Artikel Utama

PENERAPAN TUMPANGSARI DALAM MEMBANGUN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

Oleh : Dr. Ir. Tjipta Purwita, MBA, IPU, ASEAN Eng.

(Direktur Utama PT Inhutani II Periode 2012-2017; Direktur Tanaman PT Musi Hutan Persada Periode 2009-2012; Direktur Keuangan Perum Perhutani Periode-Periode 2005-2008; Direktur Pengembangan PT Inhutani II Periode 2001-2005; Ketua Penshutindo DK Jakarta Raya; Wakil Ketua Umum Persaki; Wakil Ketua Umum Pimpinan Saka Wanabhakti Nasional; Ketua Pusat Bisnis Universitas Moestopo Jakarta; Ketua Pusat Pariwisata Berkelanjutan Universitas Atma Jaya Jakarta; Ketua Majelis Etik Himpunan Alumni Fahutan IPB University)

PENDAHULUAN

Presiden Prabowo Subianto memiliki agenda penting untuk meningkatkan swasembada pangan dan energi, termasuk pengembangan bahan bakar berbasis bio untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar. Ditegaskan dalam Asta Cita Kedua, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bertekad untuk memantapkan sistem pertahanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi syariah, ekonomi digital, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.

Menindaklanjuti kebijakan Presiden tersebut, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengumumkan rencana untuk mengubah 20 juta ha hutan menjadi areal produksi pangan, energi, dan cadangan air. Dari luasan itu, areal seluas 1,1 juta ha di antaranya diproyeksikan dapat menghasilkan 3,5 juta ton beras per tahun, selain berencana menanam aren sebagai sumber bioetanol.

Beberapa kalangan NGO/aktivis lingkungan bersikap skeptis dan mengkhawatirkan rencana di atas, karena dinilai berpotensi meningkatkan laju deforestasi. Namun Menteri Kehutanan membantah kekhawatiran tersebut, sembari menegaskan bahwa rencana cadangan pangan dan energi seluas 20 juta ha akan “memaksimalkan” fungsi hutan melalui sistem agroforestry dan menargetkan lahan yang sudah ada dalam konsesi, bukan hutan perawan (virgin forest).

Melalui artikel ini, penulis ingin berbagi pengalaman dalam membangun salah satu sistem agroforestry yang telah dipraktikkan di Pulau Jawa (pengalaman Perum Perhutani) maupun di luar Pulau Jawa (pengalaman PT Inhutani II), yaitu agroforestry pola tumpangsari. Sistem ini tidak membuka lahan baru, tetapi mengoptimalkan kawasan hutan produksi yang ada sehingga tidak ada risiko terjadinya deforestasi seperti dikhawatirkan oleh para penggiat lingkungan. Dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang telah menjadi areal kelola Perum Perhutani maupun areal perizinan berusaha PT Inhutani II, dapat membantu ketahanan pangan nasional yang dicita-citakan oleh Presiden Prabowo Subianto. Insya Allah.

PENGALAMAN PERUM PERHUTANI MEMBANGUN TUMPANGSARI DI PULAU JAWA 

Perum Perhutani adalah BUMN yang mengelola sumberdaya hutan di Pulau Jawa dan Madura dengan menerapkan prinsip-prinsip kelestarian dan good corporate governance. Visi yang diemban oleh Perum Perhutani adalah “menjadi perusahaan pengelola hutan berkelanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat”, sedangkan misinya adalah: (1) mengelola sumberdaya hutan secara lestari; (2) peduli kepada kepentingan masyarakat dan lingkungan; serta (3) mengoptimalkan bisnis kehutanan dengan menerapkan prinsip good corporate governance (GCG).

Menarik sekali mencermati praktik agroforestry pola tumpangsari yang telah dilakukan oleh Perum Perhutani di Pulau Jawa.  Praktik tumpangsari meskipun bukan asli berasal dari Indonesia, tetapi untuk kondisi sosial ekonomi Pulau Jawa yang penduduknya begitu padat dan lapar lahan serta kondisi lahannya relatif subur, maka pratik tumpangsari merupakan jawaban yang tepat dalam membangun kemitraan pengelolaan hutan di Pulau Jawa.

Perum Perhutani telah mengembangkan program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), suatu program yang sangat bagus untuk membangun kolaborasi antara Perum Perhutani sebagai pemangku kawasan hutan di Pulau Jawa dengan masyarakat sekitar hutan yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Salah satu kegiatan yang dikembangkannya adalah agroforestry pola tumpangsari dengan berbagai macam komoditas yang ditanam. Saat ini tercatat ± 5.395 LMDH yang telah bekerjasama dengan Perum Perhutani, dengan 62 jenis komoditas yang telah dikembangkan, diantaranya pola tumpangsari dengan tanaman semusim berupa padi, jagung, kedelai, kacang tanah, sorghum, dan lain-lain.

Sebagai perusahaan yang berada di Pulau Jawa dengan kompleksitas sosial yang sangat tinggi, maka menjadi keniscayaan bagi Perum Perhutani untuk melakukan adaptasi terhadap dinamika sosial masyarakat, dengan melancarkan transformasi paradigma pengelolaan hutan sebagai-berikut:

  • Dari State Based menjadi Community Based

Perum Perhutani tidak hanya mengandalkan dukungan pemerintah (negara) semata, melainkan mengembangkan pula sifat “kemandirian” dengan memperhatikan kepentingan masyarakat luas (community based). Terlebih lagi bentuk badan usaha Perhutani adalah Perum (Perusahaan Umum), sehingga harus memperhatikan kepentingan umum masyarakat.

  • Dari Timber Based menjadi Forest Resource

Perum Perhutani tidak hanya mengandalkan produk kayu, melainkan terus menggali sumber penerimaan dari seluruh potensi areal kelolanya, terutama hasil hutan bukan kayu (HHBK). Karena itu Perum Perhutani mengembangkan multi usaha kehutanan (MUK) yang begitu beragam produknya dan tidak hanya mengandalkan pada kekuatan satu-dua komoditas tertentu saja.

  • Dari Security Approach menjadi Properity Approach

Pada masa lalu dalam menjaga aset-aset yang dimilikinya, Perum Perhutani seringkali menerapkan pendekatan keamanan (security approach) sehingga tindakan para Mandor di lapangan, seringkali bersifat represif. Namun lambat-laut terjadi transformasi, yaitu perusahaan tidak hanya mendasarkan pada pendekatan hukum dan polisional (represif) semata, tetapi bergeser kepada pendekatan kesejahteraan (prosperity approach), misalnya melalui kegiatan tumpangsari, sehingga masyarakat dapat memperoleh kemanfaatan dari hutan yang dikelola oleh perusahaan.

Bagaimana penerapan tumpangsari di Pulau Jawa? Secara umum tumpangsari adalah penanaman tanaman atau komoditas pertanian semusim (palawija) di antara tanaman pokok yang dilakukan oleh petani hutan (pesanggem) dengan kewajiban para pesanggem untuk melakukan pemeliharaan terhadap tanaman pokok maupun tanaman sela. Tujuan akhir dari tumpangsari adalah untuk meningkatkan hasil panenan per petak tanah. Secara teknis, pola tumpangsari idealnya diterapkan di lokasi yang tanahnya relatif subur, tenaga kerja setempat cukup tersedia, kondisi sosial ekonomi dan budaya mayarakatnya mendukung (feasible) serta memberikan kemanfaatan ekonomi masyarakat.

Adapun azas yang dianut dalam penerapan pola tumpangsari adalah: (1) berorientasi pada ekologi, ekonomi, dan sosial, yaitu kegiatan harus mendasarkan pada prinsip korporasi dan keberkelanjutan, sehingga harus berorientasi pada aspek ekologi, ekonomi, dan sosial secara proporsional; (2) mendasarkan pada fungsi hutan, yaitu kegiatan tumpangsari harus sejalan dan bahkan mendukung fungsi hutan yang digunakan serta tidak diperkenankan merubah fungsi hutan; serta (3) harus sejalan dengan tujuan jangka panjang perusahaan dan kelas kesesuaian lahan (land suitability).

Memperhatikan kondisi hutan Jawa yang sangat rawan terhadap terjadinya bencana alam (tanah longsor, banjir, maupun erosi tanah), maka pemilihan jenis yang tepat menjadi sangat urgen bagi keberhasilan kegiatan tumpangsari. Karena itu pemilihan jenis-jenis komoditas kegiatan tumpangsari harus memenuhi ketentuan-ketentuan: (1) memenuhi kesesuaian dan kemampuan lahan; (2) memenuhi prinsip-prinsip mutualistik, yaitu memberikan kemanfaatan  yang bersifat “win-win” dan saling menguntungkan (mutual-benefit) bagi para pihak (masyarakat dan Perum Perhutani); serta (3) memenuhi azas konservasi, yaitu menerapkan teknik-teknik penanaman tumpangsari yang menjamin azas konservasi (memperhatikan kondisi topografi areal, pembuatan terasering, penanaman mengikuti prinsip “nyabuk gunung”, pembuatan “terucuk”, dan lain-lain teknik penanaman yang ramah lingkungan).

Secara garis besar, kegiatan tumpangsari tentu sangat  menguntungkan, baik dari aspek silvikultur, sosial, maupun lingkungan, yaitu: (1) keragaman hayati (biodiversity) terjaga, karena tanaman tidak lagi monokultur; (2) memberikan kerjasama mutualistik yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak (masyarakat pesanggem maupun Perum Perhutani); (3) memberikan manfaat secara simultan, baik dari sisi ekologi, ekonomi maupun sosial secara bersamaan; (4) kegiatan tumpangsari berpedoman pada kaidah-kaidah sosial, sehingga secara langsung maupun tidak-langsung masyarakat merasakan kemanfaatannya; (5) pemanfaatan lahan kosong di sela-sela tanaman pokok, penggunaan cahaya, air serta unsur hara yang lebih efektif, mengurangi risiko kegagalan panen, menekan pertumbuhan gulma (tanaman pengganggu); serta (6) merupakan solusi pertanian mutakhir (menanam berbagai jenis tanaman dalam satu lahan secara bersamaan,  menghemat lahan dan  meningkatkan produktivitas lahan).

Kegiatan tumpangsari merupakan kontrak kerjasama antara dua (2) pihak, yaitu masyarakat (pesanggem) dengan Perum Perhutani, disertai pengaturan sebagai-berikut: (1) kewajiban Perum Perhutani adalah: (a) membimbing dan memberikan petunjuk mengenai cara menanam dan memelihara tanaman, (b) menyediakan prasarana dan sarana pembuatan tanaman hutan, (c) membayar uang kontrak/uang borongan/uang harian, dan (d) memperhatikan kesejahteraan sosial pekerja tanaman; sedangkan (2) kewajiban petani (pesanggem) adalah: (a) mentaati dan melaksanakan segala petunjuk dari Perhutani, (b) mempersiapkan lapangan, (c) menanam tanaman hutan, (d) memelihara tanaman hutan, (e) memelihara jalan-jalan pemeriksaan dan selokan-selokan air, serta (f) menjaga dan membebaskan tanaman hutan dari gangguan/kerusakan.

Gambar 1. Tumpangsari dengan tanaman padi gogo (padi gunung) di sela-sela tanaman jati Perum Perhutani, menunjukkan hasil yang sangat bagus.

Sementara dari sisi hak yang diterima kedua belah pihak, diatur sebagai-berikut: (1) hak Perum Perhutani adalah berhak memutuskan hubungan  kerja dengan petani (pesanggem) yang melalaikan kewajiban dan menunjuk penggantinya; sedangkan (2) hak yang diterima oleh petani (pesanggem) adalah: (a) menerima pembayaran upah yang layak bagi pembuatan tanaman hutan, (b) berhak sepenuhnya atas hasil tanaman pertanian, (c) mendapat kesempatan memungut kayu untuk keperluan sendiri, (d) mendirikan gubuk-gubuk untuk menjaga keamanan tanaman (dibantu oleh Perhutani).

Petani hutan (pesanggem) disamping berkewajiban menanam tanaman semusim, juga diberi tanggungjawab untuk melakukan pemeliharaan terhadap tanaman pokok maupun tanaman sela. Dengan demikian maka pemanfaatan lahan hutan Perhutani dapat dilakukan secara lebih optimal dan memberikan hasil akhir yang lebih tinggi, dengan catatan harus dilakukan pengawalan secara ketat dan disiplin mulai dari pembibitan di persemaian hingga proses penanaman di lapangan, yaitu: (1) proses di persemaian meliputi: (a) seleksi benih secara ketat, (b) benih yang sehat dilakukan penyemaian, (c) seleksi bibit yang sehat untuk ditanam di lapangan dengan % kualitas benih yang memenuhi standar; (2) proses penanaman di lapangan meliputi: (a) persiapan penanaman, (b) bibit yang sehat dilakukan penanaman di lapangan, (c) dilakukan evaluasi dengan melihat % tumbuh-nya, (d) jika ada yang mati, segera dilakukan sulaman, (e) evaluasi % tumbuh dan kualitas, serta (f) evaluasi % tumbuh dan kualitas bonita tempat tumbuh.

Pola tanam tumpangsari di kawasan hutan Perum Perhutani, khususnya pada tanaman jati memberikan nilai tambah bagi para petani hutan (pesanggem), karena dari kegiatan tersebut pesanggem bisa memperoleh penghasilan dari hasil tanaman palawija maupun tanaman pertanian lainnya.  Sebagai contoh, pada kawasan hutan Petak 49a RPH Kedungringin, BKPH Ngliron, KPH Randublatung misalnya, per hektar rata-rata dihasilkan 6–7 ton gabah kering.  Jika dikalkulasi dari petak tersebut, petani bisa memperoleh sekitar 150 ton gabah kering panen.  Hasil yang cukup signifikan bagi para petani hutan.

 

Gambar 2.  Tumpangsari dengan jarak tanam 6 x 2 m, memanfaatkan larikan antara tanaman pokok jati (Tectona grandis) dengan penanaman tanaman semusim berupa kacang-tanah.

Perum Perhutani mendapatkan bagi hasil (sharing) dari kegiatan agroforestry dengan besaran yang bervariasi sesuai dengan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Perum Perhutani dan LMDH. Pendapatan agroforestry Perhutani sampai dengan tahun 2023 tercatat sebesar Rp124,70 miliar (80,12% dari target RKAP tahun 2023), namun meningkat 31,30% bila dibandingkan dengan target pendapatan agroforestry pada tahun 2022 sebesar Rp94,98 miliar.  Penyebab tidak tercapainya pendapatan agroforestry antara lain karena adanya permintaan mitra (LMDH) untuk dilakukan pengurangan nilai sharing, penurunan produksi dan gagal panen pada beberapa komoditi, serta beberapa harga komoditi mengalami penurunan (Annual Report 2023).

PENGALAMAN PT INHUTANI II MEMBANGUN TUMPANGSARI DI LUAR JAWA 

Pengalaman penerapan tumpangsari di luar Pulau Jawa dilakukan oleh PT Inhutani II, suatu BUMN di bidang kehutanan yang merupakan hasil likuidasi dari PN Perhutani Kalimantan Selatan dan Proyek Khusus Pontianak. Visi yang diemban oleh PT Inhutani II adalah “menghasilkan produk hasil-hutan yang berkualitas dan ramah terhadap lingkungan yang dihasilkan oleh sumberdaya manusia yang profesional”. Sedangkan misinya adalah “mengusahakan sumberdaya hutan secara lestari menurut sistem dan kriteria yang dapat diterima secara internasional”. Fokus kegiatan tumpangsari di PT Inhutani II meliputi 2 provinsi, yaitu: (1) Provinsi Kalimantan Selatan (HTI Semaras, HTI Tanjung Seloka, dan HTI Senakin di Kabupaten Kotabaru) dan (2) Provinsi Kalimantan Timur (HTI Tanah Grogot di Kabupaten Paser).

Ada beberapa alasan mengapa PT Inhutani II menerapkan kegiatan tumpangsari, yaitu: (1) pola pertanian masyarakat di sekitar areal kerja masih menggunakan cara-cara tradisional (ladang berpindah) dengan sekali tanam kemudian ditinggalkan. Karena itu, PT Inhutani II mengajak masyarakat untuk melakukan pola bertani yang menetap melalui tumpangsari, sehingga tidak memboroskan lahan; (2). tersedia cukup lahan di PT Inhutani II yang ideal untuk ditanami tanaman pangan di antara jalur tanaman pokok, sehingga secara teknis sistem tumpangsari sangat layak untuk diterapkan; (3). tersedia waktu yang cukup bagi satu kali masa tanam padi gogo sampai tajuk tanaman pokok (Acacia mangium) menutup.

Ada beberapa keuntungan dari kegiatan tumpangsari yang dilakukan PT Inhutani II, diantaranya adalah: (1) dengan sistem tumpangsari, biaya pemeliharaan awal dapat ditekan karena input yang diberikan kepada tanaman pangan juga dinikmati oleh tanaman pokok (Acacia mangium); (2) tanaman yang diperoleh melalui kegiatan tumpangsari umumnya pertumbuhannya lebih baik daripada tanaman yang tidak ditumpangsarikan; (3) mengurangi kesulitan memperoleh tenaga kerja dalam kegiatan pembangunan hutan tanaman (HTI); serta (4) sebagai bentuk kepedulian perusahaan bagi peningkatan perekonomian dan ketahanan pangan masyarakat sekitar areal kerja PT Inhutani II.

Kegiatan tumpangsari PT Inhutani II dari tahun ke tahun masih fluktuatif, tetapi kecenderungannya semakin bertambah luas. Rata-rata dalam satu tahun ditanam seluas ± 1.000 ha. Berbeda dengan praktek tumpangsari di Pulau Jawa, kelompok tani hutan (KTH) dari masyarakat desa-desa sekitar hutan di Kalimantan Selatan pada umumnya masih sangat asing dengan kegiatan tumpangsari, sehingga masih terjadi fluktuasi dalam melakukan penanaman di antara jalur tanaman pokok. Namun demikian, ada beberapa manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat (kelompok  tani) peserta program tumpangsari, diantaranya adalah: (1) memberi peluang lahan garapan baru untuk menghasilkan tanaman pangan; (2) kesempatan bagi masyarakat mendapatkan upah/insentif dari setiap tahapan pekerjaan pembuatan tanaman pokok; serta (3) sebagai alternatif pekerjaan lain di luar pekerjaan rutin yang telah ada.

Gambar 3. Kegiatan tumpangsari padi gogo di areal kerja PT Inhutani II yang sudah siap panen di Pulau Laut

PT Inhutani II juga melakukan uji coba penanaman agroforestry kombinasi “sengon-singkong gajah” dengan menerapkan pola koridor seluas 100 ha (tahap I dan II). Ujicoba agroforestry ini dilakukan dalam rangka optimalisasi lahan HTI Pulau Laut. Namun PT Inhutani II sendiri mengakui, bahwa kegiatan tumpangsari adalah sesuatu yang relatif baru, sehingga masih dalam taraf pembelajaran (ujicoba). Standar biaya yang diterapkan juga masih relatif rendah (yaitu Rp930.000per ha), dengan rincian sebagai-berikut: a. upah persiapan lahan = Rp700.000/ha; b. bantuan obat-obatan = Rp115.000/ha; c. bantuan benih = Rp115.000/ha; sehingga total biaya = ± Rp 930.000/ha.

Gambar 4. Kegiatan pemanenan hasil tumpangsari di Pulau Laut

Kendala yang masih dirasakan dalam pembangunan tumpangsari di PT Inhutani II, diantaranya adalah: (1) terbatasnya ketersediaan tenaga kerja terutama dari penduduk lokal; (2) kemampuan mengerjakan lahan terbatas, yaitu maksimal 2 sampai 3 hektar per KK per tahun; (3 pola tanam masih tergantung pada cuaca/musim; (4) persiapan lahan dilakukan pada pertengahan musim kemarau dan penanaman benih pada awal musim hujan; (5) perubahan pola cuaca sangat berpengaruh pada luasan lahan tumpangsari; (6) masih menggunakan pola tebas bakar yang “dilarang”/dibatasi  oleh Pemerintah; (7) masyarakat hanya mau menanam padi gogo varietas lokal sebagai tanaman tumpangsari (jagung dan kedelai tidak diminati); (8) belum ada upaya sosialisasi/penyuluhan peningkatan  ketahanan cadangan pangan yang melibatkan komponen perusahaan dan petugas pertanian setempat.

Gambar 5.    Penanaman tumpangsari dengan metode “TOT” (tanpa olah tanah) di areal kerja PT Inhutani II, merupakan salah satu metode yang diujicobakan oleh PT Inhutani II

CATATAN PENUTUP 

Meskipun kegiatan tumpangsari sudah sangat populer, terutama di Pulau Jawa, tetapi kegiatan tumpangsari di luar Pulau Jawa merupakan hal yang baru. Masyarakat lokal masih menyenangi aktivitas pola ladang berpindah (shifting cultivation) yang relatif memboroskan tanah dan sangat rawan terjadinya kebakaran hutan. Karena itu aktivitas tumpangsari merupakan inovasi baru yang mendukung lumbung pangan masyarakat sekitar hutan.

Pengembangan agroforestry pola tumpangsari dapat menjadi solusi yang adaptif dan mitigatif guna mendukung ketahanan pangan nasional, karena menyediakan sumber pangan yang beragam, meningkatkan produktivitas lahan, melindungi sumber daya alam, serta membantu petani beradaptasi terhadap perubahan iklim. Melalui penanaman berbagai jenis tanaman secara tumpangsari, lahan dapat dimanfaatkan secara lebih efisien. Namun demikian kegiatan tumpangsari yang dilakukan oleh Perum Perhutani maupun PT Inhutani II dalam praktiknya masih banyak mengalami masalah dan kendala, sehingga perlu dilakukan perbaikan yang terus-menerus (continuous-improvement), agar menghasilkan keluaran (output) yang lebih optimal.

Gambar 6.     Penulis selaku Dirut PT Inhutani II (2012-2017) berpose bersama petani tumpangsari di depan katung-karung beras hasil panenan di Pulau Laut, Kalimantan Selatan.

PT Inhutani II (yang sekarang telah merger ke dalam PT Inhutani I) perlu terus belajar dari Perum Perhutani sebagai induk holdingnya. Demikian pula Perum Perhutani perlu terus melakukan riset dan pengembangan terhadap sistem tumpangsari agar dapat memenuhi economies of scale serta memperoleh nilai-tambah yang optimal. Sejauh ini PT Inhutani II tidak memungut hasil dari kegiatan tumpangsari (karena 100% hasilnya dinikmati oleh masyarakat), sementara Perum Perhutani memperoleh revenue hanya sebagai bagian kecil dari nilai “sharing” yang disepakati. Sebagian besar hasil tumpangsari memang dinikmati oleh masyarakat luas. Korporasi lebih menikmati “intangible-benefit” karena petani hutan berperanserta dalam menjaga dan menyuburkan tanaman pokok maupun tanaman sela, sehingga tanaman Perhutani/PT Inhutani II lebih subur, lebih terjaga dan lebih aman dari potensi gangguan eksternal.

Namun untuk mendukung ketahanan pangan yang masif, maka penerapan agroforestry pola tumpangsari memerlukan pendekatan yang berkelanjutan (sustainable) agar tidak hanya fokus pada peningkatan produktivitas hasil panenan, tetapi juga menjamin aspek pasarnya, serta tetap mampu mempertahankan fungsi ekologis hutan, yaitu terjaminnya keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem jangka panjang.

Terakhir, peyediaan kawasan hutan seluas ± 20 juta ha menjadi areal produksi pangan, energi, dan cadangan air, telah menjadi isu publik. Guna mengantisipasi kekhawatiran akan terjadinya deforestasi yang makin masif, maka diperlukan perencanaan yang cermat dan sinergitas antar sektor yang kondusif, sehingga tidak terjadi tarik-menarik (trade off) antara pengembangan pangan, energi, dan cadangan air dengan kegiatan lainnya seperti rehabilitasi hutan, konservasi tanah dan air, produksi kayu, HHBK, serta pencapaian target penurunan emisi GRK (FOLU Net Sink 2030). Karena itu komitmen Menteri Kehutanan untuk “memaksimalkan” fungsi hutan melalui sistem agroforestry dan menargetkan lahan yang sudah ada dalam konsesi untuk mendukung produksi pangan, energi, dan cadangan air, patut memperoleh apresiasi dan dukungan semua pihak. Sementara itu, optimalisasi agroforestry pola tumpangsari adalah salah satu terobosan yang strategis dalam mewujudkan visi Presiden, khususnya di bidang swasembada pangan.  Insya Allah.

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *