TATA KELOLA BENTANG ALAM SEBAGAI BINGKAI EKONOMI HIJAU
Oleh: Dr. M. Saparis Soedarjanto, S.Si., MT.
(Direktur Perencanaan dan Pengawasan Pengelolaan DAS, Kementerian Kehutanan)
LATAR BELAKANG
Data kebencanaan akibat pengaruh kombinatif faktor iklim dan perilaku manusia (antropogenik) berupa banjir dan longsor antara tahun 2015-2024 mendominasi seluruh kategori kebencanaan nasional yang ada, yaitu sebesar 94% (BNPB, 2024). Kondisi tersebut memiliki dua dimensi dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya dan pembangunan wilayah, yaitu bersifat mempengaruhi atau sebaliknya sebagai aspek dampak. Mengurai permasalahan bencana, bentang alam dan pengelolaan sumberdaya perlu mempertimbangkan secara rasional hubungan kausalitasnya dengan aktivitas manusia (human-landscape relationship). Kestabilan bentang alam bersifat relatif. Banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti tingkat maturitas bentang alam itu sendiri, material induk, jenis dan sifat tanah, konfigurasi topografi, iklim serta pengaruh aktivitas manusia baik dari aspek bentuk maupun magnitude-nya. Seringkali pengaruh aktivitas manusia mengakibatkan instabilitas terjadi dan selanjutnya alam mencapai kestabilan baru melalui sebuah fenomena yang dalam persepsi manusia disebut dengan bencana.
Fakta menunjukkan bahwa rajutan kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya begitu kompleks dengan variasi spasial yang besar dan dinamika temporalnya sangat tinggi. Keberhasilan menjamin keberlanjutan pengelolaan sumberdaya, serta menekan permasalahan lingkungan, merupakan aset penting dalam pembangunan wilayah. Indonesia adalah negara dengan rentang wilayah yang begitu luas, kondisi geografisnya beragam, kandungan mineralnya sangat besar, tanahnya subur, serta kondisi sosial-ekonominya sangat dinamis. Pendekatan bentang alam diperlukan untuk menemukan format tata kelola yang sesuai dan memiliki kompatibilitas tinggi dengan karakteristik wilayah yang variatif dan dinamis. Bentang alam merupakan ekspresi rajutan antar berbagai atribut yang ada di dalamnya, seperti konfigurasi topografi, penutupan vegetasi, tata guna lahan dan pola pemanfaatan lahan dengan proses-proses dan kegiatan-kegiatan alamiah serta budayanya (Green dkk, 1996). Perlu diperhatikan bahwa negara kita rentan mengalami degradasi lahan. Morgan (2005) menyatakan bahwa Indonesia termasuk negara dengan laju sedimentasi tertinggi di dunia, yaitu lebih dari 250 ton/km2/tahun, di mana untuk Pulau Jawa saja kerugian yang ditimbulkan sebesar US$400 juta/tahun. Implikasinya tentu sangat beragam dan memiliki cakupan luas dalam hal keterkaitann (nexus) antara ketahanan air, pangan, dan energi dan keberlanjutan penghidupan (sustainable livelihood).
TATA KELOLA BENTANG ALAM DAN PENGHIDUPAN
Sangat tidak mungkin pembangunan wilayah dan pertumbuhan ekonomi berjalan beriringan bila terdapat akumulasi masalah lingkungan yang selanjutnya menimbulkan fragmentasi sosial dan eskalasinya meluas dengan cepat, sehingga memerlukan energi besar untuk memulihkannya. Sebagai contoh, sebagai negara dengan curah hujan melimpah, kelangkaan air (water scarcity) mulai terjadi di sebagian wilayah Jawa, Bali-Nusra, dan Sulawesi (Mawardi, 2009). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan kemampuan ekosistem terestrial dalam retensi air akibat multi-aspek, seperti perubahan peggunaan lahan, pengelolaan lahan serta perubahan konfigurasi bentang alam. Inisiasi rambu-rambu tata kelola dimaksudkan untuk mengatur agar pemanfaatan sumber daya alam dapat berkelanjutan dengan menekan peluang kerusakan lingkungan melalui penerapan prinsip-prinsip less-polution, less-degradation, multiple-ecosystem, multi-inter-dicipline dan multi-stakeholders engagement.
Profil penduduk Indonesia antara tahun 2010-2020 menunjukkan bahwa terjadi pertumbuhan sebesar 1,25% per tahun, lebih tinggi dari angka proyeksi pertumbuhan untuk skenario toleransi 1.18 % pada tahun 2010 (Agenda 21 Nasional Indonesia, 1997). Sebagai gambaran, kondisi pertumbuhan ketat diproyeksikan di angka 0.74 % per tahun dan moderat di angka 0.97 %, bahkan pertumbuhan penduduk 2020 diproyeksikan hanya 0.2 % per tahun. Dengan kenyataan bahwa pertumbuhan penduduk 1,25 % per tahun itu, jelas bahwa terdapat tekanan populasi cukup tinggi dengan implikasi yang paling sederhana berupa ketersediaan sumberdaya alam serta polusi, selain variabel penduduk untuk kesejahteraan.
Hal ini mengandung konsekuensi penyediaan pelayanan sosial, pengelolaan lingkungan dan penggunaan lahan, masalah perkotaan dan dinamika penduduk serta pencemaran tanah, air dan udara. Ada kebutuhan untuk penataan ruang dan penyesuaian tata ruang melalui pemahaman mendalam karakteristik bentang alam dan faktor-faktor pembentuknya (land forming factors) seperti air, iklim, batuan, flora-fauna, aktivitas manusia dan lain-lain.
Implementasi Landscape Governance (LG) atau Tata Kelola Bentang Alam (TKBA) diperlukan untuk antisipasi dan solusi terjadinya disharmoni antara pemanfaatan dan daya dukung sumberdaya sehubungan meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan. Pendekatan ini mengutamakan terciptanya orkestrasi konservasi lingkungan, ekonomi pembangunan dan kemaslahatan manusia melalui integrasi kebijakan dan penegakan hukum yang kuat dan komprehensif, yang dilakukan secara terintegrasi serta multi-target/sektoral. TKBA melibatkan proses interaksi multi-sektor, multi-aktor, dan multi-level, yang didukung oleh kemampuan pengambilan keputusan secara spasial di level/tingkat bentang alam.
Pertemuan Global Landscape Forum (GLF) 2020 pada awal Juni tahun 2020, berkomitmen mewujudkan penggunaan lahan berkelanjutan, yang didedikasikan untuk mencapai Sustainable Development Goals dan Paris Climate Agreement. GLF menggunakan asas Landscape Governance yang berjuang untuk menyelamatkan lahan gambut dunia melalui Global Peatlands Initiative dan komunitas pesisirnya melalui Blue Carbon Partnership. Selanjutnya, GLF mengembangkan mekanisme keuangan inovatif untuk berinvestasi dalam pertanian berkelanjutan dan rantai pasokan, antara lain dengan Land Degradation Neutrality (LDN) dan Fasilitas Pembiayaan Bentang Alam Tropis (the Tropical Landscapes Finance Facility). Indonesia mengartikulasikan berbagai inisiatif tersebut untuk menjaga dan memperkuat kelestarian mega biodiversitas, melalui tiga pilar konservasi, yaitu: perlindungan sistem penyangga kehidupan, pelestarian keanekaragaman hayati, sumber daya genetik dan ekosistemnya, serta pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu ekspresi bentang alam yang dapat digunakan dalam kalkulasi orkestrasi tiga pilar tersebut secara berdaya guna, karena hubungan kausalitas terestrial-coastal linkage -nya sangat jelas dan terukur. Ekologi DAS yang rusak dapat mengakibatkan distorsi siklus hidrologi, sehingga mempengaruhi seluruh rona sumber daya, tidak terkecuali ketersediaan barang dan jasa yang berdampak pada penghidupan manusia secara keseluruhan. Wilayah pesisir merupakan affected area dari berbagai aktifitas di bagian hulu Tengah dan hilir, termasuk suplai polutan yang mengganggu kehidupan Masyarakat dan biota pesisir. Kesatuan Lansekap Mangrove (KLM) yang saat ini dikembangkan dalam penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove (RPPEM) juga menggunakan sistem lahan (landsystem) yang merepresentasikan pendekatan proses dan hasil proses geomorfologi yang dikontrol pergerakan air di dalam DAS. Peran strategis pendekatan DAS juga disampaikan FAO (1985) yang menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan DAS merupakan langkah strategis dalam pemenuhan barang dan jasa tanpa menimbulkan kerusakan tanah, air dan sumber daya alam lainnya, sehingga penting untuk menjamin ketahanan pangan dalam hubungan hulu dan hilir. Dengan demikian, pengelolaan DAS dapat menjadi instrumen strategi pengelolaan sumber daya tepat guna yang memiliki relevansi kuat dengan perilaku manusia.
HUTAN SEBAGAI ATRIBUT PENTING BENTANG ALAM
Menempatkan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unsur penting pembangunan kehutanan tidak terlepas dari fakta-fakta empiris yang ada. Percobaan dan pengalaman yang ada menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan DAS difokuskan di daerah-daerah dengan curah hujan tinggi yang secara ekologis berdekatan dengan wilayah hutan (Lal dan Russel,1979). Hutan mempunyai peran penting dalam regulasi air melalui alih ragam (transformasi) hujan menjadi unsur-unsur aliran yang meliputi limpasan di permukaan lahan (overlandflow), limpasan di tubuh sungai (runoff), limpasan bawah permukaan (sub surface flow), maupun tampungan air tanah (groundwater storage). Proses alih ragam tersebut berimplikasi pada rona bentang alam dan sumber daya wilayah sebagai sistem ekologi.
Hal tersebut menjadi sebuah tesis yang menegaskan bahwa peran hutan dari aspek hidrologis bersifat unik pada setiap segmen bentang alam. Banyak pihak menganggap peran hidrologis hutan adalah sama, namun pada kenyataannya terdapat ragam “perilaku”-nya dalam “regulasi” air. Tidak semua hutan mampu “memproduksi” air, tergantung bagaimana peran regulasi tersebut berlangsung. Peran hutan tidak bersifat tunggal (single factor), namun terkait secara komposit dengan aspek-aspek lingkungan (fisiografi, tanah, geologi, dan iklim) dalam kesatuan bentang alam. Bruijnzeel (2009) menyatakan bahwa perbedaan peran hidrologis antara hutan primer (old-growth), hutan sekunder (secondary growth), dan hutan tanaman (exotic plantations) sering diabaikan, padahal dalam kenyataannya bersifat sangat spesifik pada setiap segmen bentang alam.
Fakta menunjukkan bahwa terdapat tiga varian peran hidrologis hutan, yaitu:
- Mendorong terjadinya hujan (Penman, 1963; Bruijnzeel, 1990; Bruijnzeel, 2004).
- Konsumsi air dan penguapan, sehingga mengurangi lengas tanah (soil moisture) dan tampungan air tanah (Seiler-Gat, 2007; Wood et al., 2007; Newson, 1997).
- Meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah sehingga mendorong peningkatan intensitas peresapan dan suplai ke air tanah serta memperkecil peluang limpasan (Bharati et al., 2002; Yue and Hashino, 2005; Seiler dan Gat, 2007; Ilstedt, 2007, Weert, 1994; Anwar, 2001; Purwanto, 2001).
Berdasarkan 3 (tiga) peran hidrologis hutan tersebut, maka tipe hutan dapat dikelompokkan menjadi hutan yang berfungsi sebagai regulator air saja, atau dapat pula sebagai regulator dan penghasil air. Berdasarkan fungsinya tersebut hutan dapat dikategorikan sebagai:
- Non-cloud forests yang memiliki laju penguapan yang relatif tinggi dan tidak mampu berfungsi sebagai penangkap kabut (cloud stripping), dalam kondisi ini hutan hanya berfungsi sebagai regulator air, dan
- Cloud forests, yaitu hutan yang memiliki laju penguapan relatif rendah dan berperan sebagai penangkap kabut, sehingga berfungsi sebagai regulator dan penghasil air, atau dikenal sebagai “menara air”.
EKONOMI HIJAU DAN SIKLUS PERILAKU MANUSIA
Perilaku manusia dalam pemanfaatan sumberdaya perlu diatur karena akan mempengaruhi kualitas sumber daya dalam mata rantai siklus secara keseluruhan. Faktor dominan pengontrol perilaku manusia adalah upaya memenuhi kebutuhan penghidupannya, yang menurut Ellis (2000), mencakup modal (capital) sosial, finansial, fisik, sumber daya alam dan sumber daya manusia. Secara naluriah, manusia akan selalu berusaha memiliki 5 (lima) modal tersebut secara lengkap melalui berbagai upaya yang dilakukan. Tata kelola dimaksudkan untuk menciptakan koridor terukur agar upaya manusia dalam melengkapi seluruh capital yang dibutuhkan tidak mengganggu kestabilan bentang alam yang justru mereduksi magnitude inklusifitas akses terhadap sumberdaya. Disparitas sosial dan ekonomi antara masyarakat hulu dan hilir banyak terjadi, namun sepertinya formula untuk solusinya tidak pernah terdefinisikan secara tepat. Padahal, tata Kelola bentang alam berbasis DAS telah memberikan ‘ruang” yang memadai untuk menemu kenali rajutan yang ada sebagai acuan dalam mengatasi berbagai masalah yang timbul. Pendekatan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) berbasis DAS dapat menjadi formula insentif hilir-hulu dan aktualisasi beneficiaries and polluters pay principle secara terukur dan adil (Turton, 2000).
Kunci utama agar berbagai inisiatif tersebut berhasil adalah perlu adanya kerja sama multi-inter-dicipline, multi-stakeholders engagement, multi-sector, multi-actor dalam konteks multiple-ecosystem yang dibingkai dengan prinsip-prinsip ekonomi hijau (green economy). Ekonomi hijau bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat, sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan secara signifikan. Tujuan tersebut dapat terwujud secara utuh melalui mobilisasi dan peran serta seluruh komponen masyarakat. Dengan demikian formulasi program ekonomi hijau harus mempertimbangkan aspek akseptabilitas dan kompatibilitasnya dengan nilai-nilai yang dipahami masyarakat. Perilaku (behaviour) manusia dengan latar belakang nilai-nilai (value) tertentu sangat mendasari keputusannya dalam menentukan pola penggunaan lahan di suatu wilayah. Proses sekuensial terbentuknya pola tersebut oleh Chapin dan Keiser (1965) digambarkan sebagai siklus perilaku manusia (cycle of human behaviour) yang menunjukkan rangkaian tindakan dan pengaruh nilai-nilai sebagai dasar manusia mengambil keputusan. Pendekatan bentang alam berbasis DAS dapat digunakan untuk membangun pemahaman dan nilai-nilai yang harus diterapkan dalam internalisasi prinsip-prinsip ekonomi hijau kedalam program pembangunan wilayah dan penghidupan masyarakat.
Fakta menunjukkan bahwa sumberdaya hutan memiliki nilai ekonomi yang berkontribusi signifikan terhadap pembangunan ekonomi hijau. Melalui pendekatan bentang alam dapat dikalkulasi tangible dan intangible benefit hutan dan kegiatan kehutanan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal, regional bahkan nasional. Cukup banyak perkembangan kutub-kutub pertumbuhan (growth poles) didorong oleh aktivitas kehutanan yang secara inherent sekaligus menjaga kestabilan bentang alam, menjamin keberlanjutan penghidupan dan menekan peluang kebencanaan.
TINJAUAN EMPIRIS HUBUNGAN KAUSALITAS
Secara substantif, tata ruang wilayah kita ditetapkan berdasarkan berbagai isu yang terkait dengan sumber daya, termasuk air. Pergerakan air di dalam DAS mempengaruhi rona wilayah secara keseluruhan, karena air merupakan faktor penentu (determined factor) proses-proses permukaan maupun bawah permukaan lahan yang bersentuhan langsung dengan aktivitas dan kebutuhan manusia. Dalam konteks ini, hubungan kausalitas pengaturan tata ruang dan tata guna lahan memiliki relevansi yang signifikan dengan ekonomi hijau. Sebagai contoh, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone di Gorontalo dan Sulawesi Utara merupakan mega biodiversitas yang memiliki kemampuan retensi air sangat besar, sehingga memungkinkan suplai air yang terus menerus untuk kebutuhan domestik maupun kegiatan pertanian. Dalam hal ini ketahanan air dan pangan menjadi empiri hubungan kausalitas tersebut. Keberadaan Tamana Nasional mampu meminimalkan peluang banjir di kota Gorontalo dan kota Bone Bolango di bagian hilir-nya. Hasil perhitungan neraca air di DAS Bolango yang bagian hulu-nya merupakan sebagian wilayah Taman Nasional menunjukkan bahwa kemampuannya dalam menyimpan air equivalen dengan Waduk Serbaguna Gajah Mungkur di Wonogiri berdasarkan perbandingan hasil air (water yield) dengan luas Daerah Tangkapan Air (DTA)-nya. Bahkan dibandingkan dengan bentuk-bentuk penggunaan lainnya, di Jepang hutan bisa dikategorikan sebagai “waduk hijau (green dam)” yang memiliki kesamaan fungsi dengan reservoir buatan manusia dalam mengurangi peluang banjir pada musim penghujan dan meningkatkan suplai air di musim kemarau, melalui (1) intersepsi kanopi, (ii) peningkatan kapasitas infiltrasi tanah (Yue and Hasinho, 1998). Hal tersebut juga menjelaskan peran penting hutan Suaka Margasatwa Nantu di Kabupaten Bualemo, Provinsi Gorontalo dalam mensuplai air ke bendung Paguyaman yang mengairi 6.880 ha sawah dengan produksi beras senilai Rp619 Milyar/tahun. Sebuah gambaran peran hutan dalam ketahanan air, pangan dan bencana.
Mempertimbangkan peran strategis hutan sebagai atribut penting bentang alam dalam pengelolaan sumber daya akan menjamin keberlanjutan ketersediaan sumber daya tersebut untuk semua pihak, yang berarti juga inskusif secara sosial. Berbagai fakta menjelaskan bahwa dalam konteks ekonomi lingkungan, perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) harus memperhatikan proses-proses alam yang terjadi sehingga lebih adil dalam menilai peran strategis hutan. Upaya rehabilitasi hutan untuk restorasi DAS yang lebih dari 4 (empat) dekade menjadi program primadona kehutanan yang memberi multi-manfaat. Slogan peringatan hari penanggulangan degradasi lahan dan kekeringan dunia (World Day to Combat Desertification/WDCD) tahun 2021 berupa Restorasi-Lahan-Pemulihan (Restoration-Land-Recovery) mendeskripsikan bahwa program rehabilitasi lahan akan meningkatkan ketahanan ekonomi, menciptakan lapangan kerja (green jobs), meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan, memulihkan dan meningkatkan keanekaragaman hayati, menurunkan konsentrasi karbon di atmosfer serta mendukung “green recovery” dari pandemi covid 19.
PENUTUP
Pembangunan ekonomi hijau mutlak diperlukan Indonesia sebagai negara dengan konfigurasi bentang alam yang rentan mengalami degradasi dan bencana. Kondisi tersebut berpeluang meningkat magnitude-nya akibat proyeksi pertumbuhan penduduk yang ternyata melebihi daya dukung sumberdaya alam. Tata kelola bentang alam memiliki dimensi yang luas, baik fisik, biotik maupun aspek perilaku manusia yang termanifestasikan sebagai dimensi sosio-kultural dan mempengaruhi pola pemanfaatan sumberdaya. Kompleksitas permasalahan lingkungan dapat diidentifikasi dan diurai serta dicarikan solusi efektifnya dengan pendekatan bentang alam. Pendekatan bentang alam juga menjadi kerangka pikir yang relevan untuk menjawab isu global perubahan iklim, termasuk mendefinisikan peran strategis hutan dalam mendukung perkembangan dan keberlanjutan peradaban.
DAFTAR PUSTAKA a
Anwar, S. 2001. The Impact of Different Logging Treatments on Streamflow and Suspended Sediment Concentration in Central Kalimantan, Indonesia. Thesis submitted for the Degree of Doctor of Philosophy, The University of Edinburgh, Scotland. Unpublished.
Bharati, L.; Lee, K.H.; Isenhart, T.M.; Schultz, R.C. 2002. Soil-Water Infiltration under Crops, Pasture, and Established Riparian Buffer in Midwestern USA. Agroforestry Systems 56: 249–257, 2002. 249© 2002 Kluwer Academic Publishers. Netherlands.
Bruijnzeel. L.A. 1990. Hydrology of Moist Tropical Forests and Effects of Conversion: A State of Knowledge Review. UNESCO International Hydrology Programme.
Bruijnzeel. L.A. 2004. Hydrological Functions of Tropical Forests: not seeing the soil for the trees? Elsevier Agriculture, Ecosystems and Environment 104 (2004) 185–228. Science Direct.
Bruijnzeel. L.A. 2009. Tropical Reforestation and Streamflow: The Need for a Balanced Account. Vrije Universiteit. Amsterdam.
Chapin and Keiser, E, 1965. Urban Land Use Planning. University of Illinois Press. Urbana and Chicago.
Ellis, Frank.2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. Oxford University Press. Oxford.
Ilstedt, Ulrik; Malmer, Anders; Verbeeten, Elke; Murdiyarso, Daniel. 2007. The Effect of Afforestation on Water Infiltration in the Tropics: A Systematic Review and Meta-Analysis. Forest Ecology and Management 251 (2007) 45–51. 3:1198)
Lal, R and E.W. Russel (Editors) (1979) Tropical Agricultural Hydrology Watershed Management and Land Use. John Wiley and Sons, Toronto.
Lee, R. 1980. Forest Hydrology. Columbia University Press. New York.
Morgan, 2005. Soil Erosion and Conservation. BlackWell Publishing. USA
Newson, M. 1997. Land, Water and Development, Sustainable Management of River Basin Systems. Routledge. London.
Penman, H.L. 1950. The Water Balance of The Catchment Area. Journal Institute Water Engineering (4): 457-469
Purwanto, E. 1999. Erosion, Sediment Delivery and Soil Conservation in an Upland Agricultural Catchment in West Java, Indonesia. PhD Thesis. Vrije Universiteit te Amsterdam.
Seiler, K.P and Gat, J.R. 2007. Goundwater Recharge from Run-off, Infiltration and Percolation. Springer, AA Dordrecht, The Netherlands.
Turton, C. 2000. Enhancing Livelihoods Through Participatory Watershed Development in India. Overseas Development Institute Portland House Stag Place London
Weert, V.D. 1994. Hydrological Conditions in Indonesia. Delft Hydraulics. The Netherlands.
Wood; Hannah, D.M.; Sadler, J.P. 2007. Hydroecology and Ecohydrology: Past, Present and Future. John Wiley & Sons Ltd, The Atrium, Southern Gate, Chichester, West Sussex PO19 8SQ, England.
Yue, Seng and Hashino, Michio. 2005. Statistical Interpretation of the Impact of Forest Growth on Streamflow of the Sameura Basin, Japan. Environmental Monitoring and Assessment (2005) 104: 369–384.