Artikel Utama

SEKELUMIT PENYEDIAAN AIR MELALUI TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA (TMC) DI INDONESIA

Oleh: Dr. Anung Setyadi

(Pengasuh Majalah Rimba Indonesia)

PENDAHULUAN

Air merupakan kebutuhan utama semua kehidupan termasuk flora, fauna, industri dan keperluan sehari-hari rumah tangga. Tanpa ketersediaan air yang cukup, maka akan mengancam keberlangsungan semua kehidupan. Oleh karena itu, ketersediaan dan kecukupan atas kebutuhan air harus terus diupayakan. Untuk mencukupi kebutuhan air ini, salah satu diantaranya ditempuh dengan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) yang merupakan penerapan dari Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).

Akhir-akhir ini kita santer mendengar istilah “hujan buatan”. Di Indonesia, istilah hujan buatan mungkin baru muncul pada akhir tahun 1970-an. Istilah hujan buatan sering diartikan masyarakat secara sederhana yaitu hujan yang sengaja dibuat oleh manusia, sehingga tidak heranlah apabila pembuat hujan lebih dikenal di kalangan masyarakat sebagai “pawang hujan”. Istilah hujan buatan juga masih kita jumpai di kalangan mass media. Pemahaman yang berkembang di kalangan masyarakat memang tidak bisa disalahkan namun perlu  diluruskan, karena hujan buatan sebenarnya juga merupakan hujan yang turun secara alamiah.  Hujan buatan terjadi karena adanya sentuhan teknologi yang bertujuan untuk meningkatkan dan mempercepat proses jatuhnya hujan.

Sentuhan teknologi yang dimaksud disini yaitu melakukan penyemaian awan dengan menggunakan bahan semai yang bersifat menyerap air (hygroscopic), sehingga proses pertumbuhan dan penggabungan butir-butir hujan dalam awan lebih efektif dan efisien yang selanjutnya akan mempercepat terjadinya serta meningkatkan curah hujan. Guna menghindari kekeliruan pemahaman tersebut, maka penggunaan istilah Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) lebih tepat untuk mempresentasikan aktivitas tersebut.

Dari gambaran tersebut di atas, aktivitas modifikasi cuaca pada dasarnya memerlukan sentuhan teknologi dalam prosesnya. Dengan kata lain TMC adalah suatu bentuk upaya manusia untuk memodifikasi cuaca dengan tujuan tertentu agar  mendapatkan kondisi cuaca seperti yang diinginkan. Disebut sebagai suatu teknologi karena memang aktivitas memodifikasi cuaca pada dasarnya merupakan suatu aplikasi yang memerlukan sentuhan teknologi dalam prosesnya.

Hasil akhir dari upaya memodifikasi cuaca tersebut umumnya adalah untuk meningkatkan intensitas curah hujan di suatu tempat (rain enhancement), meski untuk tujuan tertentu dapat juga dikondisikan sebaliknya, yaitu untuk menurunkan intensitas curah hujan di suatu lokasi tertentu (rain reduction ). TMC yang dilakukan beberapa waktu lalu oleh PT Anugerah Wisesa Selaras (AWS/sebagai operator) di Jambi dengan melakukan pembasahan areal gambut untuk antisipasi karhutla, di Jawa Timur dimaksudkan untuk mengatasi kekekeringan, dan di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum beberapa waktu lalu dimaksudkan untuk mengisi dan menjaga ketersediaan air waduk Saguling, Jatiluhur dan Cirata.

Dalam konteks perubahan iklim (climate change), berbagai penelitian menunjukkan peningkatan bencana hidrometeorologi yang disebabkan oleh pemanasan global (global warming). Meningkatnya cuaca ekstrim (angin kencang dan puting beliung), musim kemarau yang panjang dan semakin kering yang berdampak pada pertanian dan penyediaan energi listrik, curah hujan yang ekstrim yang mengakibatkan terjadinya banjir dan tanah longsor, merupakan contoh bencana akibat perubahan iklim yang sering terjadi di Indonesia. Bencana tersebut dapat di mitigasi dengan pengembangan early warning system dan secara temporal dengan menerapkan TMC untuk mereduksi kerugian. Diharapkan TMC dapat menyelamatkan fauna dan flora serta semua kehidupan, sekaligus mendukung program pemerintah menuju swasembada pangan dan ketahanan energi.

Gambar 1. Waduk Jatiluhur, Purwakarta

DEFINISI TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA (TMC)

Modifikasi cuaca di Indonesia bermula dari gagasan Presiden Soeharto yang menginginkan dilaksanakannya kegiatan hujan buatan di Indonesia yang utamanya diarahkan untuk mendukung sektor pertanian di Indonesia, seperti halnya yang dilaksanakan di Thailand.

Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) merupakan upaya campur tangan manusia pada proses alamiah awan atau sistem awan dengan memanfaatkan parameter-parameter atmosfer dengan maksud untuk mempercepat atau memperlambat proses hujan serta menambah atau mengurangi presipitasi yang keluar dari dalam awan. Dari sekian banyak manfaat TMC, yang paling populer di dunia adalah TMC untuk menambah curah hujan.

Gambar 2. Briefing Posko OMC Pembasahan Lahan Gambut untuk Antisipasi dan Mitigasi Bencana Karhutla di Provinsi Jambi oleh PT. AWS dengan Skadron 4 TNI AU

TUJUAN PENGGUNAAN TMC DIANTARANYA ADALAH UNTUK:

  1. Peningkatan curah hujan musiman untuk air baku, budidaya pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, industri dan memelihara semua kehidupan.
  2. Penjernihan kabut dan asap guna meningkatkan visibilitas untuk keselamatan transportasi pada runway di airport komersil dan jalan di metropolitan,
  3. Peningkatan produksi listrik pada PLTA dengan biaya relatif lebih murah jika dibandingkan dengan penggunaan BBM,
  4. Pengurangan hujan batu-es untuk menghindari kerusakan harta, kehidupan, dan tanaman,
  5. Mitigasi dampak bencana kekeringan dan mitigasi dampak dari Global warming dan suhu tinggi musim panas.

PROSES TERJADINYA HUJAN SECARA ALAMI 

Udara di sekeliling kita banyak mengandung uap air. Tidak terhitung banyaknya gelembung udara yang terbentuk oleh busa laut secara terus – menerus dan menyebabkan partikel – partikel air terangkat ke langit adanya daya angkat konveksi udara. Partikel – partikel yang disebut dengan aerosol inilah yang berfungsi sebagai perangkap air dan selanjutnya akan membentuk titik-titik air. Selanjutnya aerosol ini naik ke atmosfer, dan bila sejumlah besar udara terangkat ke lapisan yang lebih tinggi, maka ia akan mengalami pendinginan dan selanjutnya mengembun. Kumpulan titik-titik air hasil dari uap air dalam udara yang mengembun inilah yang terlihat sebagai awan. Makin banyak udara yang mengembun, makin besar awan yang terbentuk.

Gambar 3. Monitoring pertumbuhan awan melalui radar dan monitoring penerbangan melalui GPS dan  Pantauan visual awan target penyemaian dari dalam pesawat

PROSES TMC DI ATMOSFIR 

Secara singkat, proses TMC dilakukan dengan meniru proses yang terjadi di dalam awan melalui aktivitas penyemaian awan (cloud seeding). Sejumlah partikel higroskopik (umumnya menggunakan NaCl) yang dibawa dengan pesawat sengaja diinjeksikan langsung ke dalam awan agar proses tumbukan dan penggabungan butir-butir air bisa lebih efektf dan efisien. Pelepasannya bisa dilakukan di bawah dasar awan atau bisa juga dilepas langsung ke dalam awan, yang penting dilakukan pada daerah up draft. Dengan berlangsungnya pembesaran tetes secara lebih awal maka proses turunnya hujan dari awan juga terjadi lebih cepat. Dengan kata lain, penyemaian awan bertujuan untuk mempercepat proses tumbukan (collision) dan penggabungan (coalescence) butir air di dalam awan yang merupakan syarat terjadinya hujan. Awan yang dijadikan obyek penyemaian adalah jenis awan Cumulus (Cu) yang banyak mengandung uap air dan berpotensi menjadi hujan.

Gambar 4. Proses penyemaian awan menggunakan pesawat BN2T dan pesawat Thrush S2R-T34

PERATURAN PERUNDANGAN YANG MENGATUR TMC 

Penerapan TMC di Indonesia selain digunakan untuk menambah dan atau mengurangi intensitas curah hujan juga digunakan untuk mengatasi bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Secara regulasi, penerapan TMC di Indonesia sudah diatur dalam peraturan:

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dalam Pasal 38 ayat 1, yang menyatakan bahwa ”Pengembangan fungsi dan manfaat air hujan dilaksanakan dengan mengembangkan Teknologi Modifikasi Cuaca”
  2. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan; jo Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan.
  3. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2012, tentang Penanggulangan Bencana Banjir dan Tanah Longsor.
  4. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2024 tentang Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika.

Aktivitas modifikasi cuaca (weather modification) di dunia secara kelembagaan berada dalam naungan World Meteorological Organization (WMO), sebuah badan internasional di bawah Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) yang menangani bidang meteorologi.

Di Indonesia, saat ini  institusi yang menangani aktivitas modifikasi cuaca adalah Badan Meteorologi,  Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

APAKAH CUACA BISA DIMODIFIKASI ? 

Cuaca ternyata bisa diubah oleh manusia,  yakni dengan bantuan ilmu pengetahuan, manusia dapat memodifikasi awan – awan hujan lewat penyemaian awan sehingga kondisi hujan yang terjadi sesuai dengan apa yang diharapkan. Para ahli mengatakan  penyemaian awan adalah menambahkan zat tertentu ke dalam awan. Caranya melepaskan dari permukaan atau menjatuhkan dari pesawat.

Dalam skala global dan regional tentu sulit untuk melakukan modifikasi cuaca, selain karena banyak faktor yang berpengaruh, juga keterbatasan sumberdaya menjadi tantangan tersendiri dalam melakukan modifikasi cuaca. Namun dalam skala lokal, modifikasi cuaca masih sangat mungkin untuk dilakukan khususnya dengan tujuan meningkatkan curah hujan maupun redistribusi curah hujan. Dalam konteks rain enhancement, faktor utama yang menjadi syarat modifikasi cuaca yaitu pada hari itu merupakan kondisi yang baik (favorable) untuk tumbuhnya awan. Setelah itu, dalam pengamatan harian ditemukan dahulu awan yang tumbuh menjulang dengan dasar awan rendah dan tebal ketinggian awan yang cukup (minimal 5.000-6.000 feet). Awan-awan yang memenuhi kriteria tersebut dengan lingkungan yang favorable kemudian diinjeksikan inti kondensasi berupa butiran NaCl. Wahana yang digunakan dapat berupa pesawat terbang, drone, ground based generator, maupun roket. Dalam eksekusi penyemaian perlu diperhatikan area upwind dan updraft dari awan yang akan disemai. Areal-areal tersebut merupakan lokasi ideal untuk pelepasan bahan semai agar efektif masuk ke dalam sistem awan. Selain itu, arah dan kecepatan angin juga perlu diperhatikan, hal ini agar awan yang disemai dapat menjadi hujan tepat di areal target.

Dalam konteks redistribusi hujan atau peluruhan hujan es, perlu diperhatikan luasan area target, pergerakan massa udara dan tentunya penggunaan bahan semai. Semakin luas areal target tentu berdampak pada kebutuhan sumberdaya, jumlah pesawat terbang, jumlah SDM dan jumlah bahan semai yang digunakan. Sebagaimana  yang baru-baru ini dilakukan dalam pengamanan pembangunan IKN (Ibu Kota Negara) di Kalimantan Timur pada periode Juni – Agustus 2024 . Karena areal yang cukup luas dan masifnya pergerakan massa udara basah ke areal target, maka membutuhkan jumlah pesawat dan bahan semai yang digunakan cukup banyak. Selain itu, untuk menghindari kejadian hujan pada malam hari juga dilakukan penerbangan penyemaian pada malam hari. Prosesnya hampir sama seperti pada rain enhancement, yang membedakan yaitu jika pada rain enhancement awan – awan disemai agar jatuh di area target maka pada redistribusi hujan awan – awan yang disemai agar hujan jatuh sebelum memasuki areal target. TMC untuk meluruhkan butir es memerlukan jenis bahan semai yang berbeda, yaitu Silver Iodide (AgI), yang diinjeksikan pada awan di elevasi yang tinggi (bisa mencapai 25.000 feet) dimana es terbentuk di awan.

PIHAK PIHAK YANG TERLIBAT DALAM OPERASI MODIFIKASI CUACA (OMC) ANTARA LAIN:

Dengan lahirnya Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2024 dimana didalamnya mengatur tambahan tugas BMKG sebagai operator sekaligus regulator operasi modifikasi cuaca di Indonesia yang sebelumnya ada di BRIN. Hal ini dapat mengatur standar dari operator TMC swasta agar tetap memenuhi kaidah ilmiah dan standar layanan minimum. Selain itu, dalam penggunaan wahana tertentu juga terdapat pengaturan tersendiri seperti pesawat yang berada di bawah naungan Kementerian Perhubungan serta penggunaan bahan semai flare yang harus sesuai dengan aturan di Polri. Secara umum, para pihak dalam OMC dapat dikelompokkan menjadi regulator, operator, user atau pengguna jasa dan penerima manfaat.

  1. Regulator: BMKG (disisi Teknis OMC), BRIN (Litbang), Kemenhub (di sisi Peraturan Penerbangan), Kepolisian (di sisi penggunaan bahan semai yg masuk katagori handak (flare).
  2. User/Pengguna Jasa: Pemerintah (BNPB, Kem. Kehutanan, BRGM, BMKG dan Pemda), BUMN (PJTI, PJT II, PLN NP, PLN IP dan INALUM), dan Swasta (PT VALE, PT Poso Energy, Perusahaan Perkebunan, Perusahaan Pertambangan).
  3. Operator OMC : BMKG (Direktorat Operasional, DMC) dan Operator Swasta (misal: PT Anugerah Wisesa Selaras).
  4. Penerima Manfaat: Pemda dan Masyarakat umum

KAPAN TMC/OMC BISA DILAKSANAKAN 

TMC/OMC dapat dilaksanakan apabila terpenuhi syarat sebagai berikut:

  1. Adanya tim/SDM pelaksana kegiatan dengan kompetensi yang sesuai dan memadai.
  2. Tersedianya pesawat dan pilot yang berpengalaman sebagai pengangkut personil teknis dan bahan semai (garam).
  3. Terdapatnya awan potensial hujan (cumulus) yang cukup memadai.
  4. Tersedianya garam semai dengan kualitas baik untuk disemaikan.
  5. Data dan analisis meteorologi yang lengkap untuk menentukan waktu dan lokasi penyemaian yang tepat.
  6. Dukungan infrastruktur dan izin operasi yang lengkap, termasuk akses ke lokasi penyemaian dan koordinasi dengan otoritas setempat.

MENGAPA TMC/OMC PERLU DILAKSANAKAN ?

  1. Mengatasi kekeringan, penanggulangan karhutla, penyiraman kebun, memenuhi kebutuhan pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan (reboisasi/penghijauan) yang membayakan keberlangsungan kehidupan (flora dan fauna) dan bisa mengganggu ekosistem.
  2. Pengisian waduk yang mengalami penyusutan tinggi air yang mengancam pengairan pertanian dan ketahanan energi (PLN/listrik).
  3. Menghindarkan suatu daerah dari curah hujan yang tinggi, agar kegiatan pembangunan dan pertambangan dapat berjalan dengan baik.

Gambar 5. PT AWS sebagai operator modifikasi cuaca swasta

KESULITAN-KESULITAN DALAM TMC/OMC

  1. Koordinasi antara pihak – pihak terkait karena perbedaan prioritas dan kepentingan.
  2. Terjadinya kerusakan pesawat dan kendala armada atau wahana penyemaian awan.
  3. Kondisi parameter cuaca yg kurang mendukung (misal: angin kencang, kelembaban udara yang rendah, dll.).
  4. Analisa cuaca yang cukup rumit dikarenakan variabilitas cuaca yang kompleks.
  5. Sulitnya memprediksi potensi pertumbuhan awan cumulus.
  6. Jarak awan cumulus yang kadang – kadang jauh dari target wilayah hujan.
  7. Terjadinya perbedaan analisa dan respon tim dikarenakan perbedaan dalam menyimpulkan peluang atau kondisi cuaca.
  8. Potensi terjadinya gesekan dengan masyarakat terkait efek pelaksanaan TMC.

KELEBIHAN TMC

  1. Mampu menambah/mengurangi intensitas hujan yang akan turun ke bumi.
  2. Mampu menyediakan air (mengisi waduk) dalam waktu singkat dan jumlah yg banyak, sekaligus mendukung proram ketahanan energi (PLN).
  3. Mengatasi kekeringan dalam waktu yang relatif singkat melalui penambahan curah hujan pada kondisi yang menunjang.
  4. Menyelamatkan fauna dan flora di dalam dan di atas tanah,
  5. Mampu menanggulangi/meredam  kebakaran hutan dan lahan dalam waktu singkat ketika hujan yang dihasilkan bisa turun tepat sasaran serta proses pembasahan di lokasi – lokasi rawan kebakaran hutan dan lahan, sekaligus menghindarkan bencana asap.
  6. Menghidupkan kegiatan pertanian dan roda perekonomian di desa melalui penyediaan air irigasi yang memadai dan secara langsung mendukung program ketahanan pangan.

KEKURANGAN/KELEMAHAN TMC 

Modifikasi Cuaca bukanlah teknologi yang tidak memiliki kekurangan/kelemahan dan bisa dilakukan kapan saja atau di mana saja. Teknologi ini hanya efektif bila dilakukan dengan benar pada kondisi tertentu. TMC untuk menambah curah hujan diperlukan adanya cukup awan di daerah sasaran atau daerah yang dijadikan target dan penentuan waktu pelaksanaan sangat tergantung pada peluang/prediksi cuaca yang akurat. Tidak mungkin mendapatkan hasil tambahan air hujan tanpa adanya awan yang memadai (awan cumulus yang tumbuh secara vertikal, awan cumulus congestus, atau awan cumulus nimbus):

  1. Memerlukan biaya yang tinggi/mahal (namun kerugian/biaya akan semakin besar kalau tidak dilakukan OMC).
  2. Memerlukan ketersediaan pesawat terbang yang sesuai kebutuhan.
  3. Diperlukan keberadaan awan yang memadai dan penentuan waktu pelaksanaan sangat tergantung pada peluang/prediksi cuaca yang akurat.
  4. Faktor usia pesawat juga dirasakan menjadi kendala tersendiri saat pelaksanaan operasional TMC. Selain berpotensi mengganggu operasional di lapangan, faktor usia juga mengandung potensi resiko keselamatan penerbangan.

MANFAAT TMC

  1. Dalam aspek manajemen sumber daya air, TMC dapat meningkatkan curah hujan pada akhir musim penghujan sebagai persiapan menghadapi musim kemarau dan di awal musim penghujan untuk mempersingkat masa kering setelah musim kemarau.
  2. Manfaat langsung yang bisa dirasakan yaitu tersedianya air waduk untuk PLTA, irigasi pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, peternakan dan ketersediaan air baku.
  3. Dalam aspek manajemen karhutla, TMC dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ketersediaan air tanah khususnya lahan bergambut di masa sebelum terjadinya kebakaran. Jika sudah terjadi kebakaran maka TMC dapat dimanfaatkan sebagai penanggulangan/ pemadaman api/kebakaran. Berdasarkan literatur yang ada, dibutuhkan minimal curah hujan 11 mm dan tepat jatuh di atas api untuk bisa memadamkan karhutla.
  4. Manfaat tidak langsung TMC yaitu dapat mencegah rusaknya lingkungan dan menyelamatkan fauna dan flora di dalam dan di atas tanah.
  5. Menghidupkan kegiatan pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, budidaya ternak, sehingga roda perekonomian didesa dapat bergerak dengan baik yang dapat mendukung penyediaan pangan yang memadai.
  6. Mendukung program kedaulatan pangan dan ketahanan energi.
  7. Sejalan dengan proram pemerintah dalam rangka mendukung untuk mewujudkan program kedaulatan pangan dan ketahanan energi nasional, kebutuhan energi (khususnya PLTA), serta mitigasi bencana yang dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan, maka jumlah armada pesawat untuk mendukung Teknologi Modifikasi Cuaca perlu ditingkatkan.

PERKEMBANGAN TERKINI TEKNOLOGI MODIFIKASI CUACA 

Awalnya pelaksanaan TMC hanya dilakukan oleh pemerintah melalui UPT Hujan Buatan BPPT, kemudian berubah menjadi Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC-BPPT) dan terakhir menjadi Laboratorium Pengelolaan TMC-BRIN. Sejak tahun 2024, fungsi operasional dan regulasi TMC beralih dari BRIN ke BMKG dengan dibentuknya Kedeputian Modifikasi Cuaca (DMC – BMKG). Pada tahun 2022, ditengah penguatan organisasi BRIN, muncul operator TMC swasta dengan project pertamanya yaitu mitigasi bencana hidrometeorologi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kemudian terus berkembang hingga saat ini terdapat setidaknya 10 perusahaan swasta sebagai operator TMC (diantaranya PT. AWS).

Sangat diharapkan layanan modifikasi cuaca dapat diakses secara adil dan merata oleh semua pihak, termasuk masyarakat pedesaan dan daerah terpencil. Semakin meningkatnya kebutuhan akan operator/pelayanan TMC untuk berbagai tujuan, seperti mengisi waduk sebagai upaya antisipasi kekeringan, menghindari banjir, dan dalam rangka mitigasi bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut. Teknologinya pun berkembang dari teknologi penyemaian awan dengan bahan semai berupa tepung (powder) hingga teknologi flare yakni penyebaran bahan semai berupa asap.

Perlunya adaptasi terhadap perubahan iklim global, dimana prediksi cuaca semakin sulit dan intensitasnya terus meningkat. layanan modifikasi cuaca menjadi penopang transformasi ekonomi berkelanjutan.

BMKG sebagai institusi yang ditugasi mengendalikan TMC terus berusaha meningkatkan pelayanannya dengan “Memperkokoh Ekosistem Modifikasi Cuaca Untuk Melompatkan Kualitas dan Kuantitas Layanan Modifikasi Cuaca yang Merata dan Berkeadilan”.

WAHANA TMC

Selain menggunakan wahana pesawat terbang, modifikasi cuaca juga dapat dilakukan dari darat dengan menggunakan wahana Ground-Based Generator (GBG) yang ditempatkan pada daerah pegunungan atau daerah yang bertopografi tinggi. Umumnya GBG dilakukan untuk memodifikasi awan- awan orografik. Selain itu, terdapat juga wahana menggunakan drone hingga roket seperti yang dilakukan di China.

EVALUASI HASIL TMC

Evaluasi pada dasarnya adalah mendeteksi atau memperkirakan secara akurat curah hujan yang turun sebagai efek dari penyemaian. Apabila  kita dapat memperkirakan secara tepat jumlah hujan yang turun dari suatu awan atau sistem awan, adalah menjadi sangat mudah untuk mendeteksi secara akurat efek dari penyemaian awan pada awan tersebut. Ini menjadi sulit, karena efek penyemaian awan yang hanya kecil saja, berada dalam rentang variasi yang besar dari hujan alami. Membandingkan jumlah hujan sepanjang periode penyemaian dengan periode yang sama yang terjadi secara historis merupakan masalah, karena adanya perubahan sifat musim dari periode yang satu ke periode yang lainnya (WMO, 2010 ?). Diperlukan evaluasi yang cermat memasukkan faktor proses random.

Evaluasi hasil untuk operasional hujan buatan sangat sulit, karena tidak leluasa menerapkan rancangan (design) yang diberlakukan secara ketat seperti pada umumnya yang diberlakukan pada percobaan penyemaian awan. Salah satu rancangan standar yang selalu digunakan adalah rancangan acak (randomized design). Rancangan acak diberlakukan umumnya pada suasana yang sangat dinamik atau yang tidak dapat dikontrol. Ciri yang lain adalah keterbatasan pengulangan sample (repeated sample), sehingga teknik statistik konvensional yang berbasis pada distribusi normal yang menuntut jumlah data yang cukup banyak tidak mungkin dipenuhi. Sebagai konsekuensinya hal – hal yang terjadi karena faktor kebetulan (lucky draw) mutlak dipertimbangkan, dan evaluasinya menggunakan statistik non-parametrik.

Tingkat keberhasilan modifikasi cuaca dapat ditinjau dari hasil Tambahan air hujan dari modifikasi cuaca. Maksud dari tambahan air hujan disini adalah peningkatan curah hujan pada periode modifikasi cuaca. Sampai saat ini ada dua pendekatan besar dalam evaluasi yaitu dari segi curah hujan dan aliran. Metode Evaluasi yang digunakan dalam analisa keberhasilan modifikasi cuaca baik dari segi curah hujan dan aliran adalah sebagai berikut yaitu desain target only, desain target kontrol, dan debit Aliran.     

PELUANG PENERAPAN TMC DI WADUK-WADUK YANG MEMILIKI PLTA 

Perubahan iklim yang sulit diprediksi melanda dunia, termasuk Indonesia. Terjadinya kekeringan yang berkepanjangan akan mengancam ketersediaan air waduk sekaligus mengancam kelangsungan PLTA  yang ada di Waduk, selain mengganggu irigasi untuk pertanian. Oleh karena itu, pengelola waduk akan terus berusaha menjaga kecukupan air untuk keberlangsungan PLTA maupun irigasi pertanian. Berdasarkan data Kementerian PUPR, sampai dengan  akhir tahun 2021 terdapat 162 PLTA yang menggantungkan operasionalnya pada ketersediaan air. Beberapa waduk/danau dengan PLTA terbesar seperti Waduk Cirata, Waduk Saguling, Danau Poso, Danau Toba, Waduk Mrica dan Waduk Brantas. Apabila terjadi pengurangan volume air waduk yang significant, maka akan  mengganggu PLTA dan irigasi pertanian, hal ini akan mengancam keberlangsungan PLTA, sekaligus akan mengganggu ketahanan energi dan program swasembada pangan . Oleh karena itu peluang   pelayanan TMC/OMC di masa kini dan akan datang terhadap waduk waduk yang ada  terbuka lebar.

 

REFERENSI

  1. Anonimus, 2004. Undang Undang RI Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, 2004.
  2. Anonimus, 2011. Instruksi Presiden RI Nomor 16 tahun 2011. Jo. Instruksi Presiden Nomor 03 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan.
  3. Anonimus, 2012. Instruksi Presiden RI Nomor 4 tahun 2012 tentang Penanggulangan Bencana Banjir dan Tanah Longsor, 2012.
  4. Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2024 tentang Badan Meteorologi dan Geofisika, 2024.
  5. Berbagai bacaan mengenai TMC/OMC.
  6. Wawancara dan diskusi dengan pelaksana TMC/OMC
  7. Pengalaman penulis dalam kegiatan TMC/OMC

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *