PERSPEKTIF FOREST CITY IKN BAGI RIMBAWAN
Oleh: Ir. Pramono Dwi Susetyo
(Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Pernyataan dan peringatan Presiden Terpilih Prabowo Subianto pada sidang pertama Kabinet Paripurna Indonesia Maju di IKN Nusantara 12 Agustus 2024 yang dipimpin langsung Presiden Joko Widodo, tentang ancaman kebakaran hutan di IKN yang telah ditetapkan sebagai forest city; sangat mengejutkan bagi saya sebagai seorang rimbawan. Sebagai mantan komandan militer, cara pandang Prabowo tentang forest city IKN menunjukkan ciri khas seorang perwira militer yang melihat sesuatu disidik dari segala arah termasuk aspek bencana forest city berupa kebakaran hutan. Cara pandang ini bagus dan tidak salah, anggap saja sebagai peringatan (warning) untuk pembangunan jangka panjang di forest city IKN di masa depan.
Sebagai seorang rimbawan, saya tidak begitu risau tentang ancaman bencana kebakaran hutan ini karena kawasan IKN bukan merupakan hutan bergambut yang mudah terbakar dan posisinya dekat Teluk Balikpapan sebagai kawasan laut bebas, justru saya risau tentang bagaimana membangun hutan dalam forest city IKN Nusantara ini yang direncanakan komposisinya adalah 70-80 persen dari seluruh kawasan IKN Nusantara ini yang luas totalnya mencapai 256.143 hektare. Ini artinya hutan yang ada dan akan dibangun di IKN sebagai forest city seluas 179.300 hingga 204.914 hektare. Arahan Presiden Joko Widodo dalam keterangan persnya di lokasi persemaian Mentawir pada Kamis (23/2/2023) yang menyebutkan bawa Mentawir dibangun dan disiapkan untuk mendukung penghijauan, reboisasi dan penghutanan kembali untuk daerah IKN Nusantara khususnya dan Kalimantan pada umumnya. Presiden meminta agar persemaian Mentawir berisi jenis bibit endemik Kalimantan, terutama dari kelompok Dipterocarpaceae. Bibit yang dimaksud adalah dari jenis meranti, kapur/kamper, blangeran, sungkai dan beberapa jenis buah-buahan.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, menterjemahkan arahan Presiden Joko Widodo tentang jenis endemik ini; dengan rencana akan membangun dan mengembalikan hutan tropika basah asli Kalimantan di Nusantara, ibu kota negara (IKN) yang baru, di dua Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Untuk meyakinkan publik dan masyarakat Indonesia, Menteri LHK Kamis (24/3/2022), mengajak guru besar dan dekan fakultas kehutanan se-Indonesia mengunjungi Taman Hutan Hujan Tropis Indonesia (TH2TI) yang ada di kompleks perkantoran Gubernur Kalimantan Selatan. TH2TI yang memiliki koleksi 50 ribu pohon dengan luas lahan tanam mencapai 90 hektare tersebut merupakan upaya pemerintah setempat untuk mempertahankan kebaradaan tanaman hutan endemik Kalimantan. Menteri memberi isyarat bahwa pengelolaan kawasan TH2TI tersebut bisa menjadi rujukan rimba Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Secara teknis dengan luas 90 ha, membangun kawasan hutan tropika dengan jenis endemik dan dalam skala terbatas tidak sulit dengan catatan pemeliharaannya intensif sampai tanaman hutan dapat tumbuh menjadi pohon dewasa. Namun tidaklah mudah dilakukan untuk kawasan hutan dengan luas ratusan ribu hektare.
IKN yang akan dibangun sebagai forest city akan menghadapi banyak kesulitan dan hambatan dibandingkan dengan smart city dan spon city?. Alasannya sederhana, membangun forest city dengan luas ratusan ribu hektare membutuhkan waktu dan proses yang panjang. Secara normatif saja, proses menanam sebuah tanaman hutan dari anakan (seedling) menjadi pohon dewasa (tree) membutuhkan waktu mininimal 15 sampai 20 tahun melalui empat tahapan yakni anakan (seeding), sapihan (sapling), tiang (pole) dan pohon (tree). Harapan Presiden untuk menjadikan forest city dengan jenis tanaman hutan tropika basah (humida) asli Kalimantan memang sangan ideal namun apakah logis dan masuk akal ?. Tantangan berat dihadapi untuk membangun forest city IKN adalah, lankap tata hutan, aspek ekologi, aspek silvikultur dan klasterisasi penanaman.
Lanskap Tata Hutan
Secara keseluruhan wilayah IKN, luasnya mencapai 256.143 hektare, yang terdiri dari tiga wilayah perencanaan yakni Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) yang merupakan bagian dari KIKN dengan luas 6.671 hektare (2,60%), Kawasan IKN (KIKN) dengan luas wilayah 56.181 (19,34% tidak termasuk KIPP) hektare dan Kawasan Pengembangan IKN (KP IKN) dengan luas wilayah 199.962 hektare (78,06%) (Kompas, 24/02/2022).
Eksisting Tata Guna Lahan IKN pada saat ini adalah terdiri dari hutan lindung 0%, hutan produksi terbatas 1%, hutan produksi yang dapat dikonversi 16%, hutan produksi biasa 17%, hutan konservasi 25% dan areal penggunaan lain (APL) 41%. Sementara itu, berdasarkan peta tutupan lahan skala 1 : 5000 tahun 2019; kawasan IKN yang masih berhutan seluas 42,31% (hutan lahan kering 38,95%, hutan mangrove 2,15% dan hutan rawa gambut 1,21%), semak belukar dan tanah kosong 13,74%, perkebunan 29,18 %, tanaman campuran dan tegalan/ladang 8,97%. Sisanya berupa sawah, padang rumput, pertambangan dan sebagainya dengan luasan yang relatif kecil rata- rata dibawah 1%. KLHK telah melakukan proses alih fungsi lahan hutan produksin biasa menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 41.493 hektare tahun 2019. Kawasan hutan ini yang akan menjadi KIKN melalui proses pelepasan kawasan hutan menjadi APL dan akan dilakukan atas usul otorita IKN.
Tutupan hutannyapun, secara ekologis luasnya masih sangat memadai yakni 42,31%. Sebagai kota yang mengusung konsep kota hutan (forest city) dan berbasis lingkungan yang sesedikit mungkin atau tidak ada penebangan hutan, luasan tutupan hutan 42,31% ini dirasa belum cukup dan harus ditingkatkan lagi luasannya menjadi 70– 80 %.
Jadi secara ekologis, konsep pembangunan IKN yang menyebabkan terjadinya proses deforestasi baru yang dituduhkan oleh Walhi sebenarnya sudah terbantahkan dengan mengkaji eksisting tata guna lahan (land use) di IKN sekarang. Bahkan dari luas tutupan hutan (forest coverage) nya yang akan dikembangkan masih perlu ditambah dan ditingkatkan lagi 28-38% persen agar dapat mencapai luas yang ideal yakni 70-80% sesuai dengan konsep yang diharapkan. Sayangnya luas tutupan hutan yang masih cukup luas (42,31 %) di kawasan IKN, sebagian adalah tutupan hutan dari bekas hutan tanaman industri (HTI) berupa hutan ekaliptus yang menurut rencana akan dikembalikan menjadi hutan hujan tropis dengan melakukan penanaman tanaman endemik. Ini artinya luas tutupan hutan yang harus direforetasi tidak lagi 28-38%, tetapi akan lebih luas lagi, karena luas HTI ekaliptus yang dikonversi untuk menjadi kawasan IKN tahun 2019 telah mencapai 41.493 hektare.
Aspek Ekologis
Secara ekologis bentang alam di Provinsi Kalimantan Timur, khususnya di hutan produksi sudah tidak tersisa lagi adanya hutan alam primer tropika basah, sejak adanya izin konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) yang diizinkan oleh pemerintah melalui peraturan pemerintah no. 21/1970 tentang hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak pemungutan hasil hutan (HPHH). Dalam periode 1967-1980, Orde Baru Soeharto tercatat menerbitkan 519 HPH dengan luas lahan konsesi sekira 53 juta hektare. Per 1995, pemerintah tercatat telah mengeluarkan 586 HPH dengan luas keseluruhan 63 juta hektare. Provinsi yang tercatat mempunyai jumlah HPH terbanyak dan terluas adalah Kalimantar Timur, Riau dan Kalimantan Tengah. Tak kurang dari 200 HPH diterbitkan di Kalimantan Timur dengan luas areal lebih dari 10 juta hektare. Mengingat, secara geografis Kabupaten Kutai Kertanegara dan Penajam Paser Utara sangat dekat dengan Samarinda dan Balikpapan, secara otomatis tidak ada areal hutan produksi yang lepas dari perizinan HPH ini, kecuali hutan konservasi yang tersisa 25 %. Jadi tutupan hutan yang masih tersisa dengan kawasan fungsi hutan produksi seluas 17,31% pun juga sudah bukan lagi sebagai hutan primer tropika basah dan boleh jadi sebagian telah berubah menjadi hutan tanaman industri yang telah ditanami dengan jenis ekaliptus yang monokultur atau hutan sekunder dari jenis aslinya.
Hutan alam tropika basah di Kalimantan yang terbentuk melalui proses ratusan tahun untuk menjadi klimaks (establish ecosystem), sesungguhnya merupakan ekosistem yang fragile (mudah rusak), apabila dieksploitasi kayunya seperti melalui konsesi HPH ini. Tanahnya yang pada umumnya adalah berjenis podzolik merah kuning (PMK) yang merupakan tanah yang relatif mempunyai kesuburan rendah. Dengan dibukanya hutan alam primer tropika basah di Kalimantah Timur ini, apalagi doiganti dengan hutan tanaman indisutri dengan jenis eksotik seperti ekaliptus, otomatis akan merubah ekosistem bentang alam dan juga akan mempercepat penurunan kesuburan tanahnya.
Sementara itu, untuk lahan yang tidak mempunyai tutupan hutan dan akan masuk dalam rehabilitasi untuk forest city seluas 28-38% (yang akan bertambah lagi luasnya apabila tutupan hutan dari jenis ekaliptus akan diganti dengan jenis endemik), terdiri dari semak belukar dan tanah kosong, padang rumput, bekas pertambangan dan perkebunan yang secara ekologis berubah total ekosistemnya dari aslinya, tantangan untuk menjadikan hutan alam tropika asli Kalimantan akan lebih berat lagi tantangannya.
Aspek Silvikultur
Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa hingga saat ini, teknik silvikultur pengembangan jenis-jenis tanaman hutan tropika basah khususnya family Dipterocarpaceae belum dikuasai sepenuhnya oleh ahli-ahli kehutanan khususnya ahli silvikultur baik di Indonesia apalagi di dunia. Pasalnya biji/benih jenis family Dipterocarpaceae merupakan benih/biji yang tergolong dalam jenis yang tidak dapat disimpan lama dan cepat berkecambah (rekalsitran). Bahkan pada jenis-jenis tertentu biji/benih ini sudah berkecambah saat jatuh ketanah. Lain halnya dengan jenis tanaman hutan yang telah dikuasi silvikulturnya sejak zaman kolonial dulu seperti jati, pinus dan seterusnya adalah jenis tanaman yang mempunyai benih yang dapat disimpan lama (ortodoks). Jadi masuk akal apabila jenis tanaman hutan yang digunakan untuk hutan tanaman indusdtri adalah jenis ekosotik (bukan jenis lokal/endemik) yang cepat tumbuh dan pionir seperti ekaliptus, acasia, agathis dan seterusnya. Karakteristik lain yang menjadi faktor penghambat jenis-jenis endemik ini, di samping pertumbuhannya sangat lambat, juga merupakan jenis tanaman hutan yang intoleran yang butuh naungan.
Meskipun pemerintah (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK) sudah menyiapkan lahan seluas 16 hektare untuk pembangunan persemaian Mentawir yang akan menyediakan 15 juta pohon setiap tahun, sudah dapat dipastikan bahwa bibit-bibit yang disiapkan tersebut merupakan anakan yang diambil dari bawah pohon endemik tersebut dan dipindahkan dalam polybag. Masalah lain dipersemaian Mentawir ini meskipun luasnya besar, sistem pengelolaan persemaiannya masih konvensional. Dalam dalam penyediaan bibit dengan jumlah yang cukup banyak dengan karakteristik jenis yang berbeda-beda seperti di Mentawir diperlukan adanya persemaian modern yang tidak saja untuk menghasilkan bibit yang berkualitas tinggi tetapi juga bibit dalam jumlah yang massal.
Salah satu ciri khas persemaian modern adalah bibit yang dihasilkan dari biji tidak menggunakan media tanah dan polybag (kantong plastik) tetapi dengan media khusus (seperti serabut kelapa, ampas tebu, dan sejenisnya) yang dicampur dengan hara tanaman yang berdosis tinggi yang dimasukkan dalam tabung-tabung plastik. Bila saat bibit siap tanam, bibit-bibit tersebut dapat langsung dicabut dari tabungnya dan yang tersisa dalah bibit dan akarnya yang menempel pada media tumbuh yang telah menyatu dengan hara tanaman. Berat bibit dari persemaian modern ini akan lebih ringan 10 kali dibanding dengan bibit dengan media tanah dan polybag. Ciri lain persemaian modern adalah kebutuhan air untuk tanaman tidak akan pernah putus dan selalu tersedia sprinkle air yang selalu menyemprot setiap saat. Di samping itu, cahaya matahari yang masuk dapat diatur dengan net (jaring) khusus sesuai dengan prosentase cahaya yang dikehendaki jenis tanaman. Beberapa jenis Dipterocarpaceae merupakan jenis intoleran dari sejak anakan sudah tentu membutuhkan cahaya yang terbatas dibanding dengan jenis-jenis yang toleran. Teknologi persemaian modern ini telah dikenal di Indonesia pada saat Departemen Kehutanan bekerja dengan pemerintah Finlandia di awal tahun 90-an dengan membangun persemaian modern di beberapa daerah di Indonesia
Klasterisasi Penanaman
Dalam konsep menanam pohon dalam suatu areal seperti kawasan IKN Nusantara, pemilihan jenis dan jumlah pohon yang ditanam tergantung dari karakteristik pohon itu sendiri, agroklimat dan fungsi kawasannya. Tidak semua bibit pohon dapat serta merta ditanam di tempat terbuka. Untuk tanaman pohon yang mempunyai karakteristik intoleran (membutuhkan cahaya yang terbatas) dalam pertumbuhannya, seperti jenis meranti, membutuhkan nauangan (pengaturan cahaya dalam pertumbuhannya). Sebaliknya untuk jenis bibit pohon yang toleran (membutuhkan cahaya penuh), sangat cocok untuk ditanam di tempat terbuka seperti jenis pionir pinus, misalnya, atau beberapa jenis pohon yang masuk dalam katagori cepat tumbuh (fast growing species).
Sebaiknya dalam penanaman jenis tanaman endemik di IKN nanti, dapat dibuat klaster sesuai dengan kondisi tutupan hutan yang ada. Terdapat tiga klaster penanaman yang dapat dilakukan sesuai dengan tingkat gradasi kesulitan yang ada yakni klaster dengan tutupan hutan sekunder, klaster tutupan hutan monokultur (bekas tanaman hutan industri) dan klaster non tutupan hutan. Dalam rehabilitasi dan penanaman hutan sekunder yang sudah ada jenis endemiknya penanaman dilakukan dengan pengayaan (enrichment planting) dengan tetap menerapkan karakteristik jenis toleran/intoleran yang membutuhkan naungan dan pencahayaan sinar matahari yang tidak berlebihan. Semetara untuk klaster tutupan hutan tanaman industri (HTI) seperti jenis ekaliptus tidak serta merta harus diganti dengan jenis endemik dengan cara menebang tanaman HTI , karena menebang pohon haram hukumnya dan sedapat mungkin dilakukan seminimal mungkin.
Dalam klaster tutupan HTI ini diperlukan sentuhan intervensi teknologi misalnya rekayasa dan manipulasi ruang (space) dan lingkungan juga pengaturan cahaya. Atau dalam klaster HTI ini dapat dilakukan campuran (mix) antara jenis endemik dan eksotik dengan bobot yang lebih besar pada jenis endemik tanpa meninggal prinsip prinsip karakteristik jenis masing-masing dan dapat menjamin proses pertumbuhan secara beriringan. Klaster yang mempunyai kesulitan paling tinggi adalah klaster non tutupan hutan. Jenis endemik yang akan ditanam di lahan/kawasan ini secara murni pasti dijamin tidak akan dapat tumbuh ditempat terbuka seperti ini. Yang paling realistis adalah mencampur (mixing) antara jenis endemik dengan jenis eksotik dengan bobot – fifty-fifty (50:50). Jenis-jenis yang cepat tumbuh (fast growing species) ini juga nantinya juga dapat dijadikan sebagai pohon pelindung naungan bagi jenis ekdemik yang intoleran.
Pengetahuan silvikultur jenis endemik yang intoleran dengan tingkat gradasi prosentase cahaya masing-masing jenis mutlak diperlukan untuk menjamin keberhasilan pertumbuhannya. Prioritas penanaman harus dilakukan pada daerah KIPP dan KIKN. Sementara itu, untuk daerah KPIKN dapat dilakukan penanamannya tahap berikutnya atau secara stimultan (bersamaan) dengan KIPP dan KIKN tergantung dari kesiapan penggangaran, SDM dan sarana dan prsarana yang mendukungnya. Pemeliharan tanaman yang terkait dengan pemupukan, penyulaman, pendangiran dan pemangkasan dan penjarangan mutlak diilakukan sampai dengan anakan/tanaman menjadi pohon dewasa., bukan dilakukan sampai tahun ketiga sebagaimana yang selama ini dilakukan oleh pemerintah.