Artikel Utama

REFLEKSI KEBIJAKAN 20 JUTA HEKTARE KAWASAN HUTAN UNTUK PANGAN DAN ENERGI

Oleh: Ir. Soetrisno Karim, M.M., IPU, ASEAN Eng.

(Anggota Majelis Kehormatan Etik Persatuan Insinyur Indonesia dan sebagai senior Forest Policy Advisor di berbagai Perusahaan Swasta)

Penulis menyajikan tulisan ini merupakan dukungan pada program pemerintah untuk mewujudkan 20 juta hektare untuk tanaman pangan dan energi, namun penulis mengajak semua pihak menanggapi program tersebut perlu selalu diselipi dengan aktifitas pemikiran reflektif untuk menuju kepada kebaikan dan kesejahteraan semua pihak.

Martin Heidegger (1889-1976) menginspirasi bahwa keberadaan manusia harus merefleksikan keberadaannya di dunia untuk memahami makna hidup, refleksi otentik akan membawa manusia keluar dari rutinitas yang tak bermakna dan ujungnya akan menghadapi “ kecemasan eksistensial” kita secara kolektif sebagai bangsa.

Secara fundamental membahas hakikat keberadaan, eksistensi, dan realitas adanya hutan rusak seluas 20 juta hektare dan implikasi kebijakan hutan rusak tersebut untuk pangan dan energi mari kita lihat apa  saja  entitas yang terlibat, hubungan-hubungannya, dan asumsi yang mendasarinya.

Mari kita identifikasi komponen-komponen utamanya. Kebijakan ini menargetkan konversi hutan yang tidak produktif atau terdegradasi menjadi lahan pertanian (?) untuk pangan dan energi. Komponen utama atau entitas aktual yang utama di sini adalah pemerintah, hutan, lahan, tanaman (pangan dan energi), masyarakat, investor dan lingkungan yang lebih luas.

Jika hutan bukan sekedar kumpulan pohon, tetapi ekosistem dengan berbagai unsur biotik dan abiotik sebagai komponen ekosistem yang saling berinteraksi saling ketergantungan, sekalipun hutan tersebut rusak mungkin karena karena overlogged, jika dikonversi menjadi tanaman monokultur pangan dan energi, maka tentunya semua stakeholders akan  mendefinisikan ulang bahwa tujuan hutan dari ekosistem alami menjadi sumber daya ekonomi.  Konversi ini mengubah hutan sebagai ekosistem sebagai  pusat keanekaragaman hayati menjadi unit produksi.

Tentunya kita bertanya apa  konsep hutan “tidak produktif” atau “terdegradasi” itu?  Apa yang dimaksud dengan tidak produktif dalam konteks ini? Apakah hutan bekas tebangan (overlogged area) atau hutan sekunder bekas hutan tebang habis, atau hutan yang berpohonan yang dianggap tidak komersial, atau lahan kritis yang tidak bervegetasi? Dari sudut pandang ekologi, bahkan hutan yang terdegradasi memiliki peran dalam penyerapan karbon, pelestarian tanah, dan mendukung satwa liar. Mungkin memprioritaskan produktivitas ekonomi untuk kepentingan manusia daripada fungsi ekologis, pasti akan terjadi anggapan bahwa semua itu  menunjukkan adanya pergeseran nilai. Secara yuridis jika itu terjadi maka definisi hutan dan Kawasan hutan di dalam Undang Undang perlu direvisi.

20 juta hektare adalah area yang sangat luas. ini menyiratkan bahwa pemerintah memandang hutan dan Kawasan hutan adalah “lahan sebagai komoditas” telah tercerabut makna dari keberadaan lahan tersebut yang pada dasarnya bukan lahan dalam konotasi pertanian, namun entitas yang menjadi satu kesatuan dalam ekosistem.  Ini juga menimbulkan pertanyaan tentang batas batas intervensi manusia untuk manipulasi sumber daya alam sebagai ekosistem yang keberlanjutan pada skala besar tersebut.

Tanaman pangan dan energi adalah aspek lainnya. Tanaman pangan menangani ketahanan pangan, sementara tanaman energi (seperti minyak sawit untuk biodiesel, jenis jenis tanaman legum seperti lamtoro) yang ditanam secara monokultur menjadi entitas energi yang mandiri. Kawasan hutan dan hutan memiliki definisi tersendiri tanaman pangan dan energi juga memiliki definisi tersendiri. Tujuan ganda ini menunjukkan lahan melayani berbagai kebutuhan manusia, tetapi mungkin mengabaikan batasan ekologis. Sangat mungkin akan timbul  konflik antara kebutuhan manusia jangka pendek dan kesehatan lingkungan jangka panjang.

Para pihak sudah’’terberi adanya’’ meliputi pemerintah, masyarakat lokal, kelompok pencinta  lingkungan, dan industri. Masing-masing memiliki perspektif yang berbeda. Pemerintah mungkin melihat lahan sebagai aset politik dan ekonomi, sementara masyarakat adat mungkin melihatnya sebagai warisan budaya dan leluhur, pencinta lingkungan melihat lahan hutan tidak dimaknai sebagai lahan secara parsial tapi dia ada bersama komponen ekosistem. Hal ini menyebabkan potensi konflik nilai dalam prioritas penggunaan lahan.

Melihat implikasinya, konversi hutan dapat menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, gangguan ekosistem, dan peningkatan emisi karbon jika tidak dikelola secara berkelanjutan. Melihat gagasan ini bagi para profesional rimbawan dipastikan membayangkan ini suatu indikasi kuat pemerintah mencerminkan prioritas nilai antroposentris daripada nilai ekosentris.  Namun, jika program tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan bagaimana mewujudkan pemahaman restorasi, hal itu dapat menyeimbangkan kebutuhan manusia dengan pemulihan ekologis.

Jika penulis meminjam perspektif filosofis Sarte: jika Pemerintah atau mungkin sebagian Rimbawan membenarkan alih fungsi hutan dengan klaim seperti “kita tidak punya pilihan lain demi ketahanan pangan dan energi, padahal apa iya tidak ada pilihan atau tidak ada alternatif lain (misalnya, intensifikasi lahan pertanian yang ada, redistribusi lahan tidur, atau agroforestry, kerjasama dengan masyarakat pemilik lahan dan lain-lain)? Merasa tidak ada alterlatif pilihan lain sebetulnya menurut Sartre: telah keluar dari ke otentikan bahwa manusia memiliki pilihan bebas, bukan memiliki pilihan terkekang. Jika kebijakan tersebut diputuskan hanya sepihak oleh pemerintah tanpa menganggap ada kebenaran bersama dengan pihak lain, maka kebijakan ini didasarkan pada pembenaran palsu (seperti mengklaim “tidak ada alternatif”) tanpa refleksi kritis. Jika Pemerintah menolak mengakui bahwa pilihan Pemerintah bersifat sementara (kontingen) atau nanti bisa saja didiskusikan apa nilai nilai yang penting diterapkan untuk keberlanjutan), karena ada  tanggung jawab atas risiko ekologis dan sosial, seperti banjir, kepunahan spesies, atau konflik agrarian, maka pemerintah lebih jauh keluar dari keotentikan.

Pada tataran implementasi: bagaimana pemerintah mendefinisikan “hutan tidak produktif” dan metode yang digunakan untuk konversi akan membentuk realitas baru dari  lahan tersebut? Jika menggunakan praktik berkelanjutan, mengintegrasikan kesehatan ekologis dengan produktivitas. Jika tidak, hal itu dapat menyebabkan degradasi lebih lanjut.

Apa asumsi yang mendasarinya? Apakah produktivitas ekonomi adalah yang terpenting?  Atau mengantisipasi eksistensi negara untuk bisa bertahan jika ada perang dunia ketiga karena kita telah tercukupi secara mandiri pangan dan energi? Apakah intervensi manusia pada hutan tidak produktif dapat memperbaiki lahan yang “tidak produktif”, menjadi ekosistem yang terrestorasi? atau  proyek pertanian skala besar merupakan solusi yang layak?  Asumsi-asumsi ini mungkin tidak memperhitungkan sistem ekologi yang kompleks dan keberlanjutan jangka panjang.

Singkatnya, program 20 juta hektare Kawasan hutan tidak produktif menunjukkan aliran pemahaman bahwa sumber daya yang harus dioptimalkan untuk kepentingan manusia. Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan tentang keseimbangan antara pembangunan dan konservasi, definisi produktivitas, dan pertimbangan etis dalam penggunaan lahan.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *