KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI Versus PEMBANGUNAN
Oleh: Dr. (HC) Ir. Wahjudi Wardojo, M.Sc.
(Penasihat Senior Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN)
Konservasi keanekaragaman hayati bukan sebatas ilmu pengetahuan. Ada semesta dan cerita kehidupan yang wajib dijaga dari ancaman tiga krisis bumi (triple planetary crisis).
Kita pasti sudah bisa menebak, bila anak-anak, terutama generasi ‘baby boomers’ sampai generasi milenial, ketika diminta menggambar pemandangan alam. Yang muncul adalah sawah membentang dengan latar belakang gunung menjulang. Sawah diwarnai hijau, gunung dengan sapuan biru, dan tak lupa dipercantik dengan semburat warna oranye kemerahan serta separuh lingkaran gambar matahari. Atau gambaran laut yang biru dengan batas cakrawala, tempat bertahta sang surya. Ada kapal-kapal nelayan dengan layar yang tampak melambai serta burung-burung yang terbang di langit yang biru lengkap dengan gumpalan-gumpalan awan putih. Gambar tersebut mencerminkan imajinasi dan harapan anak-anak terhadap alam.
Imaji tentang alam sangat lekat dengan Indonesia sebagai negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa (megabiodiversity). Bisa dibayangkan, lebih setengah dari keanekaragaman hayati dunia, ada di daerah tropis yang luasnya hanya sekitar 5% dari total luas dunia. Indonesia ada diantara negara-negara tropis tersebut, seperti Brazil, Kolombia, Meksiko, Peru, Ekuador, Venezuela, dan Madagascar.
Namun akhir-akhir ini kita digegerkan dengan beberapa berita yang terkait perubahan bentang alam (landscape) yang cantik yang berisi kekayaan keanekaragaman hayati tinggi untuk kepentingan food estate, kebun sawit, tambang nikel, atau tambang batubara, dan lain-lain kegiatan yang merubah bentang alam secara masif serta penetapan beberapa lokasi sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menjadi prioritas pembangunan. Penghargaan terhadap nilai-nilai alam (nature values) yang menjadi imajinasi indah terhadap alam, sewaktu masa kanak-kanak, banyak yang tidak tersisa sama sekali bila dilakukan asal-asalan dan tidak dilakukan secara hati-hati.
Pertanyaan yang muncul adalah ‘MENGAPA’ ini bisa terjadi? Bukankah para pengambil keputusan (decision makers) sejak kecil masing-masing sudah mengenal alam dengan baik, bahkan punya imajinasi indah terhadap alam, kemudian dengan pendidikan dan pengajaran yang diterima, masing-masing menjadi tahu, mengerti, dan paham terhadap hubungan serta peran alam terhadap manusia? Ternyata mengenal, tahu, mengerti, paham terhadap alam dengan segala kelebihannya masih tidak cukup. Manusia masih sangat lemah dalam ‘PEMAKNAAN’ pada peran dan fungsi alam bagi dirinya dan sistem penyangganya. Ibarat orang telah mengetahui rambu lalu lintas, seperti dilarang berhenti, namun masih saja sering kita lihat orang/kendaraan berhenti sembarangan di titik tersebut. Akibat kurangnya pemaknaan, yang bersangkutan telah berbuat zalim bagi kendaraan di belakangnya, sehingga membuat sengsara banyak orang yang berada di belakang kendaraan tersebut. Akibat pemaknaan yang lemah terhadap peran dan nilai-nilai alam, beberapa pengambil keputusan penting terkait sumber daya alam, telah membuat keputusan yang bisa memberikan dampak negatif besar berupa percepatan kepunahan keanekaragaman hayati kita serta meningkatkan emisi karbon yang mengakibatkan peningkatan pemanasan global dan akhirnya mempengaruhi perubahan iklim dengan segala dampaknya.
Bumi kita saat ini sesungguhnya memperoleh tekanan tekanan yang tinggi sebagai akibat perilaku manusia yang mendiami nya, yang sering dikelompokkan sebagai anthropogenic effects. Tekanan tersebut telah mengakibatkan 3 krisis bumi kita yang sering disebut sebagai ‘triple planetary crisis’ yaitu perubahan iklim, kehilangan/kepunahan keanekaragaman hayati, dan polusi. Krisis tersebut juga diperparah dengan makin meningkatnya populasi manusia di bumi, ditambah dengan meningkatnya demand mereka akibat peningkatan pendapatan secara makro. Perilaku yang masuk kategori hedonism para pesohor, misalnya memamerkan tas atau asesoris lainnya yang berasal dari satwa dan tumbuhan langka juga memberikan dampak negatif berupa percepatan kepunahan spesies-species langka.
Mengapa kita harus peduli terhadap keanekaragaman hayati? Peran keanekaragaman hayati sesungguhnya sangat mempengaruhi kehidupan manusia, baik sebagai individu, kelompok, bangsa dan negara. Namun manusia sering tidak memperhatikan atau merasakan peran tersebut mulai yang berasal dari jasad renik, satwa dan tumbuhan besar, sampai peran jasa lingkungan dalam bentuk ekosistem yang menjadi penyangga sistem kehidupan (life supporting system). Peran dan fungsi tersebut bersifat universal, antar generasi, tingkat lokal, regional, maupun global.
Sungguhpun para rimbawan sejak yunior sudah mengetahui bahwa pohon Pinus harus ditanam bersama sejenis mycorrhiza (sejenis fungi atau jamur yang hidup di tanah), namun banyak yang hanya pada tahap sekedar tahu. Di era modern saat ini, tidak banyak manusia menyadari kenyataan bahwa pohon pohon di hutan sesungguhnya saling menyampaikan informasi dan bertukar pesan-pesan melalui jejaring atau network seperti internet yang tidak nampak. Jejaring atau network tersebut menurut Peter Wollenben, rimbawan Jerman dalam bukunya “The Hidden Life of Trees’’, terdiri dari berbagai jenis seperti fungi dan type microorganism yang berfungsi bagaikan internet. Buku tersebut sebenarnya mengajak kita semua untuk memaknai bahwa manusia sering mengabaikan ‘perasaan’ pohon-pohon dan keanekaragaman hayati yang berasosiasi dengannya. Manusia sering tidak mau ‘mendengar’ pesan pesan mereka. Demikian juga tidak banyak dari kita yang mengetahui bahwa curah hujan (precipitation), juga dipengaruhi oleh jenis mikroba yang tergolong sebagai bakteria yang disebut sebagai kelompok INA (Ice Nucleation Active), yang berfungsi membantu percepatan titik titik beku di lapisan awan. INA adalah sejenis bakteri yang lebih dikenal sebagai jenis yang membuat beku daun-daun tumbuhan di daerah dingin di pegunungan (Morris et al 2004). Bakteri ini adalah komponen alami dan komponen esensial dalam membantu sistem iklim bumi untuk mengadaptasi maupun memitigasi perubahan iklim secara global.
Hutan alam tropis Indonesia menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati yang tinggi (YKAN)
Demikian besar peran dan fungsi keanekaragaman hayati tersebut bagi manusia dan bumi sebagai habitat nya. Namun yang harus senantiasa diingat keanekaragaman hayati tersebut bersifat sangat rentan (fragile) serta tidak tak terbatas. Pada tingkat gangguan tertentu menjadi tidak bisa dipulihkan (irreversible), bahkan bisa punah, artinya tidak semua keanekaragaman hayati renewable resources.
Pertanyaan berikutnya adalah MENGAPA konservasi keanekaragaman hayati penting bagi kita umat manusia di dunia maupun khususnya Indonesia? Keanekaragaman hayati atau Biodiversity adalah salah satu sumber daya alam, karunia Tuhan YME, yang merupakan komponen penting manusia dan mahluk hidup lainnya di bumi. Keanekaragaman hayati adalah Sistem Penyangga Kehidupan (Life Supporting System) yang sangat esensial bagi kepentingan Indonesia maupun dunia. Keanekaragaman hayati, mulai dari jenis jenis satwa dan tumbuhan yang besar sampai jasad renik atau mikroba, mempunyai peranan signifikan bagi kehidupan makhluk hidup di bumi, termasuk bagi manusia (Sandifer et al. 2015). Namun pengetahuan kita atas sistem yang sangat penting bagi kehidupan kita ini masih sangat sedikit. Sering kali manusia tidak menyadari betapa besar ketergantungannya kepada keanekaragaman hayati tersebut. Ketika manusia hidup, bernafas, makan, berjalan, maupun beraktifitas, senantiasa bersama sama atau berasosiasi dengan beraneka ragam hayati (Sandifer et al. 2015). Pernahkah kita bayangkan bahwa bermiliar-miliar jasad renik yang mendukung kita sehingga tetap sehat? Pernahkah kita bayangkan kalau jasad renik yang ada di kulit kita, jasad renik di sistem pencernaan kita maupun di tempat lain di tubuh kita, hilang, atau bahkan berkurang sedikit saja? Kulit kita terasa kering bilamana sebagian jasad renik pelindung kulit kita berkurang (apalagi kalau kita sedang di daerah sub tropis yang sedang musim winter). Demikian juga perut terasa tidak enak kalau jumlah jasad renik di sistem pencernaan berkurang, sehingga kita perlu minum tambahan makanan sejenis pro-biotik.
Keanekaragaman hayati, mulai dari jenis satwa, tumbuhan sampai jasad renik mempunyai peran signifikan bagi kelangsungan bumi (TN Alas Purwo)
Menurut hemat penulis ada 5 (lima) alasan utama mengapa Konservasi Keanekaragaman Hayati ini penting. Pertama adalah alasan SPIRITUAL. Sering kali manusia tidak sadar bahwa ‘ada itu tiada dan tiada itu ada’. Manusia baru sadar bila sesuatu telah hilang. Bisa dikatakan bahwa tiada mahluk hidup di dunia yang diciptakan oleh Allah SWT yang tiada bermanfaat. Semua agama yang kita anut ternyata mengandung perintah kepada umat Nya untuk menghargai ciptaan-Nya serta perintah untuk mendayagunakannya secara bijaksana sehingga tidak punah. Allah SWT menciptakan mahluknya PASTI ada maksudnya.
Alasan kedua adalah alasan TRADISI. Alasan tradisi berasal dari praktik interaksi manusia dan alam yang bersifat dinamis sesuai konteksnya. Sejak beribu tahun yang lalu, nenek moyang manusia telah mengenal keanekaragaman hayati dan upaya untuk menjaga dari kepunahannya. Sejak dulu, manusia telah mendayagunakan keanekaragaman hayati, baik dari kelompok satwa maupun tumbuhan sebagai sumber pangan, obat obatan tradisional, sampai pemanfaatan untuk memperoleh energi (Sandifer et al. 2015; Marselle et al. 2021). Mereka telah mengenal pengaturan pemanfaatannya agar sumber daya alam hayati tersebut masih terus lestari untuk menunjang keperluan dasar mereka. Upaya manusia untuk melakukan konservasi keanekaragaman hayati, sesungguhnya telah dimulai berabad abad yang lalu. Masyarakat adat di beberapa lokasi di tanah air telah mengenal budaya ‘sasi’ dalam pengaturan pemanenan sumber daya keanekaragaman hayati tertentu. Sebagai pengetahuan tradisional yang tetap berlaku sampai saat ini, pengambilan jenis jenis sumber daya keanekaragaman hayati tertentu disepakati bersama hanya dilakukan pada bulan bulan tertentu, yang merupakan bulan kelimpahan jenis yang dipanen.
Penghargaan terhadap peran keanekaragaman hayati beserta pemanfaatan yang lestari sesungguhnya telah dikenal secara tradisional oleh masyarakat (Ogar et al. 2020). Di dalam ilmu modern, pengetahuan masyarakat ini dikenal sebagai Ethno-botany dan Ethno-zoology. Pengetahuan saat ini menjadi makin penting karena dari pengetahuan tradisional inilah dikembangkan dan ditemukan jenis jenis tumbuhan dan satwa yang berguna untuk obat-obatan, makanan, energi, maupun peran lainnya yang dikembangkan secara komersial yang dikenal sebagai bioprospecting (Wiratno et al, 2020).
Alasan Ketiga adalah alasan EKONOMI. Tradisi berupa kearifan lokal maupun pengetahun lokal yang dinamis sebagian besar digerakkan oleh alasan-alasan nilai EKONOMI. Sudah banyak sekali analisis dan tulisan tulisan para pakar berkaitan terhadap pentingnya keanekaragaman hayati secara ekonomi (Rizal and Dewanti 2017; Rizal 2018; Romo-Lozano et al. 2019). Analisis ahli ekonomi sumber daya alam sering menyatakan keprihatinannya karena nilai ekonomi keanekaragaman hayati belum dimasukkan dalam perhitungan ekonomi secara benar dan masih dalam perdebatan (Nijkamp et al. 2008). Bahkan Gross Domestic Product (GDP) belum memasukkan nilai ekonomi keanekaragaman hayati ini, sehingga beberapa pakar mengatakan bahwa ukuran GDP suatu negara (termasuk) Indonesia tidak valid karena belum menghitung nilai keanekaragaman hayati yang hilang ataupun yang diperoleh dalam suatu kegiatan ekonomi. Pada tahun 2021, pakar Ekonomi Sumber Daya Alam dari Inggris, Partha Dasgupta menerbitkan buku “The Dasgupta Review on the Economic of Biodiversity” terkait keanekaragaman hayati dengan pembangunan ekonomi. Buku tersebut mengemukakan beberapa poin penting antara lain: “Ekonomi kita, kehidupan kita semua tergantung pada modal yang sangat bernilai tinggi yaitu alam (termasuk keanekaragaman hayati), sayangnya kebutuhan (demand) manusia melebihi kemampuan pasokan (supply) sehingga kita gagal dalam mengelola alam secara lestari, hubungan manusia yang tidak lestari kepada alam telah membahayakan kesejahteran generasi saat ini dan generasi yang akan datang. Oleh karena itu solusi utama adalah memasukkan komponen ALAM dalam setiap perhitungan ekonomi, bukan menempatkannya sebagai faktor eksternal.”
Alasan Keempat adalah alasan EKOLOGI. Ilmu-ilmu ekonomi seharusnya menempatkan hutan sebagai aset yang tidak boleh berkurang nilainya, bahkan seharusnya dapat dikembangkan. Pemahaman hutan sebagai aset yang bersifat intrinsik inilah yang memunculkan konsep kelestarian EKOLOGI. Hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya mempunyai peran dan fungsi yang sangat penting dan signifikan sebagai penyangga sistem kehidupan dunia. Peran dan fungsi tersebut bersifat universal, antar generasi (cross generation), tingkat lokal, regional, maupun global. Sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa hutan hanya penghasil kayu, namun sesungguh nya eko-sistem hutan, teru-tama hutan alam tropika, mempunyai peran yang luar biasa besar sebagai penyedia berbagai jasa dan produk (UNEP 2010). Ekosistem hutan menjadi penyedia jasa (provisioning services) yang mencakup pangan, kayu, pulp dan kertas, serta energi, air bersih, maupun bahan obat-obatan. Secara global, lebih dari separuh populasi manusia bergantung langsung pada keanekaragaman hayati (Pudyatmoko, 2020). Fungsi lainnya adalah sebagai pengatur jasa alami (regulating services) berupa mengatur iklim mikro, menyerap dan menyimpan karbon, mengurangi kejadian ekstrem yang disebabkan oleh alam, seperti banjir, tanah longsor, dan tsunami, dan membantu penyerbukan, jasa pengatur dan kontrol hama dan penyakit secara biologis. Keanekaragaman hayati juga menjadi jasa pendukung (habitat or supporting services) bagi spesies (jenis) dan pemelihara keanekaragaman genetik yang sangat berguna bagi tujuan komersial untuk pengembangan pangan, tanaman, obat obatan, ternak maupun energi terbarukan. Fungsi yang terakhir adalah sebagai penyedia manfaat non-material (cultural services) termasuk inspirasi bagi berbagai bidang, keindahan (aesthetic), kenyamanan (amenities), manfaat spiritual maupun psikologis dalam bentuk rekreasi bagi tujuan kesehatan (nature healing) mental maupun fisik, turisme, penghargaan pada keindahan dan munculnya inspirasi budaya, seni, maupun design, serta pengalaman spiritual dan rasa memiliki bagi masyarakat.
Ekosistem hutan mempunyai peran yang luar biasa besar sebagai penyedia berbagai jasa dan produk, termasuk keindahan satwa nya (TN Alas Purwo)
Alasan kelima adalah KRISIS FEWS dan GEOPOLITIK. Kegagalan dalam pengelolaan aset menyebabkan dampak negatif yang menyangkut hajat hidup orang banyak yaitu Kelangkaan Pangan, Energi, dan Air Bersih atau Food, Energy, and Water Scarcities (FEWS), yang sangat berpengaruh pada geopolitik dunia. Peningkatan populasi manusia tidak sebanding dengan ketersediaan sumber daya makanan, energi, dan air bersih. Sejak lebih dari satu dekade yang lalu, para pakar sudah memprediksikan bahwa populasi manusia di bumi akan meningkat dengan tajam, sedang makanan, energi dan air bersih belum mencukupi kebutuhan tersebut. Berdasarkan laman Worldometer di akhir bulan Februari 2025, populasi dunia telah mencapai lebih dari 8,2 milyar orang dengan kecepatan tumbuh lebih dari 92 ribu manusia per hari (Worldometers 2025). Para pakar telah bekerja keras agar kelangkaan tersebut bisa ditutupi dengan pemanfaatan yang lestari tidak hanya berupa jenis tumbuhan dan satwa besar, namun juga dari jasad renik atau mikroorganisme (bakteria, jamur, dan virus), serta organisme yang berukuran kecil lainnya seperti invertebrata (Flandroy et al. 2018).
Menjaga keseimbangan keaneka ragaman hayati dalam era pembangunan ekonomi bukanlah perkara mudah, dengan kata lain pembangunan adalah suatu keharusan dan konservasi keanekaragaman hayati adalah suatu keniscayaan. Keduanya tidak bisa dihindarkan, sehingga mutlak harus dicari jalan dan upaya yang akan menjamin berjalan secara seimbang. Beberapa pakar menyatakan bahwa posisi keduanya bukan trade-offs tapi interdependence (saling ketergantungan) antara ekonomi dan lingkungan hidup. Atas dasar itulah maka upaya-upaya menyelamatkan hutan alam yang tersisa sebagai rumah utama keanekaragaman hayati menjadi suatu keniscayaan. Manusia harus makin rasional dan makin bijaksana dalam mendayagunakan sumber daya alam (natural resources) yang sangat terbatas ini.
Sangat banyak penelitian berkualitas, bukti-bukti empiris tentang kerusakan di berbagai belahan bumi, yang menjadi bukti nyata perubahan iklim. Bahkan tak terhitung konferensi internasional dan regional, diselenggarakan; serta kesepakatan-kesepakatan untuk melawan perubahan iklim, kepunahan keanekaragaman hayati, dan polusi telah dibuat. Namun kondisi Planet Earth masih memprihatinkan. “Bumi telah berusaha menyampaikan semuanya kepada kita. Tapi kita seperti tidak mendengar,” kata Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres dalam pidato pada Hari Lingkungan Dunia, 5 Juni 2024 lalu.
Guterres pernah menyatakan, “It’s not global warming, it’s global boiling”. Di World Environment Day, dia menekankan, kita ada pada ‘a moment of truth’, yaitu masa ketika kita diuji, untuk benar-benar membuat keputusan bertindak, atau kita terperosok dalam krisis. Inilah saatnya benar-benar bertindak dan berdampak, agar konferensi dan kesepakatan internasional, tidak sebatas ritual belaka. Paris Agreement – yang menjadi kesepakatan negara-negara di dunia menjalankan Nationally Determined Contributions (NDC) menuju emisi net-zero– akan berusia 10 tahun, pada 2025. “Target membatasi kenaikan suhu jangka panjang 1,5° Celcius, telah terlewati,” kata Guterres. “Namun kita punya segala sesuatunya untuk menyelamatkan kita, yaitu hutan, gambut dan lautan yang mampu menyerap karbon dari atmosfer.” Ya, ‘a moment of truth’, karena bumi makin lestari atau justru rusak, tergantung pada tekad dan tindakan kita atau sering kita sebut : ‘The World we depend on, depends on us’.
Presiden Donald Trump beberapa hari setelah pelantikannya di awal tahun 2025 ini telah menghentak banyak negara dan banyak orang, dengan pernyataannya untuk keluar dari Perjanjian Paris 2015 (Paris Agreement) di bidang Perubahan Iklim. Dampak atas keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris belum dihitung, namun semua orang sudah bisa membayangkan dampak negatifnya, karena Amerika Serikat bersama dengan Tiongkok adalah negara negara besar yang merupakan negara pengemisi gas rumah kaca terbesar di dunia.
Pada saat yang sama, perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang dikuasai manusia telah berkembang dengan pesat. Teknologi-teknologi makin lama makin canggih sehingga menghasilkan metodologi-metodologi yang membantu manusia untuk melakukan analisis jauh lebih mudah, bahkan dibanding satu dekade yang lalu. Oleh sebab itu, pemangku kepentingan dan terutama penentu kebijakan harus berubah dan mau serta mampu mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir tersebut. Adalah sangat aneh dan tidak bisa diterima akal bilamana proses penentuan kebijakan masih menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi di jaman lima dekade yang lalu dengan alasan peraturan perundang-undangan yang masih berlaku. IPTEK tersebut jelas sudah kedaluwarsa (obsolete), sehingga sudah waktunya peraturan perundangan tersebut secara otomatis tidak bisa digunakan lagi dan sudah waktunya segera disesuaikan dengan IPTEK mutakhir.
Berdasarkan atas IPTEK yang tersedia serta pendekatan-pendekatan dan metodologi yang sudah teruji, saat ini dengan mudah kita akan mampu melakukan analisis-analisis spasial dari data-data biogeofisik, demografi, sosial, budaya, dan ekonomi suatu wilayah. Data dan informasi tersebut dapat diperoleh dari berbagai cara baik dari data-data remote sensing mulai citra satelit sampai penggunaan LIDAR. Data tersebut dapat membantu memberikan pilihan-pilihan wilayah mana yang harus dipertahankan karena derajat sensitivitas yang tinggi terutama dari segi keanekaragaman hayati dan geofisiknya dan wilayah-wilayah mana yang termasuk tidak terlalu sensitif . Dari sinilah kita bisa menetapkan wilayah mana yang harus dilindungi sebagai bagian dari hutan alam yang tersisa. Proses pemilihan akan lebih mudah karena teknologi dan metodologi sudah tersedia, sehingga tidak perlu lagi dipertanyakan bagaimana kita mampu memilah wilayah yang harus sangat ketat dilindungi (strict protected), mana wilayah yang perlu dilindungi tapi tidak terlalu ketat, dan mana wilayah yang kurang perlu dilindungi (less protected), dan semua atas dasar sifat-sifat sensitivitasnya baik dari segi keanekaragaman hayati, segi biogeofisik, serta segi sosial-budaya dan ekonomi.
The Nature Conservancy mengembangkan konsep Development by Design (DbD) atau Pembangunan secara Terancang. Konsep ini kemudian diterapkan oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) untuk membantu beberapa propinsi di Indonesia. Intinya pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek konservasi melalui empat jenjang tahapan yaitu : (1) menghindari, (2) meminimalisasi, (3) merestorasi, dan (4) mengganti rugi (offset) dampak. Secara sederhana, konsep ini memprioritaskan pembangunan di wilayah yang memiliki dampak ekologi yang paling kecil. Ketersediaan teknologi spasial yang makin canggih telah memberikan peluang penggunaan analisis menggunakan metodologi ini makin akurat, tergantung derajat akurasi yang diperlukan. Metodologi ini mampu membantu untuk memperbaiki Rencana Tata Ruang Wilayah baik di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional. DbD juga akan memudahkan penentuan Daya Dukung dan Daya Tampung (DDDT) suatu wilayah dengan lebih cepat serta didukung oleh data dan informasi yang robust, sehingga akan memberikan hasil yang lebih akurat dan kredibel dibanding dengan metodologi yang selama masih diterapkan.
Rancangan Pemerintah untuk merubah kawasan hutan seluas lebih dari 20 juta Ha untuk tujuan penyediaan pangan dan energi harus dicermati dengan baik. Sesungguhnya rancangan tersebut tidak perlu meresahkan kita semua, bilamana dilaksanakan dengan menerapkan iptek serta methodologi yang robust, sehingga perubahan perubahan bentang alam (landscape) tidak akan terlalu menganggu hutan alam yang tersisa yang kaya akan keanekaragaman hayati. Konversi kawasan hutan menjadi tujuan untuk pemenuhan pangan, energi dan air, secara tepat dilakukan di wilayah wilayah bentang alam dengan derajad sensitivitas paling rendah. Pemilihan di kawasan kawasan hutan yang sudah terdegradasi di seluruh wilayah Indonesia, masih memungkinkan.
Demikian juga isu sawit versus hutan telah mengarah pada hal-hal yang misleading. Bagaimanapun juga sawit yang ditanam secara legal harus diakui telah memberikan dampak ekonomi positif bagi Indonesia. Namun tidaklah tepat kalau isu nya kemudian diperdebatkan sawit sebagai bagian dari tanaman hutan atau tidak. Masalah sebenarnya adalah isu konversi hutan alam oleh kebun sawit, dan dilakukan secara illegal, yang telah menambah angka deforestasi. Oleh karena, kebijakan ke depan harus jelas bahwa kebun sawit akan dikembangkan di wilayah-wilayah hutan yang sudah terdegradasi. Pengalaman YKAN membantu Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, dengan menerapkan analisis spatial dan penerapan methodologi Development by Design (DbD) bahkan telah berhasil identifikasi wilayah HGU kebun sawit yang masih punya Nilai Konservasi Tinggi (NKT atau HCVF) yang kemudian disisihkan tidak di manfaatkan sebagai areal kebun. Kesepakatan antara Pemerintah Provinsi dengan pemegang HGU sawit telah mencapai areal seluas lebih dari 600.000 ha.
Sebagai penutup tulisan ini, penulis ingin menegaskan bahwa tidak mungkin dan tidak bijaksana bilamana seluruh paparan bentang alam atau landscape nusantara harus dilakukan konservasi keanekaragaman hayatinya. Sebaliknya jangan sampai dengan alasan pembangunan maka kita merubah dan merusak bentang alam dengan keanekaragaman hayati tinggi yang mempunyai peran luar biasa penting bagi kehidupan manusia dan mahkluk hidup lainnya. Wilayah wilayah yang sudah termasuk terdegradasi dengan derajad sensitivitas rendah terhadap perubahan masih tersedia cukup luas untuk kegiatan kegiatan pertanian, perkebunan, serta pemukiman. Yang harus dilakukan adalah melakukan pemilahan dan pemilihan lokasi untuk pembangunan dengan menerapkan perangkat (tools) berbasis IPTEK, sehingga dampak negatif bisa di minimalisasi, dan di sisi lain pembangunan bagi kesejahteraan rakyat bisa dicapai. Untuk itu diperlukan komitmen kuat dan kemauan politik (strong political will) para penentu kebijakan (decision makers) baik di pemerintah, legislatif, sektor perbankan, dan sektor swasta lainnya untuk menghindari semaksimal mungkin terjadinya perusakan dan perubahan hutan alam sebagai tempat utama keanekaragaman hayati agar tidak menambah beban tiga krisis bumi (triple planetary crisis), khususnya perubahan iklim, dan kepunahan keanekaragaman hayati. Kolaborasi semua pemangku kepentingan, baik pemerintah (pusat dan daerah), legislatif, sektor swasta, akademisi, masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat menjadi suatu keniscayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Armsworth PR, Kendall BE, Davis FW (2004) An introduction to biodiversity concepts for environmental economists. Resource Energy Econ 26:115–136. https://doi.org/10.1016/j.reseneeco.2003.11.003
Arts B, Buizer M, Horlings L, et al (2017) Landscape Approaches: A State-of-the-Art Review. Annu Rev Environ Resource 42:439–463. https://doi.org/10.1146/annurev-environ-102016-060932
Blaser, J.and Hans Gregersen. 2013. What Future for Our Forests? A View of the Evolving Global Forests towards 2300 AD. Paper for UNASYLVA‐ Version 11 March 2013.
Callicott, J.B. 1990. Whither Conservation Ethics? Conservation Biology 4(1); 15-20
Dasgupta, P. (2021), The Economics of Biodiversity: The Dasgupta Review. (London: HM Treasury)
Flandroy L, Poutahidis T, Berg G, et al (2018) The impact of human activities and lifestyles on the interlinked microbiota and health of humans and of ecosystems. Sci Total Environ 627:1018–1038. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2018.01.288
Haddad NM, Brudvig LA, Clobert J, et al (2015) Habitat fragmentation and its lasting impact on Earth’s ecosystems. Sci Adv 1:. https://doi.org/10.1126/sciadv.1500052
Hunault-Fontbonne J, Eyvindson K (2023) Bridging the gap between forest planning and ecology in biodiversity forecasts: A review. Ecol Indic 154:110620. https://doi.org/10.1016/j.ecolind.2023.110620
Jantz, S. M. et al. (2015), Future habitat loss and extinctions driven by land‐use change in biodiversity hotspots under four scenarios of climate‐change mitigation. Conservation Biology, 29: 1122-1131. doi:10.1111/cobi.12549.
Kartawinata, K (1994). Rehabilitation Of Degraded Forest Lands Through The Use Of Secondary Forest Species, J. Trop. For. Sci. 7(1): 76-86
Kiesecker J, Holly Copeland, Amy Pocewicz, and Bruce McKenney. 2010. Development by design: blending landscape level planning with the mitigation hierarchy. The Ecological Society of America
Liu M, Wei H, Dong X, et al (2022) Integrating Land Use, Ecosystem Service, and Human Well-Being: A Systematic Review. Sustain 14:. https://doi.org/10.3390/su14116926
Marselle MR, Hartig T, Cox DTC, et al (2021) Pathways linking biodiversity to human health: A conceptual framework. Environ Int 150:. https://doi.org/10.1016/j.envint.2021.106420
Mittermeier, RA, Cristina G Mittermeier. 1997. Megadiversity: Earth’s Biologically Wealthiest Nations. Cemex. Conservation International.
Mittermeier, RA, H. Meyers, Cristina G Mittermeier. 1997. Hotspots Biological Richest and Most Endangered Terrestrial Ecoregions. Cemex. Conservation International.
Morris, C.E., Gergakopoulos D.G., and Sands D.C. 2004. Ice Nucleation Active Bacteria and Their Potential Role in Precipitation. J. Phys. IV France 121:87-103.
Muluneh MG (2021) Impact of climate change on biodiversity and food security: a global perspective—a review article. Agric Food Secur 10:1–25. https://doi.org/10.1186/s40066-021-00318-5
Nijkamp P, Vindigni G, Nunes PALD (2008) Economic valuation of biodiversity: A comparative study. Ecol Econ 67:217–231. https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2008.03.003
Oberman, R, Dobbs, R. Budiman, A. Thompson, F & Rosse, M. 2012. The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential, McKinsey Global Institute.
Ogar E, Pecl G, Mustonen T (2020) Science Must Embrace Traditional and Indigenous Knowledge to Solve Our Biodiversity Crisis. One Earth 3:162–165. https://doi.org/10.1016/j.oneear.2020.07.006
Palmer MA, Ambrose RF, Poff NL (1997) Ecological Theory and Community Restoration Ecology. 5:291–300
Phunstho, K.M. and N. Chettri. 2008. A landscape approach to biodiversity conservation: an evolving scenario and policy perspective. In Chettri, N., B. Shakya, E. Sharma (editors): Biodiversity Conservation in the Kangchenjunga Landscape. ICIMOD, Kathmandu, Nepal
Pudyatmoko, S. (2020), Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Pengelolaan Satwa Liar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, 25 Februari 2020 Reed, J et al (2016) Integrated Landscape Approaches to managing social and environmental issues in the tropics: learning from the past to guide the future. Global Change Biology (2016) 22, 2540–2554, doi: 10.1111/gcb.13284
Riswan, S. and K. Kartawinata, 1989. A lowland dipterocarp forest 35 years after pepper plantation in East Kalimantan, Indonesia. Pp.1-39 in S. Soemodihardjo (Ed.), Some ecological aspects of tropical forest of East Kalimantan: a collection of research reports. Indonesian National MAB Committee, LIPI
Rawat, Agarwal (2015) Biodiversity: Concept, threats and conservation. Environ Conserv J 16:19–28. https://doi.org/10.36953/ecj.2015.16303
Sandifer PA, Sutton-Grier AE, Ward BP (2015) Exploring connections among nature, biodiversity, ecosystem services, and human health and well-being: Opportunities to enhance health and biodiversity conservation. Ecosyst Serv 12:1–15. https://doi.org/10.1016/j.ecoser.2014.12.007
UNEP (2010) The Economics of Ecosystems and Biodiversity, Mainstreaming the Economics of Nature: A Synthesis of the approach, conclusions and recommendations of TEEB
Wardojo W. (2020). Inspirasi dari Gunung Gede Pangrango. Buku 258 pp +. Cetakan kedua Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Wardojo, W. (2023). Konservasi Keanekaragaman Hayati Demi Masa Depan Dunia: Peluang dan Peran Indonesia. Pidato Penganugerahan Gelar Doctor Honoris Causa Universitas Gadjah Mada
Wardojo, W; Efransjah, and Novita N (2019). Biodiversitas dan Perubahan Iklim, dalam Buku Trilogi Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim – Krisis Sosial-Ekologis & Keadilan Iklim. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Wardojo, W and Nur Masripatin 2002.Trends in Indonesian Forest Policy. Policy Trend Report (2002) 77-87. Institutes for Global Environment Strategy (IGES). Japan.
Wells M, Guggenheim, Khan, A, Wardojo, W, Jepson P. Investing in Biodiversity (1999), A review of Indonesia’s Integrated Conservation and Development Projects. The World Bank.
Wohlleben, Peter (2017).The Hidden Life of Trees. Harper Collins. London.
Wiyono, S (2022).Bioprospeksi Mikrob untuk Perlindungan Tanaman dan Pertanian Adaptif Menuju Kemandirian Bangsa. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB University. Bogor, 17 September 2022.
Wiratno, et al (2020) Potensi Bioprospeksi Sumber Daya Alam Hayati Speies Liar Indonesia. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Yayasan Konservasi Alam Nusantara. 2022. Cerita di Kebun Sawit, Praktik Kelapa Sawit Berkelanjutan di Kalimantan Timur.