Artikel Utama

PENGELOLAAN LANSKAP BERKELANJUTAN BERBASIS PENGELOLAAN DAERAH SUNGAI

Oleh: Prof. Chay Asdak, Ph.D.

(Departemen Teknologi Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran)

 PENDAHULUAN 

Alih fungsi lahan dan kesemrawutan tata ruang wilayah, seringkali dikaitkan sebagai sumber kemerosotan lingkungan hidup (LH). Masalah pencemaran udara, air dan tanah serta aneka konflik yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam terjadi karena tata ruang yang bermasalah. Persoalan tata ruang seringkali terjadi karena proses penyusunannya tidak representatif dan partisipatif dan substansi yang dibahas kurang mencerminkan substansi penataan ruang, termasuk relevansinya dengan konteks dan perspektif lokal/ regional. Kedua persoalan tersebut sedapat mungkin dicegah dengan melakukan perencanaan penataan ruang yang melibatkan, tidak saja para pemangku kepentingan yang relevan, juga mereka yang memahami isu-isu penataan ruang, termasuk implikasi yang akan terjadi bila penataan ruang tidak direncanakan dan dilaksanakan dengan baik.

Persoalan-persoalan penataan ruang, utamanya terkait dengan alih fungsi lahan tersebut di atas, menjadi salah satu faktor penting terjadinya degradasi lahan dan bencana hidrometeorologi, dan oleh karenanya, memerlukan model pengelolaan sumber daya alam berbasis daerah aliran sungai (DAS), karena melalui pendekatan tersebut, keterkaitan kausalitas hulu-hilir DAS dapat difahami sehingga mampu memberikan kerangka kerja yang lebih luas dan komprehensif dalam pengelolaan sumber daya alam lintas wilayah. Tulisan ini berupaya fokus pada pengelolaan lanskap DAS termasuk upaya-upaya pengendalian bencana hidrometeorologi melalui pendekatan pengelolaan ekosistem DAS. Lanskap DAS terpenting dalam konteks ini adalah komponen ekosistem hutan, terutama fungsi pengaturan hidrologinya.

Kecenderungan gangguan penataan ruang tersebut di atas berkesesuaian dengan terjadinya perubahan tutupan lahan yang menunjukkan bahwa, secara nasional, terjadi penurunan luas hutan mangrove dan rawa yang merupakan ekosistem lahan basah (wet lands) sekitar 649.259 ha selama periode 2016 – 2020 (KLHK, 2022). Berkurangnya ekosistem lahan basah tersebut kemungkinan berlanjut dan sangat disayangkan karena ekosistem tersebut berperan penting mengatur hydrological flows. Sementara, luas perkebunan, utamanya kebun sawit, meningkat kurang-lebih 5.425.375 ha. Berkurangnya hutan mangrove dan rawa harus menjadi perhatian karena kedua ekosistem tersebut termasuk ekosistem esensial lahan basah (wetlands). Ekosistem ini sangat penting untuk pencagaran air dan pengendali bencana hidrometeorologi. Peningkatan kebun sawit juga perlu menjadi perhatian mempertimbangkan ekspansi kebun sawit seringkali dilakukan dengan menggusur kawasan hutan. Perkebunan, sawit atau karet tidak kondusif untuk upaya pencagaran air karena tanaman perkebunan tersebut kurang meresapkan air hujan kedalam tanah (laju infiltrasi rendah), dan dengan demikian, meningkatkan potensi bencana hidrometeorologi.

Bencana hidrometeorologi dilaporkan di banyak tempat dengan kecenderungan meningkat. Bencana tersebut, utamanya banjir dan tanah longsor, mengakibatkan beberapa daerah mengalami kerugian ekonomi besar, bahkan telah menimbulkan korban jiwa. Bencana tersebut disebabkan oleh kombinasi fenomena alam (curah hujan), akibat ulah manusia (kebijakan berakibat alih fungsi lahan) bersifat antropogenik, dan hilangnya water retention (kolam, embung, situ, lahan basah) akibat aktivitas pembangunan ekonomi. Keseluruhan penyebab bencana hidrometeorologi tersebut, pada prinsipnya, menghambat proses tertampungnya air permukaan (surface water detention) dan menghambat masuknya air hujan ke dalam tanah, dan dengan demikian, meningkatkan banjir dan erosi-sedimentasi.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa wilayah padat penduduk berimplikasi pada degradasi DAS karena meningkatnya pembangunan ekonomi dan tekanan penduduk pada lahan, selain curah hujan sebagai faktor pemberat. Selain itu, persoalan koordinasi dan sinergi antar lembaga serta sinkronisasi program konservasi sumber daya lahan dan air belum sepenuhnya efektif. Untuk itu, hal penting yang harus dilakukan adalah melakukan pemetaan peran (mapping of responsibility) dan tanggung jawab masing-masing pemangku kepentingan kunci sebagaimana diinisiasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian melalui Per-07/M.Ekon/05/2012.

PENDEKATAN EKOSISTEMIK PENGELOLAAN DAS 

Ekosistem DAS bersifat kompleks karena melibatkan berbagai komponen biogeofisik dan sosekbud yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Kompleksitas ekosistem DAS mempersyaratkan suatu pendekatan pengelolaan yang bersifat multi-sektor dan lintas-wilayah termasuk kelembagaan dengan kepentingan masing-masing serta mempertimbangkan kaidah-kaidah saling mempengaruhi. Dalam hal ini, tiga hal berikut ini penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan DAS (Kraf dan Steinman, 2018; Asdak, 2022): (1) Keterkaitan berbagai kegiatan dan kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam; (2) Melibatkan multi-pemangku kepentingan dan berbagai disiplin ilmu serta mencakup berbagai kegiatan yang tidak selalu saling mendukung sehingga diperlukan trade-off; dan (3) Meliputi daerah hulu, tengah, dan hilir DAS yang mempunyai keterkaitan biogeofisik, utamanya dalam bentuk daur hidrologi.

Dalam pengelolaan lanskap berbasis DAS, tujuan dan sasaran yang diinginkan harus dinyatakan dengan jelas. Sasaran pengelolaan lanskap tersebut pada dasarnya adalah (Brooks et al., 1994; Falkenmark dan Rockstrom, 2004; Asdak et al., 2018): 1) Terciptanya stabilitas tanah dan tata air skala DAS yang optimal; 2) Meningkatnya produktivitas lahan yang diikuti oleh perbaikan kesejahteraan masyarakat; 3) Meningkatnya tutupan vegetasi, utamanya hutan, sebagai fungsi perlindungan LH; dan 4) Terwujudnya pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan berkeadilan. Oleh karena itu, perumusan program dan kegiatan pengelolaan lanskap DAS selain harus mengarah pada keberlanjutan sumber daya alam, perlu pula disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi dengan mempertimbangkan karakteristik biogeofisik dan sosekbud DAS, instrumen peraturan dan perundangan yang berlaku serta kaidah-kaidah pengelolaan DAS.

Konsep pengelolaan DAS dalam konteks pengelolaan lanskap berkelanjutan mempersyaratkan pemahaman keterkaitan biogeofisik dan sosek hulu-hilir DAS. Masyarakat juga mulai menyadari bahwa interaksi petani terhadap lahan, air, dan vegetasi di hulu DAS akan memberikan dampak bagi mereka yang hidup di tengah dan hilir DAS (Asdak, 2022). Batas DAS dan batas wilayah administrasi tidak sama, oleh karena itu, seluruh pemangku kepentingan, baik di hulu maupun di hilir DAS seharusnya bekerjasama untuk meningkatkan daya dukung DAS. Pengelolaan DAS memberikan kerangka kerja kolaborasi sinergis seluruh pemangku kepentingan, misalnya dalam implementasi imbal jasa lingkungan hidup (payment for environmental services). Implementasi imbal jasa ekosistem ini, melalui pendekatan nature-based solution (NBS), menjadi harapan bagi terwujudnya pengelolaan lanskap berkelanjutan karena akan menjaga praktek baik di hulu sungai melalui apresiasi ekonomi kepada para petani di hulu DAS (providers) oleh para penerima manfaat di hilir DAS (beneficiary). Selain itu, mekanisme ini juga menjadi bagian dari upaya pendanaan mandiri (self-funded) pengelolaan DAS sehingga lebih menjamin realisasi pengelolaan DAS berkelanjutan.

PENGELOLAAN LANSKAP UNTUK HASIL AIR 

Tutupan vegetasi, utamanya hutan, berperan penting dalam upaya pengendalian bencana hidrometeorologi. Peran tersebut ditunjukkan dengan besarnya proporsi tutupan vegetasi terhadap laju erosi-sedimentasi (Gambar 1a dan 1b). Hasil studi Vanacker et al. (2007) menunjukkan bahwa untuk tutupan vegetasi hutan pada lahan yang berbeda, memberikan besaran sedimentasi berbeda pula. Ditunjukkan bahwa tutupan vegetasi yang diprakirakan aman (besarnya sedimentasi relatif kecil) adalah pada persentase tutupan vegetasi minimal 40%. Tutupan vegetasi lebih kecil dari angka tersebut, misalnya 30%, tampak masih menghasilkan laju sedimentasi yang relatif cukup besar, apalagi untuk tutupan vegetasi lebih kecil. Hasil studi ini dapat dijadikan justifikasi mengapa pada peraturan-perundangan ditentukan bahwa luas hutan minimal 30% dari luas total wilayah (DAS, pulau, dan wilayah administrasi). Untuk memperoleh fungsi perlindungan optimal terhadap bencana hidrometeorologi, seharusnya persentase tutupan vegetasi minimal 40%.

Telah dikemukakan bahwa tutupan vegetasi, hutan atau tataguna lahan lain yang menyerupai fungsi hidrologis hutan, berperan penting dalam upaya pengendalian bencana hidrometeorologi dan mitigasi perubahan iklim (PI). Peran tersebut ditunjukkan dengan besarnya proporsi tutupan vegetasi/hutan terhadap laju erosi-sedimentasi di zona temperate (Gambar 1a) dan pada ekosistem lanskap hutan di zona tropis (Gambar 1b). Hasil studi Vanacker et al. (2007) menunjukkan bahwa untuk tutupan vegetasi pada lahan yang berbeda, memberikan besaran sedimentasi berbeda pula. Ditunjukkan bahwa tutupan vegetasi yang diprakirakan aman (besarnya sedimentasi relatif kecil dan stabil) adalah pada persentase tutupan vegetasi minimal 40% (Gambar 1a).

Tutupan vegetasi lebih kecil dari angka tersebut, misalnya 30%, tampak masih menghasilkan laju sedimentasi yang relatif cukup besar, apalagi untuk tutupan vegetasi lebih kecil. Untuk memperoleh fungsi perlindungan optimal terhadap bencana hidrometeorologi dan upaya mitigasi PI, seharusnya persentase tutupan vegetasi minimal 40%. Sedangkan pada perbandingan hasil riset di Jawa Barat (Boer et al., 2012), tutupan hutan 30% menunjukkan aliran run-off lebih kecil daripada pada kondisi tutupan hutan 20%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar tutupan hutan pada kedua kasus tersebut, laju air limpasan permukaan dan sedimentasi yang dihasilkannya menjadi lebih kecil. Suatu kondisi pengelolaan DAS yang diharapkan dari perspektif pengendalian bencana hidrometeorologi.

Pada konteks keterkaitan antara perubahan tataguna lahan, utamanya hutan menjadi bentuk tutupan lahan lain yang dilakukan di DAS Citarum Jawa Barat, hasil riset Nurcahyo (2023) menunjukkan kecenderungan serupa dengan hasil riset Vanacker et al. (2007) maupun Boer et al. (2012). Riset di hulu DAS Citarum tersebut menggunakan pendekatan probabilistik (pemodelan simulasi) dalam penentuan tutupan hutan, dan diperoleh hasil bahwa nilai tutupan hutan 30% berkorelasi dengan nilai kekritisan 1,95 dan nilai koefisien regim aliran air (indikator Qmaks/Qmin) 325. Sementara, nilai tutupan hutan 40% berkorelasi dengan nilai Qmaks/Qmin 315. Nilai harapan adalah pada nilai kekritisan 1,5 dan nilai Qmaks/Qmin 300. Berdasarkan hasil pemodelan DAS Citarum hulu tersebut, dibutuhkan minimal tutupan hutan dengan kisaran 40% agar tidak menjadi kritis secara hidrologi. Kesimpulan hidrologis tersebut juga menyatakan bahwa proses urbanisasi di DAS Citarum meningkatkan area kedap air, meningkatkan limpasan, mengurangi kapasitas infiltrasi tanah, dan dengan demikian, menurunkan jumlah aliran dasar (base flow). Kesimpulan ketiga riset yang dilakukan di lokasi berbeda tersebut memberikan hasil yang kurang-lebih serupa.

Gambar 1. (a) Besarnya sedimen pada luas tutupan hutan berbeda (Vanacker, 2007); (b) Perbandingan besarnya debit aliran untuk luas tutupan hutan 20% (grafik atas) dan 30% (grafik bawah) di Jawa Barat (Boer et al., 2012).

Hasil riset tersebut di atas juga sesuai dengan kajian 27 DAS di Amerika Serikat sebagaimana dilaporkan oleh World Resources Institute (WRI, 2011), bahwa luas tutupan hutan pada skala DAS memberikan pengaruh cukup signifikan terhadap biaya yang harus dikeluarkan untuk kompensasi degradasi LH atau keuntungan ekonomi oleh adanya tutupan hutan. Dalam hal ini, ditunjukkan perbandingan antara luas tutupan hutan 30% versus 40% terhadap kenaikan biaya yang harus dikeluarkan dalam upaya perlindungan LH skala DAS. Tampak, dengan tutupan hutan 30% (dari total luas DAS), kenaikan biaya yang harus ditanggung adalah sebesar 97%. Sementara bila tutupan hutan 40%, kenaikan biaya hanya sebesar 57%. Semakin kecil luas tutupan hutan, misalnya 10%, maka kenaikan biaya yang harus ditanggung naik menjadi 211%.

Selain fenomena keterkaitan tutupan vegetasi hutan terhadap besarnya air limpasan permukaan, erosi, dan sedimentasi, berikut ini adalah gambaran keterkaitan hidrologis antara tegakan hutan dan perkebunan terhadap besarnya air limpasan permukaan (runoff coefficient) studi kasus di Provinsi Jambi (Gambar 2). Hasil kajian tersebut pada Gambar 2 menunjukkan bahwa ketika dibandingkan antara tegakan hutan dan tegakan perkebunan (karet dan kelapa sawit), tampak bahwa dengan meningkatnya persentase tutupan hutan, maka kecenderungan besarnya koefisien air limpasan permukaan menjadi lebih kecil (Gamar 2a). Artinya, jumlah air hujan yang masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi/perkolasi meningkat, dan dengan demikian, jumlah air limpasan permukaan turun. Sebaliknya, pada kondisi di bawah tegakan perkebunan (karet atau kelapa sawit), meningkatnya tutupan lahan cenderung meningkatkan air limpasan permukaan (Gambar 2b). Hal ini terjadi karena pada tegakan perkebunan sama jenis dan stratifikasi tajuk tanaman minimal serta biasanya juga kurang disertai tumbuhan bawah (undergrowth).

Gambar 2. Hubungan hidrologis besarnya nilai C (coefficient runoff) hasil simulasi persentase luas masing-masing jenis penggunaan lahan: (a) hutan, dan (b) kelapa sawit dan karet di Provinsi Jambi (Tarigan et al., 2018).

Membangun lanskap yang kondusif terhadap upaya pencegahan bencana hidrometeorologi yang bersifat antropogenik, memerlukan kebijakan yang tepat. Kebijakan seharusnya mampu menyelesaikan persoalan-persoalan non-teknis. Misalnya, mengapa petani tidak antusias mengembangkan pola tanam agroforestry? Mengapa persoalan koordinasi dan sinergi lintas sektor dan lintas wilayah tidak terselesaikan? Studi empiris menunjukkan bahwa kendala non-teknis tata kelola pengelolaan DAS diharapkan terselesaikan melalui upaya-upaya sebagai berikut (Asdak dan Supian, 2017; Hanson dan Yonavjak, 2011): (1) Pengelolaan DAS mengacu pada PP No. 37/2012 tentang Pengelolaan DAS, termasuk merumuskan sistem insentif dan disinsentif ekonomi serta koordinasi antar stakeholders; (2) Peningkatan kesejahteraan, utamanya di hulu DAS, a.l., melalui skema Imbal Jasa LH; (3) Peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya dalam pengelolaan ekosistem DAS; dan (4) Menyiapkan regulasi dan mekanisme kerja koordinasi antar kementerian/lembaga.

PENDEKATAN NATURE-BASED SOLUTION (NBS)

Uraian tersebut di atas menekankan pentingnya lima pendekatan terpadu berikut ini sebagai upaya pengelolaan hutan dan/atau tataguna lahan berfungsi hutan sebagai bagian pendekatan Nature-based Solution/NBS dan mitigasi perubahan iklim: (1) Pendekatan Sustainable Forest Management and Environmental Governance melalui restorasi hutan berbasis Forest Landscape Restoration; (2) Menciptakan insentif ekonomi yang atraktif agar petani beralih ke lanskap berfungsi hutan (agroforestry) dan membangun dan mengembangkan faktor-faktor Integratif. Faktor integratif adalah upaya menciptakan kegiatan ekonomi berbasis lanskap atau kegiatan ekonomi skala kecil yang memanfaatkan dan sekaligus konservasi sumber daya alam, utamanya hutan/berfungsi menyerupai hutan. Kegiatan-kegiatan ekonomi tersebut, misalnya Imbal Jasa LH, listrik mikrohidro, industri kecil-menengah berbasis kayu cepat tumbuh (biomass-based industries); (3) Membangun multi-kolaborasi (networking) lokal-nasional-internasional; (4) Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaannya termasuk kurikulum yang fits to pendekatan Forest Landscape Restoration; dan (5) Pengelolaan DAS mikro (desa) memanfaatkan dana desa dan Badan Usaha Milik Desa untuk keberlanjutan lanskap berfungsi hutan di tingkat tapak.

Pendekatan NBS juga dapat memanfaatkan sistem dan mekanisme imbal jasa ekosistem/LH (IJL), utamanya terkait dengan fungsi ekosistem hutan/menyerupai fungsi hutan dalam menjaga ketersediaan sumber daya air. Secara fundamental, pembayaran/imbal jasa ekosistem/LH (payment for environmental services) adalah implementasi prinsip pemanfaat jasa ekosistem memberikan kompensasi kepada penyedia jasa (beneficiary pays principle). Tiga tipe generik IJL DAS (WRI, 2011), yaitu: (1) IJL terbentuk oleh transaksi usaha, pembayaran sukarela mereka yang tinggal di hilir DAS kepada pemanfaat lahan di hulu agar terjadi perbaikan kuantitas dan kualitas air (sungai); (2) IJL oleh adanya peraturan yang dirancang untuk perbaikan kualitas air; dan (3) IJL untuk keuntungan publik terkait dengan perbaikan kuantitas, kualitas, dan kontinuitas sumber daya air. Selain itu, layanan lingkungan/ekosistem secara umum dikategorikan ke dalam empat tipe (MEA, 2005), yaitu: a) layanan penyedia (provision services), yaitu biodiversitas menghasilkan produk berupa bahan makanan, air bersih, kayu, fiber, sumber daya pengobatan; b) layanan pengaturan (regulating services) yang bermanfaat bagi agroekosistem, seperti pengaturan iklim (climate regulation), pengaturan gangguan alam (natural hazard regulation), pemurnian air dan pengelolaan limbah (water purification and waste management), polinasi atau pengontrolan hama (pollination and pest control); c) pendukung proses dan fungsi ekosistem atau layanan habitat (support services), termasuk diantaranya daur nutrisi (nutrient cycling), formasi tanah, fotosintesis, keragaman spesies dan habitat serta; dan d) layanan lingkungan/ekosistem terhadap budaya (cultural services)  yang terdiri atas layanan ekosistem untuk budaya di antaranya peningkatan spiritual, perkembangan intelektual, rekreasi, dan nilai estetik.

HUTAN BERAWAN (CLOUD FOREST)

Saat ini, isu hutan berawan/kabut (cloud forest) dan potensinya untuk menambah curah hujan belum banyak dibicarakan dalam pengelolaan DAS untuk pasokan sumber air (Gambar 3). Hutan berawan tidak hanya berbeda dalam hal komposisi tegakan pohonnya, tetapi juga berbeda perilaku hidrologis dan biogeokimianya (Bruijnzeel et al., 2010). Hutan berawan di daerah tropis lazim berada pada ketinggian > 1000 m dpl (Tanaka et al., 2011), meskipun teridentifikasi juga pada ketinggian di bawah 500 m dpl (Mulligan, 2010). Secara global, keberadaan hutan berawan adalah antara 400 ~ 2.800 m dpl (Jarvis dan Mulligan, 2011). Hutan berawan berbeda dari jenis tegakan hutan lainnya karena tajuk hutan berawan seringkali atau dalam periode waktu lama bersentuhan dengan gumpalan-gumpalan awan (Holwerda et al., 2010; Bruinjzeel dan Scatena, 2011). Hutan berawan tidak hanya berbeda dalam hal komposisi tegakan pohonnya, tetapi juga berbeda perilaku hidrologis dan biogeokimianya.

Peran penting hutan berawan adalah menghasilkan hujan di bawah tegakan hutan, hujan horizontal (occult precipitation), ketika tajuk tegakan hutan bersentuhan dengan awan pada suhu yang memungkinkan berlangsungnya proses pengembunan. Di Honduras, cloud forest di Taman Nasional La Tigra, menghasilkan 40% dari ketersediaan air perkotaan (Lawton et al., 2001). Oleh karenanya, penebangan hutan berawan, tidak hanya menurunkan potensi occult precipitation sebagai pasokan air di hilir DAS, tetapi juga meningkatkan potensi bencana hidrometeorologi.

Keberadaan hutan berawan, secara hidrometeorologi, meningkatkan aliran air permukaan, namun bukan ancaman karena struktur tegakan hutan, khususnya tumbuhan bawah, efektif melindungi tanah. Terjadinya occult precipitation tersebut juga dimungkinkan karena kecilnya laju transpirasi oleh rendahnya radiasi dan tingginya kelembaban udara. Pertimbangan-pertimbangan tersebut dapat menjadi bagian skema pembayaran jasa lingkungan, yaitu pemanfaat air di tengah dan hilir DAS, untuk memberikan kompensasi kepada pemilik hutan berawan di hulu. Untuk memastikan fungsi hidrologis hutan berawan berkelanjutan, maka perlu memetakan keberadaan hutan berawan, dan memastikan hutan tersebut tidak terancam alih fungsi lahan atau gangguan lainnya.

Gambar 3. Hutan berawan (cloud forest) potensial menambah hujan horizontal (occult precipitation) melalui proses pengembunan persinggungan tajuk hutan dan awan, lazimnya pada ketinggian > 1000 m dpl (Foto Lanskap TN. Lorentz)

Keberadaan dan manfaat hutan berawan, secara alamiah, dapat berkelanjutan mempertimbangkan bahwa tegakan hutan, dibandingkan dengan tegakan bawah, misalnya padang rumput, memiliki kemampuan membentuk awan lebih banyak (Gambar 4). Salah satu faktor penyebab masifnya awan di atas tegakan hutan karena besarnya evapotranspirasi pada tegakan hutan daripada padang rumput. Besarnya evapotranspirasi meningkatkan laju evaporasi di atmosfer, dan dengan demikian, meningkatkan akumulasi awan serta potensi untuk terjadinya hujan horizontal (Aylward et al., 1995). Perubahan kondisi iklim (tutupan awan, radiasi matahari) akibat alih fungsi lahan di Costa Rica menunjukkan penurunan curah hujan 1-4 mm/tahun (Lawton et al., 2001). Oleh karena itu, penting untuk memastikan keberadaan hutan berawan tidak terganggu apabila persoalan-persoalan kuantitas, kualitas, dan kontinuitas sumber daya air terselesaikan, termasuk sebagai upaya pencegahan bencana hidrometeorologi terkait dengan keberadaan tegakan hutan.

Gambar 4. Perbandingan kumulasi awan di atas tegakan hutan dan padang rumput. Tampak gumpalan awan di atas tegakan hutan (a) jauh lebih banyak daripada di atas padang rumput karena perbedaan besarnya evapotranspirasi (b) (Lawton et al., 2001).

 

PENUTUP

Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan DAS memberikan kerangka kerja kolaborasi sinergis para pemangku kepentingan yang saling menguntungkan. Salah satunya, dalam implementasi imbal jasa ekosistem (payment for environmental services). Implementasi imbal jasa ekosistem melalui pendekatan nature-based solution (NBS), menjadi harapan bagi terwujudnya pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Hal itu dimungkinkan karena bersifat menjaga praktek baik di hulu sungai melalui apresiasi ekonomi kepada para pengelola lahan di hulu DAS (providers) dan mendorong tanggung jawab para pemanfaat sumber daya (air) di hilir (beneficiary parties). Selain itu, mekanisme ini juga menjadi bagian penting upaya pendanaan mandiri (self-funded) pengelolaan DAS sehingga lebih menjamin realisasi pengelolaan sumber daya alam skala DAS berkelanjutan.

 

RUJUKAN

Asdak, C. 2022. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press (Cetakan kedelapan), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Asdak, C., Supian, S., dan Subiyanto. 2018. Watershed management strategies for flood mitigation: A case study of Jakarta’s flooding. Journal of Weather and Climate Extremes (21): 117-122.

Asdak, C. dan Supian, S. 2017. Hydrological Implication of Traditional Farming Systems: A Case Study in The Upper Citarum and Cimanuk Watershed. Journal of Engineering and Applied Sciences 12(17): 4415-4419.

Aylward, B., Echeverría, J. dan Barbier, E.B.. 1995. Economic Incentives for Watershed Protection: A Report on an Ongoing Study of Arenal, Costa Rica. CREED Working Paper Series No 3. International Institute for Environment and Development, London, UK.

Boer, R., Dasanto, B.D., Perdinan, dan Marthinus, D. 2012. Hydrologic Balance of Citarum Watershed under Current and Future. In Climate. W. Leal Filho (ed.), Climate Change and the Sustainable Use of Water Resources. Springer-Verlag Berlin, Germany.

Bruijnzeel, L.A. dan Scatena, F.N. 2011. Hydrometeorology of tropical montane cloud forests. Journal of Hydrological Process (25): 319–326.

Bruijnzeel, L.A., Kappelle, M., Mulligan, M., dan Scatena, F.N. 2010. Tropical montane cloud forests: state of knowledge and sustainability perspectives in a changing world. Tropical Montane Cloud Forests: Science for Conservation and Management (editors: L. A. Bruijnzeel, F. N. Scatena, and L. S. Hamilton). Cambridge University Press, UK.

Brooks, K.N., Ffolliott, P.F., Gregersen, H.M., dan Easter, K.W. 1994. Policies for Sustainable Development: The role of watershed management. Policy Brief. The Environmental and Natural Resources Policy and Training Project. No. 6  August 1994.

Falkenmark, M. dan Rockstrom, J. 2004. Balancing Water for Humans and Nature: The New Approach in Ecohydrology. Earthscan, 8-12 Camden High Street, London, UK.

Hanson, J.T. dan Yonavjak, L. 2011. Forests for Water: Exploring Payments for Watershed Services in the U.S. South Craig. World Resource Institute. Issue Brief No. 2. Washington DC, USA.

Holwerda, F., Bruijnzeel, L.A., Muñoz-Villers, L.E., Equihua, M., dan Asbjornsen, H. 2010. Rainfall and cloud water interception in mature and secondary lower montane cloud forests of central Veracruz, Mexico. Journal of Hydrology (384): 84–96.

Kraff, D. dan Steinman, A.D. 2018. Integrated watershed management in Michigan: Challenges and proposed solutions. Journal of Great Lakes Research (44): 197-207.

KLHK. 2022. Panduan Internalisasi Rencana Pengelolaan DAS ke dalam Dokumen Rencana Pembangunan dan Penataan Ruang. Direktorat Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS Direktorat Jenderal Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta.

Lawton, R.O, Nair, U.S., Pielke, R.A., dan Welch, R.M. 2001. Climatic impact of tropical lowland deforestation on nearby montane cloud forests. Science (294): 584–587.

Mulligan, M. 2010. Modeling the tropics-wide extent and distribution of cloud forest and cloud forest loss, with implications for conservation priority. In Tropical Montane Cloud Forests. Science for Conservation and Management, Bruijnzeel L.A, Scatena, F.N, Hamilton, L.S (eds). Cambridge University Press, Cambridge, UK.

MEA. 2005. Millennium Ecosystem Assessment: Ecosystems and Human Well-being. World Resource Institute. Washington DC, USA.

Nurcahyo, H. 2023. Metode Penentuan Kecukupan Tutupan Hutan pada DAS Citarum, Jawa Barat. FGD Sekolah Pascasarjana Unpad bekerjasama dengan Sustainitiate. Bandung, 11 April 2023.

Jarvis, A dan Mulligan, M. 2011. The climate of cloud forests. Journal of Hydrological Processes (25): 327–343.

Tarigan, S., Wiegand, K., Sunarti, dan Slamet, B. 2018. Minimum forest cover required for sustainable water flow regulation of a watershed: a case study in Jambi Province, Indonesia. Hydrol. Earth Syst. Sci., (22): 581-594.

Tanaka, N., Kuraji, K., Tantasirin, C., Takizawa, H., Tangtham, N., dan Suzuki, M. 2011. Relationships between rainfall, fog and throughfall at a hill evergreen forest site in northern Thailand. Journal of Hydrological Process (25): 384–391.

Vanacker, V., Blanckenburg, F.V., Govers, G., Molina, A., Poesen, J., Deckers, J., dan Kubik, P. 2007. Restoring dense vegetation can slow mountain erosion to near natural benchmark levels. Geological Society of America 35 (4): 303-306.

WRI. 2011. Forests for Water: Exploring Payments for Watershed Services in the U.S. South. World Resources Institute. Issue Brief No. 2. Washington DC, USA.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *