sampah. Jadi penyuluhan itu harus mampu meyakinkan yang disuluh yang diikuti dengan perubahan perilaku. Apa yang diperoleh dari proses pembelajaran (penyuluhan) menumbuhkan kesadaran, kemampuan dan keyakinan terhadap paket pembelajaran yang diterimanya. Kemudian ketika mempraktikan inovasi hasil pembelajaran itu mendapat bimbingan langsung para penyuluh.
Selama ini upaya pendekatan kepada masyarakat di dalam dan sekitar hutan sering dilakukan eselon I yang kewenangannya meliputi kawasan hutan menurut fungsinya. Kadang pendekatan itu dilakukan juga oleh beberapa Dinas Kehutanan di hutan lindung dan hutan produksi. Dalam konteks kewenangan Badan Penyuluhan yang memiliki otoritas penyuluhan tidak dilibatkan dalam kegiatan eselon I tersebut. Tentu saja menjadi pertanyaan cara atau perangkat yang digunakan dalam pendekatan itu. Salah satu contoh dalam menanggulangi kebakaran tidak menggunakan system penyuluhan. Demikian pula kebijakan Perhutanan Sosial yang sudah mengeluarkan ijin cukup banyak di tiap provinsi belum melibatkan kelembagaan penyuluhan sesuai tugas pokok dan fungsinya. Kalau pendekatan kepada pelaku utama hanya dengan cara penerangan atau percontohan kemungkinan tidak menyentuh pokok persoalannya, yaitu perubahan perilaku kelompok masyarakat sasaran. Sementara di atas dikemukakan bahwa perubahan perilaku itu dengan penyuluhan yang benar. Kerja penyuluhan berpedoman kepada programa yang memuat data potensi sumber daya, target, pelaku, dan sasaran . Cara yang digunakan adalah metodologi yang sudah teruji dan terukur. Semua aspek penyuluhan ini menjadi kewenangan dan tanggung jawab Badan Penyuluhan. Karena itu setiap upaya pendekatan untuk mengundang partisipasi masyarakat di dalam dan sekitar hutan harus melibatkan kelembagaan penyuluhan sejak merancang kegiatan itu. Tidak cukup dengan menugaskan individu penyuluh dalam kegiatan itu.
Untuk menghadirkan penyuluhan dengan pelaku utama masyarakat di dalam dan sekitar hutan tidak semudah seperti penyuluhan di pertanian. Ada beberapa karakterisik penyuluhan kehutanan antara lain:
- Hutan dikuasai Negara beda dengan sawah yang dimiliki petani.
- Hukum adat berlaku dalam lingkungan hutan.
- Taraf hidup dan tingkat pendidikan masyarakat di dalam dan sekitar hutan umumnya masih rendah.
- Menurut peraturan fungsi hutan membatasi ruang kegiatan pelaku utama.
- Kawasan hutan umumya tidak terjangkau transportasi umum.
Tingkat kesulitan penyuluhan yang tinggi tersebut menjadi tantangan penyuluhan kehutanan. Akan tetapi di sisi lain terdapat potensi yang positif bagi penyelenggaraan penyuluhan. Terhadap pelestarian hutan tropis beragam dukungan datang dari berbagai pihak terutama dari luar negeri. Sementara budaya masyarakat sendiri sudah akrab dengan lingkungan hutan. Kedua potensi ini dapat dijadikan sumber daya bagi penyuluhan dan menjadi tugas penting bagi manajemen ke depan. Selain itu kehadiran lembaga swadaya masyarakat yang sudah lama melakukan pendampingan masyarakat hutan dapat melengkapi program penyuluhan yang dirancang pemerintah.
Untuk memikul beban tugas penyuluhan kehutanan yang cukup berat ini harus didasari komitmen elit pemeritahan untuk mengentaskan kemiskinan di dalam dan sekitar hutan. Selain itu dituntut kesiapan kelembagaan, sumber daya manusia dan pembiayaan sebagai unsur pokok pendukungnya. Mungkin kelembagaan dan pembiayaan tidak menjadi kendala, tetapi sumber daya manusia yaitu tenaga penyuluh kehutanan menjadi faktor yang masih lemah. Model rekruitmen masa lalu lulusan SLTA plus kursus penyuluhan kilat sulit diharapkan mampu melaksanakan tugas penyuluhan dengan tingkat kesulitan seperti diutarakan di atas. Tenaga penyuluhan ke depan harus punya bekal ilmu penyuluhan yang mumpuni. Di luar negeri penyuluhan itu sudah menjadi ilmu interdisiplin bagian dari komunikasi, ekologi, sosiologi, ekonomi, pendidikan, manajemen dan lain-lain. Tentu saja kalau pendidikan penyuluh kehutanan di dalamnya termasuk ilmu kehutanan. Karena itu pendidikan penyuluh kehutanan dimulai dari model D-3 yang lulusannya dapat diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara golongan II-b dengan jabatan fungsional penyuluh tingkat terampil di lapangan yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan kepada keterampilan serta bersifat mandiri. Selain tingkat terampil yang dibutuhkan di lapangan juga perlu dikembangkan penyuluh tingkat ahli.
Tenaga penyuluh kehutanan tingkat terampil kemungkinan saat ini sudah banyak berkurang karena faktor usia pensiun yang kebanyakan tugas di P. Jawa. Karena itu bila penduduk di dalam dan sekitar hutan perlu pendampingan penyuluh butuh tenaga penyuluh baru. Kalau pemerintah akan menempatkan seorang penyuluh tiap desa tertinggal dan sangat tertinggal, maka jumlah tambahan tenaga penyuluh kehutanan cukup banyak. Tahun 2021 menurut data BPS tercatat desa tertinggal dan sangat tertinggal 13.215 desa dan bila diperkirakan 50 % desa itu di sekitar hutan maka butuh tenaga penyuluh baru tidak kurang 6.500 orang. Sesuai persaratan kompetensi dan tuntutan di lapangan jumlah ini harus lulusan program D-3 penyuluhan kehutanan.
Kesimpulan dari tulisan ini bahwa sumber daya hutan untuk kemakmuran rakyatnya hingga kini masih tetap dalam angan-angan. Sementara degradasi hutan dan kemiskinan masih mewarnai rimba raya kita. Mereka yang miskin itu sebagian dari kelompok masyarakat adat yang kebanyakan belum tersentuh program penyuluhan yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan dan kesadaran terhadap pelestarian lingkungan hutan. Sementara instansi penyuluhan kehutanan sekarang kekurangan tenaga penyuluh baik kwalitas maupun kwantitas. Karena itu disarankan untuk dikembangkan pendidikan program D-3 penyuluhan kehutanan di daerah-daerah.
————————
Daftar Pustaka:
- Hafsah, J. 2009. Penyuluhan Pertanian. Pustaka Sinar Utama. Jakarta
- Hubeis, AVS, P. Tjitropranoto dan W. Ruwiyanto. 1992. Penyuluhan Pembangunan Indonesia Menyongsong Abad XXI. PT Pustaka Pembangunan Swadaya. Jakarta.
- Mulyana, Y. 2014. Kinerja dan Tantangan Penyuluhan Kehutanan. Diterbitkan Pusat Penyuluhan Kehutanan. Jakarta.
- Nugraha, A. dan Murtijo 2005. Anthropologi Kehutanan. Penerbit Wana Aksara. Tanggerang.