Artikel Utama

AGROFORESTRI UNTUK GENERASI BARU RIMBAWAN

Oleh:  Prof. Dr. Ir. Moh. Sambas Sabarnurdin, M.Sc.

(Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM)

Agroforestería, banyak diperbincangkan dalam diskusi-diskusi pengelolaan hutan apabila sudah menyangkut peningkatan kesejahteraan penduduk di dalam dan di sekitar hutan. Pihak kehutanan mengidentifikasi agroforestri sebagai salah satu bentuk implementasi pendekatan kehutanan sosial dalam pengelolaan sumberdaya hutan lestari.  Pihak  pertanianpun berusaha agar pengembangan pertanian tidak eksploitatif dan tidak merusak preservasi sumberdaya alam dan agroforestri  memberikan harapan bagi pengelola lahan untuk memenuhi tuntutan itu (dalam seminar at 2003 di Fahutan UGM). Deklarasi Kongres Agroforestri Dunia di Orlando, tahun 2004 juga menyatakan bahwa adopsi agroforestri dalam dekade ke depan akan sangat membantu pencapaian tujuan pembangunan milenium PBB. Tujuan agroforestri adalah menggunakan kembali logika diversitas ekosistem alam ke dalam sistem pertanaman monokultur untuk memperoleh hasil yang lebih stabil, tidak agresif kepada lingkungan, tetapi tetap produktif.

Pola Lorong tanaman petani Nglanggeran DIY

Campuran kayu putih dan rumput gajah Perum Perhutani Gundih

Tumpangsari pada tanaman pinus Perum Perhutani

Tumpangsari pada tanaman karet Perkebunan

Agroforestri akan menjadi bagian integral dari maksimisasi upaya perlindungan lingkungan sambil melakukan minimisasi lahan rusak karena penggunaan teknik yang tidak tepat.

Selama ini rimbawan telah jadi pionir dalam perjuangan untuk mengawetkan dan memanfaatkan sumberdaya terbarukan secara rasional. Sehingga dalam keadaan ekstrimnya seringkali dituduh anti pembangunan. Ketika rencana pembangunan itu menyentuh perubahan pada fungsi kawasan hutan.

Sesuai dengan pengalamannya dalam mengelola fungsi ganda hutan rimbawan akan puas dengan berkembangnya kepedulian akan lingkungan hidup dan perlunya pengelolaan sumberdaya terbarukan di dunia.  Rimbawan  paham bahwa kehutanan tidak hanya sekadar tentang pohon, tetapi bagaimana hutan itu mampu melayani kebutuhan manusia. Komitmen itu mencakup tindakan untuk mengikis kondisi ketidak-merataan di lingkungan pedesaan, khususnya ketidak-merataan  distribusi lahan dan akses terhadap pelayanan jasa sosial  lahan dan hutan.

Pembangunan pedesaan adalah salah sebuah isu yang sangat mendesak; dan perang melawan kelaparan, kekurangan papan serta degradasi lingkungan, itu diyakini dapat dilakukan dengan menggunakan senjata yang sudah dimiliki petani sendiri, yaitu kearifan tradisional mereka dalam mengelola sumber daya alam secara ramah lingkungan.

PERTANIAN DI LINGKUNGAN KEHUTANAN

Bertani dan penghasilkan pangan dalam kegiatan pembangunan tanaman hutan di Indonesia, bukanlah barang baru. Praktik itu dikenal sejak akhir abad 19 pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Sistem  tumpangsari adalah salah satu teknik agroforestri yang dipraktikkan pada awal proses pembangunan tanaman hutan. Dalam sistem tersebut, petani hutan diijinkan menanam tanaman pertaniannya di antara baris baris tanaman pokok kehutanan. Tumpangsari itu diadopsi dari sistem “taungya” di Myanmar, dengan 4 tujuan utama yaitu : 1) menghemat biaya tanaman; 2) memperoleh tambahan penghasilan dari usaha pertanian; 3)  pemeliharaan tanaman yang lebih baik; dan 4) membantu memenuhi kekurangan lahan pertanian setempat.

Sejarah panjang pengelolaan hutan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran tumpangsari, khususnya di Jawa.  Sejak awal dipraktikkannya tumpangsari telah menjadi  penopang utama keberhasilan pengelolaan hutan yang bermanfaat bagi pemilik lahan walaupun  tidak selalu demikian bagi petaninya. Tumpangsari  itu sekarang makin tidak dapat diandalkan karena selain lahan andil yang mereka terima makin sempit (Wiersum, 1981), juga karena adanya sifat hubungan kerja buruh majikan yang masih kental serta  inovasi teknik pertanian belum banyak menyentuh petani hutan.   Agroforestri adalah nama baru bagi praktik lama.  Banyak definisi dibuat orang untuk melukiskan agroforestri antara lain tertera dalam edisi perdana  Agroforestry System Journal yang mencatat sekitar 20 macam definisi (Anonim,1982), namun definisi yang telah disempurnakan melalui diskusi-diskusi dan dipakai di lingkungan ICRAF (Nair, 1993) adalah (dalam bahasa aslinya) ” Agroforestry is a collective name for land-use systems and technologies where woody perennials (trees, shrubs, palms, bamboo, etc.) are deliberately used on the same land-management units as agricultural crops and/or animals, in some form of spatial management or temporal sequence. In agroforestry systems there are both ecological and economical interactions between the different components.

PERUBAHAN PARADIGMA

Perubahan besar telah terjadi dalam pengelolaan sumber daya hutan.  Paradigma pengelolaan hutan berubah dari orientasi berbasis kayu ke pengelolaan berbasis ekosistem. Wujud perubahan paradigma ini diikuti dengan penempatan posisi  pemangku kepentingan (stakeholders). Tumpangsari konvensionalpun dikembangkan melalui prosperity approach sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat, dan  puncaknya adalah pada sistem  pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) di Perhutani   Sungguhpun demikian ruh tumpangsari sampai zaman PHBM inipun belum mengalami perubahan filosofi yang berarti karena sistem yang baru itupun belum menempatkan kedua pihak terkait pada kedudukan yang setara, sebagaimana semangat agroforestri yang seharusnya dipahami.

Apabila diamati dengan baik maka kegiatan silvikultur manipulasi tegakan untuk mengatur struktur dan komposisi tegakan hutan dan vegetasi lainnya yang bernilai adalah untuk mencapai tujuan pemanfaatan dalam kerangka kebijakan pengusahaan yang ditetapkan  hanya  oleh sang pemilik hutan itu, siapapun dia.  Namun untuk kontribusi  yang lebih besar pada kesejahteraan masyarakat seharusnya pengelola harus menggunakan pendekatan kehutanan sosial dan apabila pendekatan ini menjadi pilihan, maka otomatis maka menurut Sheooerd resep silvikulturnya  akan mengarah ke rejim silvikultur agroforestri (Shepperd, 1986)

Gambaran silvikulur  dalam rejim manajemen hutan (Simon). Menurut letak hutan  relatif terhadap konsentrasi penduduk dan kegiatan ekonominya

Kotak hijau adalah ruang untuk tanaman pangan

XXXX  adalah tanaman jati

Tetapi tanpa bisa menjawab tantangan perubahan-perubahan yang telah didorong atau didesakkan  oleh para pemangku kepentingan, maka pelaksanaan  visi ”Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera” tidak akan terwujud dengan baik, dan perubahan-perubahan itu tidak  akan mengubah bahkan sebaliknya akan memperkuat apa yang dituduhan Contant (1979) tentang kehutanan yang mengeksploitir kemiskinan, atau Nancy Peluso yang telah menggunakan konsep “Rich Forest, Poor People” untuk menggambarkan bagaimana kehutanan dan pengelolaan sumber daya alam dan menyoroti bagaimana kekayaan alam dapat terkonsentrasi di tangan beberapa orang, sementara masyarakat lokal tetap miskin dan tidak sejahtera.

DIPERLUKAN GENERASI BARU RIMBAWAN

Diterimanya agroforestry sebagai cara mengelola lahan yang ramah lingkungan sedemikian meluas adalah karena makin tingginya kesadaran untuk menangani masalah degradasi sumber daya alam. Agroforestry sesuai untuk keperluan itu karena kemampuannya melayani berbagai fungsi, menjadi sumber kehidupan sekaligus melayani kepedulian  perlindungan lingkungan seperti halnya merehabilitasi  fungsi daerah aliran sungai, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Untuk pekerjaan  variatif seperti itu, dituntut persiapan yang lebih banyak  dari seorang rimbawan di samping bekal ilmu kehutanan tradisionalnya. Rimbawan akan lebih banyak bergaul dengan teknik atau cara penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil maupun perlakuan pasca panen yang berbeda dengan pekerjaan rutin sebelumnya. Menurut  Fortman (Sabarnurdin,1999), paling tidak ada empat hal “asing”  yang akan dihadapi rimbawan berkenaan dengan tugas barunya ini, yaitu “asing” pohonnya, “asing” pola penggunaan lahannya, “asing” tujuan penanamannya, dan  “asing” pula cara pendekatan masyarakatnya. Ia akan banyak berhadapan dengan pohon serbaguna, tanaman pertanian maupun tanaman pakan ternak  yang cara penanaman, pemeliharaan, perlakuan maupun cara pemanenannya jauh lebih kompleks dari pada pohon untuk tujuan produksi tunggal yang selama ini digelutinya. Selanjutnya seorang rimbawan juga masih dituntut untuk memahami paling tidak 3 keharusan  berikut: 1) mampu berkomunikasi dengan penduduk, memahami adat, aturan, aspirasi dan berbicara dalam “bahasa” mereka;  2) memahami struktur sosial desa, bisa menjadi penghubung desa dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan 3) memiliki kemampuan merumuskan resep teknologi tepat  berdasarkan studi tentang kondisi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang berlaku setempat. Ini semua menunjukkan bahwa ke depan nanti akan diperlukan banyak rimbawan generasi baru (new breed of foresters). (Maydel dalam Sabarnurdin, 1999).

PENDIDIKAN PENGELOLA SUMBER DAYA ALAM

Di lingkungan pendidikan tinggi, pengelolaan sumber daya lahan diwakili oleh berbagai bidang ilmu, yang berorientasi sektoral. Telah lebih dari satu abad lalu pertanian  dipecah menjadi beberapa cabang ilmu dan praktek melalui spesalisasi. Tahun 1963, Fakultas Pertanian UGM dimekarkan menjadi Fakultas Fakultas Pertanian, Kehutanan, Teknologi Pertanian, Peternakan dan Kedokteran Hewan, mengikuti tren global, mengikuti pengaruh perkembangan revolusi hijau sejalan dengan kebijakan kolonial, kemudian kelima fakultas ini dikenal sebagai ”paguyuban” agrokompleks.

Perkembangan kemajuan  agronomi  telah menggiring pertanian  menuju  sistem pertanaman monokultur intensif dan pemisahan produk secara tegas. Penggunaan bibit unggul, cepat tumbuh, rotasi pendek, manipulasi lingkungan tumbuh, pemanfaatan pupuk, dan pengendalian hama penyakit terpadu adalah karakteristik pokok monokultur intensif. Yang akhirnya terbukti dari  adanya kesadaran akan pentingnya berbalik ke pertanian berbasis organik yang telah menyebar luas  dikalangan perusahaan pemerintah dan masyarakat global.

Pendekatan kearah monokultur seperti inipun diikuti pula oleh bidang kehutanan. Perkembangan seperti ini  bukanlah tanpa risiko bagi kehutanan karena menurut Shiva (Suzuki, 1999),  dunia modern yang membangun sifat budayanya atas dasar model industri, cenderung menilai hutan hanya dari nilai produk kayunya saja dan mengabaikan hutan sebagai penunjang kehidupan.  Dewasa  ini pengaruh global juga kembali melanda, hanya saja angin perubahan global itu menuju arah sebaliknya yaitu perbaikan lingkungan hidup, yang juga menyangkut inisiatif pendidikan. Sebagaimana Agenda 21 tahun 1992 menyatakan tentang implementasi pembangunan lestari sebagai:

“Penyesuaian besar diperlukan dalam kebijakan pertanian, lingkungan dan makro ekonomi, baik di tingkat nasional maupun internasional, di negara maju maupun berkembang, untuk menciptakan kondisi bagi pertanian berkelanjutan dan pembangunan pedesaan. Tujuan utama pertanian berkelanjutan dan pembangunan pedesaan adalah untuk meningkatkan produksi pangan secara berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan pangan. Ini akan melibatkan inisiatif pendidikan, pemanfaatan insentif ekonomi dan pengembangan teknologi tepat guna dan baru, sehingga memastikan pasokan yang stabil dan makanan yang cukup gizi secara nutrisi, akses ke pasokan tersebut oleh kelompok rentan, dan produksi untuk pasar; lapangan kerja dan penghasilan untuk mengentaskan kemiskinan; dan pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan.” (Agenda 21, 1992).

Dengan pendekatan kemakmuran rakyat (Social-Forestry), Departemen Kehutanan mulai bergeser ke arah memberikan jasa pelayanan sebagaimana yang selama ini dilakukan oleh saudara tuanya Departemen Pertanian. Sedangkan petani sebagai klien kedua departemen sektoral tersebut, telah lama mempraktikkan usaha taninya secara terpadu. Mereka terbiasa berada dalam suatu kondisi yang mengharuskan mereka memenuhi kebutuhan hidupnya sepanjang tahun, dengan sekaligus menciptakan dukungan lingkungan yang sehat. Dalam mengelola lahannya petani telah mencerna hal hal yang bermanfaat yang diperolehnya dari rimbawan, ahli pertanian, ahli tanah, dan lain-lain, atau singkatnya, petani telah mempraktikkan apa yang kemudian kita kenal sebagai agroforestry (Sabarnurdin, 2007).

Untuk melayani kebutuhan tenaga profesional dalam pengelolaan agroforestry diperlukan sumberdaya manusia yang berbekal pengetahuan interface  bidang-bidang  ilmu pertanian. Mereka harus dipersiapkan menjadi praktisi pengintegrasi bukan spesialisasi. Praktisi bekerja dengan azas keluasan, kejelasan, dan kemanfatan, sedangkan akademisi bertugas mendalami kekhususan spesialisasi masing masing. Keduanya bisa saling  melengkapi, praktisi memberi umpan balik tentang apa yang perlu ditelaah lebih dalam sedangkan spesialis menghadirkan temuannya untuk digunakan dalam praktik. Yang tidak benar adalah bila bidang ilmu atau institusi yang dibangun di atas dasar spesialisasi tersebut kemudian membentuk  dinding-dinding pemisah,  dan menganggap gerakan lintas bidang sebagai sebuah pelanggaran wilayah, akibatnya, hubungan alamiah antar bidang menjadi tertutup, Temu (2004).  Kesenjangan ilmu dan inovasi yang dikembangkan oleh masing-masing bidang akan tercipta gap dan ini menjadi tidak efektif untuk menangani masalah praktik yang memerlukan penanganan  komprehensif.

Basis pengetahuan yang luas diperlukan untuk mengelola bentang lahan yang dibebani dengan berbagai kepentingan yang sering menimbulkan konflik. Institusi pendidikan menanggapinya dengan memperbanyak kolaborasi antar bidang ilmu, dan mencoba mengembangkan program-program baru dalam bentuk paket terpadu untuk menangani masalah pengelolaan sumberdaya lahan. Pendidikan yang diperlukan adalah ”pendidikan untuk pengembangan kapabilitas”. Rudebjer et al., (2004) dan Nsita et al., (2004) menekankan bahwa  sumberdaya manusia itu harus memiliki kapasitas berfikir secara sistem, berorientasi bisnis dan menempatkan manusia sebagai pusat  setiap tindakan  untuk mencapai  tujuan produktif dan konservasif, serta memiliki orientasi kerja pembangunan daerah pedesaan. Agar lulusan lebih kompetitif, mereka harus dipersiapkan untuk memiliki pemahaman mendalam tentang pengelolaan pertanian, kehutanan, perikanan, dan peternakan, di samping memiliki kemampuan dalam penelitian, penyuluhan; perencanaan penggunaan lahan; dan kewirausahan.

PENDIDIKAN AGROFORESTRI

Di lingkungan ASEAN sejak tahun 1998, telah dilakukan  asesmen tentang kebutuhan pendidikan agroforestry yang  meliputi  26 universitas di Indonesia (Rudebjer et al., 2004).  Fakultas atau Jurusan Kehutanan dari keduapuluh enam universitas tersebut menawarkan mata kuliah agroforestry dalam program-studi S1nya baik  sebagai mata kuliah wajib atau mata kuliah pilihan. Namun demikian, sampai sekarang (Widianto, 2000) program studi agroforestri belum tercantum dalam daftar program studi Departemen Pendidikan Nasional. Menurut catatan yang ada, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung mangkurat (UNLAM) pernah membuka program studi agroforestri tetapi kemudian harus ditutup kembali. Di Fakultas Kehutanan UGM mata kuliah agroforestri mulai diperkenalkan pada tahun 1980-an bersamaan dengan kerjasama NUFFIC/FONC, bersama sama dengan mata kuliah Social Forestry dan Forest Policy. Di  Thailand, hasil survey menunjukkan bahwa lima dari sebelas universitas responden menawarkan  agroforestri pada tingkat  S1, baik sebagai major,  ataupun minor; sedangkan dua universitas lainnya menawarkan program S2 agroforestry, dan lebih banyak ditawarkan oleh program-program studi pertanian. Namun demikian, sebagaimana di Indonesia, Thailand-pun tidak memiliki program studi khusus agroforestri untuk tingkat S1. di Filipina, pendidikan agroforestri sudah lebih maju dibanding negara ASEAN lainnya, program studi agroforestri S1 ditawarkan pertama kali tahun 1976 oleh Don Mariano Marcos Memorial State University (DMMMSU), bahkan di UP Los Banos telah memiliki Insitute Agroforestry yang menjadi motor penggerak kegiatan pendidikan agroforestri. Survey terakhir menunjukkan bahwa sejumlah 31 universitas menawarkan berbagai variasi program studi agroforestri (Del Castillo, et al., 2001). Beberapa tahun belakangan ini Jaringan pendidikan agroforestri telah dicoba diinisiasi di Asia Tenggara (SEANAFE), dan di Afrika (ANAFE), kerjasama Swedia (SIDA) dengan World Agroforestry Center (WAC). Pengalaman dari Filipina menunjukkan  bahwa  jejaring kerja (network) terbukti dapat mempercepat institusionalisasi  pendidikan agroforestri. Keberhasilan usaha ini bukan hasil kerja para akademisi saja tapi lebih banyak merupakan hasil kerja  badan badan pemerintah (Vilacio et al., 2004). Selepas ini kita mengenal adanya Jaringan pendidikan agroforestri yang bernama INAFE dan Jaringan masyarakat agroforestri yang dikenal sebagai MAFI.

MASA DEPAN PENDIDIKAN AGROFORESTRI

Pengajaran di lingkungan agro kompleks harus lebih efektif bagi pembangunan pedesaan. Universitas perlu mengembangkan sumberdaya manusia berkualitas dengan pendekatan holistik dalam mengelola sumberdaya lahan untuk menyeimbangkan tujuan pembangunan dan stabilitas lingkungan. Pertanyaannya kemudian adalah: belum saatnyakah kita memiliki sebuah program studi agroforestri? Pertanyaan ini telah memicu diskusi hangat dan panjang dari para anggota jaringan INAFE. (Jaringan Pendidikan Agroforestri Indonesia).  Terungkap dari diskusi-diskusi itu bahwa setiap universitas sesuai status dan sistem pendidikannya memiliki strategi masing masing berkenaan dengan penyelenggaraan progam pendidikan agroforestri di tingkat S1,  namun semua sepakat  bahwa,  program studi agroforestri sebaiknya diadakan secara antar bidang pada level pasca sarjana walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk level-level di bawahnya, bahkan sampai tingkat pendidikan menengah atas.

Unifikasi di UGM yang menjadikan hanya satu program studi kehutanan (general forestry) tidak lagi 4 program studi seperti sebelumnya, akan memperkuat alasan mengapa agroforestri sebagai sebuah program studi itu lebih tepat untuk ditempatkan dalam aras pendidikan lanjutan.

BEBERAPA KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN  

Adalah kenyataan bahwa dalam  era otonomi, pemerintah daerah bebas membentuk instansi, termasuk instansi pengelola sumberdaya lahan. Ini nampak dari nama nama instansi itu yang tidak seragam. Di satu daerah kita menjumpai Dinas Kehutanan, ditempat lain kehutanan menjadi bagian Dinas Pertanian atau Dinas Pertanian dan Perkebunan, atau di bawah Dinas Kehutanan dan Lingkungan hidup, dan lain lain. Yang menarik adalah kecenderungan tidak sesuainya antara bidang keahlian pejabat kepala dinas  dengan mandat dinasnya. Kecenderungan ini sebenarnya  positif  karena merupakan tambahan bukti bahwa  new breed of expertists,  yang dilengkapi dengan pengetahuan atau keahlian antar bidang semacam agroforestri memang diperlukan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa, walaupun telah terjadi “integrasi fisik” yang baik, antara pertanian dan kehutanan  tetapi masih banyak pekerjaan yang berhubungan dengan agroforestri ditangani “secara sambilan” oleh tenaga-tenaga berpendidikan pertanian atau kehutanan, atau bahkan lainnya yang sebelumnya tidak pernah terekspose pada agroforestri (Widianto, 2000).  Oleh karena itu  pendidikan agroforestry sebagai bentuk mengenai pengelolaan sumberdaya lahan menjadi makin penting.

Berikut adalah beberapa bentuk kebijakan yang diperlukan untuk mendorong pendidikan agroforestri:

  1. Penetapan agroforestri dalam nomenklatur main stream UU Kehutanan dan bukan hanya termaktub dalam penjelasan UU seperti sekarang.
  2. Integrasi agroforestri dalam kurikulum pendidikan formal, perlu dilaksanakan mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi.
  3. Pengembangan Sistem Informasi Agroforestri untuk aksesibilitas dan kualitas informasi yang lebih baik.
  4. Kerjasama antar Pemerintah dan Organisasi Masyarakat serta  Sektor Swasta untuk meningkatkan kesadaran, partisipasi dan dukungan investasi dan dorongan pendanaan dalam pengembangan agroforestri.
  5. Pengadaan insentif, pengembangan infrastruktur, pengaturan penggunaan dan pengembangan teknologi  intensiifkasi yang meliputi penggunaan bibit unggul, manipulasi lingkungan kehidupan tanaman dan pengendalian hama dan penyakit tanaman.
  6. Kebijakan pemerintah dalam penggunaan Teknologi Ramah Lingkungan dan  Pengembangan Sistem Pemantauan untuk pengelolaan agroforestri yang ramah lingkungan.

PENUTUP  

  1. Kehutanan menggunakan agroforestry sebagai bentuk implementasi pendekatan sosial dalam pengelolaa hutan lestari. Di sisi lain pihak pertanianpun berusaha agar pengembangan pertaniannya tidak eksploitatif dan tidak merusak preservasi sumberdaya alam.
  2. Kongres Agroforestri Dunia di Orlando, tahun 2004 jelas menyatakan bahwa adopsi agroforestri akan sangat membantu pencapaian tujuan pembangunan milenium PBB.
  3. Agroforestri adalah penggunaan kembali logika biodiversitas ekosistem alam pada sistem monokultur untuk mencapai hasil yang lebih stabil, tidak agresif kepada lingkungan, tetapi produktif.
  4. Rimbawan dikenal sebagai pionir perjuangan menjaga mengawetkan dan memanfaatkan sumber daya alam secara rasional, dalam keadaan ekstrim ini seringkali dituduh anti pembangunan.
  5. Perubahan besar telah terjadi dalam pengelolaan hutan. Paradigma pengelolaan hutan berubah dari orientasi berbasis kayu ke pengelolaan berbasis ekosistem. Rimbawan  paham bahwa hutan dan kehutanan tidak hanya sekadar tentang pohon, tetapi bagaimana hutan itu mampu melayani kebutuhan manusia.
  6. Pembangunan pedesaan adalah isu penting mendesak; dalam perang melawan kemiskinan dan kelaparan, jawabannya adalah penggunaan agroforestri sebagai kearifan lokal.
  7. Sebagaimana Agenda 21 tahun 1992 menyatakan tentang implementasi pembangunan Lestari, agroforestri mampu menjadi bagian integral wilayah yang mempertemukan fungsi  pertanian dan kehutanan.
  8. Untuk operator diperlukan sumber daya manusia yang memiliki kapasitas berfikir secara sistem, produktif, konservasif, sekaligus berorientasi pembangunan. Ini menunjukkan bahwa ke depan akan diperlukan banyak rimbawan generasi baru (new breed of foresters). Disitulah fungsinya pendidikan bicara.
  9. Setiap gerak langkah  ini harus ditopang kebijakan pemerintsh yang mendukung baik pengembangan penunjang usaha taninya (on farm), agribisnis di hulu (upper stream, industri Saprodi)  dan agribisnis di hilirnya (down stream. pengolahan).

Daftar  Bacaan:

Anonim. 1982. Editorial. Journal of Agroforestry System. Vol. 1. Cultures.

Atmosoedaryo, S. dan S.G. Banyard. 1979. The Prosperity Approach To Forestcommunity Development In   Japan. Comm. For. Rev. 57 (2) : 89-96.

Contant, R.B. 1979.  Training and Education in Agroforestry. Dalam  T. Chandler dan D. Spurgeon (Eds). Proceeding of an International Conference in Agroforestry.  ICRAF. Nairobi, Kenya  p 220-229.

Del Castillo, R.A., R.V. Dalmacio, S.M. Mariano, Rowena, D. Kabahug dan L.D. Landicho. 2001. Setting the Directions of Education Programs and Human Resources in Agroforestry. Institute of Agroforestry and the Southeast Asian Network for Agroforestry Education, College. Laguna, Philippines.

Nair, P.K. Ramachandran, 1993. An Introduction to Agroforestry. ICRAF and Kluwer Academic  Publisher. 499 pp.

Nsita, Steve Amooti, Louis S.M. Balikuddembe, S. Gwali, G. Sebahutu dan A.Temu, 2001. Curriculum for the diploma course in Agroforestry. Nyabyeya Forestry College. Uganda.  75 pp.

Peluso, N. L.1992 . Rich Forests, Poor People : Resource Control and Resistance In Java. University of California Press, Berkeley-Los Angeles- London.

Rudebjer, P.G., M.S. Sabarnurdin dan M. Jamroenprukcksa. 2004. Integrating natural resource education through national networks: experiences from Thailand and Indonesia. In A.B. Temu, S. Chakeredza, K. Mogotsi, D. Munthali dan R. Mulinge.(eds). Rebuilding Africa’s capacity for agricultural development: the role of tertiary education. Reviewed papers presented at ANAFE Symposium on Tertiary Agricultural Education, April 2003. ICRAF. Nairobi, Kenya.

Sabanurdin , M.S dan U.I. Srihadiono. 2007. The Role of Agroforestry Education in the Revitalization of Agriculture, Fishery and Forestry Program. Proceeding  of the international Seminar. Gadjah Mada University, SEANAFE, Deparment of Forestry, dan Perhutani. 167 pp.

Sabarnurdin, M.S. 1988  Effects of Agroforestry practice on growth of teak, crop production and  soil fertility. Michigan State University. Dissertation. Unpublished.

Sabarnurdin, M.S. 1999. Pengembangan agroforestry sebagai upaya mengisi program Perhutanan Sosial. Pidato ilmiah dalam Rangka Dies Natalis  XX dan Wisuda Sarjana XXI Universitas Merdeka Madiun. Madium. 17 pp.

Sabarnurdin, M.S. 2007 Some Consideration for Agroforestry Human Resource Development. 2007. Dalam M.S. Sabanurdin dan U.I. Srihadiono (eds). The Role of Agroforestry Education in the Revitalization of Agriculture, Fishery and Forestry Program, proceeding  of the international Seminar. Gadjah Mada University, SEANAFE, Department of Forestry, dan Perhutani. 167 pp.

Shepperd K.R. Plantation Silviculture, 1986 by Martinus Nijhoff Dordrecht 322pp

Suzuki, D. 1999. The Sacred Balance: Rediscovering our place in nature. ALLEN &UNWIN. Australia.

Temu, A.B., 2004. Toward better integration of land use disciplines in education programmes. In A.B. Temu, S. Chakeredza, K. Mogotsi, D. Munthali dan R.Mulinge (Eds). Rebuilding Africa’s capacity for agricultural development: the role of tertiary education. Reviewed papers presented at ANAFE Symposium on Tertiary Agricultural Education, April 2003. ICRAF, Nairobi, Kenya.

Widianto, 2000. Agroforestry education in Indonesia, Paper presented in a seminar on Development of Curriculum on Sustainablen Agriculture for Indonesian University, Febuary 2000 at Brawijaya Universitas in Indonesia.

Wiersum, K.F., 1981. Outline of the Agroforestry concept. In K.F. Wiersum (ed.) Viewpoints on Agroforestry. Agricultural University Wageningen. Netherlands. p.1-21.

Villancio , V.T., R.V. Dalmacio, R.D. Cabahug, L.D. Landicho, dan A.T. Papag, 2004. Experiences in agroforestry education and networking in the Philippines. In A.B. Temu, S. Chakeredza, K. Mogotsi, D. Munthali dan R.Mulinge (Eds). Rebuilding Africa’s capacity for agricultural development: the role of tertiary education. Reviewed papers presented at ANAFE Symposium on Tertiary Agricultural Education, April 2003. ICRAF, Nairobi, Kenya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *