Sekilas Info

MENGUNGKAP LAHIRNYA SERTA PERKEMBANGAN MAJALAH RIMBA INDONESIA

Oleh: Ir. Slamet Soedjono, M.B.A.

(Pengasuh Majalah Rimba Indonesia)

PENGANTAR

Pada rapat Dewan Redaksi Majalah Rimba Indonesia (MRI) tanggal 22 Januari 2025 oleh Koordinator Dewan Redaksi, penulis diminta untuk dapat menyajikan tulisan tentang riwayat atau semacam sejarah singkat lahirnya dan perkembangan MRI yang diperkirakan akan bermanfaat untuk diketahui oleh generasi muda Rimbawan sebagai generasi penerus. Setelah membaca dan mempelajari beberapa dukumen ditambah dengan pengalaman penulis sendiri dapatlah disusun tulisan sebagai berikut ini. Semoga bermanfaat dan mohon maaf bila ada kekurangan atau ketidaksempurnaan dalam penyajiannya. Oleh karena para Senior Rimbawan kita sering menyebutkan bahwa MRI adalah Majalah Kehutanan Pertama Berbahasa Indonesia yang terbit di alam Kemerdekaan RI pada awal tahun Sembilan belas limapuluhan dan merupakan kelanjutan dari Majalah Kehutanan di zaman Hindia Belanda Tectona maka dalam tulisan ini akan diulas juga riwayatnya.

PERAN DAN PENTINGNYA MAJALAH KEHUTANAN BAGI RIMBAWAN

1.  Di Zaman Hindia Belanda (1800-1942)

Pemerintah Belanda mengambil alih kekuasan di Nusantara dari tangan VOC (suatu Perusahaan Dagang Belanda) yang dalam kurun waktu hampir 200 tahun (1602-1799) telah berhasil mencengkeramkan kekuasaannya secara sosial, ekonomi, politik maupun hankam dari penguasa saat itu (Raja-Sunan-Sultan). Berakhirnya kekuasaan ini karena Kompeni mengalami kebangkrutan hingga diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Wilayah Nusantara yang dikuasai Belanda disebut Hindia Belanda atau Nederlandch Oost Indie.

Dalam catatan sejarah Pengelolaan Hutan Indoneia, sewaktu Kompeni berkuasa sama sekali tidak ada perhatian terhadap pengelolaan/pembinaan hutan yang baik. Hutan terutama jati hanya dianggap sebagai aset ekonomi (sumber kekayaan) yang terus-menerus dipungut hasilnya sebesar mungkin tanpa menghiraukan pembinaannya/pelestariannya. Akibatnya hutan mengalami kerusakan parah. Pemerintah Belanda yang baru yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal H.W Daendels menyadari benar pentingnya pembinaan hutan-hutan  sebagai sumber ekonomi untuk negara karena itu beliau mengeluarkan ketetapan hutan sebagai domain negara dan mengangkat Inspektur Jenderal Hutan Kayu seorang Kolonel (Carl von Walzoken) yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Jenderal dibantu oleh suatu Kolese terdiri dari 4 anggota dan 1 sekretaris yang asalnya berprofesi sebagai mantan residen dan militer. Kolese ini harus mengurus dan mengatur jumlah penanaman, pemeliharaan, penebangan dan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Wilayah hutannya dibagi dalam 4 afdeling hutan. Di bawah kolese diangkat Bosganger petugas untuk mengawasi pelaksanaan kerja di lapangan. Demikian awal pengelolaan hutan khususnya di Jawa yang dirintis oleh Daendels. Walaupun belum ditangani oleh ahli-ahli kehutanan tetapi terus berkembang ke arah yang lebih baik.

Keadan ini kemudian berubah menjadi agak kacau dengan diberlakukannya Cultuurstelsel (sistem tanam paksa) tahun 1830-1860 dan perang besar Diponegoro (1825-1830) di mana untuk membuat tanaman tebu, pabrik gula, perumahan, gudang, perkebunan kopi, coklat dan sebagainya yang banyak makan korban hutan jati dan rimba yang rusak parah terutama di Jawa Barat (Karesidenan Cirebon), Jawa Tengah (Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang) dan Jawa Timur (Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Besuki, Madiun) karena Pengurus Perkebunan dan pabrik-pabriknya dibolehkan menebang hutan di mana saja yang dia kehendaki untuk mendapatkan apa yang diinginkan (lahan untuk tanaman tebu,kayu jati untuk pembuatan pabrik, perumahan, jembatan jalan, kayu bakar dan lain-lain. Di samping itu juga banyak sekali dibutuhkan kayu jati untuk pembangunan kembali bangunan militer, beteng, gudang, perumahan dan lain-lain yang rusak berat pada perang besar Diponegoro.

Mulai tahun 1850 dimulailah usaha Pengelolaan Hutan yang dilakukan secara ilmiah dengan mendatangkan ahli-ahli Kehutanan dari Belanda dan Jerman, pertama kali tahun 1849 terdiri dari 2 orang teknisi Kehutanan dan 1 orang ahli ukur tanah (geodesi) ketiganya ditugaskan di Karesidenan Rembang. Tahun 1855 didatangkan lagi seorang ahli kehutanan Jerman yang telah berpengalaman 15 tahun.  Tahun 1957 didatangkan lagi 4 orang Belanda yang telah disekolahkan di Sekolah Tinggi Politeknik Kehutanan Carlsruhe Jerman. Mereka bekerja untuk melakukan rencana penataan dan pengaturan hutan, pengaturan ekploitasi dan angkutan, penanaman, menambah personil bidang pengukuran dan pemetaan serta tata usaha, merekrut 13 Insinyur Kehutanan, menugaskan 2 orang pegawai setiap tahun untuk disekolahkan menjadi insinyur kehutanan. Juga merekrut personil kepolisian hutan. Wilayah pengelolaan hutan dibagi menjadi 13 Bosdistrict (1874) yang dipimpin oleh seorang houtvester berpendidikan Insinyur Kehutanan. Dengan semakin banyaknya ahli kehutanan orang Belanda yang berpendidikan sarjana, pengaturan pengelolaan hutan menjadi semakin maju dan aturan mainnya ditetapkan dalam Regelmen Hutan yang terus diperbaiki dan disempurnakan. Yang pertama Regelmen Hutan 1865, kemudian Regelmen Hutan 1897, Regelmen Hutan 1913 dan terakhir Ordonansi Kehutanan 1927. Wilayah Pemangkuan Hutan juga terus diintensifkan. Untuk Hutan yang telah ditata tetap wilayah Pemangkuannya disebut Houtvesterij sedangkan untuk yang belum ditata tetap disebut Bosdidtrict. Selanjutnya di tiap houtvesterij (KPH) oleh Biro Perencanaan disusun Rencana Perusahaan untuk selama 10 tahun. Para houtveter (KKPH) dalam melakukan pekerjaan teknis kehutanan harus tunduk dan taat pada Rencana Perusahaan ini. Luas wilayah houtveterij (KPH) pada awalnya hanya antara 6.000-10.000 ha (1897), kemudian tahun 1908-1920 dilakukan penggabungan beberapa (2-4) KPH menjadi satu KPH hingga berjumlah 25 KPH dan dengan ektensifikasi penataan hutan luas wilayah KPH diperbesar lagi untuk hutan jati antara 35.000-50.000 ha dan hutan rimba antara 70.000-100.000 ha sehingga pada tahun 1925 jumlah KPH di Jawa-Madura telah mencapai 55 KPH.

Kalau kebutuhan tenaga pimpinan kehutanan tingkat ahli dapat didatangkan para insinyur kehutanan lulusan Jerman atau Negeri Belanda maka untuk memenuhi tenaga teknis kehutanan tingkat menengah bawah dan menengah tinggi awalnya mengalami kesulitan karena di Hindia Belanda belum ada sekolah kejuruan yang mendidik tenaga teknis kehutanan untuk keperluan itu sehingga sering terjadi rekruitasi tenaga menengah yng tidak baik misalnya Sinder dari orang yang tidak  memenuhi syarat dia diangkat menjadi Sinder dihutan jati dia tidak mengetahui pohon jati itu apa, dia hanya pandai berbahasa Belanda, tulisannya baik dan pandai berkomunikasi dengan masyarakat dan para tokohnya. Baru pada tahun 1908 Pemerintah Belanda membuka Sekolah Pertanian (Cultuurschool) tingkat Pertama atau CS di Bogor yang siswanya dari lulusan HIS (SD 7 tahun) sudah mahir barbahasa Belanda untuk dididik menjadi tenaga teknis yang siap kerja di lapangan (sinder). Ada 3 juruan yaitu Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan. Dari inilah Kehutanan dapat memperoleh tenaga menengah bawah yang terampil. Sekolah ini walaupun mengalami perpindahan tempat (Malang dan Sukabumi) berlangsung hingga 1939 menjelang jatuhnya Pemerintah Belanda oleh Jepang. Selain itu pada 1913 di Bogor juga didirikan Sekolah Pertanian Menengah Atas (Middelbare Lanbouwschool=MLS) yang siswanya diambil dari para lulusan MULO (SMP). Di MLS inipun ada jurusan Kehutanan dan lulusan MLS ini menjadi kader pejabat kehutanan tingkat menengah tinggi (Ajuct Houtvester /Bos Architect). Dengan makin banyaknya tenaga teknik menengah bawah dan menengah tinggi pelaksanaan pekerjaan teknik kehutanan di lapangan semakin baik dan mempercepat usaha-usaha intensifikasi baik di bidang perencanaan hutan, penataan hutan, pembukaan wilayah, penanaman, penebangan, angkutan, penjualan hasil hutan, perisalahan maupun perlindungan hutan; tetapi Penguasa Kehutanan dengan mental penjajahnya sering melakukan perlakuan diskriminatif terhadap pegawai kehutanan pribumi dengan pegawai orang Belanda misalnya pegawai pribumi dengan dasar pendidikan teknis dan jabatan yang sama diberi gaji lebih rendah dari orang Belanda. Kenaikan pangkatnya dipersulit dan dibatasi paling tinggi hanya sampai Bos Architect (Ajun), seorang KKPH (orang Belanda) yang dipindahkan tempat tugasnya seringkali membawa anak-anak buahnya yang disenangi untuk mengganti pegawai lama di tempat baru walaupun pegawai tersebut kerjanya baik sehingga sangat meresahkan. Pegawai Kehutanan pribumi tidak boleh melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Kehutanan apalagi adanya hanya di Negeri Belanda. Dari kondisi seperti itu maka Pegawai-pegawai Menengah Kehutanan pada 1916 mendirikan Perkumpulan untuk bisa memperjuangkan nasibnya dengan nama Bond van Boscpersoneel in Nederlands Indie (BBPN). Anggotanya terdiri dari para pegawai dan pejabat kehutanan dengan pangkat di bawah houtvester berkedudukan di Telawa. Tujuannya selain untuk media perjuangan nasib juga untuk menambah keterampilan dan pengetahuan umum dengan menerbitkan majalah berbahasa Belanda yang isinya kadang-kadang diselingi dengan Bahasa Melayu.  Pada 1933 di Solo didirikan Bond van Ongegradueerd Boschperoneel (BOB) = Perhimpunan Pegawai Kehutanan Tanpa Gelar). Anggotanya mencakup para Pegawai Menengah Kehutanan pangkat Adspirant Opzichter sampai dengan Bosarchitect Klas I (Ajun Houtvester Senior) yang kebanyakan terdiri dari para lulusan MLS dan CS Senior juga MBS. Pengurus Pertama terdiri dari Ketua M. Soetarmo H, Wakil Ketua M. Aboe Oemar, Sekretaris M. Asgar, Bendahara Oedin, Komisarisnya: R. Odang P, R. Kiswarin dan R. Maroeto. Tujuannya juga sama yaitu untuk dapat memperjuangkan nasib para anggotanya yang kebanyakan para lulusan MLS orang pribumi yang dibatasi jabatannya maksimal hanya sampai dengan Ajun Hoetvester dengan pangkat Bos Arscitect Klas 1 dan juga sebagai media untuk tukar menukar pengetahuan dan pengalaman serta menambah wawasan umum. Perkumpulan ini menerbitkan dua majalah/publikasi, yang pertama “HET BOSCH” yang isinya memuat artikel-artikel Teknis Kehutanan dan dan Boswezen yang kedua memuat berita-berita perkumpulan BOB. Kedua Perkumpulan ini bubar dengan berakhirnya Pemerintahan Hindia Belanda tahun 1942.

Jauh sebelum berdirinya Kedua Perkumpulan Pegawai Menengah Kehutanan Hindia Belanda tersebut pada 29 Desember 1907 para Houtvester (KKPH) orang-orang Belanda telah berhasil mendirikan VABINOI (Vereniging van Ambtenaaren bij het Boschwezen in Nederlandsch Oost Indie) atau Perkumpulan Pegawai Jawatan Kehutanan Hindia Belanda. Pendirian perkumpulan tersebut tidaklah berjalan mulus karena Pimpinan Kehutanan Tertinggi di Hindia Belanda menentangnya. Gagasan pertama dilakukan oleh 12 orang Houtveter yang mengadakan pertemuan di gedung Socitet Cepu pada tanggal 26 Oktober 1907, rapat kedua di Blora tanggal 13-14 Desember 1907 dan yang ketiga di Madiun tanggal 29 Desember 1907. Tanggal inilah yang kemudian dijadikan hari lahirnya VABINOI. Adapun tujuannya adalah agar para Houtvester tua maupun muda memiliki sarana untuk dapat menyampaikan pikiran-pikiran, pendapat, pengalaman, pengetahuan, hasil-hasil percobaan teknis kehutanan, sistim penjualan hasil hutan dan sebagainya untuk dapat digunakan bagi kemajuan pengusahaan hutan dan kehutanan karena pada saat itu kepemimpinan kehutanan tingkat pusat (Hoofdinpectuur) masih memakai cara patriarchal (bapakisme) yang tidak mau dibantah atau diberi saran apalagi dikritik oleh anak buah. Hanya beberapa inspektur dan 1-2 orang houtvester senior yang kadang-kadang dimintai saran, para pejabat lainnya termasuk para houtvester dianggapnya sebagai anak ingusan. Jadi perjuangannya lebih kepada harga diri sebagai sarjana kehutanan yang banyak bekerja di lapangan mendapatkan ilmu dan pengalaman yang berguna untuk kemajuan kehutanan ingin ada atau diberi kesempatan untuk menyampaikan pikiran, pendapat, pengalaman, pengetahuan atau ilmunya. Ingin mendapat kebebasan mengemukakan pendapat. Namun berkat kegigihan perjuangan para Pengurus VABINOI akhirnya Kepala Jawatan Kehutanan dapat menyetujui berdirinya VABINOI dan Penerbitan Majalah TECTONA yang dapat memperoleh Pengesahan dengan terbitnya Keputusan Pemerintah No 35 tanggal 2 September 1908. Majalah Tectona terbit pertama kali pada bulan Juni 1908 di Yogyakarta. Perkembangannya perkumpulan dan majalah ini semakin mendapat tempat di mata pimpinan Jawatan Kehutanan, beberapa pendapatnya diangkat dalam pembuatan kebijakan Jawatan Kehutanan seperti diutamakannya penjualan kayu secara lelang umum, disetujuinya usulan Pendirian Lembaga Penelitian (Proofstation) di Bogor tahun 1913, diakuinya keputusan-keputuasn kongres perkumpulan ini bermutu tinggi, sampai dimintai pendapat untuk pengisian  lowongan jabatan Hofdinpectuur sebagai Kepala Jawatan Kehutanan. Pada 1927 perkumpulan ini berubah nama menjadi VHABINOI.

Sebagai gambaran tentang majalah Tectona berikut ini ditampilkan cover Majalah tersebut tahun 1914, 1921 dan 1926. Adapun isi yang dimuat didalamnya dapat dikelompokkan dalam topik-topik tentang:

    1. Sumbangan Pikiran Asli dari para Ahli Kehutanan, contoh: Lets over den djati in Banten oleh Dr.H Ten Oever, Breuken in Handelshout (Pecahan/patahan/retakan di Kayu Perdagangan) oleh Dr. L G den Berger dan Laporan Pemeriksaan Hutan Jati di tanah merah oleh N Beumee dengan kata tambahan dari Dr L G den Berger.
    2. Pengumuman Pendek Hasil-Hasil Penelitian (Korte Mededelingen)
    3. Berita Pasar (Markt Berichten)
    4. Pembicaraan tentang Pembukuan (Boek Bespreking)
    5. Petunjuk dan Terjemahan (Referaten en Vertalingen)
    6. Berita yang bersangkut paut dengan Perkumpulan (Mededelingen betreffende de Vereniging)
    7. Personalia
    8. Humoristica

Pengurus VHABI dan Tectona terakhir (1954) terdiri dari Dr. Ir. E Meyer Drees, Ir. F. K. M Steup, Ir. W Bernaco, Ir. J de Graaf, Mr. H de Leau, Ir. Verkuijl dan Ir. E H P Yuta.

Dari uraian di atas ini dapat disimpulkan bahwa sejak jaman Hindia Belanda untuk memperjuangkan nasib dan harga diri pegawai diperlukan adanya suatu Perkumpulan dan sebagai salah satu medianya diperlukan adanya majalah yang diterbitkan oleh perkumpulan tersebut.

2.   Di Zaman Jepang Maret 1942-Agutus 1945

Di zaman ini dapat dikatakan tidak ada aktivitas rimbawan untuk membentuk perkumpulan dan kegiatan guna memperjuangkan nasib dan mengemukakan pikiran dan pendapat-pendapatnya karena Pemerintah Jepang yang berkuasa merupakan Pemerintahan Militer yang sangat ketat mengawasi dan menindak orang-orang yang dicurigai akan melawan pemerintahannya. Semua publikasi yang terbit di masa pemerintahan Hindia Belanda yang umumnya berbahasa Belanda dihentikan, bahasa Belanda tidak boleh lagi digunakan, praktis para rimbawan tak bisa berkomunikasi lewat media massa. Pimpinan Kehutanan orang-orang Belanda yang tidak sempat melarikan diri ditangkapi dan dipenjara Jepang, Pimpinan kehutanan pusat dan di daerah digantikan dengan orang-orang Indonesia yang punya keahlian kehutanan dan pernah bekerja di zaman Belanda dengan diawasi oleh pimpinan orang Jepang.

3.   Di Tahun-Tahun Awal Kemerdekaan RI

Setelah Jepang kalah perang melawan Sekutu (Amerika, Inggris dan Autralia), pada tanggal 17 Agustus 1945 Rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan dan menyatakan berdirinya Negara Republik Indonesia. Penyerahan Urusan Kehutanan dari Pemerintah Jepang ke Pemerinth RI berjalan lancar pada tanggal 5 September 1945. Dari Pemerintah RI yang dipercaya menerima penyerahan dan selanjutnya diangkat sebagai Kepala Jawatan Kehutanan RI Pertama adalah Ir. R. Sewandono satu-satunya Insinyur Kehutanan orang pribumi (Indonesia) saat itu lulusan dari Sekolah Tinggi Pertanian Wageningen Negeri Belanda. Sayangnya baru satu bulan menjabat Tentara Belanda (KNIL) yang dibantu Pasukan Sekutu menyerbu Negara RI yang baru berdiri di beberapa tempat (Jakarta-Bogor, Semarang, Surabaya, Palembang, Medan) untuk menguasai kembali Indonesia yang sebelum Jepang wilayah ini dikuasai ratusan tahun lamanya. Pemerintah dan Pejuang Indoneia terdesak hingga terpaksa Ibukota RI dan Pemerintahanya RI pindah/hijrah ke Yogyakarta pada 6 Januari 1946, namun Ir. R. Sewandono dan keluarganya tidak mau ikut hijrah memilih pulang ke Negeri Belanda mengikuti isterinya yang memang orang Belanda, Kepala Jawatan Kehutanan digantikan oleh R. Soepardi yang terus memimpin dan membangun kehutanan termasuk sumber daya manusianya. Para Pimpinan Kehutanan waktu itu hanya berbekal pendidikan SLTA dan SLTP Kehutanan (MLS, MBS dan CS) karena di zaman Hindia Belanda pendidikan pegawai pribumi dan jabatannya di kehutanan  dikekang dan dibatasi. Oleh karena itu pada 1946 Kepala Jawatan Kehutanan mendirikan Akademi Kehutanan di Yogyakarta bersamaan dengan berdirinya Akademi Pertanian untuk memberikan kesempatan para pejabat tinggi kehutanan meningkatkan ilmu dan pengetahuannya. MBS di zaman Jepang diganti dengan Sekolah Kehutanan Menengah Tinggi (SKMT) di Yogya diganti dengan nama SKMA, Penyerbuan tentara Belanda terus berlanjut dan wilayah Indonesia yang dapat dikuasainya semakin luas, sebaliknya wilayah Indoneia semakin sempit. Di wilayah yang telah dikuasai Belanda dibentuk Pemerintahan Federal dan mendirikan berbagai intansi maupun lembaga pendidikan federal (Belanda) seperti Jawatan Kehutanan Pasundan di Bandung, Jawatan Kehutanan Kalimantan Barat di Pontianak, Jawatan Kehutanan Indonesia Timur di Makassar, Balai Penyelidikan Kehutanan, Hoofden Curses atau Kursus Kehutanan Lanjutan Tinggi (Akademi), MBS (SKMA) yang semuanya memakai bahasa Belanda. VABINOI dan majalah Tectona dihidupkan kembali. Di bidang Perkumpulan Pegawai pada 1946 di Madiun didirikan Serikat Buruh Kehutanan dan Angkatan Muda Kehutanan. Angkatan Muda Kehutanan ikut aktif berjuang untuk mempertahankan Kemerdekan RI dan mendirikan Perkumpulan Profesi Kehutanan disebut Persatuan Peminat Kehutanan. Di Pemerintah Federal Belanda juga didirikan Persatuan Ahli Kehutanan. Karena suasana perang di wilayah RI penerbitan majalah kehutanan belum dapat dilakukan.

LAHIRNYA MAJALAH RIMBA INDONESIA

Sebagai hasil perjuangan Bangsa Indoneia mempertahakan Kemerdekaan RI selama 4,5 tahun pada 19 Desember 1949 Pemerintah Belanda menyerahkan kembali Kedaulatan Negara Kesatuan RI melalui masa transisi dalam bentuk Negara Republik Inonesia Serikat (RIS). Hanya dalam waktu setengah tahun bangsa Indoneia bersepakat untuk kembali menjadi Negara Kasatuan atau NKRI yang dinyatakan pada saat Peringatan Kemerdekaan RI 17 Agustus 1950. Ibukota Negara kembali dari Yogya ke Jakarta, instansi-intansi pemerintahan bekas pemerintah Federal Belanda telah menyatu kembali dengan intasni Pemerintah RI. Demikian pula para pegawai kehutanan (rimbawan) juga berangsur-angsur menyatu walau awalnya saling curiga dan tidak senang karena pemerintah yang diikuti sebelumnya saling bermusuhan. Dalam pengangkatan pejabat juga suka ribut karena pegawai RI merasa lebih berhak sebab ikut berjuang menegakan NKRI sedangkan yang lain ikut musuh walaupun karena terpaksa. Berkat usaha persuasif dari pimpinan dan didasari oleh jiwa korsa Rimbawan yang kuat akhirnya mereka dapat menyatu secara utuh dan terus bekerja bersama dengan semangat membangun Negara yang tinggi. Perkumpulan pegawaipun berangsur menyatu termasuk perkumpulan profesi kehutanan Persatuan Peminat Kehutanan (PPK) dan Persatuan Ahli Kehutanan (PAK) pada tanggal 9 Juni 1952 di Bogor menyatakan bersatu menjadi Persatuan Peminat dan Ahli Kehutanan (PPAK). Pengurus PPAK dan Anggotanya sebagian besar terdiri dari para lulusan dan mahasiswa Akademi Kehutanan (pendidikan tertinggi kehutanan saat itu) dan banyak yang telah menjadi penjabat tinggi kehutanan. Indonesia saat itu baru punya seorang Insinyur Kehutanan lulusan Negeri Belanda yang telah menjadi Kepala Jawatan Kehutanan (Ir. R. Soesilo Hardjoprakoso). PPAK juga menginginkan bisa memiliki publikasi berbahasa nasional Indonesia sebagai media untuk tukar-menukar ilmu, pengetahuan, pengalaman, sumbangan pemikiran/pendapat untuk kemajuan kehutanan, hasil perjalanan tugas di dalam maupun di luar negeri, hasil percobaan dan lain lain guna menambah wawasan, keterampilan, bakti kepada Negara dan untuk memperkuat jiwa korsa kehutanan. Perlu diketahui bahwa meski Belanda telah meninggalkan Indonesia masih cukup banyak orang Belanda yang memiliki keahlian tertentu terutama para sarjananya diminta untuk tinggal sementara di Indonesia membantu penanganan pengembangan pembangunan di berbagai bidang termasuk di Pertanian dan Kehutanan. Beberapa pejabat teknis tertentu di Kantor Besar Kehutanan, Balai Penelitian Kehutanan, Pendidikan di Fakultas Pertanian dan Kehutanan (dosen) dan guru SKMA masih dipegang oleh orang Belanda. Karena itu VHABINOI diganti dengan VHABI dan majalah TECTONA masih berlanjut. Sayang dan maaf sampai saat terakhir penulisan, penulis tidak/ belum dapat memperoleh tanggal dan bulan lahirnya MRI di tahun 1952. Tetapi dengan dituliskannya di MRI 1953 sebagai penerbitan tahun Kedua dan di MRI 1955 sebagai penerbitan tahun Keempat, tidak diragukan lagi bahwa lahirnya MRI adalah di tahun 1952 setelah bulan Juni. Akhirnya pada tahun 1952 itu juga bisa terbit Majalah Rimba Indonesia berbahasa Indonesia pertama berkat usaha keras dari Pengurus PPAK terutama generasi mudanya yang bersemangat juang tinggi seperti Hatin Soedarma, Djiun, Priyono, Soedjarwo, Anwary Dilmy, Nizar Kamil, Tjahro Nurkamal, Ardikusuma, Karsoedjono, Pulung Soegondo didukung oleh para seniornya seperti R. Soepardi, Soetarmo Hardjosarwono, dan Odang Prawiradiredja. Tidak lama kemudian (1954) VHABI bubar dan majalah Tectona tutup.

PERKEMBANGAN MAJALAH RIMBA INDONESIA

MRI yang diterbitkan oleh PPAK dan mendapat dukungan penuh dari Kepala Jawatan Kehutanan serta mendapat sambutan yang baik dari masyarakat Rimbawan dapat berkembang baik sejalan dengan makin bertambah banyaknya anggota PPAK. Jumlah anggota PPAK yang ketika berdiri tahun 1952 baru berjumlah 97 orang pada tahun 1955 menjadi 903 orang. Penambahan terjadi tidak saja karena makin bertambahnya lulusan Akademi Kehutanan (tahun 1952 masih sekitar 35 tahun 1955 menjadi 80) dan meningkatnya jumlah pegawai kehutanan yang naik pangkat menjadi Ahli Praktik Kehutanan (Gol. Pangkt V b) juga karena bergabungnya para mahasiwa kehutanan yang telah lulus tingkat Kandidat II (C II) dan lulus Insinyur Kehutanan dari Faperta UGM dan UI Bogor ke PPAK. Juga para Rimbawan yang bertugas di daerah. Jumlah penerbitan MRI yang pada awal terbitnya tahun 1952 sebanyak 800 pada tahun 1955 meningkat menjadi 1.500 eksemplar didistribusikan tidak saja kepada para anggota PPAK dan Pelanggan MRI tetapi juga kepada seluruh Intansi Kehutanan di Indonesia bahkan sampai ke luar negeri.

Sambutan-sambutan penting atas hadirnya Majalah Rimba Indoneia di antaranya adalah:

  1.  Kepala Jawatan Kehutanan (Ir. R. Soesilo Hardjoprakoso).

Menjambut baik atas hadirnja Madjalah Rimba Indonesia sebagai media tukar menukar dan menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman dari para ahli kehutanan. Diharapkan akan dapat memberikan sumbangan besar bagi kemajuan Kehutanan dan mempereratkan rasa tali persaudaraan yang dapat memupuk djiwa korsa rimbawan sedjati (corpsgeest)                                                                               

    2.  Ketua Perlemen /Konstituante (Mr. Sartono) tanggal 17 Januari 1954

Indonesia memiliki hutan tidak kurang dari 1.239.500 km2. Akan tetapi sedjak Perang Dunia II mengalami begitu banjak kerusakan dan banjak tanah gundul lain jang tidak baik lagi untuk pertanian. Oleh karena itu minta kesanggupan jang luar biasa dari para Ahli Kehutanan dalam usaha reboisasi. Maka dalam mendjalankan kewadjiban jang berat tetapi mulia Madjalah Rimba Indonesia jang kusus untuk Ilmu kehutanan akan berguna sekali tidak sadja bagi kelancaran usaha pembangunan kembali hutan kita tetapi juga bagi perkembangan ilmu pengetahuan kehutanan pada umumnja.               

  1. Ketua PPAK (R. S. Atmooepono, 1954), Tujuan PPAK adalah:

a. Memperhatikan, mempelajari dan mempergunakan ilmu pengetahuan Kehutanan

b. Ikut mempertinggi mutu Jawatan Kehutanan dan mutu pengetahuan para pegawai Kehutanan

c.  Mengusahakan adanya perhatian masyarakat terhadap Kehutanan.

Dengan hadirnya MRI, PPAK beryukur bahwa: jalannya penerbitan semakin lancar, pembacanya baik di dalam maupun di luar negeri terus bertambah, perhatian terhadap isi majalah pun bertambah besar, karangan-karangan dari rimbawan dari seluruh nusantara semakin membanjiri meja redaksi, mempunyai sidang pengarang (redaktur) yang kompak susunan dan cara bekerjanya.  Susunan Pengurus MRI 1954 terdiri dari Ketua: R. Nizar Kamil, Anggota: M. Tjahro Nurkamal, Hasan Basyarudin, Hendarin, Djaja Endra, R. Poernomo Hamidjojo, Soemitro Soeryo, R. Soetardjo, Prijono, H. Djiun, BH Siregar, DN Manuputty, RM Soehando S, Soedarso, Koesrin, Roebai, R. Djoeber, Poeloeng Soegondo, Pembantu tetap: Prof. Ir. FKM Steup, R. Hardono Nariodiredjo, OML Tobing, Zufri Hamzah, R. Sanjoto, Prof. Ir. E H P Yuta, Ir. W Wepf, dan St Moh Arief.  Isi MRI lebih kurang sama dengan Tectona hanya ditambahkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan jiwa korsa rimbawan. Beberapa contoh tulisan yang bersifat keilmuan antara lain adalah:

  1. Di awal-awal tahun MRI
    1. Soepardi, Pinus merkusii di Tanah Gayo dan Membuat damar dan terpentin di Lampahan Aceh
    2. Soenjoto, Memperbesar produksi kayu jati di Jawa
    3. Ardikusuma, Percobaan tanaman Shorea leprosula di Jawa
    4. D N Manuputty, Keluarga Agathis di Indonesia
    5. Verns, Hutan payau di sekitar Kalimantan Tenggara
    6. W Wepf, Verpleging en dunning v boscultuuren (Perawatan dan penjarangan hutan tanaman.

       b. Antara tahun 1958-1964

    1. G Odentaal, Beberpa catatan tentang potret udara, penafsirannya dan penggunaannya
    2. LWM Meulenhoff, Variasi berat jenis, panjang serat dan kadar selulosa kayu Pinus merkusii
    3. Moh Weiss dn Soewanda AP, Ekpedisi Cendrawaih 1 ke daerah Pegunungan Tengah Irian Barat
    4. Sadikin Dj., Suatu approach dalam menentukan harga pokok hasil hutan
    5. F Versteegh. Generalm instruction for the management of protection forest in Indonesia.

     c. Antara tahun 1965-sekarang

Pada tahun 1965-1967 sewaktu masa krisis politik di Indoneia MRI mengalami penurunan tetapi setelah itu mulai bangkit kembali terlebih lagi setelah terbentuknya Departemen Kehutanan 1983. Tetapi kemudian mungkin karena kesibukan yang besar dari para pejabat kehutanan MRI semakin sulit mendapatkan tulisan dari para pejabat, tulisan yang dimuat MRI sebagian terbesar berasal dari Lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi Kehutanan. Awalnya penyajian tulisan hasil penelitian disajikan secara ilmiah populer tetapi kemudian disajikannya secara lengkap seperti dalam proses penelitiannya termasuk prosedur statistiknya dan hitungan statistik matematikanya sehingga bagi para pembaca praktisi kehutanan di lapangan terasa menjemukan dan menjadi kurang menarik apalagi hal-hal yang bersifat pembinaan keluarga rimbawan terasa semakin ditinggalkan. Bapak Dr. Soedjarwo mantan Menteri Kehutanan yang sangat mencintai MRI ini karena sewaktu mudanya ikut membidani lahirnya MRI  dan yang menjiwai benar maksud dan tujuan MRI merasa prihatin lalu minta diusahakan perbaikan termasuk mengubah bentuk majalahnya dari yang semula berbentuk buku kemudian diubah menjadi bentuk majalah seperti pada umumnya (1990) dan isinyapun supaya disesuaikan dengan maksud dan tujuan penerbitan awalnya terutama sifat dan fungsinya yang tidak melupakan kepentingan pembinaan jiwa korsa rimbawan. Sebelum wafatnya beliau mengamanatkan kepada Ketua Umum Pengurus Yayaan Sarana Wana Jaya (Bapak Ir. Wardono Saleh) agar MRI terus dipelihara dan dijaga keberlanjutannya (jangan sampai mati) untuk kepentingan Rimbawan Indonesia. Alhamdulillah sudah 25 tahun lebih sejak amanat tersebut disampaikan MRI masih tetap eksis dan terus bertambah baik bentuk maupun isinya, bahkan sejak Volume 65, April 2020 telah terbit juga versi online melalui website https://rimbaindonesia.id agar dapat menjangkau pembaca lebih luas. Tiap terbit MRI dicetak antara 800-1.000 eksemplar setahun terbit minimal 3 kali dan diedarkan ke seluruh Indonesia (Instansi Kehutanan, Perusahaan. dan para Peminat lainnya).

          Sebagai ilustrasi berikut disajikan kopi dokumen cover depan MRI dari beberapa tahun, juga cover depan Tectona.

PENUTUP       

Demikian sekilas tentang MRI dan Tectona. Kelanjutan hidup MRI ini memerlukan bantuan banyak pihak ya dana, ya daya terutama sumber daya manusia yang mengasuhnya serta para penulisnya yang lama maupun yang baru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *