Berita hangat

KEHUTANAN DAN RUU CIPTA KERJA

Oleh: Hariadi Kartodihardjo
Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University
Ketika semua sudah dikatakan dan dijalankan, konservasi sesungguhnya adalan tentang manusia, yaitu tentang keseimbangan yang harus dicapai antara manusia dan alam. Itu harus memenuhi kebutuhan orang miskin dan orang-orang yang dirampas, yang secara ironis mereka berbagi pedesaan mereka dengan kekayaan biologis bumi (Wright, 1988).

Apa yang akan dijawab oleh Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja mungkin perlu memperhatikan keseimbangan pemanfaatan alam ataupun empati bagi yang miskin sebagaimana disebut Maurice Wright itu. Dengan kata lain, upaya penciptaan lapangan kerja dan eksploitasi alam secara berkelanjutan –dalam hal ini hutan, termasuk berbagai dampaknya– tidak dapat dipisahkan.

Secara substansial upaya menciptakan lapangan kerja adalah turunan atau dampak dari pengelolaan dan pemanafaatan sumber daya hutan. Ia tidak dapat terwujud apabila pengelolaan hutan tidak dapat dilakukan secara bijaksana dan lestari. Itu berarti, mengeluarkan pasal-pasal Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ke dalam RUU Cipta Kerja dengan hanya fokus pada satu hal, yaitu kecepatan dan kemudahan investasi, perlu dilakukan dengan sangat hati-hati karena berpotensi meruntuhkan, baik kehutanan maupun lapangan kerja secara keseluruhan.

KELEMAHAN DAN RISIKO

Artikel ini mencoba hanya melihat kelemahan dan risiko RUU Cipta Kerja (draft tertanggal 13/2/2-020) yang dikaitkan dengan UU Kehutanan untuk maksud mencapat pokok-pokok yang perlu dicermati lebih lanjut sebagai berikut. Pertama, isi RUU Cipta Kerja cenderung melemahkan isi ataupun membatasi perubahan UU Kehutanan yang akan dilakukan melalui program legislasi nasional pada tahun ini. Dalam RUU Cipta Kerja tidak ada definisi-definisi mengenai hutan, kawasan hutan, hutan produksi, hutan lindung, dan lainnya yang menjadi pokok bahasan.

Diperkirakan definisi itu mengikuti definisi dalam UU Kehutanan. Dengan begitu, perubahan UU Kehutanan nanti tidak dapat dilakukan secara fundamental karena terikat pada definisi-definisi dalam RUU Cipta Kerja. Padahal, untuk menyesuaikan dengan kondisi lapangan dan perkiraan kondisi 15 hingga 20 tahun mendatang dalam revisi UU Kehutanan definisi-definisi itu sudah saatnya perlu disesuaikan.

Kedua, ketidakadilan dalam pemanfaatan hasil hutan. RUU Cipta Kerja menghapus perizinan bagi perorangan dan kelompok masyarakat dalam bentuk koperasi. Itu artinya RUU Cipta Kerja tidak mengikuti Pasal 5 UU Kehutanan yang menyebut terdapat hutan negara dan hutan hak, dan dalam penjelasan pasal itu disebut adanya pembagian hutan adat, hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat. Dengan begitu dalam RUU Cipta Kerja, perizinan berusaha di kehutanan tidak menyertakan masyarakat lokal dan adat. Untuk maksud itu, Pasal 27 dan Pasal 29 UU Kehutanan yanga mengatur izin khusus bagi perorangan dan koperasi dihapus.

Akses terhadap sumber daya hutan bagi koperasi dan badan usaha milik desa, berdasarkan RUU Cipta Kerja, hanya dapat dilakukan dengan cara bekerja sama dengan usaha besar, yaitu badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), dan swasta yang dapat memperoleh perizinan berusaha. Apakah itu berarti dalam revisi UU Kehutanan nantinya sudah tertutup untuk membuka akses manfaat bagi masyarakat lokal dan adat? Apabila demikian berarti isi RUU Cipta Kerja bukan hanya tidak mempunyai tujuan mempercepat perizinan bagi masyarakat lokal dan adat, tetapi bahkan akan menutup seluruh perizinan perhutanan sosial yang saat ini sedang berlangsung.

Ketiga, dalam RUU Cipta Kerja tidak terdapat norma hukum yang harus dipegang untuk menjabarkan isi UU menjadi peraturan yang lebih operasional. Misalnya, untuk perubahan Pasal 15 (3) UU Kehutanan disebut pemerintah pusat memprioritaskan pengukuhan kawasan hutan pada daerah strategis, yang akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Tak ada penjelasan mengenai “daerah strategis”, apakah strategis untuk berinvestasi, misalnya berupa daerah bebas konflik atau daerah dengan infrastruktur yang sudah siap.

Yang perlu menjadi pertimbangan, mengapa pengukuhan kawasan hutan negara untuk pemegang izin lambat, antara lain akibat rendahnya insentif bagi pemegang izin untuk menyelesaikannya. Hal itu karena tanpa pengukuhan kawasan hutan dapat diselesaikan, izin tetap dapat berjalan dan dapat diperpanjang. Disisi lain tidak adanya program pengukuhan kawasan hutan di luar kawasan hutan negara, seperti hutan adat, bisa jadi penyebab terjadinya konflik yang dapat mengganggu investasi.

Demikian pula dalam perubahan Pasal 15 (6) disebut dalam hasil tumpang tindih antara kawasan hutan dan rencana tata ruang, izin dan/atau hak atas tanah, penyelesaian tumpang tindih dimaksud diatur dengan perpres. Norma dasar penyelesaian misalnya untuk memasatikan kapan wilayah tumpang tindih itu harus tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan, kapan dapat dialihfungsikan agar penyelesaian itu semestinya dinyatakan dalam RUU Cipta Kerja. Hal itu penting, tumpang tindih mendapat solusi. Selain itu, diperlukan pada semua norma untuk menjalankan solusi terhadap lokasi-lokasi izin yang didalamnya terdapat penguasaan tanah, termasuk jutaan hektar kebun sawit dan tambang di dalam kawasan hutan, karena Perpres No. 88/2017 mengenal Penyelesaian Penyusunan Tanah di Dalam Kawasan Hutan tidak menyelesaikan persoalan itu.

Namun, upaya penyelesaian tumpang tindih juga perlu dikaitkan dengan fungso hutan yang harus dipertahankan untuk menopang daya dukung lingkungan hidup. Untuk itu, perubahan Pasal (1) UU Kehutanan yang menyebut pemerintah pusat menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan/atau pulau diperlukan kejelasan kriteria penetapannya.

MELEMAHKAN

Keempat, potensi pelemahan tata kelola (governance). Dalam perubahan Pasal 19 (1) UU Kehutanan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan mempertimbangkan hasil penelitian terpadu. Dalam hal ini, persetujuan oleh DPR untuk perubahan berdampak penting dan cakupannya luas serta bernilai strategis yang ditetapkan dalam UU Kehutanan dihilangkan. Mungkin dengan maksud dapat mempercepat proses. Yang perlu dijaga kemudian adalah memperkuat hasil penelitian terpadu. Namun dalam RUU Cipta Kerja tidak ditegaskan apa kriteria penelitian terpadu tersebut ataupun proses dan hasil kerjanya yang semestinya perlu terbuka bagi publik. Selain itu, dalam pelaksanaannya perlu dikaitkan dengan daya dukung bentang alam lebih luas sehingga perubahan Pasal 19 tersebut perlu dikaitkan dengan perubahan Pasal 18 di atas, yaitu mengenai kawasan hutan yang harus dipertahankan keberadaannya.

Kelima, sentralisasi perlindungan hutan. Dalam perubahan Pasal 48 (2) UU Kehutanan, perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Memperhatikan kondisi lapangan saat ini, arah perlindungan hutan semestinya dijalankan dengan melibatkan sebanyak-banyaknya pihak melalui peningkatan rasa memiliki (sense of belonging). Dari pengalaman lapangan, perlindungan hutan tidak lagi dapat hanya menggunakan pendekatan command and control. Dalam hal ini, hak-hak masyarakat atas hutan dengan memanfaatkan fungsinya yang jadi insentif melakukan perlindungan, perlu dikembangkan.

Keenam, potensi pelebahan penegakan hukum. Perlu perubahan Pasal 49 UU Kehutanan disebut bahwa pemegang hak atau perizinan berusaha wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di areal kerjanya. Dalam Pasal 49 UU yang saat ini masih berlaku, disebut bahwa pemegang hak atau izin bertanggung jawan atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Isi perubahan Pasal 49 ini berpotensi melemahkan upaya penerapan hukum akibat kebakaran hutan oleh korporasi.

Hal yang sama juga dijumpai dalam perubahan Pasal 50 UU Kehutanan. Dalam padal ini terdapat dua pengertian yang dibedakan, yaitu pada Ayat (1) disebut, “setiap orang yang diberikan perizinan berusaha”, sedangkan pada Ayat (2) hanya disebut sebagai “setiap orang”. Itu berarti dalam substansi padal itu apabila hanya disebut “setiap orang”, berarti orang perseorangan dan bukan pemegang izin. Hal demikian itu punya konsekuensi pada pengertian perubahan Pasal 78 UU Kehutanan yang menyatakan. “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan diancam dengan pidana penjara…”. Maka, yang dimaksud setiap orang bukanlah pemegang izin berusaha. Itu artinya, pemegang izin berusaha dibebaskan dari ancaman pidana.

Memperhatikan keenam tinjauan di atas, tampak bahwa kandungan RUU Cipta Kerja walaupun secara normatif dapat memberi kemudahan bagi para investor, secara bersamaan berpotensi meningkatkan ketidakadilan penjabaran pelaksanaannya, berpotensi memperburuk tata kelola serta melemahkan perlindungan hutan ataupun penegakan hukum. “la civiland life, low factor in a area of ethics”, demikian ungkapan Hakim Agung Amerika Serikat Earl Warren (11891-1974). Ungkapan itu sebaiknya menjadi dasar untuk lebih menjaga kehati-hatian dalam penetapan UU Cipta Kerja agar hadirnya investasi dan besarnya peluang kerja adalah juga sebagai sumber suatu standar nilai dari moto kehutanan: Masyarakat Sejahtera, Hutan Lestari.

Catatan: Pernah dimuat di Harian KOMPAS, 29 Februari 2020.