Artikel Utama

THOUGHT OF SUSTAINABILITY

Oleh: Nurcahyo Adi
Praktisi Kehutanan

David Suzuki, seorang ilmuwan dan aktifis lingkungan, asal Kanada, dalam bukunya The Sacred Balance: Rediscoveering Our Place in Nature, 1998, mengatakan: One reason we are in so much trouble is that our modern cuture is paradoxically behind the times, still assessing the world the way it did in the nineteenth or even eighteenth centuries: as aplace of inexhaustible resources, where man is at the pinnacle of creation, separate from and more important than anything around him.

Kita belum sadar tentang pentingnya isu kelestarian, tentang isu keberlanjutan, karena cara bertindak kita yang masih didasari pola pikir kita di abad sembilan belas atau bahkan abad delapan belas, ketika sumber daya masih begitu melimpahnya seolah tidak akan habis. Manusia berada di puncak kekuasaannya untuk mengatur segalanya atas alam dan sumber daya di sekitarnya.

Pemikiran Suzuki yang dikutib oleh Jason M. McLennan dalam bukunya The Philosophy of Sustainable Design tersebut, tentu saja merupakan bagian dari proses evolusi pemikiran tentang sustainability yang sudah berlangsung sejak berabad-abad sebelumnya. Tetapi barangkali seabad atau bahkan dua abad yang lalu, isu tentang sustainability tersebut dan keterkaitannya dengan aspek kehidupan lainnya belum sepenting seperti saat ini.

Sejak kapan manusia berpikiran tentang sustainability?

Kalau kisah sukses sustainability itu dikaitkan dengan eksistensi manusia di bumi, bisa jadi semua manusia sudah mempunyai DNA yang mendorong pemikiran genius tentang sustainability sejak keberadaan manusia, karena itu sudah dibuktikan beribu ribu tahun lamanya yang membuat manusia tetap survive dan berkembang biak hingga jumlahnya milyaran sampai dengan saat ini, meskipun bukan dalam term sustainability Tetapi dalam perkembangan pertumbuhannya, manusia mengalami distorsi pemikiran karena berbagai hal yang dialaminya selama hidupnya dan pengaruh lingkungannya.

We are all born geniuses but sadly we are gradually de-genuised by our parents and teachers, kata Buckminster Fuller, seorang profesor dari University of Chicago, dengan nyeleneh. Tentu saja terdapat pengecualian, kata Bob Berkebile. McLennan, penulis buku yang disebut di atas termasuk satu diantara banyak pengecualian.

Buat yang bersumbu pendek, perkataan Fuller tersebut pasti sangat menyengat dan berpotensi menimbulkan perdebatan. Namun dalam konteks sustainability, perkataan Fuller itu sebenarnya merupakan inspirasi yang secara filosofis menyuruh manusia yang hidup saat ini untuk bisa memberikan pelajaran yang baik dan cerdas kepada anak-anaknya dan masyarakat umum secara luas, supaya bisa memandang atau bahkan memperjuangkan masa depan dengan lebih optimis.

Itulah yang memicu pemikiran “Bumi adalah bukan peninggalan nenek moyang kita, tetapi warisan kepada anak cucu kita”.

Pada era dua sampai tiga dekade yang lalu, para ilmuwan masih banyak yang skeptis bahwa kehidupan masa depan akan lebih cerah buat umat manusia, bahwa biosphere akan terus bisa mendukung kehidupan manusia yang lebih baik. Banyak ilmuwan yang pesimis ketika mengamati kehidupan banyak negara-negara sedang berkembang yang meniru persis model komunitas negara industri maju, dalam hal pola konsumsi, industrialisasi dan relasi kehidupan bermasyarakatnya. Bumi akan semakin tidak nyaman dihuni oleh umat manusia.

Tetapi McLennan berpandangan lain. Dia melihat secara berbeda, bahwa “kesalahan” negara industri maju bisa menjadi pelajaran yang berarti bagi negara berkembang. Tidak semua negara harus bertransformasi dari negara agraris menjadi negara industri. Tidak semua negara harus mengekploitasi sumber daya alamnya untuk menjadi negara industri. Kerusakan lingkungan yang masif di negara Eropa dua hingga satu abad yang lalu akibat revolusi industri, tidak serta merta bisa dicopy dan sebagai pembenaran atas pembangunan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan di negara sedang berkembang saat ini.

Disisi lain, tanpa ada tawaran ide dan pemikiran, jalan keluar dan aksi konkrit tentang apa yang harus dilakukan untuk membangun negara-negara berkembang di dunia ketiga dalam mengejar ketertinggalan ekonomi negara maju, pandangan seperti itu memberikan kesan tidak adilnya pemikiran ahli-ahli negara maju dan perlakuan negara industri terhadap negara berkembang. Negara sedang berkembang tidak bisa serta merta begitu saja dituntut untuk menurut pada skenario negara maju dan tidak mengekor apa yang sudah dilakukan negara maju dua tiga abad yang lalu. Meminjam apa yang dikatakan oleh Einstein, problems cannot be solved at the same level of awareness that created them.

Ada potensi persoalan social, politic and economic inequality kata sebagian ahli lainnya mengomentari ketidakadilan itu.

Terlepas dari pro kontra tentang apa yang menjadi pemikiran para ahli tersebut, saya tak hendak mendiskusikan tentang pemikiran yang pro dan kontra tersebut, karena banyak perang kepentingan di luar jangkauan serta tidak sepakatnya referensi atau standar yang menjadi acuan bersama dari berbagai pihak yang terlibat.

Meskipun demikian, dalam kenyataannya, sustainability menjadi isu yang sangat penting dan paling banyak dibicarakan dalam berbagai sektor formal dan informal dalam tiga -empat dekade terakhir. Dia menjadi barang dagangan yang seksi dan dibicarakan banyak orang, mulai dari selebriti dunia hingga pemimpin politik dunia maupun pemimpin dadakan yang ecek-ecek. Seorang selebriti atau pemimpin massa yang tidak bicara sustainability dianggap ketinggalan jaman.

Dalam era disruption, Ram Nidumolu, seorang ilmuwan dan kawan-kawannya dari India mengatakan bahwa Sustainability is Now the Driver of Innovation. Sustainability mengendalikan berbagai inovasi. Melisa Thompson, seorang penulis lepas dan ibu rumah tangga biasa mengatakan bahwa semua bisnis sekarang terkait dengan isu sustainability, yang sudah masuk dalam kehidupan setiap rumah tangga di seluruh dunia.

Karena tidak ingin dianggap ketinggalan jaman dan banyak juga yang hanya ikut-ikutan, tak heran banyak juga yang terpeleset dan menjadi bahan tertawaan banyak orang dalam menyampaikan tentang isu sustainability dan kehidupan masa depan. Tidak saja di Indonesia, tetapi juga bahkan di tingkat dunia.

Sustainability dalam isu lingkungan bisa diter-jemahkan sebagai kelestarian. Dalam kaitan dengan isu yang lebih luas dan holistik, yaitu terkait dengan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi, sustainability biasa diterjemahkan sebagai keberlanjutan. Apabila diturunkan dalam sebuah kondisi atau tingkatan hubungan antar manusia, bisa diinterpretasikan sebagai kelanggengan.

Oleh karena itu kata sustainability jamak dalam menjelaskan semua aspek tentang kelestarian ling-kungan, keberlanjutan usaha atau bisnis, bahkan kelanggengan kenyamanan kondisi suatu lokasi atau hubungan antar manusia dalam masyarakat sosial.

Interpretasi yang sangat luas mulai dari sosial, politik, ekonomi, agama, budaya, etika dan nilai-nilai itulah yang dapat dibaca, ketika membuka referensi terkait dengan sustainability.

”We can talk all we want about sustainability, but there’s a sense in which it doesn’t matter that the people’s dreams are based on, embedded in, intertwined with, and formed by an inherently destructive economic and social system”, kata Derrick Jensen, yang terkenal dengan bukunya The Problem of Civilization.

Baik kelestarian, keberlanjutan atau kelanggengan, dalam prakteknya, semuanya membutuhkan adanya konsistensi berpikir dan bertindak yang inovatif, serta selalu semangat (spirit) untuk melaksanakannya. “We cannot hope to create a sustainable culture with any but sustainable souls” –Kita tidak bisa berharap menciptakan budaya yang lestari, berkelanjutan dan langgeng, tanpa ada semangat yang terus menerus, kata Derrick Jensen lagi.

Meskipun awalnya istilah sustainability selalu muncul dan dikaitkan dengan isu lingkungan, tetapi sebenarnya munculnya istilah tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem kehidupan kita yang selalu didasari oleh pikiran-pikiran ekonomi, yang penuh dengan pilihan untung rugi, kekhawatiran tentang kemungkinan kelangkaan dan resiko masa depan yang selalu dikalkulasi.

Dalam bahasa Peter Joseph, seorang aktifis sosial dan pembuat film, dia mengatakan, “Our entire system, in an economic sense, is based on restriction. Scarcity and inefficiency are the movers of money; The more problems there are, the more opportunities there are to make money”.

Ini adalah kenyataan sebuah penyakit sosial yang menghinggapi masyarakat, katanya mengkritisi sikap masyarakat tentang isu sustainability lebih lanjut.

Isu sustainability muncul karena inefisiensi dan kelangkaan resources yang sebenarnya diciptakan, dipelihara dan dilindungi oleh manusia sendiri di lingkungan (dalam kondisi) dimana mereka berada.

Malahan menurut Michael Pollan, penulis dan aktifis terkenal yang menulis banyak buku, sustainability adalah kesalahan vocabulary yang diciptakan (oleh ego) manusia.

”We don’t have a very good vocabulary to describe what others (species) do to us, because we think we’re the only species that really does anything.”

Lingkungan menjadi rusak karena aktifitas manusia dalam mengelola sumber daya alam dengan tidak efisien. Sumber daya alam menjadi langka karena ekses ekploitasi yang melebihi kemampuan alam untuk memulihkannya. Sustainability tidak lahir dan bicara dari pandangan bagaimana natural resources dan resources lainnya dalam memulihkan, merehabilitasi dirinya sendiri menjadi lingkungan alam yang baik kembali.

Perusahaan yang berorientasi keuntungan menjadi terus merugi dan akhirnya bangkrut karena kesalahan pengelola dalam mengelola sumber daya yang ada dalam unit usaha tersebut. Eksploitasi dan utilisasi resources yang melebihi kemampuan untuk menghasilkan pendapatan lama kelamaan membuat kelangkaan resources yang membuat perusahaan tidak sustainable.

Sebuah organisasi olahraga menjadi hancur karena kesalahan mengelola “value dan etika” yang tidak sesuai dengan tujuan organisasi. Kelangkaan etika dan value yang dipunyai pengurusnya membuat organisasi limbung dan dikelola tidak efisien. Dia mengorbankan terlalu banyak value dan etika yang padahal merupakan main resources dari organisasi tersebut utuk menjadi sustainable. Governance, value dan etika menjadi sesuatu yang langka di organisasi tersebut.

Sebuah relasi sosial antara beberapa atau seseorang dengan orang lainnya dalam sebuah organisasi atau komunitas yang awalnya baik, bisa tidak langgeng dan akhirnya bermusuhan satu sama lain, karena para pihak tidak sustain memelihara kesepakatan sosial diantara mereka. Kesepakatan, kesetiaan pada tujuan bersama, saling menghormati, saling mengapresiasi yang merupakan resources dan modal sosial, menipis dan terkikis, yang akhirnya menjadi sesuatu yang langka dalam relasi sosial itu. Sustainability dalam menjaga relasi terkikis dan dibuat langka oleh mereka sendiri karena pengaruh dan intervensi pikiran-pikiran untung rugi dalam melakukan relasi.

Bisa jadi relasi sosial antar pihak dalam contoh di atas saling berkaitan dan mempengaruhi. Bisa jadi karena perubahan sikap baik yang membuat kelangkaan hubungan baik antar personal dalam kehidupan, membuat organisasi menjadi tidak jalan. Bisa jadi usaha menjadi bangkrut karena ketidak harmonisan dalam mengelola human resources sehingga sumber daya ekonomi menjadi langka. Bisa jadi sumber daya alam itu tidak lestari karena kesalahan pengelolanya dalam mengelola relasi sosial antar karyawannya dan dengan relasi sosial dengan para pihak lainnya, serta dengan sumber daya alam yang dikelolanya.

”They are products of the creation, perpetuation and preservation of artificial scarcity and inefficiency produced by humankind”, kata Pollan lebih lanjut.

Ana Claudia Antunes memandang sustainability tidak dengan mengeksploitasi resources sehingga menjadi langka, tetapi harus menciptakan benih yang dapat membangun resources yang abundance, “We need to spread more seeds and fill this Planet with love to be surrounded by flowers just everywhere! It starts by simply opening up our hearts and hands to one another. It’s in simple things where true Happiness may flourish.”

Lho… ternyata ultimate goals of sustainability itu adalah true happiness…. kebahagiaan. Dalam bahasa Antoine De Saint Exupery, ”perfection (happiness) is finally attained, not when there is no longer anything to add, but when there is no longer anything to take away”.

Kesempurnaan (kebahagiaan) dicapai, ketika bukan karena tidak ada lagi yang bisa kita tambahkan (berikan kepada alam, perusahaan, organisasi, masyarakat), tetapi ketika tidak ada lagi keinginan untuk bisa mengambil (meminta/mencuri) lagi”.

Sepertinya, itulah tafsir tentang sustainability yang lebih mendasar. There is no sustainbility without happiness and there is no happiness without sustainability.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *