CINTA TANAH AIR RIMBAWAN INDONESIA
Oleh: Suhariyanto
Ketua Dewan Redaksi MRI
Memberikan pengertian nasionalisme atau paham kebangsaan bukanlah hal yang mudah, karena menyangkut aliran filsafat mana yang dianut. Kalaulah itu mengenai nasionalisme Indonesia, maka pemikiran tentang keindonesiaan haruslah mampu dipahami secara mendalam dan menyeluruh dari berbagai aspek kehidupan manusia-manusia yang menyatakan sebagai suatu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Kerumitan lebih dirasakan lagi karena bangsa Indonesia tersusun oleh kelompok-kelompok sosial yang tidak homogen, tetapi begitu plural atau majemuk. Kemajemukan itu tidak saja menyangkut struktur sosial, akan tetapi juga tradisi atau adat istiadat yang telah “berakar-berurat” begitu kuat, agama, dan budaya masing-masing suku bangsa sebagai suatu sistem karsa, cipta, dan karyanya. Kebutuhan untuk memahami nasionalisme Indonesia diperoleh dari Pidato Bung Karno pada sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 (yang dikenal dengan “Lahirnya Pancasila”). Bung Karno antara lain merumuskannya sebagai berikut: Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi “semua buat semua”. Saya menghendaki satu nationale staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit.
Kesinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian”.
Dari sinilah dicari penyederhanaanya. Negara Bangsa (Nationale State) dimaksud adalah suatu wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan seluruh penduduknya yang tinggal dan hidup disitu yang menjalankan beranekaragam kehidupan dan penghidupannya. ”Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. Disanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku”, kalimat pembuka lagu kebangsaan kita “Indonesia Raya”. inilah paham kebangsaan Indonesia: cinta tanah air –apapun suku, agama, ras, dan golongannya –suatu paham yang tidak membeda-bedakan warganya, baik status sosial maupun status ekonominya. Karena kecintaannya kepada tanah air, maka ungkapan ”semua buat semua” adalah konsekuensi logisnya.
CINTA TANAH AIR
Tanah air tidaklah bermakna tunggal tanah dan air semata, tetapi punya makna ganda (majemuk), yaitu makna tentang Nusa, Bangsa, dan Bahasa.
Nusa bisa diartikan ”teritory” atau dalam pengertian sempit yaitu ”land”. Disitu terdapat banyak manusia penghuni atau pemukimnya. Disitu juga terdapat berbagai kekayaan alam yang dapat digunakan sebagai sumberdaya ekonomi. Sumberdaya ekonomi yang berasal dari kekayaan alam ini lazim disebut sumberdaya alam (SDA); meskipun sering dikatakan berlimpah (saking banyaknya seakan tidak akan pernah habis), tetapi fakta kenyataannya dalam keadaan terbatas juga. Artinya, bisa habis juga, apalagi bila salah urus dalam memanfaatkannya. Bagaimana paham cinta tanah air itu diwujud-nyatakan, dan bagaimana peran Rimbawan Indonesia? Sejalan dengan kecenderungan mengglobalnya paham hedonisme dengan ragam bentuknya seperti individualisme, komersialisme, dan lain sebagainya, maka uang punya ”kekuasaan” yang niscaya abolut. Dengan kekuatan uang nyaris apapun bisa dikuasai bahkan dimiliki. Lalu apakah SDA yang tersedia dan disediakan oleh alam itu juga harus dipahami dengan paham seperti itu? Dimana atau dari mana kepentingan bersama (baca: suatu bangsa atau bahkan umat manusia) itu akan dipenuhi? Jadi bila ada ungkapan: “Uangmu adalah milikmu, silahkan semaumu mau kau gunakan; tapi, SDA (termasuk hutan) adalah milik kita bersama”, maka itu adalah ungkapan yang adil (fair). SDA tidak untuk dikuasai dan dimiliki secara individual dengan kekuatan uang, tidak boleh menjadi obyek komersialisasi guna memenuhi hasrat untuk komersialisasi guna memenuhi hasrat untuk “bersenang-senang” sebagai bentuk kepuasan pribadi; SDA punya arti dan nilai dalam fungsi sosial (bersama) yang jauh lebih dikedepankan daripada fungsi individu (orang per orang). Disinilah peran Rimbawan dalam mencintai tanah airnya mendapat tempat yang layak untuk berurusan dengan hutan dan kehutanan. Rimbawan harus mempelopori agar sumberdaya hutan (SDH) jangan semena-mena memanfaatkannya. Konsep dasar pemikiran harus berubah, yaitu pertama tidak boleh boros; termasuk sikap dan tindakan boros adalah hilangnya hutan (deforestasi) menjadi lahan-lahan terlantar yang tidak terurus, juga pembiaran terhadap penurunan kualitas hutan akan fungsi-fungsinya (degradasi hutan); banyak tanam pohon, banyak pakai kayu adalah sikap dan tindakan yang realistik untuk melawan sikap dan tindakan boros. Kedua, penggunaan IPTEK untuk meningkatkan produktifitas hutan guna memenuhi berbagai kepentingan akan hasil hutan. Ketiga, mampu mendukung secara jangka panjang terwujudnya cita-cita nasional, yaitu masyarakat yang adil dan makmur.
Bangsa dengan berbagai macam latar belakang suku, bahasa, budaya, agama, dan lain-lain, membutuh-kan satu identitas atau karakter agar bisa memenuhi rumusan “semua untuk semua” sebagai wujud nyata cinta tanah air. Ini artinya tidak ada ruang untuk pertentangan dan mempertentangkan kelas-kelas sosial. Maka untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, (Rimbawan harus mempelopori) kebersamaan yang konkrit yaitu mewujudkan pemikiran dan kerja gotongroyong (inklusif) –intinya adalah kemauan dan kemampuan memberi untuk sebesar-besar manfaat kepada bangsa ini. Rimbawan adalah manusia humanis. Oleh karena itu, sikap perilaku dan tindakannya harus mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki yaitu cinta-kasih.
Bahasa: sebagai salah satu hasil kebudayaan bangsa Indonesia adalah bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Y. Ari Nurcahyo, yang menulis artikel berjudul ”Revolusi di Kebun Anggur” (Kompas, Jumat 22/5-15, halm 7): meminjam filsafat Immanuel Kant (1724 -1804) bahwa ciri khas kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia mengajar dirinya sendiri, manusia adalah sang pembelajar hidup di kebun kebudayaannya. Kebudayaan semacam sekolah tempat manusia belajar sekaligus mengajar; menyekolahkan manusia bertumbuh semakin berbudaya, seraya di saat yang sama ia menambahkan suatu nilai. Johaan Gottfried Herder (1744 -1803) menyatakan bahasa sangat penting membentuk kesadaran diri suatu bangsa. Suatu bangsa ditempa oleh semangat nasionalnya (volksgeist) yang muncul dari bahasa dan mecerminkan karakter tanah airnya. Bahasa nasional adalah roh penopang dan perawat identitas budaya dan kesadaran nasional suatu bangsa. Menguatnya arus globalisasi memerlukan bahasa nasional sebagai semangat nasional. Bahasa Indonesia harus dikembalikan ke arus utama strategi kebudayaan Indonesia. Aplikasinya pada dunia rimbawan: istilah- istilah hutan dan kehutanan harus dikembalikan kepada istilah-istilah yang mencerminkan jatidiri rimbawan, misalnya kerusakan hutan, pembabatan hutan, perambahan liar, pembalakan liar, dan lain-lain. Kosa kata bahasa Inggris yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara salah. Istilah-istilah ini tidak disadari justru mengundang permusuhan yang saling berhadap-hadapan untuk saling meniadakan -istilah-istilah yang tidak mencerminkan muatan solusi. Ahli linguistik UGM, Sudaryanto mengidentifikasi dua fungsi bahasa yang khas dan hakiki: mengembangkan akal budi dan memelihara kerjasama (Kompas, 23/11-2014). Terdapat hubungan yang esensial antara keduanya. Revolusi mental dimungkinkan bila bangsa ini kembali menyadari fungsi hakiki bahasa itu. Bangsa ini diharapkan bisa mengembalikan bahasa Indonesia menjadi energi kreatif membangun kebudayaan sebagai medium intelektual menelurkan nilai kebaikan dan keutamaan publik seluas-luasnya di masyarakat. Aplikasinya pada rimbawan: berani megubah diri menjadi: tidak munafik, mau dan sanggup bertanggung jawab, meninggalkan hubungan feodal, tidak percaya tahayul, mau mengedepankan otak/akal sehat daripada perasaan, berwatak/karakter kuat (jujur, percaya diri, terbuka, kerjasama, dan lain-lain). Masyarakat Transisi Naif. Gelar akademis menjadi simbol dan gengsi. Padahal, gelar semestinya jaminan atas pengetahuan dan keahlian seseorang. Kata filsuf Austria, Ivan Illich: masyarakat transisi naif yang hanya mementingkan hasil, bukan proses (Kompas, Sabtu 23/5-‘15, hal. 11). Aplikasinya pada rimbawan: dia yang mencantumkan gelar akademisnya harus terbukti mampu menyelesaikan segala persoalan hutan dan kehutanan dengan pendekatan proses (bukan hasil), mau bekerjasama dengan mereka yang punya disiplin ilmu lain dalam bentuk tim ahli (bukan sendiri-sendiri), punya kesadaran bahwa kebenaran ilmu itu relatif (tidak mutlak), menempatkan manusia sebagai subyek dan obyek untuk mencapai harkat dan martabatnya pada tingkatan tertinggi. Nilai-nilai ilmu, pengetahuan, dan pengalaman menjadi basis utama dalam proses pelayanan, pemberdayaan, dan perlindungan kepada masyarakat yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan.
AGENDA RIMBAWAN
Setelah memahami dan menghayati hakekat Nasionalisme Indonesia, maka ideologi ini seharusnya menjadi ”batu penjuru” kiprah atau peran Rimbawan Indonesia dalam mendarmabaktikan dirinya kepada negara, bangsa, dan rakyat Indonesia. Modal dasar yang senantiasa harus dipelihara dan dikembangkan serta diperkokoh dari waktu ke waktu adalah jiwa korsa rimbawan. Jiwa adalah ”roh” yang menunjukkan identitas atau karakter dan pembeda, dalam segala gerak langkah yang berwujud sikap dan perilaku yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral –etika –estetika. Seberapa banyak pembangunan fisik yang dihasilkan, akan sia-sia atau tidak banyak manfaatnya, bila para pelakunya berjiwa kerdil tanpa nilai-nilai moral –etika –estetika atau berkarakter lemah. Disamping itu, jiwa korsa memerlukan soliditas dan solidaritas yang konkrit. Berbagai komunitas Rimbawan Indonesia harus mau saling berbagi (sharing) dan bekerjasama secara inklusif (kolaborasi) untuk mencapai tujuan bersama. Itulah pentingnya Rimbawan Indonesia harus punya agenda bersama dan agenda kebersamaan dalam berkiprah di masa kini dan masa mendatang. Agenda-agenda tersebut harus mampu menjawab: pertama, hilangnya kontinuitas kesejarahan rimbawan; kedua, hilangnya konektivitas rimbawan; dan ketiga, hilangnya kolektivitas karakter rimbawan. Semoga Rimbawan Indonesia segera “bangkit dari rasa malu” dengan segera “bangkit membangun jiwanya”.
Disampaikan pada Sarasehan Nasionalisme dan Peran Rimbawan Masa Lalu dan Masa Kini, Jakarta 10 Juni 2015.
