PENDEKATAN KONSOLIDASI LAHAN DALAM PENYEDIAAN KAWASAN HUTAN UNTUK HUTAN CADANGAN PANGAN TANPA DEFORESTASI
Oleh: Dr. Ir. Endang Hernawan, M.T., IPU.
(Lektor Kepala pada SITH – ITB)
Abstrak
Konsolidasi lahan di kawasan hutan merupakan konsekwensi dari kebijakan alokasi kawasan hutan untuk hutan cadangan pangan. Hal ini diperlukan agar kebijakan ini dapat dilakukan tanpa menimbulkan fragmentasi ekosistem hutan yang tidak hanya berdampak pada keberlangsungan ekosistem hutan dalam menghasilkan jasa ekosistem guna menunjang kehidupan manusia, tetapi sekaligus mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan berbasis ecoregion. Artikel ini merangkum arahan rencana kehutanan nasional terkait dengan kebutuhan non-kehutanan, serta arahan Kawasan hutan untuk pengembangan usaha skala kecil dan skala besar. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk memberikan langkah dasar terkait konsolidasi kawasan hutan yang memungkinkan untuk menentukan efektivitas dalam menunjang pengembangan ketahanan pangan. Makalah ini diharapan kemberikan masukan dalam membuat dukungan kebijakan tambahan untuk optimasi alokasi Kawasan hutan bagai kebutuhan non-kehutanan, khususnya pengembangan pangan.
Pendahuluan
Kawasan atau areal hutan di Indonesia selain dimaknai sebagai sebuah ekosistem terrestrial tetapi juga dimaknai sebagai bank lahan (land bank) yang tentunya memiliki perbedaan mendasar dalam ukuran kinerja dan bagaimana memperlakukan hutan. Pada saat hutan diperlakukan sebagai sebuah ekosistem maka kita akan memperlakukan hutan sebagai system penyangga kehidupan yang maknanya bahwa hutan diperlukan untuk menopang kehidupan manusia, makhluk hidup lain dan kegiatan ekonomi manusia, sehingga ukuran kinerjanya dilihat dari seberapa besar jasa ekosistem dapat disediakan oleh ekosistem hutan bagi kehidupan manusia dan makhluk lain. Menurut Millennium Ecosystem Assessment, MEA (2005), jasa ekosistem dibedakan atas jasa pendukung (supporting services), jasa penyedia (provisioning), services), jasa pengatur (regulatory services), dan jasa kultural (cultural services). Ekosistem hutan bekerja secara sembunyi (silent work), namun interaksi organisme hidup (flora dan fauna, serta mikroorganisme) sebagai penyusun ekosistem hutan menyediakan kita dengan mesin penghasil makanan, air, udara bersih, energi, pakaian, perumahan, dan obat-obatan yang luar biasa dan kompleks, serta pengalaman budaya dan estetika (Sellgreen, 2013); sehingga dari hutan telah terjadi transfer nilai sumber daya biologi ke berbagai ruang (Guo et al., 2000). Semua itu sangat penting bagi keberlangsungan kita manusia untuk tetap hidup di planet Bumi. Namun meskipun penting dan vital bagi kehidupan manusia namun karena tidak terlihat oleh mata (invisible), jasa ekosistem tersebut relatif tidak diketahui dan kurang dihargai oleh manusia (Sellgreen, 2013).
Dipihak lain pada saat hutan dimaknai sebagai land bank, maka makna hutan adalah cadangan atau stock factor produksi disamping factor produksi lain yakni buruh, modal, dan entrepreneur dalam memproduksi komoditas ekonomi. Pada saat hutan tidak dimanfaatkan atau dikonservasi, dimaknai bahwa faktor produksi tersebut akan kehilangan fungsinya dan akan meningkatkan opportunity cost atau dengan kata lain lahan hutan adalah factor produksi dalam keadaan “idle”. Dengan demikian ukuran kinerja dari hutan sebagai faktor produksi adalah seberapa besar kontribusi hutan tersebut terhadap PDB dan penyediaan lapangan kerja. Pada saat inilah pilihan mengkonversi hutan menjadi bentuk penggunaan lain yang lebih produktif di luar sektor kehutanan menjadi pilihan logis untuk meningkatkan kinerjanya, diantaranya dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kehutanan. Sehingga menurut Kartodihardjo (2017) pengelolaan sumber daya alam (PSDA) dan akibatnya bagi lingkungan hidup dewasa ini telah menimbulkan apa yang disebut sebagai krisis ekosistem, yang disebabkan oleh persoalan kebijakan semua sektor terkait pemanfaatan dan penggunaan lahan hutan.
Indonesia yang mewariskan hak domain negara terhadap sumber daya hutan dari pemerintah penjajah Hindia Belanda, menjadikan hutan dimiliki seluruhnya oleh negara. Atas kuasanya, negara berhak mengalokasikan hutan sesuai dengan rezim pemerintahannya. Dari sisi hutan sebagai penghasil komoditas barang ekonomi, maka sumber daya hutan merupakan sumber daya yang mudah diekploitasi dibanding barang tambang yang memerlukan eksplorasi terlebih dahulu. Oleh karena itu yang dijadikan modal pembangunan dari modal alam (natural capital) oleh rezim pemerintah orde baru di awal tahun 1970-an adalah hutan yang menjadikannya sebagai “barang tambang hijau”, sehingga hanya dalam waktu kurang dari 20 tahun hutan alam tropis Indonesia menghilang. Sedangkan pada era reformasi, tidak sebatas itu, hutan telah diperankan selain sebagai fungsi produksi biomassa, juga memiliki fungsi penyimpan barang tambang dan mineral, dan fungsi sebagai ruang kehidupan dan ekonomi bagi pembangunan. Implikasinya adalah lahan hutan perlu dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan lahan di luar sector kehutanan sebagai bank lahan.
Dalam memenuhi tuntutan terakhir tersebut, maka Kementerian Kehutanan telah menyusun Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Periode 2011-2030 melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.41/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 sebagai pengembangan dari Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/MENHUT-II/2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030, di mana salah satu butir arahan penggunaan Kawasan/lahan hutan untuk non-kehutanan adalah seluas 4 juta hektare dari Kawasan hutan negara seluas 125,92 juta hektare. Namun menjelang berakhirnya RKTN itu pada tahun 2030, Menteri Kehutanan saat ini berencana mengalokasikan penggunaan Kawasan/lahan hutan sebagai hutan cadangan pangan, energi, dan air seluas 20 juta hektare. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tulisan ini akan membahas terkait penggunaan mekanisme konsolidasi lahan (land consolidation) dalam penyediaan kawasan hutan untuk hutan cadangan pangan tanpa deforestasi. Metode penelitian yang dilakukan dalam tulisan ini menggunakan metode campuran (mix method) antara pendekatan kualitatif dan dan kuantitatf. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mendapatkan skenario alokasi alih fungsi Kawasan hutan menjadi penggunaan non-kehutanan tanpa deforestasi.
Analisis Penyediaan Kawasan Hutan Untuk Non-Kehutanan Berbasis Arahan RKTN 2011 – 2030
Mengacu pada Lampiran I Pedoman Pelaksanaan dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.41/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 Tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) TAHUN 2011-2030, bahwa arahan dalam RKTN dimaksudkan untuk menyempurnakan arahan kebijakan, target dan strategi pengurusan hutan dan penyelenggaraan kehutanan sampai dengan tahun 2030 guna memperkuat peran dan kontribusi terhadap sosial, lingkungan dan ekonomi dalam pembangunan nasional, regional dan global. Berikut perbandingan arahan dari RKT 2011 – 2030 awal dengan hasil revisi sebagaimana Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Perbandingan Arahan Rencana RKTN 2011 dan RKTN 2019
Arahan/Rencana | Fungsi Kawasan – RKTN Awal | Jumlah | Fungsi Kawasan – RKTN Revisi | Jumlah | ||||||||
HK | HL | HP | HK | HL | HP | |||||||
Tetap | Terbatas | Konversi | Tetap | Terbatas | Konversi | |||||||
Kawasan untuk konservasi | 23,20 | – | – | – | – | 23,20 | 26,42 | – | – | – | – | 26,42 |
Kawasan untuk Perlindungan Hutan Alam dan Lahan Gambut | – | 22,91 | 4,87 | 0,61 | – | 28,39 | 0 | 24,30 | 5,83 | 4,02 | 6,86 | 41,01 |
Kawasan untuk rehabilitasi | 3,62 | 3,32 | 2,83 | 1,78 | – | 11,55 | 1,00 | 1,82 | 0,39 | 0,38 | 0,37 | 3,96 |
Kawasan untuk Pengusahaan Hutan Skala Besar | – | – | 27,48 | 16,14 | – | 43,62 | – | 0,47 | 15,86 | 19,62 | 1,43 | 37,38 |
Kawasan untuk Pengusahaan Hutan Skala Kecil | – | 1,44 | 2,98 | 1,15 | – | 5,57 | – | 2,59 | 4,45 | 4,37 | 1,76 | 13,17 |
Kawasan untuk non kehutanan | – | – | – | – | – | – | – | 0,49 | 0,26 | 0,81 | 2,43 | 3,99 |
Jumlah | 26,82 | 27,67 | 38,16 | 19,68 | – | 112,33 | 27,42 | 29,67 | 26,79 | 29,20 | 12,85 | 125,93 |
Sumber: RKTN berdasarkan Permen Kehutanan No. P.49/MENHUT-II/2011, dan RKTN berdasarkan Permen LHK No. P.41/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019
Dalam perkembangan selanjutnya dengan adanya kebijakan terkait Perhutanan Sosial untuk keadilan pengelolaan lahan bagi rakyat melalui Permen LHK Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, pemerintah mengalokasikan Kawasan hutan untuk pengusahaan hutan skala kecil melalui mekanisme izin dalam bentuk hutan tanaman rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (Hkm), Hutan Desa (HD), Hutan Adat (HA), dan izin lainnya. Berdasarkan siaran SIARAN PERS Nomor: SP. 124/HUMAS/PPIP/HMS.3/6/2024, bahwa angka 12,7 juta hektare sebagai angka ideal akses kelola hutan masyarakat melalui Perhutanan Sosial. Berdasarkan perkembangan data sampai tahun 2018 telah teralokasi Kawasan hutan untuk perhutanan social seluas 2,5 juta hektar dan sampai pertengahan tahun 2024 telah mencapai 8 juta hektare.
Tabel 2. Capaian Perhutanan Sosial Per Skema Sampai Tahun 2018
Jenis Perhutanan Sosial | Capaian Luas Perhutanan Sosial per Skema (1.000 Ha) | |||
Jumlah | Persentase | |||
2018 | 2017 | 2018 | 2017 | |
Hutan Tanaman Rakyat | 331,72 | 244,03 | 13,43 | 19,92 |
Hutan Kemasyarakatan | 594,46 | 276,42 | 24,06 | 22,57 |
Hutan Desa | 1277,21 | 588,59 | 51,7 | 48,05 |
Hutan Adat | 28,29 | 21,92 | 1,15 | 1,79 |
Lainnya | 238,66 | 93,89 | 9,66 | 7,67 |
Jumlah | 2470,34 | 1224,85 | 100 | 100 |
Kebijakan lain terkait penggunaan Kawasan hutan adalah tentang pelepasan Kawasan hutan untuk penyediaan sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 17 Tahun 2018. Selanjutnya, target penyediaan sumber TORA dari Kawasan Hutan sesuai dengan RPJMN 2020-2024 dan Rencana Strategis KLHK 2020-2024 adalah seluas 4,1 juta hektare. Sampai saat ini telah terealisasi seluas 2,9 juta hektare dengan rincian seluas 1,3 juta hektare sudah dilepaskan (APL), Alokasi 20% dari Pelepasan Kawasan Hutan seluas 488.082 hektare, SK Pencadangan HPK tidak produktif seluas 980.256 hektare, dan Proses menuju SK Baru seluas 147.086 hektare. Sisa target seluas 1,2 juta hektare akan dilakukan percepatan penyelesaiannya pada tahun 2024.
Tabel 3. Pelepasan Kawasan Hutan Untuk Sumber TORA
No. | Sumber Areal | Luas (ha) |
1 | Alokasi TORA dari 20% Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan | 437.937 |
2 | Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) tidak produktif | 2.169.960 |
3 | Program pemerintah untuk pencadangan pencetakan sawah baru | 65.363 |
4 | Pemukiman Transmigrasi beserta fasos-fasumnya yang sudah memperoleh persetujuan prinsip | 514.909 |
5 | Pemukiman, fasos dan fasum | 439.116 |
6 | Lahan garapan berupa sawah dan tambak rakyat | 379.227 |
7 | Pertanian lahan kering yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat | 847.038 |
Jumlah | 4.853.550 |
Berdasarkan RKTN Revisi tahun 2019 di atas yakni Kawasan untuk Pengusahaan Hutan Skala Kecil dialokasikan seluas 13,17 hektare, maka jika Perhutanan Sosial merupakan salah satu wujud Pengusahaan Hutan Skala Kecil, maka target 12,7 juta hektar yang dianggap ideal dialokasikan untuk kelola hutan masyarakat melalui Perhutanan Sosial, masih sejalan dengan RKTN. Namun demikian pelepasan Kawasan hutan sebagai sumber TORA yang dialokasikan RKTN dari Kawasan untuk non kehutanan seluas 3,99 juta hektare, maka apabila target TORA mencapai 4,1 juta hektare masih kurang sebesar 200 ribu hektare.
Kemudian pertanyannya dari mana areal seluas 20 juta hektare yang direncanakan sebagai hutan cadangan pangan, energi dan air tanpa deforestasi? Nomenklatur hutan cadangan yang dipakai selama ini merupakan areal di luar Kawasan hutan karena kondisi tertentu belum bisa dimasukan menjadi Kawasan hutan, sehingga perlu dipulihkan terlebih dahulu. Namun bila melihat semangatnya Menteri Kehutanan yang ingin berkontribusi untuk sector lain, barangkali “hutan cadangan” dimaksud adalah alokasi kawasan hutan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan lahan untuk pengembangan sector pangan, energi dan air, sehingga Kawasan hutan perlu dicadangkan. Dengan melihat karakteristik sumber daya yang akan didukung tersebut dari Kawasan hutan memiliki perbedaan karakteristik, maka jenis Kawasan yang diperlukan tentunya akan berbeda. Uraian berikut terkait scenario yang dapat dipertimbangkan dalam pemenuhan masing-masing jenis hutan yang dicadangkan tersebut.
Analisis Pencadangan Kawasan Hutan Untuk Pengembangan Pangan
Selama ini kebijakan pembanguan pertanian berkelanjutan dari Kementerian Pertanian adalah pembanguan pertanian berbasis komoditas. Pembangunan pertanian berbasis komoditas adalah pembangunan pertanian yang menitikberatkan pengembangan suatu komoditas pertanian secara masif. Pembangunan dengan pendekatan seperti ini dapat menghasilkan panen suatu komoditas dengan cepat, hemat, dan hasil yang besar. Meskipun memiliki banyak sisi positif dari pendekatan pembangunan pertanian berbasis komoditas, terjadi ketidak seimbangan ekosistem akibat adanya eksploitasi secara monokultur, pendekatan ini memiliki kerawanan dari segi stabilitas, serta kurang mempertimbangkan komoditas lain untuk dikembangkan. Oleh karena itu diperlukan pendekatan pembangunan pertanian berkelanjutan lain yakni pendekatan berbasis ekoregion (Aulya D & Ariyani, 2015). Pembangunan pertanian berbasis ekoregion adalah pembangunan pertanian dengan pendekatan terpadu dalam suatu wilayah yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi, social dan ekologi. Pembangunan berbasis ekoregion dengan demikian merupakan suatu konsep perencanaan tata ruang (spatial planning) dengan mempertimbangkan jasa tata ruang pada suatu wilayah dan masyarakat yang tinggal didalamnya. Ekoregion sendiri diartikan sebagai geografi ekosistem yang mempunyai pola susunan berbagai ekosistem dan proses di antara ekosistem tersebut yang terikat dalam suatu satuan geografis (Kartawisastra, 2015). Hal ini sejalan dengan arah kebijakan pengelolaan hutan berkelanjutan yang berbasis manajemen lanskap berkelanjutan,
Indonesia terbagi menjadi tujuh ekoregion terestrial pada pulau-pulau besar, yaitu Ekoregion Pulau Sumatera, Ekoregion Pulau Jawa, Ekoregion Pulau Bali dan Nusa Tenggara, Ekoregion Pulau Kalimantan, Ekoregion Pulau Sulawesi, Ekoregion Pulau Maluku, dan Ekoregion Pulau Papua, dengan total luas mencapai 188.549.073 hektar. Berdasarkan karakteristik ekoregion, potensi untuk mendukung ketahanan pangan melalui pembangunan sawah berbasis ekoregion seluas 16.408.179 hektare, yakni berasal dari luas lahan sawah baku eksisting seluas 8.132.343 hektare dan potensi untuk pengembangan padi sawah seluas 8.275.836 hektare (Mahendra Aulya D. dan Indira Dwesy Ariyani, 2015). Adapun rincian Luas Wilayah Ekoregion Pulau, luas lahan sawah baku, ketersediaan lahan untuk pengembangan padi sawah dan potensi lahan sebagaimana Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Luas Wilayah Ekoregion Pulau, Luas Lahan sawah baku, ketersediaan lahan untuk pengembangan padi sawah dan potensi lahan (hektare)
Ekoregion | Luas Wilayah Ekoregion (Ha)* | Luas lahan sawah baku (ha) **) | Ketersediaan lahan untuk pengembangan padi sawah (ha)**) | Potensi lahan sawah | |
(ha) | Persen (%) | ||||
Pulau Sumatera | 47.352.981 | 2.224.829 | 960.848 | 3.185.677 | 19,42% |
Pulau Jawa | 13.227.800 | 3.444.282 | 14.393 | 3.458.675 | 21,08% |
Pulau Bali Nusa | 7.168.671 | 462.687 | 48.923 | 511.610 | 3,12% |
Pulau Kalimantan | 53.365.932 | 1.032.117 | 1.395.939 | 2.428.056 | 14,80% |
Pulau Sulawesi | 18.498.132 | 919.963 | 422.974 | 1.342.937 | 8,18% |
Pulau Maluku | 7.779.227 | 22.782 | 245.759 | 268.541 | 1,64% |
Pulau Papua | 41.156.330 | 25.683 | 5.187.000 | 5.212.683 | 31,77% |
INDONESIA | 188.549.073 | 8.132.343 | 8.275.836 | 16.408.179 |
Keterangan
*): sumber: Statistik Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015
**) sumber: Mahendra Aulya D.dan Indira Dwesy Ariyani, 2015.
Potensi pengembangan lahan pertanian pada wilayah ekoregion dalam Kawasan hutan masih cukup luas. Mengacu pada data BBSDLP (2014) menunjukkan bahwa lahan potensial tersedia di lahan kering pada kawasan dengan status APL adalah seluas 18,08 juta hektare, pada kawasan HPK (hutan yang dapat dikonversi) seluas 7,08 juta hektare dan pada hutan produksi (HP) seluas 14,063 juta hektare, dengan total seluas 39,79 juta hektare. Namun pada kenyataannya lahan tersebut sulit diperoleh di lapangan, karena meskipun tergolong sebagai lahan potensial tersedia, tetapi umumnya sudah dibebani berbagai hak baik dalam bentuk HGU (Hak Guna Usaha) atau masih dalam bentuk Izin Lokasi ataupun telah digarap oleh masyarakat (Kartawisastra, 2015). Oleh karena itu untuk mendapatkan angka dan lokasi yang lebih pasti tentang lahan tersedia adalah perlu ditumpang tempatkan dengan peta HGU atau peta Izin Lokasi. Perkiraan luas lahan tersedia pada beberapa alokasi peruntukan lahan yang mempunyai izin usaha dan tanpa izin usaha, tahun 2012 pada status APL, HPK, dan HP seluas 15,8 juta hektare (Mulyani & Agus, 2018)dengan rincian dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Perkiraan luas lahan tersedia pada beberapa alokasi peruntukan lahan yang mempunyai izin usaha dan tanpa izin usaha, tahun 2012
Sumber: Anny Mulyani dan Fahmuddin Agus (2017)
Berdasarkan Tabel 5 di atas, dari 15,8 juta hektar lahan yang potensial tersedia, seluas 6,986 juta hektare sudah memiliki ijin, terluas terdapat di areal penggunaan lain (APL) seluas 3,4 juta hektar dan di hutan produksi (HP) seluas 2,6 juta hektare. Lahan yang sudah berijin ini pada umumnya sudah digunakan untuk perkebunan. Artinya, peluang pengembangan pertanian di lahan telantar yang berada di APL sudah sangat terbatas tersisa 4,6 juta hektar, terluas berada di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Seluruh lahan di APL yang belum memiliki ijin, kemungkinan besar telah dimiliki oleh perseorangan yang seringkali ilegal. Lahan ini biasanya sempit dan terpencar di seluruh Indonesia dan setiap pemilik lahan mempunyai rencana sendiri untuk penggunaan lahannya. Berdasarkan persoalan tersebut untuk mengoptimalkan potensi yang ada, melalui pendekatan pembangunan pertanian berbasis ekoregion, maka diperlukan pemetaan kelas kesesuaian lahan. Berdasarkan hasil penelitian Mulyani dan Agus (2017), bahwa sekitar 5,8 juta hektar lahan kering berada di dataran rendah beriklim basah dengan lereng >15%, sesuai untuk pengembangan tanaman tahunan. Lahan dengan tipologi lahan yang sama dengan lereng <15% sesuai untuk pengembangan tanaman pangan semusim seperti padi gogo, jagung, kedelai, tebu, dan sayuran. Lahan potensial untuk pengembangan sawah seluas 2,8 juta hhektar berada di lahan basah nongambut, umumnya berupa rawa pasang surut dan lebak, dan cukup luas (1,3 juta ha) berada di APL (lihat Tabel 6). Namun demikian, pada kondisi di lapangan pengembangan tanaman pangan fungsional, tidak hanya terjadi di APL, HPK maupun di HP, melainkan juga di Kawasan hutan lindung, salah satunya berada di Kawasan hutan lindung Gunung Balak Provinsi Lampung sebagaimana Gambar 1.
Gambar 1. Kebun Alpukat Dalam Kawasan Hutan Lindung Gunung Balak Diindikasikan Menurunkan Fungsi Hidrologis Hutan Lindung
Tabel 6. Perkiraan luas lahan telantar yang tersedia untuk pengembangan berbagai pilihan komoditas pertanian pada berbagai status kawasan
Dari uraian di atas, mengindikasikan bahwa meskipun dalam Kawasan hutan memilliki potensi untuk dikembangkan tanaman pangan yang sangat luas, hal ini memerlukan kehati-hatian. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah (1) pembangunan pertanian berkelanjutan berbasis ekoregion akan melibatkan aspek sosial ekonomi dan budaya, aspek kepemilikan lahan di bidang keagrariaan, dan masalah hukum, dan (2) potensi kesesuaian lahan berbagai komoditas terpencar-pencar akan menimbulkan fragmentasi ekosistem hutan dan tercipta fragmentasi areal pertanian sendiri,
Fragmentasi lahan pertanian dapat didefinisikan sebagai situasi di mana rumah tangga petani memiliki beberapa petak lahan yang tidak bersebelahan, yang sering kali tersebar di wilayah yang luas. Dengan kata lain, fragmentasi lahan adalah proses di mana ukuran rata-rata kepemilikan lahan pertanian dan petak-petaknya menurun seiring dengan meningkatnya penyebaran lahan petani (Dhungana, 2022), yang menyebabkan peningkatan biaya dan kesulitan dalam modernisasi pertanian (Leń, 2017). Sedangkan fragmentasi hutan merupakan proses membagi hutan menjadi fragmen-fragmen yang lebih kecil dan lebih terisolasi (D’Eon, 2002). Fragmentasi hutan terjadi karena hutan yang luas dan menyambung terpecah menjadi blok-blok lebih kecil akibat pembangunan jalan, pertanian, urbanisasi atau pembangunan lain (Gunawan & Prasetyo, 2013; Wade et al., 2003). Akibatnya mengurangi fungsi hutan sebagai habitat berbagai spesies tumbuhan dan satwaliar. Fragmentasi juga mempengaruhi struktur, temperatur, kelembaban dan pencahayaan yang akan mengganggu satwa hutan yang adpatasinya telah terbentuk selama ribuan tahun (Gunawan & Prasetyo, 2013). Sebagai contoh proses fragmentasi di hutan alam di Provinsi Jawa Tengah. Disamping kehilangan luas, hutan alam lahan kering yang tersisa pun telah terpecah-pecah menjadi fragment-fragment hutan yang kecil dan terisolasi satu sama lain. Selama 16 tahun (1990-2006) Provinsi Jawa Tengah telah kehilangan hutan alam lahan kering seluas 446.561,09 ha atau 88%. Sisa-sisa hutan alam lahan kering umumnya ada di puncak-puncak gunung yang sulit diakses oleh aktivitas manusia (Gunawan et al., 2010). Mengatasi permasalahan pertama, diperlukan sinergi dan koordinasi dengan institusi terkait untuk mendapatkan lahan yang “clean and clear” untuk pengembangan pertanian di Indonesia; dan permasalahan kedua dapat diatasi dengan melakukan apa yang disebut konsolidasi lahan (land consolidation).
Gambar 2. Fragmentasi Hutan Menyebabkan Proses Ekosistem Hutan Tidak Optimal
Sumber: https://highcarbonstock.org/wp-content/uploads/2023/01/HCSA-Toolkit-v2.0-Module-5-Bahasa-1.pdf
Konsolidasi Lahan (Land Consolidation) Dalam Penyediaan Hutan Cadangan Pangan
Land Consolidation atau konsolidasi lahan adalah suatu proses perencanaan dan pengaturan kembali kepemilikan, penggunaan, serta tata guna tanah dalam suatu wilayah untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan, kesejahteraan masyarakat, dan pembangunan berkelanjutan. Dalam hal penggunaan Kawasan hutan, untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan – mengurangi fragmentasi tanah agar lebih produktif, menata kembali kepemilikan tanah – memberikan akses yang lebih baik terhadap infrastruktur dan sumber daya, mendukung pembangunan infrastruktur – seperti jalan, irigasi, dan fasilitas umum, mencegah konflik pertanahan – dengan memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah, dan melindungi lingkungan – melalui perencanaan tata guna lahan yang lebih baik.
Mengacu dari rencana Kementerian Kehutanan untuk mengalokasikan 20 juta dalam menyediakan Kawasan hutan untuk pengembangan ketahanan pangan, secara alokasi lahan pada hakekatnya telah dialokasikan melalui arahan RKTN 2011 – 2030 seluas 17,16 hektar dari Arahan Kawasan untuk Pengusahaan Hutan Skala Kecil dan Kawasan untuk Non-Kehutanan, sisanya dapat dialokasikan dari Arahan Kawasan untuk Pengusahaan Hutan Skala Besar. Disamping itu telah diatur kebijakan sebelumnya yakni Penyediaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Food Estate melalui Permen LHK NOMOR P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020. Menurut Pasal 2 Permen LHK tersebut, disebutkan bahwa Kegiatan penyediaan Kawasan Hutan untuk pembangunan Food Estate dilakukan dengan mekanisme: (1) Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan; atau (2) Penetapan KHKP. Setelah keluarnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, maka kegiatan pembangunan Ketahanan Pangan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan pada Pasal 55, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 62, Pasl 108, Pasal 114-115; dan Peraturan Menteri LHK No 7/2021 pada Pasal 483, dan Pasal 485-486.
Meskipun persyaratan Kawasan hutan yang dapat dijadikan Food Estate memiliki kriteria hutan tidak produktif yakni Kawasan hutan yang dominasi tutupan lahan tidak berhutan lebih dari 70% (tujuh puluh perseratus) yang terdiri tutupan lahan antara lain semak belukar, lahan kosong, dan kebun campur (Pasal 273 ayat (2) huruf d, Permen LHK 7/2021). Namun perlu ditambahkan persyaratan terkait yakni areal pengembangan food estate tdak akan menyebabkan terjadinya fragmentasi hutan. Oleh karena itu dalam mengalokasikan Kawasan hutan untuk pengembangan pangan diperlukan terlebih dahulu kegiatan konsolidasi lahan. Dalam konsolidasi penyediaan Kawasan hutan untuk hutan cadangan pangan, diperlukan konsolidasi lahan pertanian dan konsolidasi lahan hutan sekaligus untuk meningkatkan keberlanjutan produktivias lahan pertanian dan keberlanjutan ekosistem hutan, sebagaimana ilustrai pada Gambar 3 berikut.
Gambar 3. Contoh Hasil Integrasi Konsolidasi Lahan Hutan dan Lahan Pertanian
Untuk melakukan konsolidasi lahan hutan maka kita perlu belajar dari pengalaman konsolidasi lahan hutan di negara lain, diantaranya konsolidasi teritori Kawasan hutan yang telah dilakukan oleh negara Bulgaria, menghasilkan perubahan kualitatif dan stabilisasi yang dinamis dalam jangka panjang. Hasil seperti konservasi keanekaragaman hayati dan sejenisnya akan tercapai seiring berjalannya waktu. Sementara itu, tidak ada hasil ekonomi yang terungkap yang menunjukkan peningkatan situasi ekonomi sektor kehutanan Bulgaria. Sebagaimana praktik global, konsolidasi merupakan langkah awal untuk memperbaiki infrastruktur hutan dan mengurangi biaya produksi (Neykov et al., 2020). Sedangkan konsoidasi lahan pertanian dapat belajar dari Negara Polandia melalui pendekatan yang memungkinkan seseorang untuk melakukan pertukaran tanah antara dua kelompok pemilik lahan pertanian dan untuk menghilangkan tambal sulam kepemilikan tanah yang bermasalah melalui pendekatan pertukaran dan konsolidasi tanah (Leń, 2017). Dengan belajar dari keberhasilan negara lain, minimal terdapat testimony akan keberhasilan penggunaan Kawasan hutan untuk mendukung sector lain, tidak sekedar untuk kepentingan politik, tetapi sudah mempertimbangkan berbagai aspek terkait lingkungan, social dan ekonomi.
Implikasi Kebijakan Alokasi Kawasan Hutan Untuk Cadangan Hutan Pangan
Implikasi kebijakan alokasi Kawasan hutan untuk hutan cadangan pangan bukan sekedar menjadikan hutan sebagai bank lahan dengan membagi-bagi lahan hutan untuk sector non-kehutanan termasuk pengembangan ketahanan pangan, tetapi lebih dari itu yakni dalam mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan berbasis ecoregion. Dalam mendukung pertanian berkelanjutan berbasis ecoregion berarti mendukung pengembangan pertanian di Kawasan hutan berbasis kesesuaian lahan dan tidak menimbulkan fragmentasi ekosistem hutan. Implikasinya adalah diperlukan kebijakan tambahan untuk alokasi Kawasan hutan dengan menggunakan mekanisme konsolidasi lahan hutan sebagai alat dalam mengalokasikan lahan hutan untuk kegiatan pengembangan pertanian, mempertahankan ekosistem Kawasan hutan tetap berkelanjutan, dan property kebutuhan lahan di desa, serta untuk pembangunan infratruktur yang lebih efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Aulya D, M., & Ariyani, I. D. (2015). Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Konsep Ekoregion di Indonesia.
D’Eon, R. G. (2002). Forest fragmentation and forest management: A plea for empirical data. In Forestry Chronicle (Vol. 78, Issue 5, pp. 686–689). Canadian Institute of Forestry. https://doi.org/10.5558/tfc78686-5
Dhungana, P. (2022). Farmland fragmentation, problems, and remedies. https://www.researchgate.net/publication/364385010
Gunawan, Hendra., & Prasetyo, L. B. (2013). Fragmentasi Hutan Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
Gunawan, H., Prasetyo, L. B., Mardiastuti, A., & Kartono, A. P. (2010). FRAGMENTASI HUTAN ALAM LAHAN KERING DI PROVINSI JAWA TENGAH. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, 7(1), 75–91. https://doi.org/10.20886/jphka.2010.7.1.75-91
Guo, Z., Xiao, X., & Li, D. (2000). An Assessment of Ecosystem Services: Water Flow Regulation and Hydroelectric Power. In Source: Ecological Applications (Vol. 10, Issue 3).
Leń, P. (2017). The size of an external patchwork of fields as an indicator of urgency for land consolidation and exchange on the example of the commune of Lesko. Journal of Water and Land Development, 33(1), 107–114. https://doi.org/10.1515/jwld-2017-0025
Mulyani, A., & Agus, F. (2018). Kebutuhan dan Ketersediaan Lahan Cadangan Untuk Mewujudkan Cita-Cita Indonesia Sebagai Lumbung Pangan Dunia Tahun 2045. Analisis Kebijakan Pertanian, 15(1), 1. https://doi.org/10.21082/akp.v15n1.2017.1-17
Neykov, N., Antov, P., Dobrichov, I., Halalisan, A., & Kitchoukov, E. (2020). THE CONSOLIDATION OF FOREST TERRITORIES AS A TOOL TO IMPROVE THEIR MANAGEMENT. Proceedings of CBU in Economics and Business, 1, 120–125. https://doi.org/10.12955/peb.v1.28
Sellgreen, G. (2013). NATURE’S SERVICES A guide for primary school on ecosystem services.
Aulya D, M., & Ariyani, I. D. (2015). Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Konsep Ekoregion di Indonesia.
D’Eon, R. G. (2002). Forest fragmentation and forest management: A plea for empirical data. In Forestry Chronicle (Vol. 78, Issue 5, pp. 686–689). Canadian Institute of Forestry. https://doi.org/10.5558/tfc78686-5
Dhungana, P. (2022). Farmland fragmentation, problems, and remedies. https://www.researchgate.net/publication/364385010
Gunawan, Hendra., & Prasetyo, L. B. (2013). Fragmentasi Hutan Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
Gunawan, H., Prasetyo, L. B., Mardiastuti, A., & Kartono, A. P. (2010). FRAGMENTASI HUTAN ALAM LAHAN KERING DI PROVINSI JAWA TENGAH. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, 7(1), 75–91. https://doi.org/10.20886/jphka.2010.7.1.75-91
Guo, Z., Xiao, X., & Li, D. (2000). An Assessment of Ecosystem Services: Water Flow Regulation and Hydroelectric Power. In Source: Ecological Applications (Vol. 10, Issue 3).
Leń, P. (2017). The size of an external patchwork of fields as an indicator of urgency for land consolidation and exchange on the example of the commune of Lesko. Journal of Water and Land Development, 33(1), 107–114. https://doi.org/10.1515/jwld-2017-0025
Mulyani, A., & Agus, F. (2018). Kebutuhan dan Ketersediaan Lahan Cadangan Untuk Mewujudkan Cita-Cita Indonesia Sebagai Lumbung Pangan Dunia Tahun 2045. Analisis Kebijakan Pertanian, 15(1), 1. https://doi.org/10.21082/akp.v15n1.2017.1-17
Neykov, N., Antov, P., Dobrichov, I., Halalisan, A., & Kitchoukov, E. (2020). THE CONSOLIDATION OF FOREST TERRITORIES AS A TOOL TO IMPROVE THEIR MANAGEMENT. Proceedings of CBU in Economics and Business, 1, 120–125. https://doi.org/10.12955/peb.v1.28
Sellgreen, G. (2013). NATURE’S SERVICES A guide for primary school on ecosystem services.
Kartaeisastra, S. (2015). EVALUASI LAHAN SEBAGAI INSTRUMEN PERENCANAAN. Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion, 140–152.
Wade, T. G., Riitters, K. H., Wickham, J. D., & Jones, K. B. (2003). Distribution and causes of global forest fragmentation. Ecology and Society, 7(2). https://doi.org/10.5751/es-00530-070207
Buku:
Kartodihardjo, Hariadi. 2017. Di Balik Krisis Ekosistem. Pemikiran Tentang Kehutanan dan Lingkungan Hidup. KEHATI. LP3S.