Artikel Utama

KEBIJAKAN KEBAJIKAN DALAM PENGATURAN SEKTOR KEHUTANAN

Oleh : Untung Iskandar

Mantan Dirjen Bina Produksi Kehutanan, Dep. Kehutanan

Pendahuluan

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, bajik atau kebajikan diartikan sebagai ’sesuatu yang mendatangkan kebaikan (keselamatan, keberuntungan, dan sebagainya)’, ’perbuatan baik’. Padanannya adalah amal, etika, jasa, kebaikan, keelokan, moralitas, dan tata susila seperti tersua dalam Tesaurus Bahasa Indonesia Eko Endarmoko (2006). Makna filosofisnya, bajik/kebajikan merupakan perbuatan etis manusia dalam relasi dengan sesamanya. Dalam ajaran klasik Tiongkok, kebajikan ditandai berbagai sifat mulia yang disebut bāa ādé. Sifat-sifat luhur itu adalah xiao ’bakti’, ti ’persaudaraan’, zhong ’kesetiaan’, xin ’dapat dipercaya’, li ’kesusilaan’, yi ’kebenaran’, lian ’sederhana’, dan chi ’tahu malu’. Perihal adjektif bijak, KBBI menjelaskannya sebagai ’selalu menggunakan akal budinya’, ’pandai’, ’mahir’; sedangkan nomina kebijakan adalah ’kepandaian’, ’kemahiran’, ’kebijaksanaan’[i].

Mestinya, bajik dan bijak itu bersenyawa sehingga menumbuhkan apa yang disebut keadilan dalam arti seluas-luasnya.  Suatu kebijakan politik, misalnya, seharusnya, atau idealnya, membawa kebajikan bagi orang ramai.  Namun, repotnya, penyusunan kebijakan sering diwarnai ”baku-bajak” di kalangan perancangnya. Walhasil, kebijakan yang diproduksi malah menjauh dari kebajikan[ii].

Hampir di semua negara, setiap kebijakan ekonomi ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, pemerataan pembangunan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, paling tidak mengurangi pengangguran dan kemiskinan.  Jadi kehadiran negara untuk menjaga keseimbangan antara menjamin kebebasan individu melakukan kegiatan usaha untuk memperoleh kekayaan yang sebanyak-banyaknya dengan hak negara untuk memungut pajak, cukai, bea masuk, royalti, dan retribusi atas digunakannya sumber daya di dalam negara, hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik, perlindungan atas terganggunya hak publik atas kegiatan ekonomi individu/korporasi, perlindungan berusaha, dan hilangnya peluang maanfat yang seharusnya juga diperoleh masyarakat. Inilah prinsip ekonomi syariah yang tanpa disadari dianut negara-negara modern. Kebijakan dan kebajikan sudah merupakan basis kehidupan ekonomi yang universal[iii].

Menyambut tahun “ajaib” 2020, makalah ini akan memfokuskan pada beberapa realitas kebijakan sektor publik kehutanan yang diharapkan dapat membawa kebajikan kepada masyarakat. Makalah ini pasti akan diawali dengan pemaparan UU Pokok Kehutanan (no 41 tahun 1999) yang sekarang masih berlaku, meskipun sedang di dalam proses amandemen. Fokus kebajikan di dalam kebijakan kehutanan yang tertuang di dalam UU 41/1999 adalah sebagai berikut:

Bagian Kedua

Asas dan Tujuan

Pasal 2

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.

Pasal 3

Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:

  1. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;
  2. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
  3. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
  4. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
  5. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Dengan penekanan pada kalimat yang di bold, issue kebajikan sektor publik sudah dinyatakan dengan tegas yaitu sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang berkeadilan dan berkelanjutan.  Dengan demikian, pasal ini sesungguhnya menjadi petunjuk penting di dalam berbagai penyusunan kebijakan sektor publik kehutanan, karena output dan outcome atas penerapan suatu kebijakan pastilah diukur dengan peningkatan kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan.  Masih terkait dengan issue kebajikan, di dalam UU ini ditegaskan pada Bagian Ketiga, Penguasaan Hutan Pasal 4, (3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.  Penegasan berikutnya adalah pada BAB II STATUS DAN FUNGSI HUTAN, Pasal 5, (4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.

Tentang hal ini, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan nomor 35 tahun 2012[iv]. Amar putusannya adalah sebagai berikut:

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

1.2. Kata ―negara‖ dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”;

Putusan Mahkamah Konstitusi itu menegaskan bahwa UU 41/1999 dapat lebih terfokus mengurusi hutan negara tanpa melibatkan diri dengan hutan adat, atau, tanpa mempertimbangkan eksistensi hutan adat tersebut di dalam kebijakan-kebijakan kehutanan nasional, karena hutan adat sudah diurus oleh masyarakat adat.  Namun “koordinasi” diantara keduanya masih sangat penting untuk mencapai tujuan nasional pengurusan hutan seperti yang dirumuskan di dalam UU 41/1999.  

 Kerjasama Legislatif – Eksekutif[v]

Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan membahas Program Kerja Tahun Anggaran 2020, dibuka pukul 11.00 WIB oleh Ketua Rapat Sudin, S.E. dan dinyatakan terbuka untuk umum.

II. KESIMPULAN/KEPUTUSAN

1. Komisi IV DPR RI menerima penjelasan dan menyetujui Rencana Program dan Kegiatan Tahun Anggaran 2020 per Eselon I pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Badan Restorasi Gambut, terutama terkait program pemberdayaan masyarakat di dalam dan di luar kawasan hutan.

2. Komisi IV DPR RI mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menambah anggaran sebesar Rp15.000.000.000.000,00 (lima belas triliun rupiah) untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, konservasi sumber daya alam dan ekosistem, serta perbaikan lingkungan hidup, mengingat tingginya tingkat kerusakan lingkungan hidup dan hutan di Indonesia.

Selanjutnya Komisi IV DPR RI meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menyelenggarakan Focused Group Discussion (FGD), untuk  melakukan pendalaman terkait kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, konservasi sumber daya alam dan ekosistem, serta perbaikan lingkungan hidup.

3.  tidak dicantumkan

4. Komisi IV DPR RI meminta kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis terhadap perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan, kawasan permukiman, kawasan perdagangan dan jasa, Kawasan pertambangan, kawasan pariwisata, dan kawasan industri serta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) sehingga dapat dipahami secara utuh efek dari pengembangan wilayah tersebut, baik dari sisi ekonomi, lingkungan hidup, sosial, ideologi, maupun sosial budaya lainnya, sebagai post policy assesment.

Laporan singkat ini menunjukkan dukungan legislative atas penerapan UU 41/1999, dengan sedikit beda gaya Bahasa dengan maksud sama (program pemberdayaan masyarakat, perbaikan lingkungan hidup).

Yang paling menonjol dalam kebijakan kebajikan adalah program perhutanan sosial. Simak berita ini[vi]

  • Bertempat di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim, Kabupaten Siak, Jumat (21/2/2020), Presiden Joko Widodo didampingi sejumlah Menteri Kabinet Kerja, menyerahkan SK Perhutanan Sosial untuk 39 SK Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan, 2 Hutan Adat pada 9 kabupaten dan 10 KPH di Provinsi Riau.
  • Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengungkapkan, sampai dengan Februari 2020 pemberian akses kelola kawasan hutan melalui Perhutanan Sosial mencapai seluas 4,062 Juta Ha, dengan jumlah SK Izin atau hak sebanyak 6.464 Unit SK bagi masyarakat sejumlah 821.371 KK.  Sedangkan untuk pengakuan dan penetapan hutan adat seluas 35.150 Ha yang tersebar dalam 65 Masyarakat hukum adat dengan 36.438 KK dan Indikatif hutan adat seluas 915.004 Ha di 22 provinsi dan 48 kabupaten.
  • Untuk hutan sosial yang sudah ada di Riau sebanyak 108 ribu Ha dari potensi 1,05 juta ha. Pada periode 2020-2024, untuk seluruh Indonesia seluas 4 juta ha, dan kami akan tetap bekerja keras memenuhi target seluas 12,7 juta ha, kata Siti Nurbaya.
  • Masyarakat yang telah mendapatkan izin diberikan pendampingan agar mendapat manfaat dengan pengembangan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).
  • Saat ini sudah terbentuk sebanyak 6.940 KUPS dengan kelas Pemula sebanyak 4521 KUPS, kelas Lanjut sebanyak 1.937 KUPS, kelas Maju sebanyak 435 KUPS dan kelas Mandiri sebanyak 47 KUPS.
  • Selanjutnya, sesuai dengan program pemerataan ekonomi bahwa pemberian akses kelola kawasan hutan akan didampingi oleh penyuluh/KPH untuk peningkatan kapasitas dan kemudahan akses untuk pembiayaan pelaksanaan agroforestry dan pasar.

Perhutanan Sosial:

Perhutanan Sosial adalah Sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/ 10/ 2016 tentang Perhutanan Sosial).  Berdasar PerMen itu, Pengelolaaan Perhutanan Sosial memperhatikan prinsip: a. keadilan; b. keberlanjutan; c. kepastian hukum; d. kepesertaan (partisipatif); dan e. bertanggung gugat .

Untuk periode Pemerintah 2015-2019 mengalokasikan 12,7 juta hektare untuk Perhutanan Sosial, melalui skema:

Berdasar PerMen itu, hak pengelolaan hutan desa (HPHD), dan ijin usaha pengelolaan hutan kemasyarakatan(IUPHKm) diberikan pada: a. hutan produksi dan/atau hutan lindung yang belum dibebani izin; b. hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani; dan/atau c. wilayah tertentu dalam KPH. Sedangkan untuk Hutan Tanaman Rakyat, kawasannya adalah hutan produksi yang belum dibebani ijin.

Berita-berita lain tentang Perhutanan Sosial

  • Kelompok Tani Hutan (KTH) di Lamongan mendapat SK Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS). Para petani bisa menggarap lahan tanpa waswas.  Pernyataan itu disampaikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat menyerahkan SK Perhutanan sosial pada ratusan masyarakat di lapangan Desa/Kecamatan Solokuro. Mereka tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH)[vii].
  • Dari sumber yang sama: Tercatat, secara nasional per 11 Juni 2019 sudah teralokasikan 3,09 juta hektare lahan perhutanan sosial kepada 679.467 KK untuk mengelola lahan secara produktif dengan jangka waktu izin kelola 35 tahun. Bisa diperpanjang melalui skema IPHPS dan Kulin KK dari target nasional 12.7 juta hektare.
  • Presiden Joko Widodo (Jokowi) hari ini melakukan penyerahan SK program Pengakuan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) dan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) di wilayah hutan negara yang dikelola Perum Perhutani. Acara tersebut digelar di Wana Wisata Pokland (Pongpok Landak), yang termasuk dalam wilayah pengelolaan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Cianjur.[viii]
  • Dari sumber yang sama: Puncak acara kegiatan berupa penyerahan sebanyak 42 SK Hutan Sosial, terdiri dari empat SK IPHPS dan 38 SK Kulin KK dengan luas 13.976,28 ha untuk 8.941 KK yang meliputi 12 kota/kabupaten yaitu Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Bandung Barat, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Pangandaran, Indramayu, Majalengka, dan Sumedang.
  • Presiden Joko Widodo (Jokowi) membagikan Surat Keputusan (SK) perhutanan sosial sebanyak 37 unit yang mencakup luas 8.617 hektare (ha) dan dibagikan kepada 5.459 Kepala Keluarga (KK).  SK yang dibagikan itu meliputi Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) sebanyak 14 unit seluas 2.943 ha untuk 2.252 KK serta SK Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) sejumlah 23 unit dengan luas 5.674 ha buat 3.207 KK[ix].
  •  Setelah penyerahan SK ini, saya berharap lahan tersebut betul-betul dimanfaatkan untuk lebih produktif. Kemudian juga harus fokus pada produk unggulan. Ini semua untuk kesejahteraan bapak dan ibu sekalian, untuk pemerataan ekonomi di seluruh Indonesia,” ujar Jokowi di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Kota Bandung, Minggu (11/11).
  • Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyerahkan Surat Keputusan Pengakuan Perlindungan dan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) untuk Kelompok Perlindungan Hutan Bakti Wana Lestari dari  Desa Paningkaban Kecamatan Gumelar Kabupaten Banyumas, Selasa (26/2)[x].
  • Selanjutnya, berita menyebutkan “Penyerahan SK dilakukan oleh Staf Ahli Kementerian LHK, Imam Prasojo  a.n  Menteri LHK dengan lokasi yang di maksud dalam SK tersebut adalah petak 61a  Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Lumbir, BKPH Lumbir, KPH Banyumas Barat seluas 12 Ha.

Dari pidato Presiden, sasaran perhutanan social adalah meningkatkan produktivitas lahan hutan yang diserahkan ke masyarakat, untuk kesejahteraan mereka.  Kiatnya adalah berproduksi untuk sejahtera. Usaha lain yang dapat dilakukan adalah pemanfaatan kawasan di bawah tegakan tanaman pokok (antara untuk food, feed, herbal pharmacy), usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (paling umum lebah madu), pemanfaatan di bawah tegakan (PLDT) dengan tidak mengganggu tanaman pokok kehutanan, silvopasture, usaha pemanfaatan eko wisata dan jasa lingkungan (pemanfaatan air dan karbon). Usaha-usaha ini pasti akan mengarah pada peningkatan pendapatan pelaku usaha tanpa merusak hutan dan tetap bermanfaat bagi masyarakat. Menteri LHK menyebut bahwa setelah diberi akses (Kawasan hutan) warga juga [harus] diberi fasilitas lain seperti kredit atau sarana produktif dan pemasaran serta digandeng oleh korporat atau swasta. Hal ini dapat meningkatkan manajemen masyarakat yang rapih seperti korporat

Pembahasan

Di dalam makalah ini, kebajikan di definisikan sebagai ditunjukkan oleh UU 41/1999: Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dalam proses pencapaian kondisi hutan lestariKhusus untuk kemakmuran, tolok ukurnya adalah terbukanya peluang kerja dan berusaha baik di dalam sektor pokok maupun sektor pendukung. Untuk dapat bekerja secara professional dan berstandard global guna menggapai keadilan dam keberlanjutan pastilah mereka terlebih dahulu harus terdidik dan terlatih.  Dua kegiatan ini adalah domain pemerintah, namun di luar sektor Lingkungan Hutan dan Kehutanan. Indikasi ini menunjukkan bahwa pencapaian kemakmuran rakyat atau masyarakat bukanlah tanggung jawab tunggal sebuah sektor publik.  Untuk mencapai sasaran itu, perlu kerjasama antar sektor.  Karenanyalah ada Menteri Koordinator.

Khusus untuk perhutanan sosial, pernyataan hukumnya sudah sangat tegas, saya attach sekali lagi: untuk meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya. Tolok ukurnya tetap sama: peluang kerja dan peluang berusaha pada sektor utama dan sektor pendukung.  Khusus untuk perhutanan sosial ini perlu dikembangkan sikap ke -wiraswasta-an (entrepreneurship) pada sisi penerima hak pengelolaan dan pada sisi pemerintah. Entrepreneurship pada sisi penerima-hak adalah untuk mengubah diri menjadi pengusaha sukses yang mampu memperoleh dan mengelola faktor-faktor produksi.  Mereka harus berkembang menjadi pengusaha global, karena memang demikianlah tantangan jaman. Sedangkan birokrasi harus berkembang menjadi entrepreneurial government yang harus bertindak kreatif dan inovatif untuk membantu masyarakat merealisasi tiga sasaran, yang disebut di dalam Peraturan Menteri; birokrasi sudah meninggakan pola governance yang business as usual.

Menurut Yuswohadi[xi]

Entrepreneurial government adalah pemerintah yang jeli dan selalu berpikir keras untuk melihat dan memanfaatkan peluang yang muncul dalam rangka value-creation. Bedanya dengan entitas bisnis adalah bahwa kalau entitas bisnis value-creation activities ini adalah penciptaan laba, sementara kalau organisasi pemerintahan adalah penciptaan kemakmuran dan peningkatan kualitas hidup masyarakatnya: peningkatan pendapatan per kapita, standar kesehatan, pendidikan, dan seterusnya.

Mengenai value-creating activities ini, menurut Michael Porter,  semua upaya yang dilakukan oleh sebuah pemerintahan haruslah diarahkan untuk membangun keunggulan bersaing negara. Lebih lanjut ia mengatakan, membangun keunggulan bersaing ini tak lain adalah upaya meningkatkan produktivitas (nilai output yang dihasilkan per unit input yang digunakan) yang pada gilirannya akan menaikkan kualitas dan standar hidup masyarakat dalam jangka panjang.

Menteri LHK menyebut bahwa setelah diberi akses kawasan hutan, warga juga [harus] diberi fasilitas lain seperti kredit atau sarana produktif dan pemasaran serta digandeng oleh korporat atau swasta. Hal ini dapat meningkatkan manajemen masyarakat yang rapih seperti korporat[xii]. Pernyataan Menteri ini menunjukkan bahwa penyediaan lahan saja tidak mencukupi bagi petani untuk meningkatkan kesejahteraannya.  Mereka masih butuh keterlibatan berbagai pihak untuk menyediakan modal, dan sarana-sarana produksi, melatih dan membantu meningkatkan ketrampilan manajemen untuk mengelola sarana produksi dan pemasaran produk-produknya.  Masyarakat membutuhkan lebih banyak daripada sekedar faktor-faktor produksi (modal, metode manajemen, peralatan dan mesin, bantuan personil, pasar) untuk menjamin keberlanjutan usaha. Disinilah nampak bahwa perlu ada pendidikan, pelatihan dan penyuluhan untuk menjamin suksesnya Perhutanan Sosial.  Sekali lagi saya nyatakan birokrasi harus berkembang menjadi entrepreneurial government yang harus bertindak kreatif dan inovatif untuk membantu masyarakat merealisasi tiga sasaran, yang disebut di dalam Peraturan Menteri; birokrasi sudah meninggakan pola business as usual.

Disamping itu, dengan berakhirnya era penjualan bahan baku industri, dan menuju era industrialisasi, petani dan kelompoknya perlu memikirkan (atau dibimbing) untuk membangun fasilitas pemrosesan bagi produk-produknya, terutama untuk menstabilkan kualitas dan harga produk perhutanan social, dan menjual produk terprosesnya ke pasar yang mungkin lebih luas jangkauannya.

Khusus tentang industrialisasi produk-produk perhutanan social, issue ini timbul karena Donald Trump menyatakan bahwa Indonesia bukan lagi negara berkembang melainkan menjadi negara maju (developed nation).   Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menyebut ada beberapa ketentuan untuk mengklasifikasikan sebuah negara menjadi negara maju[xiii].

  • Sektor industri harus mampu berkontribusi sedikitnya 30 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
  • Pendapatan per kapita negara maju harus di atas US$12 ribu per tahun.
  • Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau HDI (Human Development Index) juga menjadi salah satu tolok ukur. Semakin tinggi IPM, maka semakin tinggi kemakmuran masyarakat negara tersebut

Di dalam makalah ini, usulan industrialisasi perhutanan social adalah untuk mencapai aras 30% itu. Sedangkan dua factor berikutnya yaitu peningkatan pendapatan dan perbaikan nilai HDI adalah outcome dari intensifikasi usaha.

Penutup

  • Kebijakan kebajikan dalam pengaturan sektor kehutanan dipilih untuk di analisis, karena hal ini merupakan basis kehidupan ekonomi yang universal yang berlaku dewasa ini.
  • Tolok ukur kebijakan bajik adalah membuka peluang pekerjaan dan berusaha bagi masyarakat, di sektor utama kehutanan maupun sektor-sektor pendukungnya.
  • Kajian menunjukkan Bahwa Undang-Undang Pokok Kehutanan yang dewasa ini masih berlaku, justru dengan eksplisit menyebut issue kesejahteraan rakyat.
  • Ternyata kebijakan kebajikan sector kehutanan mendapat dukungan DPR, meskipun dengan gaya Bahasa yang berbeda.
  • Yang paling menonjol dalam kebijakan kebajikan adalah perhutanan sosial.
  • Terkait dengan perhutanan sosial, Menteri LHK menegaskan bahwa usaha ini perlu mendapat dukungan sektor-sektor lain.
  • Terkait dengan perhutanan sosial, perlu sejak dini disiapkan industrialisasi perhutanan sosial untuk menjadi stabilitas kualitas dan harga bahan mentah yang dihasilkan dan produk olahan untuk masuk ke pasar global yang makin luas.
  • Terkait dengan perhutanan sosial, perlu secara terus menerus ada program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kepada penerima-hak perhutanan sosial untuk menjamin kesejahteraan mereka.

CATATAN KAKI:

[i] Sastrodinomo*, KOMPAS. Bajik dan Bijak 16 November 2013 by Rubrik Bahasa.
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2013/11/16/bajik-dan-bijak/

[ii] Loc sit

[iii] Senin 19 Okt 2015.  Kebijakan dan Kebajikan

https://republika.co.id/berita/nwgb852/kebijakan-dan-kebajikan

[iv] PUTUSAN Nomor 35/PUU-X/2012. MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA https://www.aman.or.id/wp-content/uploads/2018/05/putusan_sidang_35-PUU-2012-Kehutanan-telah-ucap-16-Mei-2013.pdf

[v] Laporan Singkat Komisi IV DPR RI

http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/K4-14-4df66f81f120d7f2279affd61a1784d2.pdf

[vi]   21 FEB 2020. Penyerahan SK Perhutanan Sosial dan Hutan Adat untuk Rakyat Riau

https://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/2330

[vii] SK Perhutanan Sosial Terbit, Petani Bisa Manfaatkan Lahan Hutan

https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4639541/sk-perhutanan-sosial-terbit-petani-bisa-manfaatkan-lahan-hutan

[viii] Mohammad Faiza.l Jum’at, 8 Februari 2019. Perhutani Tuan Rumah Penyerahan SK Hutan Sosial oleh Presiden Jokowi

https://ekbis.sindonews.com/read/1377205/34/perhutani-tuan-rumah-penyerahan-sk-hutan-sosial-oleh-presiden-jokowi-1549636414

[ix] CNN Indonesia | Senin, 12/11/2018.  Jokowi Bagi-Bagi SK Perhutanan Sosial Hampir 9.000 Hektare

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181111204307-20-345708/jokowi-bagi-bagi-sk-perhutanan-sosial-hampir-9000-hektare

[x] 5 Maret 2019. Penyerahan SK Kulin KK di Wilayah Perhutani Banyumas Barat

http://www.bumn.go.id/perhutani/berita/1-Penyerahan-SK-Kulin-KK-di-Wilayah-Perhutani-Banyumas-Barat

[xi] Entrepreneurial Government

https://www.yuswohady.com/2014/12/08/entrepreneurial-government/

[xii] Jumat 08 Feb 2019. SK Pemanfaatan Hutan Sosial untuk Kepastian Hukum

https://www.republika.co.id/berita/nasional/lingkungan-hidup-dan-hutan/19/02/08/pmlyhg368-sk-pemanfaatan-hutan-sosial-untuk-kepastian-hukum

[xiii] 24 Februari 2020   19:11 Diperbarui: 24 Februari 2020.  Indonesia Sudah Layak Jadi Negara Maju?

https://www.kompasiana.com/sunandarumar/5e53bd74d541df55c3415d32/indonesia-sudah-layak-jadi-negara-maju

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *