MERANTI TEMBAGA (Shorea leprosula): JENIS NATIVE YANG PROSPEKTIF (Upaya Penyelamatan dan Peningkatan Produktivitas)
Oleh : Dedi Setiadi, S.TP., M.Sc.- Ir. Mashudi, M.Sc. – Prof. Dr. Mudji Susanto – Ir. Sugeng Pudjiono, M.P.
(Peneliti Pusat Riset Botani Terapan, Badan Riset dan Inovasi Nasional)
PENDAHULUAN
Kerusakan hutan alam di luar Jawa cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Implikasi dari kondisi tersebut menyebabkan produksi kayu dari hutan alam cenderung menurun dari waktu
ke waktu, di lain pihak kebutuhan kayu untuk bahan baku industri terjadi sebaliknya. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut pemerintah mencetuskan program teknik silvikultur intensif
(SILIN) guna meningkatkan produktivitas hutan di luar Jawa. Dalam program tersebut Meranti Tembaga (Shorea leprosula) dipilih sebagai spesies standar.
S. leprosula adalah salah satu jenis dari famili Dipterocarpeceae yang secara alami tersebar di Pulau Sumatra, Kalimantan dan Maluku. Jenis ini pertumbuhannya relatif cepat dengan bentuk batang silindris dan lurus sehingga banyak digunakan sebagai bahan baku kayu lapis, furnitur, panel, lantai maupun kayu pertukangan sehingga sangat diminati oleh pengusaha kayu. Hasil penelitian di PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah menginformasikan bahwa rata-rata riap diameter batang tanaman S. leprosula umur 7 tahun pada Sistem Tebang PilihTanam Jalur (TPTJ) sebesar 2,31 cm/tahun. Sementara itu hasil penelitian yang lain menginformasikan bahwa riap tinggi dan diameter batang tanaman S. leprosula umur 6,5 tahun pada areal bekas tebangan sebesar 1,28 m per tahun dan 2,2 cm per tahun. Melalui kegiatan pemuliaan, riap tinggi dan diameter batang S. leprosula masih dimungkinkan untuk ditingkatkan karena keragaman genetiknya relatif tinggi. Mengacu pada data riap yang relatif tinggi tersebut maka pengembangan hutan tanaman S. leprosula prospektif untuk dilakukan.
Untuk membangun hutan tanaman S. leprosula dengan produktivitas tinggi diperlukan dukungan penyediaan benih/bibit berkualitas hasil kegiatan pemuliaan. Penyediaan bibit secara generatif jenis ini dipandang masih menemui beberapa kendala karena sifat bijinya yang tidak dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama (rekalsitran) dan musim berbunganya tidak berlangsung setiap tahun. Pembungaan S. leprosula berkisar antara tiga sampai empat tahun sekali. Bertolak dari hal tersebut maka perbanyakan secara vegetatif dapat dijadikan solusi alternatif untuk memenuhi kebutuhan bibit S. leprosula. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan berakar stek pucuk S. leprosula dengan media vermikulit berkisar antara 51%–75 %. Penelitian lain menunjukkan bahwa persen berakar stek pucuk S. leprosula dari materi tanaman umur muda (± 2 tahun) dengan sistem KOFFCO relatif tinggi yaitu sebesar 88,33%. Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan perbanyakan secara vegetatif S. leprosula relatif tinggi. Untuk menyediakan bibit S. leprosula berkualitas dari materi vegetatif dapat dilakukan
melalui pembangunan kebun pangkas.
KEBUN PANGKAS
1. Pengertian Kebun Pangkas
Kebun pangkas adalah pertanaman (sumber benih) yang dibangun untuk tujuan khusus sebagai penghasil tunas/trubusan untuk bahan stek pucuk. Teknik pemangkasan tanaman adalah salah satu cara yang dilakukan untuk menyediakan tunas yang bersifat juvenil sebagai bahan stek pucuk. Terdapat dua macam tunas yang tumbuh apabila tanaman dipangkas, yaitu tunas orthotrop (tumbuh ke atas) dan tunas plagiotrop (tumbuh ke samping). Untuk pembuatan stek pucuk hindari penggunaan tunas plagiotrop, sebab dengan tunas ini pertumbuhan tanaman akan cenderung ke samping (Gambar 1). Pembangunan kebun pangkas (hedge orhard) di lapangan perlu memperhatikan beberapa hal yaitu lokasinya datar, tanahnya subur, memiliki aerasi dan drainase yang baik, dekat persemaian, tidak mudah tergenang air/banjir pada saat musim hujan serta cukup tersedia air pada saat kemarau, cukup mendapat cahaya matahari dan aksesibilitasnya mudah.
Gambar 1. A) Pertumbuhan stek dari tunas orthotrop dan B) Pertumbuhan stek dari tunas plagiotrop
2. Kedudukan Kebun Pangkas Sebagai Sumber Benih
Keberadaan sumber benih tanaman hutan diatur dalam Permenhut Nomor: P.72/Menhut-II/2009 tanggal 10 Desember 2009 merupakan perubahan atas Permenhut Nomor: P.01/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan. Dalam Permenhut tersebut disampaikan bahwa sumber benih dalam pembangunan hutan tanaman terbagi menjadi 7 kelas, yaitu:
- Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT) : tegakan alam atau tanaman dengan kualitas rata-rata yang digunakan untuk menghasilkan benih dan lokasinya dapat teridentifikasi dengan tepat.
- Tegakan Benih Terseleksi (TBS) : tegakan alam atau tanaman, dengan penotipa pohon untuk karakter penting (seperti : batang lurus, tidak cacat dan percabangan ringan) di atas rata-rata.
- Areal Produksi Benih (APB): memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tegakan benih teridentifikasi maupun terseleksi. Penjarangan untuk membuang pohon yang jelek dilakukan untuk meningkatkan produksi benih.
- Tegakan Benih Provenansi (TBP): tegakan yang dibangun dari benih yang berasal dariprovinsi yang sama yang telah teruji dan diketahui keunggulannya.
- Kebun Benih Semai (KBS): dibangun dengan bahan generatif (benih) yang berasal dari pohon induk terpilih. Didalamnya dilakukan seleksi pohon plus.
- Kebun Benih Klon (KBK): dibangun dengan bahan tanaman hasil perbanyakan vegetatif dari pohon plus di kebun benih atau hasil uji klon.
- Kebun Pangkas (KP): pertanaman yang dibangun untuk menghasilkan bahan stek pucuk untuk produksi bibit.
Berdasarkan Permenhut tersebut sumber benih nomor 1 merupakan kelas sumber benih paling rendah dan sumber benih nomor 7 merupakan kelas sumber benih tertinggi. Dari ketentuan tersebut menunjukkan bahwa kebun pangkas merupakan sumber benih palingtinggi kedudukannya. Untuk menghasilkan kebun pangkas cukup panjang rangkaian yang harus dilalui.
Skema pembangunan kebun pangkas secara singkat disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema pembangunan kebun pangkas (Sumber: Lampiran Permenhut nomor: P.72/Menhut-II/2009)
Kebun pangkas merupakan penghasil bahan tanaman yang menempati kelas tertinggi. Kualitas bibit yang dihasilkan secara genetik adalah kualitas terbaik dibandingkan dengan sumber benih lainnya. Bibit yang digunakan untuk kebun pangkas merupakan bahan yang telah teruji berupa bibit hasil perbanyakan vegetatif dari klon-klon yang jelas asal-usulnya serta memiliki keunggulan tertentu berdasarkan hasil seleksi pada uji klon yang dilaksanakan sesuai dengan kaidah pemuliaan tanaman hutan. Klon-klon yang digunakan dalam uji klon tersebut berasal dari pohon plus hasil uji keturunan atau dari tegakan alam/tanaman. Pembangunan kebun pangkas merupakan salah satu kegiatan yang tidak terpisahkan dalam program pemuliaan tanaman hutan yang diawali dengan seleksi pohon plus, koleksi bahan vegetatif, uji sprouting dan rooting ability, pembangunan uji klon, seleksi klon unggul dan perbanyakan klon-klon unggul untuk pembangunan kebun pangkas.
3. Model Kebun Pangkas
Pembangunan kebun pangkas dapat dilakukan pada suatu areal tertentu yang cukup luas maupun dalam bedengan persemaian. Pengembangan kebun pangkas S. leprosula dapat dibedakan dalam tiga model berdasarkan cara pemangkasannya. Ketiga model tersebut adalah sebagai berikut :
1. Model reiterasi sylleptis (trubusan) dilakukan dengan memangkas batang tanaman sebelum adanya percabangan (Gambar 3a).
2. Model reiterasi proleptis dilakukan dengan cara memangkas batang tanaman di atas percabangan pertama untuk merangsang tumbuhnya tunas orthotrop dari cabang (Gambar 3b).
3. Pelengkungan atau perundukan cabang/batang dengan cara menarik ke bawah secara hati-hati agar cabang tidak patah. Kemudian diikat dengan tali dan diberi pemberat atau diikatkan pada patok/tiang kayu. Pada dasarnya cara ini mendekati model reiterasi prolepsis, di mana dari batang/cabang yang dirunduk akan menghasilkan tunas orthotrop.
Gambar 3. Teknis pemangkasan tanaman: a) model reiterasi sylleptis dan b) model reiterasi proleptis
Berdasarkan ukuran tanaman dan lokasinya, kebun pangkas dapat dibedakan dalam 3 model, yaitu kebun pangkas yang dibangun dalam bedengan-bedengan di lapangan, kebun pangkas dalam polibag/pot dan kebun pangkas di dalam sungkup di bedeng persemaian. Model kebun pangkas di lapangan paling banyak digunakan karena dapat memproduksi tunas dalam jumlah banyak per individu tanaman. Sedangkan kebun pangkas dalam sungkup memberikan keberhasilan tertinggi terhadap persen jadi stek pucuk apabila dibanding kedua jenis kebun pangkas lainnya. Kebun pangkas yang dibangun pada lahan tertentu biasanya menghasilkan tunas-tunas yang cukup besar, sedangkan kebun pangkas dalam polibag/pot di persemaian dapat menggunakan bibit berukuran kecil sehingga tunas-tunas yang dihasilkan berukuran relatif kecil. Teknik pembibitan dengan menggunakan tunas berukuran kecil dari kebun pangkas dalam pot-pot kecil dikenal sebagai teknik mini cuttings. Teknik mini cuttings sudah diaplikasikan oleh perusahaan HTI skala besar yaitu PT. Arara Abadi di Riau untuk jenis tanaman Eucalyptus pellita.
Gambar 4. a) Kebun pangkas di lapangan, b) Kebun pangkas dalam pot-pot di persemaian, c)Kebun pangkas mini dalam pot kecil dan d) Kebun pangkas dalam sungkup di persemaian
4. Strategi Pembangunan Kebun Pangkas S. leprosula
Pada lazimnya pembangunan kebun pangkas dilakukan setelah seleksi uji keturunan suatu jenis selesai dilakukan sehingga pohon-pohon plus telah didapatkan. Apabila alur ini dilakukan, pembangunan kebun pangkas S. leprosula harus menunggu waktu yang cukup lama yaitu sampai puluhan tahun.
Untuk memperpendek alur tersebut maka dilakukan terobosan, yaitu dengan cara melakukan seleksi pertumbuhan di tingkat persemaian dan analisis heterosigositas di Laboratorium DNA molekuler. Langkah tersebut dilakukan guna mendapatkan individu-individu unggul dalam waktu relatif cepat. Adapun alur strategi pembangunan kebun pangkas S. leprosula secara rinci disajikan pada Gambar 5.
a. Eksplorsi materi genetik
Eksplorasi dilakukan untuk mengumpulkan benih S. leprosula dari alam yang akan digunakan sebagai materi untuk pembibitan. Dalam kegiatan ini materi genetik yang diambil adalah materi generatif sebab materi vegetatif S. leprosula yang sudah tua sangat sulit diperbanyak secara klonal. Kegiatan eksplorasi dilakukan di populasi sebaran alami S. leprosula. Untuk menjaga keragaman genetik, sebaiknya materi genetik diambil dari banyak populasi dengan jarak antar populasi diusahakan cukup jauh jaraknya. Benih dikumpulkan dari pohon-pohon induk terpilih yang berfenotipe bagus (batang lurus, silindris, bebas cabang tinggi) dan sehat (bebas dari hama dan penyakit). Koleksi benih dipisahkan antar pohon induk dan masing-masing diberi label. Jarak antar pohon induk perlu diperhatikan agar tidak terjadi kawin kerabat (inbreeding) (diusahakan jarak antar pohon induk minimal 100 m).
b. Pembibitan
Kegiatan pembibitan diawali dengan penyiapan media tanam berupa campuran top soil + kompos (4:1) yang dimasukkan ke dalam polibag ukuran 12 x 10 cm. Polibag yang telah diisi media tanam selanjutnya ditempatkan di dalam bedeng persemaian yang di bagian atasnya telah dipasang sarlon dengan kerapatan 65%. Selanjutnya untuk setiap polibag ditanam satu benih S. leprosula, dan untuk keperluan seleksi (pemilihan bibit yang baik) masing-masing pohon induk ditanam > 100 benih. Setelah benih ditanam dilakukan pemeliharaan yang meliputi kegiatan penyiraman, penyiangan dan pengendalian hama/penyakit. Sampai umur 2 bulan setelah penanaman kegiatan penyiraman dilakukan 2 kali/hari, yaitu pada pagi dan sore. Setelah umur 2 bulan penyiraman dilakukan 1 kali/hari, yaitu pada pagi hari. Kegiatan penyiangan dilakukan secara rutin sebulan sekali. Pengendalian hama/penyakit dilakukan secara rutin 2 minggu sekali dengan menggunakan insektisida Curachron® dan fungisida Score®.
c. Seleksi bibit
Seleksi bibit dilakukan untuk memilih pertumbuhan 10 bibit terbaik per pohon induk. Seleksi tahap satu dilakukan pada saat bibit berumur 8 bulan setelah penanaman (penaburan). Bibit-bibit yang terseleksi selanjutnya dipindah dalam polibag ukuran 25 x 25 cm agar pertumbuhannya tetap optimal.
d. Analisis heterosigositas
Sepuluh bibit hasil seleksi tahap satu dari masing-masing pohon induk selanjutnya diambil sampel daunnya untuk dilakukan seleksi tahap dua melalui analisis heterosigositas di Laboratorium DNA Molekuler. Bibit-bibit dengan heterosigositas tinggi hasil seleksi tahap dua selanjutnya dipelihara di persemaian sampai berumur 2 tahun.
e. Uji sprouting dan rooting ability
Bibit-bibit terpilih setelah berumur 2 tahun di persemaian selanjutnya dipangkas untuk mengetahui kemampuan bertunasnya (sprouting ability). Bibit-bibit yang telah dipangkas selanjutnya dipelihara sehingga tunas-tunas yang dihasilkan akan tumbuh meninggi. Empat sampai lima bulan setelah pemangkasan tunas-tunas yang tumbuh telah siap untuk digunakan sebagai materi stek pucuk. Stek pucuk yang dihasilkan selanjutnya diuji daya perakarannya (rooting ability) di dalam box propagasi. Stek pucuk diuji di dalam box propagasi dengan tujuan agar kelembaban udara terjaga, yaitu ± 95%. Di samping itu agar tingkat keberhasilan stek pucuk S. leprosula tinggi maka suhu udara harus dikendalikan < 30oC dengan intensitas cahaya 10.000 – 20.000 lux. Pada tahap ini masing-masing bibit hasil seleksi tahap dua bertindak sebagai klon, dan bibit (klon) dengan daya sprouting bagus dan rooting ability yang tinggi (> 70%) diperbanyak untuk pelaksanaan uji klon.
f. Uji klon
Uji klon dibangun pada suatu tapak tertentu untuk mengetahui kinerja klon-klon terseleksi. Uji klon dievaluasi secara periodik dan pada umur tertentu dipilih klon-klon unggul yang dapat digunakan sebagai materi untuk pembangunan kebun pangkas.
g. Kebun pangkas
Kebun pangkas dibangun dari materi vegetatif klon-klon unggul sehingga bibit hasil perbanyakan vegetatifnya berkualitas unggul. Panen pangkasan dari kebun pangkas sebagai materi stek pucuk pada jenis S. leprosula dapat dihasilkan setiap 4 – 5 bulan sekali pada setiap individu tanaman.
PENUTUP
Klon-klon unggul sebagai penyusun kebun pangkas yang diperbanyak secara vegetatif akan menghasilkan bibit-bibit dengan genotipe yang sama dengan induknya, sehingga anakan yang dihasilkan diharapkan unggul seperti induknya. Terkait dengan hal tersebut pembangunan kebun pangkas S. leprosula untuk mendukung pengembangan hutan tanaman dengan produktivitas tinggi sangat penting peranannya.
DAFTAR PUSTAKA
Aminah, H., J.M.P. Dick, and J. Grace. 1997. Rooting of Shorea leprosula Stem Cutting Decrease with Increasing Leaf Area. Journal of Forest Ecology and Management 91: 247 – 254.
Appanah, S. and G. Weinland. 1993. Planting Quality Timber Trees in Peninsula Malaysia. Forest Research Institute Malaysia Kepong Malayan Forest Record No. 38.
Ashton, P.M.S., T.J. Givinish and S. Appanah. 1998. Staggered Flowering in Dipterocarpaceae: New insights into floral induction and the evolution of mast flowering in the seasional tropic. American Naturalist 132: 44 – 60.
Danu, I.Z.Siregar, C. Wibowo. dan A. Subiakto. 2010. Pengaruh Umur Sumber Bahan Stek terhadap Keberhasilan Stek Pucuk Meranti Tembaga (Shorea leprosula Miq.). Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman .7(3): 131 – 139.
Fauzi, M.A. 2004. Teknik Pembuatan Kebun Pangkas Jati (Tectona grandis, L.f.). dalam Prosiding Pelatihan Petugas Pengelola Persemaian Jati Provinsi Sulawesi Tenggara tanggal 21-27
Nopember 2004. Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara.
IFSP. 2002. Informasi Singkat Benih Shorea leprosula Miq. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan kerjasama dengan Indonesia Forest Seed Project (IFSP) T. H. R. Ir. H. Juanda, Dago Pakar. Bandung.
Krishnapillay and P.B. Tompsett. 1998. Seed Handling. A Review of Dipterocarps : Taxonomy, Ecology, and Silvyculture. 73-88p. CIFOR. Bogor.
Leppe, D. dan W.T.M Smits. 1988. Metoda Pembuatan dan Pemeliharaan Kebun Pangkas Dipterocarpaceae. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Samarinda.
Permenhut No. P72 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan.
Rudjiman dan D.T. Adriyanti. 2002. Identification Manual of Shorea spp. ITTO Project PD 16/96 Rev. 4. Faculty of Forestry Gadjah Mada
University, Yogyakarta.
Sakai, C. and A. Subiakto. 2007. Manual of Mass Propagation Technique of Dipterocarps Species by KOFFCO System. The Collaboration Project Among Forest Research and Development Agency with Komatsu, JICA. Bogor.
Sasaki, S. 1980. Storage and Germination of Dipterocarps Seeds. Forester 46(2) : 175 – 185.
Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada University Press.
Tolkamp, G.W. dan A. Priadjati. 1996. The effect of different stock plant types (hedge orchards) and cutting media on the rooting ability of 14 Dipterocarp species. In S. Appanah and K.C.Khoo (Eds.), Proceedings of the Fifth Round Table Conference on Dipterocarps. Chiang Mai, Thailand 7 – 10 November 1994. ForestResearch Institute Malaysia. pp.197-215.
Trihartono, B., Nisatmanto, A. dan Hakim, L. 2011. Pedoman Teknis Pembangunan Sumber Benih. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.
Zobelt, B. dan Talbert, J. 1991. Applied Forest Tree Improvement. Waveland Press Inc. Prospect Height. Illinois.
Danu, Siregar, I. Z., Cahyo, W., & Subiakto, A. (2010). Pengaruh umur sumber bahan stek terhadap keberhasilan stek pucuk meranti tembaga (Shorea leprosula Miq.). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, 7(3), 131-139/
Prasetia, R. (2012). Pertumbuhan meranti merah (Shorea leprosula Miq.) dalam sistem tebang pilih tanam jalur di areal IUPHHK -HA PT. SARPATIM, Kalimantan Tengah (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Pamoengkas, P., & Prayogi, J. (2011). Pertumbuhan Meranti Merah (Shorea leprosula Miq) Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus di Areal UPHHK-HAPT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah). JurnalSilvikultur Tropika,
02(01), 9-13.
Widiyatno, W., Soekotjo, S., Naiem, M., Purnomo, S., & Setiyanto, P. E. (2014). Early performance of 23 dipterocarp species planted in logged-over
rainforest. Journal of Tropical Forest Science, 26(2), 259-266.